Tidak lama, melihat pajeronya terparkir terlihat dari jendela tempat berdiri. Beberapa santri menghambur menyalami. Ada yang mengulurkan kedua tangannya untuk meminta ransel yang menggantung di pundak kiri Gus favoritnya itu. Mereka suka rela menawarkan diri untuk membantu demi secuil berkah.
Suamiku yang gagah selalu berusaha untuk menolak, tetapi sama seperti hari sebelumnya. Gus kesayangan itu tidak sanggup menolak setelah melihat tatapan sendu yang nampak jelas terbaca di raut wajah santri-santri tersebut.
Aku selalu terkekeh melihatnya pasrah saat kresek atau ransel dan bahkan terkadang oleh-oleh kecil yang dia bawa harus melalui tangan-tangan kecil santri kami.
Pintu kamar terdengar berderit dan terbuka, suara langkah beserta aroma harum khas tubuhnya yang sudah kukenal kemudian menyapa.
“Hei, kenapa enggak berbalik badan, lihat apa sih?” Dia mendekapku, melingkarkan lengan panjang untuk memeluk pinggangku.
"Mas kalah lagi, udah saya bilang, Mas Abi ndak bisa mengabaikan perhatian mereka, kan?" Mas Abi menyibak rambut yang menutupi kulit leher, kemudian seperti kebiasaannya, dia akan menghirup di sana berlama-lama dan menggigitinya sesekali.
"Hm ... tentu saja, Mas Abi ini seperti muara sungai yang ingin memberikan pohon-pohon, rumput serta alam semesta kehidupan. Menghilangkan dahaga mereka yang kehausan sebab rasa kangen yang begitu besar."Aku mencubit pinggangnya mesra, dia berjingkat dan tertawa ketika melihat bibirku jadi cemberut.
"Sepertinya, Mas harus menjadi mata air di bibir ini, hm?" Aku tergelak dan berlari mengitari ranjang kami.
Beruntung, kamar Abah dan Ummi agak jauh jaraknya dari kamar kami, jadi mereka tidak akan mendengar jerit tawa kami ketika sedang seperti ini. Kamar kami berada di antara ruang samping dan aula, agak menjorok ke belakang berdiri satu tembok dengan sebuah taman buatan, sedang kamar Ummi dan abah posisinya berada persis di depan ruang tengah.
"Asem-asem bandeng kesukaan kamu, mau?" Mas Abi merayu dan tidak pernah gagal selama ini sebab dia tidak pernah membual. Dia selalu mengatakan apa yang dia kerjakan. Saat ini, sudah tertangkap dan duduk di atas pangkuannya. Suamiku yang sempurna ini kembali membuat melayang.
***
Kabar gembira pun datang di dua tahun pernikahan kami, menjadi kado terindah untuk seluruh penghuni pesantren Annur tercinta. Aku akan menjadi seorang ibu setelah sekian lama menanti. Ummi dan abah mertua lebih bahagia. Impian-impian yang selama ini hanya bersembunyi di dalam hati akan terwujud. Buah cinta kami akan segera hadir dan menjadikan tawa dan candanya sebagai pelipur lara. Takkan lagi sepi menjadi penghias rumah kami. Tidak lagi akan kudengar bisik-bisik orang lain tentang anak keturunan yang belum bisa kami miliki. Harapan-harapan itu terus tumbuh.
Maka sebagai wujud syukur, kami pun mengadakan acara tujuh bulanan. Acara syukuran tujuh bulanan diselenggarakan oleh Ummi. Sungguh tawa bahagia dan kekaguman beliau kepada kami seperti tidak ada habisnya.
"Ini, lho, menantuku yang akan memberi cucu.”
Pujian Ummi tidak berhenti dia lantunkan kepada siapa saja yang datang, senyum semringah pun mengiringi setiap perkataannya. Aku hanya bisa tersenyum di dalam hati sambil tidak melepas bait shalawat.
Sibuk ke sana kemari karena harus mengatur segala kebutuhan untuk tujuh bulanan membuat kakiku sedikit membengkak.
Mbak Rom sempat mengingatkan kalau aku tidak boleh terlalu lelah. Kupikir karena ini acara yang diselenggarakan untukku. Tentu saja, aku tak boleh hanya sekedar duduk dan menonton kesibukan kang-kang dan mbak-mbak yang hilir mudik menata berbagai persiapan.
Kemudian sore hari tiba, saat para undangan sudah hadir. Para Bunyai yang datang memberikan doa berkahnya kepadaku. Sungguh hari yang melelahkan sekaligus membahagiakan.
Shalawat dan iringan musik rebana mengalun, memperdengarkan riuh rendahnya. Tidak bisa kupungkiri, airmata ini menetes dan sepertinya enggan berhenti sampai Sahra datang dan memberikan sekotak tissu padaku.
"Njenengan, pucet, Ning," kata Mbak Laila yang baru memberikan segelas susu prenagen.
"Ndak apa-apa, cuma kurang tidur saja mungkin," jawabku.
"Masih diare?" Mbak Laila tahu kalau sudah lima hari ini perutku bermasalah, diare. Rebusan pucuk daun jambu sudah kusantap, tetap masih enggan pergi penyakit itu.
