Home / Romansa / Tulang Rusuk / 2. Temu Pertama (POV Zea)

Share

2. Temu Pertama (POV Zea)

Author: MaharKu
last update Last Updated: 2021-01-27 00:36:10

Gusti ... jan pakdeku ini. Benar-benar anak yang penurut. Aku yakin setelah beberapa hari yang lalu mbah putri bicara soal jodoh. Beliau pasti langsung menelpon putra sulungnya itu untuk segera melaksanakan titah.

Aku duduk menegakkan punggung. Berdeham kecil agar debar di dalam dada tidak mencuat keluar.

"Diminum dulu kopinya, tanpa gula apalagi pemanis buatan," kata lelaki itu.

Aku melirik ke arah kanan bahu yang terdapat kaca jendela di sana. Mengalihkan rasa yang tidak dapat diartikan dan belum pernah sekalipun merasakannya. Memandang

beberapa orang membawa koper hilir mudik, sedikit mengalihkan pikiran. Lantas, melihat dia mengambil cangkirnya, tanpa sungkan menyesap cairan berwarna hitam itu sambil mengerling ke arahku.

Aih, buat apa dia kode-kodean begitu? Tidak sopan!

Aku mengambil cangkir kopiku, menyesapnya perlahan dan menikmati setiap tetes rasanya.

Lumayan. Ternyata bukan kopi seduhan instan yang biasa dijual dalam bentuk kemasan. Coffee Shop ini memang cukup terkenal karena seduhan kopi Arabikanya. Tidak seperti kebanyakan kafe yang menyuguhkan kopi dalam bentuk kemasan instan.

"Kopi Arabika, dijemur selama seminggu kemudian dimasak di atas tungku dengan suhu tertentu lalu ditumbuk sembari dibacakan ayat Barjanzi, setelahnya diseduh dengan air mendidih, bukankah kopi akan terasa nikmat kalau melalui proses panjang dan melelahkan seperti itu? Untuk kopi dengan filosofinya yang begitu diagungkan, kita harus menyesapnya secara perlahan."

Aku melongo, penjelasan panjang lebarnya sama seperti yang kupikirkan terhadap setiap kopi. Selain penjelasannya juga lebih karena suaranya yang berat seperti mendayu di telinga. Sangat berharap telingaku slah mendengar. Namun, sepertinya masih berfungsi dengan baik.

"Habibi El Manik."

Dia menangkupkan telapak tangannya di depan dada sambil cengengesan, matanya menyipit, senyumnya mengembang membuat tanda lahir pada salah satu pipinya tercetak jelas.

"Oh, temannya Gus Miftah yang pernah kuliah di Yaman?" Pertanyaan basa basi kulemparkan.

"Hehe, itu sudah ada diperkenalan awal tadi, Ning. Ternyata putri sulung Kyai Baihaqi tidak sekalem seperti rumornya."

Hah? Apa maksudnya? Aku mengernyit tak suka. Dia bilang aku tak seperti rumornya? Gosip? Begitukah? Memang dia mengenalku apa? Sejauh mana?

"Tidak. Tidak," jawabnya sambil menggelengkan kepala dengan cepat"Maaf, Ning cuma memang kabar yang beredar memang anda ini, pemalu dan kalem, tapi saat sudah bertemu begini ternyata menyenangkan juga."

"Saya ndak semenyenangkan seperti itu!" jawabku pura-pura ketus dan bernada tinggi.

"Menyenangkan atau tidak, tidak masalah. Saya bisa kok, jadi pawangnya andai tidak bisa ditaklukkan."

Eh, dia pikir aku ini apa?

"Mau menaklukkan saya? Memang punya modal apa?" tanyaku dengan dagu terangkat.

Tidak berniat angkuh, tapi pria ini sudah membuat jantungku kalang kabut sejak awal, dan mana ini tiga sesepuh? Buang air kecil ke Maroco? Lihat tatapannya yang tidak lepas dariku, lalu senyumnya yang ….

Gusti aku seperti tikus yang sedang berusaha lari dari seekor kucing liar. Tatapannya itu seperti hendak menangkap lalu menelanku hidup-hidup.

