Venus Zeaneda rangkaian nama lengkapku, atau juga suka dipanggil dengan Kemuning. Tinggal di salah satu pesantren daerah Benculuk, Cluring.
Satu hal yang kuingat siang itu, tiba-tiba Mbah putri menanyakan perihal jodoh di umurku yang genap dua puluh empat tahun. Hanya tersipu mendengar omelan Mbah yang terasa indah di telinga.
"Enek, cucu temannya Mbah kung, rumahnya Glenmore. Dekat sama rumahmu, masih bujang. Umurnya juga seusia sama kamu, mau Mbah kenalkan tah? Siapa tahu cocok, jadi jodohnya.”
Mbah putri menyesap kopi hitamnya yang selalu pahit. Kami menikmati siang ini di dapur, merebus air dan menggoreng pisang mengisi hari—yang sudah beranjak sore.Mbah kung suka menu tersebut sebagai hidangan makan malam daripada nasi. Aku dan mbah putri memang lebih suka berada di dapur, pemandangan—yang menghadap langsung ke taman sederhana di belakang rumah, ditumbuhi aneka bunga juga tumbuhan hijau. Warna warninya bak pelangi menjadi hiburan tersendiri jika memandang, seperti mencerahkan jiwa.
Kata Ibu, aku dulunya seringkali membantu ibu atau mbak-mbak ndalem untuk merawat kebun bunga milik kami bahkan seringkali aku menangis histeris ketika mereka memangkas dahannya biar tidak terlalu rimbun. Entahlah. Aku jadi geli sendiri jika mendengar cerita masa kecil, tapi memang benar, aku begitu menyukai bunga yang memiliki kelopak kecil berwarna putih tersebut dibandingkan dengan bunga lainnya.
"Inggih, Mbah. Pengestunipun, doakan biar Kemuning bisa segera ada yang meminang," jawabku sopan kepada mbah putrid pada akhirnya menutup pembicaraan seputar jodoh siang ini.
Sedari kecil hidupku di pesantren ini, kepunyaan Abah. Cukup menampung anak-anak yang membutuhkan pendidikan dasar hingga sekolah menengah atas. Asrama bagi mereka yang jauh dari tempat tinggal juga tersedia di sini, walau tidak banyak. Setelah lulus sekolah, aku memilih untuk ikut serta mengajar mengaji dan juga membimbing menghafal surat dalam Alquran. Bukan perkara yang mudah tentu saja.
Kalau mbahku saja sudah sesepuh ini. Begitupun dengan ibu. Beliau juga sudah senja. Semakin lama semakin menua. Meskipun ada Roziq, adik kandung yang kelak akan meneruskan trah pesantren kami. Akan tetapi, mereka ingin melihatku segera berumah tangga.
Soal kopi, kami memang lebih menyukai seduhan kopi pahit. Ndak manis bukan berarti benci sama gula. Hanya, kopi akan terasa nikmat tanpa tambahan apapun. Aroma dan rasanya tidak berubah, hirup saat mengepul, mengalahkan bau harum apa pun menggelitik hidung. Selalu bisa menggugah selera, kapan pun.
Mbah putri memiliki sebuah filosofinya sendiri soal kopi. Jadi, biji kopi itu dikeringkan di bawah terik matahari selama beberapa hari, kemudian digoreng di atas cobek tanah liat sampai menjadi hitam. Setelahnya, baru ditumbuk menggunakan alu khusus, dibacakan sholawat Nabi, setelahnya baru bisa diseduh dengan air mendidih dan biarkan tanpa gula.
Nikmatnya mengalahkan saat makan sego tumpang. Nasi yang diberi sambel pedas khas kota Malang. Aku jadi menyukai cairan berwarna hitam beraroma khas itu. Ya, karena cerita tersebut. Seolah menceritakan, betapa kopi pada zamannya mbah putri dengan kopi zaman sekarang yang tinggal seduh, seolah memiliki arti yang berbeda.
Proses di dalamnya yang membutuhkan tidak sekedar tekun, tapi juga sabar dan tirakat.
"Memangnya siapa?" Pura - pura antusias sambil menyesap kopi di cangkir yang ada di meja. Sejujurnya, aku bahkan tidak memikirkan soal jodoh. Atau kelak akan bersuami di usia berapa. Biar saja mengalir. Bukan wanita yang ambisius soal itu.
