Bab 2 - Muse Lukisan Telanjang

Dengan wajah datar yang menyembunyikan kemarahannya, Lydia menginjak kuat sapu tangan miliknya di bawah sambil membayangkan dia menginjak Marcell dan Adel.

Tatapan Lydia belum lepas dari Marcell, begitu tajam tanpa ada yang menyadarinya, seolah tatapan itu bisa membunuh Marcell seperti pedang tajam yang menghunus.

‘Berapa lama lagi aku harus menahan penderitaan ini? Kapan aku bisa bebas?’ batin Lydia.

Lydia menoleh, menatap jendela besar di samping. Dia ingin segera bebas dari keterikatan dengan Marcell dan membalas dendam, tapi tidak bisa. Ah, bukan tidak, melainkan belum.

Dia kembali bersabar, seperti yang biasa dia lakukan selama dua tahun pernikahan, sabar menghadapi tingkah Marcell dan jal*ngnya yang menjijikkan.

Lydia hendak melangkah ke kamar, tapi seoarang ART menghampirinya lalu mengambilkan sapu tangannya di lantai.

“Ini sapu tangan Anda, Nyonya. Mau saya cuci atau bagaimana?” tanya ART tersebut dengan pandangan iba kepada Lydia, tentu saja dia tahu apa yang dialami oleh majikannya, dia pun geram dengan Marcell.

“Buang.”

Sang ART terbelalak. “Ma-maaf?”

“Buang aja,” ulang Lydia sambil melempar senyum.

Di mata ART itu, senyum Lydia tampak palsu dan menunjukkan seolah Lydia tidak ingin dibantah. Maka, dia mengangguk patuh.

Lydia berlanjut melangkah ke kamarnya yang juga merupakan kamar Marcell. Namun, satu hal yang membuatnya merasa lega, setidaknya Marcell tidak membawa jal*ngnya ke kamar mereka, melainkan ke kamar lain.

Kalau sampai Adel yang habis dipakai ‘tidur’ di sini juga, Lydia tidak bisa membayangkan betapa menjijikkannya itu.

“Hah …”

Lydia menghela napas, mengingat tak ada kemajuan positif dalam hubungannya dengan Marcell setelah dua tahun menikah. Berawal dari perjodohan kedua keluarga, sebenarnya pernikahan ini hanyalah pernikahan bisnis, tak ada cinta di dalamnya.

Lydia dinikahkan dengan keluarga Marcell demi bisnis orang tuanya yang nyaris bangkrut. Dengan bersatunya keluarga Lydia dan Marcell, bisnis orang tuanya pun terselamatkan.

Namun, di sinilah poinnya, Lydia merasa benar-benar dijual oleh orang tuanya, bahkan saat dulu dia menolak perjodohan, dia dimarahi. Orang tuanya memang tak peduli padanya, apalagi perasaannya.

Drrttt … Drrttt …

Ponsel Lydia bergetar, ada panggilan masuk.

Dengan langkah anggun yang tampak tenang, Lydia berjalan mengambil ponselnya di atas nakas. Ternyata sang penelepon adalah kenalannya, seorang pemilik galeri seni.

Lydia sudah lama menjadi pelukis. Sebelum keluarganya nyaris bangkrut, dia termasuk anak pengusaha kaya yang bisa menamatkan sekolah melukis di Prancis.

Lukisan Lydia dilelang dengan harga mahal, kemudian uangnya dia putar lagi untuk bisnis fashion dan kecantikan.

Mengenai lukisan, selain dilelang dengan harga mahal, dan pemasukan dari bisnisnya, Lydia juga ada sumber penghasilan lain. Dia juga mendapatkan bagian keuntungan dari perusahaan orang tuanya, begitu juga uang dari Marcell.

Itulah yang membuat Lydia makin sulit lepas dari Marcell. Selain keluarganya yang masih bergantung kepada keluarga Marcell, dia juga terus menerima uang dari Marcell.

“Bagaimana soal lukisan telanjangnya?” tanya sang penelepon dari seberang sana.

“Saya belum menemukan muse yang tepat,” jawab Lydia.

Untuk melukis tubuh telanjang, yang mana Lydia berniat melukis tubuh telanjang seorang pria, dia butuh ‘muse’, seorang pria yang bisa dijadikan inspirasi untuk dia lukis langsung tubuh telanjangnya di depan mata kepalanya sendiri.

Melukis tubuh telanjang adalah seni bagi Lydia, sudah lama dia ingin melakukannya, tapi masalahnya sampai sekarang Lydia belum menemukan tubuh pria yang sesuai dengan apa yang dia mau.

Seorang pria yang membuatnya ingin melukis tubuh telanjang pria itu. Sepertinya dia harus mulai serius mencari muse-nya.

“Bagaimana kalau suamimu? Saya rasa dia cocok untuk jadi ‘muse’mu. Dia tampan, banyak yang mengidolakan suamimu, tubuhnya juga bagus.”

Lydia nyaris menyemburkan tawa. Marcell? Tidak cocok sama sekali. Meskipun banyak yang memuji fisik Marcell, tapi tidak bagi Lydia. Membayangkan akan melukis Marcell saja sudah membuatnya mual.

“Suami saya nggak mungkin mau. Dia juga sibuk.”

“Ah, Anda benar. Maafkan saya, anggap ucapan saya tadi hanya gurauan.”

Lydia bisa mendengar nada penyesalan sekaligus panik. Tentu saja, bagaimana tidak? Dia adalah seorang istri dari pengusaha terkenal. Meskipun Marcell bodoh di mata Lydia, tapi Marcell terkenal di sosial media sebagai pengusaha muda yang tampan.

Cih! Padahal Marcell bukan perintis, dia pewaris yang juga masih harus dibantu, tidak terampil.

Setelah panggilan berakhir, Lydia menatap keluar jendela kamarnya yang menghadap ke taman.

Hm … di mana dia harus mencari pria yang sesuai dengan imajinasinya untuk dijadikan muse-nya? Harus ke mana kira-kira agar dia bisa menemukan sosok pria yang dia inginkan?