"Boleh. Saya bisa memberikan seluruh kerajaan saya kepada njenengan,” ucapannya terdengar mantap. Ya Tuhan … lelaki macam apa yang sedang duduk di depanku ini? Percaya dirinya besar sekali. Oh, tidak! Lebih dari itu, mungkin.

"Saya bukan permaisuri."

Cepat kujawab dengan muka kencang, tapi senyumnya lagi-lagi mengembang dengan indah, membuat lesung pipinya muncul kembali. Meruntuhkan segala pertahanan yang kubuat, sedikit menambah getaran yang tadi halus.

"Kalau begitu, maukah njenengan jadi permaisurinya?"

“Apa?”

Apakah di sini ada sesuatu yang terbakar? Seketika mukaku seperti menghangat, tidak. Memanas lebih tepatnya. Getaran yang tadi halus kini seperti meledak.

Kami pun berpisah, setelah Abah dan ibu kami masing-masing sudah tiba. Satu minggu setelahnya, keluarga Mas Habibi datang berkunjung ke ndalem pesantren abah.

Entahlah, tapi waktu menggelinding begitu cepat. Tidak terasa malam akad kami pun digelar. Para tamu undangan saat acara resepsi serta doa dari ratusan Kyai menjadi awal kami melangkah.

Tawa bahagia kami berderai. Hari-hari kami dipenuhi keromantisan pengantin baru. 

Aku diboyong ke rumah mertua, setelah tiga hari berada di tanah kelahiranku.

Hari menyesakkan berpisah dari Ibu, Abah, Mbah kung, Mbah putri, Roziq serta Rahmat adik sepersusuan kami, menjadi kenangan sedih sekaligus manis bagi kami.

"Di rumah Bunyai Abidah, kamu harus pandai - pandai menempatkan diri.

Jangan gegabah.”  Nasihat ibuku terdengar merdu meski kami saling terisak.

Aku bergeser mencium tangan Abah kemudian beliau berkata, "jangan lupakan pesan Abah, bahwa mengasihi Allah yang sempurna itu tidaklah terlalu sulit. Yang jauh teramat sulit adalah mencintai manusia dengan segala ketidaksempurnaan dan kekurangannya. Tidak ada kebajikan tanpa cinta. Tanpa belajar mencintai ciptaan Allah, kita tidak benar-benar mencintai ataupun benar-benar mengenalNya, jaga diri di sana baik-baik. Kamu putri kesayangan kami semua." Abah memeluk. Mengecup keningku lama, merasai kasih sayang yang beliau limpahkan takkan pernah bisa kubalas.

Berganti giliran, kini aku duduk sungkem di depan Mbah putri. 

Perempuan bersurai putih tersebut selalu mengajarkanku untuk menjadi wanita kedah bekti, semangggem miwah sumungkem. Wanita kedah ririh, ruruh, rereh. Wanita kedah Tajem, jinem, premanem. Wanita kedah Wingit, lantip, lepas ing pranggaita. Wanita kedah gemi, nastiti, surti, ngati ati.

Wanita harus bakti dan patuh. Harus lembut, stabil emosinya, teduh, dan tenang saat menghadapi masalah. Wanita harus konsentrasi, teguh, mantap, dan sigap. Wanita harus cerdas, tekun, cermat, teladan, dan peka pada situasi sosial di sekitarnya. Wanita harus pandai berhemat, tidak konsumtif, berhati-hati dalam menyimpan penghasilan suami dan pandai menyusun anggaran.

Mbah Putri selalu mengulang-ulang nasehat Sri Pakubuwono  IX yang tertuang dalam serat Wararatna ini. Juga menghafal bahwa wanita serupa perhiasan yang tak boleh luka atau dilukai.

Seperti nasihat Mbah kung semalam, suami adalah rumah, tempat kita berteduh dari terik dan dahaga. Dia punya selimut yang menghangatkan kita dari dinginnya kehidupan.

Setelah mendengarkan nasihat, kami pun berlayar mengarungi bahtera rumah tangga. Doa, tidak kunjung berhenti meluncur. Berharap senandung lirih yang terluncur dari hati selalu didengar Allah.