"Ada. Nanti tak tanyakan Mbah kungmu. Mbah putri lupa namanya. Guanteng, hidunge bangir, yang paling penting, dia berbakat jadi suami sing mengayomi. Putra tunggal seorang Kyai gede. Kamu akan jadi Bunyai, kalau jadi menikah dengannya," tutur Mbah panjang lebar, terlihat urat lehernya menonjol karena terlalu antusias.
"Mbah, saya tidak mencari suami karena ingin menjadi Bunyai. Ilmu saya ini masih secuil. Tidak pernah bersekolah seperti ning-ning pondok lainnya. Ndak, ah. Saya malu."
"Lah ini, pikirannya pendek.
Bunyai itu tidak harus bersekolah tinggi, sampai keluar pesantren. Juga tidak harus punya titel seperti Ibumu. Kalian dibesarkan di dalam lingkungan pondok. Memahami apa yang akan menjadi tanggung jawabnya kelak. Lalu berikhtiar sekuat tenaga. Yang lain biar Gusti Pangeran yang mengatur. Kamu hanya perlu berdoa dan berusaha. Bukan begitu?”Beruntung kami masih diberikan kesempatan untuk mendengarkan semua cerita pengalaman hidup beliau yang selalu mendidik.
Abah dan Ibu, Roziq serta aku tumbuh di lingkungan ndalem semenjak bayi. Kalau Roziq dia sudah sering keluar kota. Belajar ilmu Fikih dan Tasawuf sampai ke luar negeri. Dia masih bisa terbang sebebas burung kuntul yang bisa ke mana saja. Karena dia seorang pangeran. Seorang putra mahkota yang akan meneruskan warisan keluarga kami nantinya. Anak Abah dan Ibu hanya aku dan Roziq, anak sepersusuan kami ada satu. Dia sedang kuliah di Jogja saat ini.
"Mau, ya, tak kenalkan?"
Aku mengangguk pelan, menunduk malu, wajah menghangat, mungkin merona sempurna, karena melihat wajah si Mbah yang sumringah, sambil meminum kopi di cangkirnya. Mbah putri memelukku sembari terkekeh. "Mbah putri pingin segera menimang cucu buyut dari cucu perempuan satu-satunya di keluarga ini," lanjut Mbah putri sembari melihat gorengan pisang di wajan.
"Insyaallah, Mbah. Insyaallah," jawabku dengan tenang.
Beberapa hari berselang, waktunya Abah dan Ibu pulang dari umroh beserta rombongan. Pakde Jamal, istrinya serta sepupu membawa beberapa kendaraan, untuk mengakomodir kepulangan beberapa jamaah yang ikut serta umroh.
Kami menunggu sebab pesawat belum landing. Gus Miftah, sepupuku membawa seorang teman. Katanya, mereka pergi ke Yaman selama beberapa lama. Teman kuliah juga teman akrab. Putra sulung Pakdeku ini orangnya ramah. Karena itu dia punya banyak kenalan.
"Sini, duduk sini." Ada Bude dan Pakde juga.
Aku mengambil tempat di sebelah Bude Anis tanpa ragu, berhadapan langsung dengan teman Gus Mif tadi. Kami duduk satu meja di salah satu Coffee Shop Bandara Juanda sembari menunggu kedatangan Abah dan rombongan.
Sekilas, memandang, lelaki itu memang tampan. Tinggi badannya menjulang, mungkin mencapai 185cm. Punya cambang tipis di sekitar dagu. Hidungnya bangir. Bibirnya berwarna merah muda. Senyumnya manis. Kalau dibilang aku terpikat pada pandangan pertama. Mungkin!
Aku menundukkan kepala, saat Pakde berkata sambil melihat ke arahku, "cantik dan sae, kan?"
Terdengar suara kaki kursi yang bergeser, entah siapa yang menggeser, enggan mengangkat kepala, masih serba salah melihat teman Gus Miftah.
“Njih, sangat Pakde.”
Siapa? Siapa yang bersuara tadi, rasanya mendengar suara itu untuk pertama kali, membuat getaran halus sekitar dada.
"Yo wes. Sek, ya, Ze. Gus Mif mau tak suruh ambilkan hape Pakde yang tadi ketinggalan dan Ummi. Ayo, antarkan aku ke toilet, sudah kebelet ini," ujar Pakde yang kemudian membawa Bude beranjak dari tempatnya serta Gus Mif yang kemudian ikut menghilang entah ke mana.
Hanya tinggal aku, dua gelas kopi hitam yang masih mengepul, donat dua biji di atas piring berwarna putih kemudian di seberang meja bundar ini, dia ... pria itu yang sedang duduk menegakkan punggung. Menghadap ke arahku.