"Njenengan, tidak memberitahukan kondisi ini kepada, Gus Bi?" Mbak Laila tampak khawatir.
Aku menggeleng, Mas Abi sudah dua minggu ini direpotkan dengan berbagai acara persiapan Haul Mbah Yai jadi, aku tak ingin menganggunya dengan hal seremeh ini.
Biar selesai dulu acara malam ini, mendengar para undangan yang tak berhenti memberikan ratusan doa restu, membuatku kembali bersemangat hingga melupakan pening yang sejak tadi menyergap.
Malam telah larut, para undangan sudah tidak lagi memenuhi halaman rumah.
"Mbak, minta tolong, Ning Ze sampean (kamu) antar ke kamar, biar Abi nanti tak suruh manggilkan Zaki," kata Ummi memberi titah. “Mukanya kelihatan pucat.”
Sempat tertegun, ketika ummi bilang mukaku pucat. Sepucat apa? Apa terlalu lelah?
Mbak Laila menggandengku masuk ke kamar kemudian membantuku merebah. “Mbak, nyuwun tulung (minta tolong) buatkan teh panas, ya," pintaku karena perut kembali mulas.
"Inggih (iya), Ning." Mbak Laila segera beranjak setelah memastikan posisi bantal yang menyangga punggung sudah nyaman.
"Mbak?" aku memanggilnya kembali saat langkahnya hampir mencapai daun pintu.
"Bagaimana, Ning? Apa ada lagi?" Wajah khawatirnya mungkin tampak berlebihan. Membuatku terkekeh geli. "Tatapanmu itu, lho, Mbak. Koyo aku ini sakit parah saja.” Bergurau mencoba mengalihkan perasaan tak tenang yang saat ini datang menjelma dalam sebentuk debar kencang di balik rongga dada.
Mbak Laila segera menunduk dan menggelengkan kepalanya cepat, kemudian berkata, "tidak, Ning. Pangapunten (maaf) saya memang cemas, khawatir njenengan kelelahan makanya sampai jadi begini pucatnya, nyuwun sewu (permisi), apa perutnya tidak apa-apa?" wajahnya terlihat tegang, sepasang netranya melihatku dengan tatapan seperti sedang mencemaskan sesuatu. Aku tahu, mungkin seharusnya tidak memaksakan diri tetap terlibat di saat berbadan dua di mana tubuh bisa mengalami kelelahan hebat. Seperti yang kurasakan pada saat ini—sejak sore tadi tepatnya, tetapi membuat orang lain cemas bukanlah keputusan yang baik, maka sembari menahan mulas yang kembali mendera kumencoba menampilkan sosok baik-baik saja.
Mengubah raut muka menjadi lebih bergairah meski tahu pucat dengan bibir sedikit gemetar, kupersembahkan tampilan bibir yang tersenyum lebar sembari mengusap perutku lembut. Tendangan lemah kurasakan dari dalam. Membuat dadaku berdebar menyenangkan. "Ndak apa-apa ini dia nendang, kok." Kujawab lembut meski sebenarnya, meski rasa dingin menyerang punggungku saat ini.
"Mboten (tidak). Ya sudah, saya buatkan teh hangat dulu," ujarnya, kembali melanjutkan langkah keluar dari pintu kamar.
Aku mengangguk, lalu mengusap lagi perutku. Tendangan itu antara terasa dan tidak. Mungkin karena kelelahan. Sejak kemarin acara ini dimulai dan sejak kemarin pula, aku ikut membantu mengurusinya.
***
Love
Mahar
Aku mengangguk, lalu mengusap lagi perutku. Tendangan itu antara terasa dan tidak. Mungkin karena kelelahan. Sejak kemarin acara ini dimulai dan sejak kemarin pula, aku ikut membantu mengurusinya."Adek, baik-baik, ya, sayang … kita bobo setelah Abirawuh (datang)," Merasa lebih lelah dari sebelumnya. Menahan sebisa mungkin jantungku yang berdegup lebih kuat, hingga terasa agak sesak.
POV HabibiSeseorang sedang berdiri di sana. Di depan sebuah kaca tembus pandang.Dia terlihat khusyuk mengamati satu persatu makhluk mungil yang tergeletak di box bayi. Mereka pasti terlihat sangat mungil aneka ekspresi di wajah-wajah kecil itu sudah membuat jari Zea menempel di kaca, ingin menyentuh salah satu dari mereka. Tanpa sadar air mataku menderas saat merasakan ngilu pada dada saat istriku itu menyentuh payudaranya.