Kami melakoni peran suami istri sebaik mungkin. Mas Habibi tidak mengeluh saat pertama kali aku masak lodeh ayam kampung kesukaannya yang keasinan atau saat masih belum hafal jadwal ceramahnya yang seringkali ke luar kota.

Ibu mertua mengajari cara merawat bunga-bunga yang ditanam di halaman belakang. Ada kamboja yang harus disemai dengan memangkas daunnya agar tidak terlalu lebat. Melati dengan perawatan ekstra, karena hama ulat membuat mereka jadi tidak cantik. Kemudian ada kemuning yang tumbuh subur. Bunganya yang hanya satu hingga lima kelopak aromanya akan menguar memenuhi kamar kami. Sebab tanaman tersebut berada persis di pojok tenggara jendela luar kamar kami.

Suami yang selalu simpatik itu senang jika mendapati harum kemuning menyeruak. Mengisi indera penciuman tatkala dia memasuki kamar. Mas Abi selalu memintaku berdiri tepat di depan jendela, menunggunya pulang dari ceramah atau hanya sekedar berkunjung ke ndalem kyai-kyai sepuh.

Seperti malam ini, sudah jam sembilan malam saat Mas Abi mengabari sepuluh menit yang lalu, aku berdiri di balik gagahnya pohon kemuning. Dibatasi jendela selebar lima puluh berkelambu merah muda dengan motif bunga sakura. Hingga sorot lampu mobil Pajero miliknya berhenti tepat di depan kamar. Dia mengembangkan senyumnya yang manis ke arah jendela.

Pernah kutanyakan alasan mengapa Mas Abi selalu memarkir Pajeronya di depan jendela. Katanya, biar aku tidak terlihat dari luar. Agar santri laki-laki tidak bisa memandangku.

Jangankan memandang, mengintip saja para santri itu tidak akan berani melakukannya. Adab sopan santun yang dijunjung tinggi di dalam pondok pesantren sudah menggaris bataskan aturan-aturan wajib tersebut.

Biarlah, aku berdiri menanti kepulangannya, menyambut dengan rambut tergerai, senyum merekah, membaur bersama aroma semerbak kelopak kemuning akan menambah atmosfir keromantis berdua. Begitu kata Mas Abi.

***

Love 

Mahar

Related chapters

  • Tulang Rusuk   3. Kasmaranku (POV Zea)

    Tidak lama, melihat pajeronya terparkir terlihat dari jendela tempat berdiri. Beberapa santri menghambur menyalami. Ada yang mengulurkan kedua tangannya untuk meminta ransel yang menggantung di pundak kiri Gus favoritnya itu. Mereka suka rela menawarkan diri untuk membantu demi secuil berkah.Suamiku yang gagah selalu berusaha untuk menolak, tetapi sama seperti hari sebelumnya. Gus kesayangan itu tidak sanggup menolak setelah melihat tatapan sendu yang nampak jelas terbaca di raut wajah santri-santri tersebut.Aku selalu terkekeh melihatnya pasrah saat kresek atau ransel dan ba

    Last Updated : 2021-01-27
  • Tulang Rusuk   4. Penggalan Kisah Duka (Zea & Habibi)

    Aku mengangguk, lalu mengusap lagi perutku. Tendangan itu antara terasa dan tidak. Mungkin karena kelelahan. Sejak kemarin acara ini dimulai dan sejak kemarin pula, aku ikut membantu mengurusinya."Adek, baik-baik, ya, sayang … kita bobo setelah Abirawuh (datang)," Merasa lebih lelah dari sebelumnya. Menahan sebisa mungkin jantungku yang berdegup lebih kuat, hingga terasa agak sesak.

    Last Updated : 2021-01-27
  • Tulang Rusuk   5. Kehilangan yang sama ( Habibi & Zea)

    POV HabibiSeseorang sedang berdiri di sana. Di depan sebuah kaca tembus pandang.Dia terlihat khusyuk mengamati satu persatu makhluk mungil yang tergeletak di box bayi. Mereka pasti terlihat sangat mungil aneka ekspresi di wajah-wajah kecil itu sudah membuat jari Zea menempel di kaca, ingin menyentuh salah satu dari mereka. Tanpa sadar air mataku menderas saat merasakan ngilu pada dada saat istriku itu menyentuh payudaranya.