"Ini ..." aku terbata, menyodorkan piring berisi makanan bulat dengan hiasan cokelat dan gula. Entah harus memulai percakapan dari mana, bingung. Serba salah dengan tatapannya itu, baru kali ini sorang pria menatapku dengan lembut. Jika itu teriakan aku ingin mengatakan, diam!
Kami ditinggal berdua, tanpa mahram yang mendampingi. Sangat tidak biasanya pakdeku bersikap seperti ini. Membiarkan duduk dengan pria asing, parahnya kami hanya berdua saja saat ini.
***
Love,
Mahar
Gusti ... janpakdeku ini. Benar-benar anak yang penurut. Aku yakin setelah beberapa hari yang lalu mbah putri bicara soal jodoh. Beliau pasti langsung menelpon putra sulungnya itu untuk segera melaksanakan titah.Aku duduk menegakkan punggung. Berdeham kecil agar debar di dalam dada tidak mencuat keluar."Dimi
Tidak lama, melihat pajeronya terparkir terlihat dari jendela tempat berdiri. Beberapa santri menghambur menyalami. Ada yang mengulurkan kedua tangannya untuk meminta ransel yang menggantung di pundak kiri Gus favoritnya itu. Mereka suka rela menawarkan diri untuk membantu demi secuil berkah.Suamiku yang gagah selalu berusaha untuk menolak, tetapi sama seperti hari sebelumnya. Gus kesayangan itu tidak sanggup menolak setelah melihat tatapan sendu yang nampak jelas terbaca di raut wajah santri-santri tersebut.Aku selalu terkekeh melihatnya pasrah saat kresek atau ransel dan ba
Aku mengangguk, lalu mengusap lagi perutku. Tendangan itu antara terasa dan tidak. Mungkin karena kelelahan. Sejak kemarin acara ini dimulai dan sejak kemarin pula, aku ikut membantu mengurusinya."Adek, baik-baik, ya, sayang … kita bobo setelah Abirawuh (datang)," Merasa lebih lelah dari sebelumnya. Menahan sebisa mungkin jantungku yang berdegup lebih kuat, hingga terasa agak sesak.
POV HabibiSeseorang sedang berdiri di sana. Di depan sebuah kaca tembus pandang.Dia terlihat khusyuk mengamati satu persatu makhluk mungil yang tergeletak di box bayi. Mereka pasti terlihat sangat mungil aneka ekspresi di wajah-wajah kecil itu sudah membuat jari Zea menempel di kaca, ingin menyentuh salah satu dari mereka. Tanpa sadar air mataku menderas saat merasakan ngilu pada dada saat istriku itu menyentuh payudaranya.
"Ini, Ning Rayya, dia putrinya Ustad Rahmat. Sedang hamil, Nduk.” Ummi memperkenalkan seorang wanita berjilbab lebar. Wajahnya teduh, alisnya seperti ulat bulu tebal yang berjalan beriringan. Hidungnya kecil. Bibirnya merah muda, selalu tersenyum.Aku menyalaminya, dia membuka kedua tangan untuk memeluk dengan hangat, merasa lucu, pelukan kami terganjal perut buncitnya. Tidak lama, saling melepas dan duduk bersama di ruangan tempat ummi biasa menerima tamu. Mirip pendopo terbuka dihiasi kursi panjang sanggup menampung jika tamu yang datang lebih dari sepuluh orang, serta beberapa meja modern khas dari k
Sejak awal kami menikah, Mas Abi memang senang memanggilku "Nduk" panggilan sayang juga khusus katanya. Bahkan di depan Ummi dan Abah, suami kesayangan itu memanggil dengan sebutan yang sama.Lalu beberapa jam kemudian detak menit sudah menunjuk ke angka dua belas. Aku dan Mas Abi sejak sepuluh menit yang lalu sudah dipanggil untuk bertemu Dokter Neelam.Neelam Sari Khan, nama khas orang India.Wajahnya cantik hampir serupa deng
Aku sedang menikmati kesendirian di ambenan tempat biasanya kami menepikan diri setelah merasakan semua kesakitan yang begitu luar biasa ini. Merenungkan segala kemungkinan-kemungkinan yang akan kudapatkan sebagai tuah kehidupan. Kita tidak bisa tetap berdiri di tempat yang sama seperti kemarin. Manusia harus belajar dari kemarin dan merenungkan untuk hari esok. Mengusap mushaf terjemahan dalam genggaman, kurasakan tubuh yang kembali gemetaran saat sebuah ayat yang memberikan sebuah nasihat manis mengenai hubungan antara Tuhan dan ikatan silaturahim kepada sesama. Mereka hendaknya berjalan seimbang agar tidak timpang tindih.