    Last Updated : 2021-01-27
  • Tulang Rusuk   6. Duka dan Luka .... (Zea)

    "Ini, Ning Rayya, dia putrinya Ustad Rahmat. Sedang hamil, Nduk.” Ummi memperkenalkan seorang wanita berjilbab lebar. Wajahnya teduh, alisnya seperti ulat bulu tebal yang berjalan beriringan. Hidungnya kecil. Bibirnya merah muda, selalu tersenyum.Aku menyalaminya, dia membuka kedua tangan untuk memeluk dengan hangat, merasa lucu, pelukan kami terganjal perut buncitnya. Tidak lama, saling melepas dan duduk bersama di ruangan tempat ummi biasa menerima tamu. Mirip pendopo terbuka dihiasi kursi panjang sanggup menampung jika tamu yang datang lebih dari sepuluh orang, serta beberapa meja modern khas dari k

    Last Updated : 2021-01-27
  • Tulang Rusuk   7. Ingin Hamil ... bisakah? (Zea)

    Sejak awal kami menikah, Mas Abi memang senang memanggilku "Nduk" panggilan sayang juga khusus katanya. Bahkan di depan Ummi dan Abah, suami kesayangan itu memanggil dengan sebutan yang sama.Lalu beberapa jam kemudian detak menit sudah menunjuk ke angka dua belas. Aku dan Mas Abi sejak sepuluh menit yang lalu sudah dipanggil untuk bertemu Dokter Neelam.Neelam Sari Khan, nama khas orang India.Wajahnya cantik hampir serupa deng

    Last Updated : 2021-01-27
  • Tulang Rusuk   8. Sekali saja ... sebuah kesempatan (Zea)

    Aku sedang menikmati kesendirian di ambenan tempat biasanya kami menepikan diri setelah merasakan semua kesakitan yang begitu luar biasa ini. Merenungkan segala kemungkinan-kemungkinan yang akan kudapatkan sebagai tuah kehidupan. Kita tidak bisa tetap berdiri di tempat yang sama seperti kemarin. Manusia harus belajar dari kemarin dan merenungkan untuk hari esok. Mengusap mushaf terjemahan dalam genggaman, kurasakan tubuh yang kembali gemetaran saat sebuah ayat yang memberikan sebuah nasihat manis mengenai hubungan antara Tuhan dan ikatan silaturahim kepada sesama. Mereka hendaknya berjalan seimbang agar tidak timpang tindih.

    Last Updated : 2021-01-27
  • Tulang Rusuk   9. Seandainya (Zea)

    Setelah menenggak habis isi gelas, aku segera bangkit dan beranjak ke kamar. Siang ini begitu terik. Hawanya jadi panas dan bikin gerah. Aku masuk ke kamar kemudian menyalakan pendingin ruangan, Mas Abi belum pulang artinya masih berada di luar kota seperti yang dia katakan padaku. Ingin rasanya mandi dan berendam dengan air dingin, benar-benar dingin alias bak air akan kutambahkan beberapa balok batu es agar terasa segar saat menyentuh kulit. Membayangkan bisa mengguyur tubuh dengan air sesegar itu dan berlama-lama di sana membuatku ingin cepat-cepat melepas semua kain yang melekat di tubuh.Namun, bayang indah itu seketika buyar kala suara ketukan membuatku urung melepas seragam yang terasa lengket

    Last Updated : 2021-01-27
  • Tulang Rusuk   10. Apa? (Zea)

    Sore menjelang, ummi menahan Zahra dan Gus Alif agar mau menginap di rumah kami, tidak biasanya. Aku hanya terpekur menatap wanita berusia senja itu. Terduduk di salah satu bilah sofa, terhanyut dengan suasana ramai anak-anak Zahra. Zayyan menggeliat di pangkuan ummi, atau Alifa yang terlihat begitudekat dengan Mas Abi, serta Zahira yang bergelayut manja pada ab

    Last Updated : 2021-01-27

Latest chapter

  • Tulang Rusuk   50. Jangan Kasihan (Zea)