Setelah menenggak habis isi gelas, aku segera bangkit dan beranjak ke kamar. Siang ini begitu terik. Hawanya jadi panas dan bikin gerah. Aku masuk ke kamar kemudian menyalakan pendingin ruangan, Mas Abi belum pulang artinya masih berada di luar kota seperti yang dia katakan padaku. Ingin rasanya mandi dan berendam dengan air dingin, benar-benar dingin alias bak air akan kutambahkan beberapa balok batu es agar terasa segar saat menyentuh kulit. Membayangkan bisa mengguyur tubuh dengan air sesegar itu dan berlama-lama di sana membuatku ingin cepat-cepat melepas semua kain yang melekat di tubuh.Namun, bayang indah itu seketika buyar kala suara ketukan membuatku urung melepas seragam yang terasa lengket
Rahmat meminta nomor ponsel Asna ketika ia hendak pamit pulang ke Banyuwangi."Hanya berjaga-jaga saja, aku takut Ning Ze ngilang tanpa jejak." Ya Allah, dia mencoba berkelakar lagi. Ck!“Adik keterlaluan!” Kupukul pelan lengannya yang kokoh. Doakan ningmu ini semoga bisa menemukan sedikit ketenangan. Pintaku dalam hati.Dia terkekeh kemudian, punggung tangannya terulur mengusap pipiku. “Aku – kami semua percaya, Ning Ze kami bisa melewati masa-masa sulit ini.Oh, jangan terlalu banyak menangis di tempat orang, malu." Dia kembali terkekeh. Beruntung kami sedang berada di tempat yang tak terlalu ramai, jadi ketika dia menggoda setidaknya takkan mempermalukan reputasi kami."Aku bisa berbohong pada Mas Habibi tentang tempat persembunyianmu ini, tapi aku tidak bisa membohongi Abah dan Ibu, oke?" Lanjutnya, sambil mengerlingkan mata kanannya.Aku mengangguk. Membohongi mereka adalah nomor kesekian dari pikiranku saat
Kami sampai di pelataran rumah Asna menjelang tengah malam. Perjalanan yang melelahkan, tapi membuat pikiranku sedikit lebih tenang. Saat turun dari mobil, aroma kembang kanthil menyeruak bersama udara tengah malam menyambut kedatangan kami. Keheningan suasana pondok belum tercipta sepenuhnya saat pengeras suara memperdengarkan suara berat seseorang yang sedang memberikan kultum.Sebuah pintu ganda berbahan kayu tanpa ukiran diketuk pelan Rahmat saat sudah berada di depannya. Pada ketukan ketiga, suara kunci diputar terdengar menjawab salam kami.Pintu tersebut terbuka menampilkan sesosok ayu mbak ndalem, dia kemudian menyapa dengan membalas salam, “Wa’alaikumsalam.”“Masyaallah, Ning Zea!” Belum sempat bertanya dari arah belakang kami, Asna datang.Pekiknya gembira, sembari berjalan ke arahku, membuka kedua tangannya dan memeluk dengan hangat. Tidak terlalu lama menunggu, kami dipersilakan masuk ke dalam rumahnya.&ld
Mobil yang membawa kami sudah berada di jembatan Suramadu menjelang pukul sepuluh malam. Kubuka jendela mobil. Angin laut terasa begitu dingin menerpa kulit. Sayang, di malam hari begini kami tidak bisa menikmati pemandangan laut yang terbentang indah yang seperti permadani.Lampu jalan raya serta kelenggangannya seolah menambah syahdu suasana.Sebenarnya kami sempat beradu pendapat ketika keluar Masjid Sunan Ampel– saat kupaksa Rahmat untuk mengantarkanku ke Bangkalan. Aku memang mengatakan kalau ingin pergi berziarah ke Sunan Ampel, dan sengaja tidak mengatakan apapun padanya."Mau ke mana sih, Ning?" Tanyanya dengan nada kesal.Tadi, aku memintanya mengantarku ke Sunan Ampel, Surabaya. Dia tidak curiga pada awalnya, tapi ketika menyadari bahwa tidak ada niatku untuk kembali pulang, akhirnya Rahmat dengan terpaksa mengikuti mauku.Sunan Ampel adalah salah satu dari para wali yang bernama asli Raden Rahmat tersebut diberi