    Rahmat meminta nomor ponsel Asna ketika ia hendak pamit pulang ke Banyuwangi."Hanya berjaga-jaga saja, aku takut Ning Ze ngilang tanpa jejak." Ya Allah, dia mencoba berkelakar lagi. Ck!“Adik keterlaluan!” Kupukul pelan lengannya yang kokoh. Doakan ningmu ini semoga bisa menemukan sedikit ketenangan. Pintaku dalam hati.Dia terkekeh kemudian, punggung tangannya terulur mengusap pipiku. “Aku – kami semua percaya, Ning Ze kami bisa melewati masa-masa sulit ini.Oh, jangan terlalu banyak menangis di tempat orang, malu." Dia kembali terkekeh. Beruntung kami sedang berada di tempat yang tak terlalu ramai, jadi ketika dia menggoda setidaknya takkan mempermalukan reputasi kami."Aku bisa berbohong pada Mas Habibi tentang tempat persembunyianmu ini, tapi aku tidak bisa membohongi Abah dan Ibu, oke?" Lanjutnya, sambil mengerlingkan mata kanannya.Aku mengangguk. Membohongi mereka adalah nomor kesekian dari pikiranku saat

  • Tulang Rusuk   49. Asna (Zea)

    Kami sampai di pelataran rumah Asna menjelang tengah malam. Perjalanan yang melelahkan, tapi membuat pikiranku sedikit lebih tenang. Saat turun dari mobil, aroma kembang kanthil menyeruak bersama udara tengah malam menyambut kedatangan kami. Keheningan suasana pondok belum tercipta sepenuhnya saat pengeras suara memperdengarkan suara berat seseorang yang sedang memberikan kultum.Sebuah pintu ganda berbahan kayu tanpa ukiran diketuk pelan Rahmat saat sudah berada di depannya. Pada ketukan ketiga, suara kunci diputar terdengar menjawab salam kami.Pintu tersebut terbuka menampilkan sesosok ayu mbak ndalem, dia kemudian menyapa dengan membalas salam, “Wa’alaikumsalam.”“Masyaallah, Ning Zea!” Belum sempat bertanya dari arah belakang kami, Asna datang.Pekiknya gembira, sembari berjalan ke arahku, membuka kedua tangannya dan memeluk dengan hangat. Tidak terlalu lama menunggu, kami dipersilakan masuk ke dalam rumahnya.&ld

  • Tulang Rusuk   48. Bantu Aku (Zea)

    Mobil yang membawa kami sudah berada di jembatan Suramadu menjelang pukul sepuluh malam. Kubuka jendela mobil. Angin laut terasa begitu dingin menerpa kulit. Sayang, di malam hari begini kami tidak bisa menikmati pemandangan laut yang terbentang indah yang seperti permadani.Lampu jalan raya serta kelenggangannya seolah menambah syahdu suasana.Sebenarnya kami sempat beradu pendapat ketika keluar Masjid Sunan Ampel– saat kupaksa Rahmat untuk mengantarkanku ke Bangkalan. Aku memang mengatakan kalau ingin pergi berziarah ke Sunan Ampel, dan sengaja tidak mengatakan apapun padanya."Mau ke mana sih, Ning?" Tanyanya dengan nada kesal.Tadi, aku memintanya mengantarku ke Sunan Ampel, Surabaya. Dia tidak curiga pada awalnya, tapi ketika menyadari bahwa tidak ada niatku untuk kembali pulang, akhirnya Rahmat dengan terpaksa mengikuti mauku.Sunan Ampel adalah salah satu dari para wali yang bernama asli Raden Rahmat tersebut diberi

  • Tulang Rusuk   47. Memilih Menepi (Zea)

    “Baik. Baik. Ummi juga ingin merubah keadaan ini, seandainya kami bisa –” Ummi menahan isaknya. Wanita yang melahirkan suamiku itu terlihat sepuluh tahun lebih tua dalam beberapa menit."Jangan terlalu disesali, mereka yang pergi takkan pernah bisa kembali dan tidak mungkin bisa dihidupkan kembali. Akan tetapi, kita masih bisa menyelamatkan sisa-sisanya. Walau sisa itu tinggal secuil, kita pasti bisa menyelamatkannya." Abah tersenyum sedih kepadaku, dielusnya puncak kepala sembari membaca doa-doa."Sebentar, Ummi ambilkan oleh-oleh buat Kyai Baihaqi dulu." Ummi hampir beranjak tapi kutahan.“Maaf Ummi, tapi Abah kulo sedang mengunjungi Dek Roziq. Kemungkinan di rumah hanya ada Rahmat dan saya,” sergahku memberi alasan cukup masuk akal agar tidak semakin mengulur waktu."Ya wes, kalau begitu biar dimakan Rahmat, dia lagi liburan, kan?" Aku menahannya sekali lagi. Menggeleng dengan tatapan memelas meminta t