“Baik. Baik. Ummi juga ingin merubah keadaan ini, seandainya kami bisa –” Ummi menahan isaknya. Wanita yang melahirkan suamiku itu terlihat sepuluh tahun lebih tua dalam beberapa menit."Jangan terlalu disesali, mereka yang pergi takkan pernah bisa kembali dan tidak mungkin bisa dihidupkan kembali. Akan tetapi, kita masih bisa menyelamatkan sisa-sisanya. Walau sisa itu tinggal secuil, kita pasti bisa menyelamatkannya." Abah tersenyum sedih kepadaku, dielusnya puncak kepala sembari membaca doa-doa."Sebentar, Ummi ambilkan oleh-oleh buat Kyai Baihaqi dulu." Ummi hampir beranjak tapi kutahan.“Maaf Ummi, tapi Abah kulo sedang mengunjungi Dek Roziq. Kemungkinan di rumah hanya ada Rahmat dan saya,” sergahku memberi alasan cukup masuk akal agar tidak semakin mengulur waktu."Ya wes, kalau begitu biar dimakan Rahmat, dia lagi liburan, kan?" Aku menahannya sekali lagi. Menggeleng dengan tatapan memelas meminta t
“Mat!”“Mmm?”“Jemput aku sore nanti.”“Pulang ke rumah?”“Ya.”“Baiklah! Itu bagus, aku senang mendengarnya!”Aku menutup sambungan telepon.Aku menatap pantulan diri di depan cermin kaca kamar mandi. Menelan ludah kelat kala mendapati bayang-bayang hitam di bawah kelopak mata. Salah satu alasan mengapa wajah pucat itu menjadi seburuk ini. Jarang menikmati tidur nyenyak barangkali yang membuat seringnya aku mengalami halusinasi. Perasaan mencekam membuatku tertekan apalagi setelah Mas Abi tahu tentang keinginanku untuk bercerai. Dia tak memberiku izin keluar rumah selalu memantau apapun yang kulakukan hanya demi memastikan tetap berada di tempat ini.Menunduk, aku mengangkat tangan kanan yang sedikit gemetar ke arah kepala yang mendadak pening. Pelan, kemudian kuturunkan tangan untuk memijit pangkal hidung, memberi sedikit tekana
"Njenengan,sudah memiliki penerus. Saya lihat, Sahra juga sangat mencintaikamu, Mas...., saya yakin tidak butuh waktu lama untuk bisa membuka hati pada wanita yang sudah merelakan seluruh hidupnya untuk membuat seluruh pesantren ini menjadibungah, bahagia. Sebab, penerus kerajaan yang sudah meraka nantikan akhirnya hadir. Sedangkan untuk saya ....”Aku memaksa saliva membasahi tenggorokan, membiarkan silabel bermunculan dengan sempurna.
Ibu, abah, mertua dan adik-adikku datang menjenguk silih berganti, mereka membisikkan kalimat penenang. Mendoakan agar aku bisa kembali pulih. Jika Ummi yang datang, beliau hanya duduk dan membaca Al-Qur’an tak mengajakku banyak bicara. Raut lelah di pelupuk senjanya nampak jelas.Bila Abah dan ibuku yang berkunjung, mereka akan menceritakan banyak hal, mengenai jumlah santri yang ada di pondok kecil keluarga kami yang semakin bertambah, atau membicarakan mengenai keinginan Ibu untuk menambah koleksi tabulampotnya. Tidak ada yang menarik memang, selain obrolan ringan suasana di rumah tempatku dulu dilahirkan,tapi aku menyukainya. Sekuat tenaga ingin menarikku dari pusat kegilaan.
"Pak! Sudah saya bilang untuk tetap di luar!" Alya mencoba mengusir seorang pria. Bukankah pria itu kekasihku? "Tak apa. Biarkan dia di sini, kami ingin bicara berdua," sergahku sebelum Alya mengusir Mas Abi dari sini."Sayang, bagaimana keadaanmu,
Dear pohon cinta,Kulihat wujud dendam yang menyeruak di wajah binatang jalang. Arak-arakan wajah malam kian memasih.Taman violet memilu asih. Kecongkakan violet makin melantang mengutuk malam.Ah, sukma yang terjerat belukar kawanan mawar. Tancapkan duri-durimu ke tubuh yang kian memar. Biar tak ada lagi binatang ataupun kembang yang mengutuk wajah sang mala