  • Tulang Rusuk   46. Melarung Duka (Zea)

    “Mat!”“Mmm?”“Jemput aku sore nanti.”“Pulang ke rumah?”“Ya.”“Baiklah! Itu bagus, aku senang mendengarnya!”Aku menutup sambungan telepon.Aku menatap pantulan diri di depan cermin kaca kamar mandi. Menelan ludah kelat kala mendapati bayang-bayang hitam di bawah kelopak mata. Salah satu alasan mengapa wajah pucat itu menjadi seburuk ini. Jarang menikmati tidur nyenyak barangkali yang membuat seringnya aku mengalami halusinasi. Perasaan mencekam membuatku tertekan apalagi setelah Mas Abi tahu tentang keinginanku untuk bercerai. Dia tak memberiku izin keluar rumah selalu memantau apapun yang kulakukan hanya demi memastikan tetap berada di tempat ini.Menunduk, aku mengangkat tangan kanan yang sedikit gemetar ke arah kepala yang mendadak pening. Pelan, kemudian kuturunkan tangan untuk memijit pangkal hidung, memberi sedikit tekana

  • Tulang Rusuk   45. Bawa aku pergi (Zea)

    "Njenengan,sudah memiliki penerus. Saya lihat, Sahra juga sangat mencintaikamu, Mas...., saya yakin tidak butuh waktu lama untuk bisa membuka hati pada wanita yang sudah merelakan seluruh hidupnya untuk membuat seluruh pesantren ini menjadibungah, bahagia. Sebab, penerus kerajaan yang sudah meraka nantikan akhirnya hadir. Sedangkan untuk saya ....”Aku memaksa saliva membasahi tenggorokan, membiarkan silabel bermunculan dengan sempurna.

  • Tulang Rusuk   44. Jiwa yang Rusak (Zea)

    Ibu, abah, mertua dan adik-adikku datang menjenguk silih berganti, mereka membisikkan kalimat penenang. Mendoakan agar aku bisa kembali pulih. Jika Ummi yang datang, beliau hanya duduk dan membaca Al-Qur’an tak mengajakku banyak bicara. Raut lelah di pelupuk senjanya nampak jelas.Bila Abah dan ibuku yang berkunjung, mereka akan menceritakan banyak hal, mengenai jumlah santri yang ada di pondok kecil keluarga kami yang semakin bertambah, atau membicarakan mengenai keinginan Ibu untuk menambah koleksi tabulampotnya. Tidak ada yang menarik memang, selain obrolan ringan suasana di rumah tempatku dulu dilahirkan,tapi aku menyukainya. Sekuat tenaga ingin menarikku dari pusat kegilaan.

  • Tulang Rusuk   43. Ingin Sendiri (Zea)

    "Pak! Sudah saya bilang untuk tetap di luar!" Alya mencoba mengusir seorang pria. Bukankah pria itu kekasihku? "Tak apa. Biarkan dia di sini, kami ingin bicara berdua," sergahku sebelum Alya mengusir Mas Abi dari sini."Sayang, bagaimana keadaanmu,

  • Tulang Rusuk   42. Di ambang kehancuran (Zea)

    Dear pohon cinta,Kulihat wujud dendam yang menyeruak di wajah binatang jalang. Arak-arakan wajah malam kian memasih.Taman violet memilu asih. Kecongkakan violet makin melantang mengutuk malam.Ah, sukma yang terjerat belukar kawanan mawar. Tancapkan duri-durimu ke tubuh yang kian memar. Biar tak ada lagi binatang ataupun kembang yang mengutuk wajah sang mala

DMCA.com Protection Status