"Ini, Ning Rayya, dia putrinya Ustad Rahmat. Sedang hamil, Nduk.” Ummi memperkenalkan seorang wanita berjilbab lebar. Wajahnya teduh, alisnya seperti ulat bulu tebal yang berjalan beriringan. Hidungnya kecil. Bibirnya merah muda, selalu tersenyum.Aku menyalaminya, dia membuka kedua tangan untuk memeluk dengan hangat, merasa lucu, pelukan kami terganjal perut buncitnya. Tidak lama, saling melepas dan duduk bersama di ruangan tempat ummi biasa menerima tamu. Mirip pendopo terbuka dihiasi kursi panjang sanggup menampung jika tamu yang datang lebih dari sepuluh orang, serta beberapa meja modern khas dari k
Sejak awal kami menikah, Mas Abi memang senang memanggilku "Nduk" panggilan sayang juga khusus katanya. Bahkan di depan Ummi dan Abah, suami kesayangan itu memanggil dengan sebutan yang sama.Lalu beberapa jam kemudian detak menit sudah menunjuk ke angka dua belas. Aku dan Mas Abi sejak sepuluh menit yang lalu sudah dipanggil untuk bertemu Dokter Neelam.Neelam Sari Khan, nama khas orang India.Wajahnya cantik hampir serupa deng
Aku sedang menikmati kesendirian di ambenan tempat biasanya kami menepikan diri setelah merasakan semua kesakitan yang begitu luar biasa ini. Merenungkan segala kemungkinan-kemungkinan yang akan kudapatkan sebagai tuah kehidupan. Kita tidak bisa tetap berdiri di tempat yang sama seperti kemarin. Manusia harus belajar dari kemarin dan merenungkan untuk hari esok. Mengusap mushaf terjemahan dalam genggaman, kurasakan tubuh yang kembali gemetaran saat sebuah ayat yang memberikan sebuah nasihat manis mengenai hubungan antara Tuhan dan ikatan silaturahim kepada sesama. Mereka hendaknya berjalan seimbang agar tidak timpang tindih.
Setelah menenggak habis isi gelas, aku segera bangkit dan beranjak ke kamar. Siang ini begitu terik. Hawanya jadi panas dan bikin gerah. Aku masuk ke kamar kemudian menyalakan pendingin ruangan, Mas Abi belum pulang artinya masih berada di luar kota seperti yang dia katakan padaku. Ingin rasanya mandi dan berendam dengan air dingin, benar-benar dingin alias bak air akan kutambahkan beberapa balok batu es agar terasa segar saat menyentuh kulit. Membayangkan bisa mengguyur tubuh dengan air sesegar itu dan berlama-lama di sana membuatku ingin cepat-cepat melepas semua kain yang melekat di tubuh.Namun, bayang indah itu seketika buyar kala suara ketukan membuatku urung melepas seragam yang terasa lengket
Sore menjelang, ummi menahan Zahra dan Gus Alif agar mau menginap di rumah kami, tidak biasanya. Aku hanya terpekur menatap wanita berusia senja itu. Terduduk di salah satu bilah sofa, terhanyut dengan suasana ramai anak-anak Zahra. Zayyan menggeliat di pangkuan ummi, atau Alifa yang terlihat begitudekat dengan Mas Abi, serta Zahira yang bergelayut manja pada ab
Aku melenggang bersamanya, pergi ke koperasi kami. Mbak Sahra ini pintar hitung, bisa dipercaya. Ada beberapa anak karyawan yang kuambil langsung dari banat untuk membantu perempuan ayu ini selama menjalankan koperasi pondok. Kami tidak menjual barang dagangan kami dengan harga tinggi. Sebab tidak semua santri bisa membelinya. Ada kartu khusus yang kusediakan bagi arek pondok yang kurang mampu dari segi keuangan.Tujuanku hanya ingin membantu mereka sesuai dengan kondisi keluarga mereka. Agar semua mendapat fasilitas yang sama. Biar mereka bisa belajar tanpa harus terlalu memikirkan bagaimana uang kiriman orang tua mereka bisa digunakan untuk semua keperluan. Membeli kitab terutama.
Rahmat meminta nomor ponsel Asna ketika ia hendak pamit pulang ke Banyuwangi."Hanya berjaga-jaga saja, aku takut Ning Ze ngilang tanpa jejak." Ya Allah, dia mencoba berkelakar lagi. Ck!“Adik keterlaluan!” Kupukul pelan lengannya yang kokoh. Doakan ningmu ini semoga bisa menemukan sedikit ketenangan. Pintaku dalam hati.Dia terkekeh kemudian, punggung tangannya terulur mengusap pipiku. “Aku – kami semua percaya, Ning Ze kami bisa melewati masa-masa sulit ini.Oh, jangan terlalu banyak menangis di tempat orang, malu." Dia kembali terkekeh. Beruntung kami sedang berada di tempat yang tak terlalu ramai, jadi ketika dia menggoda setidaknya takkan mempermalukan reputasi kami."Aku bisa berbohong pada Mas Habibi tentang tempat persembunyianmu ini, tapi aku tidak bisa membohongi Abah dan Ibu, oke?" Lanjutnya, sambil mengerlingkan mata kanannya.Aku mengangguk. Membohongi mereka adalah nomor kesekian dari pikiranku saat
Kami sampai di pelataran rumah Asna menjelang tengah malam. Perjalanan yang melelahkan, tapi membuat pikiranku sedikit lebih tenang. Saat turun dari mobil, aroma kembang kanthil menyeruak bersama udara tengah malam menyambut kedatangan kami. Keheningan suasana pondok belum tercipta sepenuhnya saat pengeras suara memperdengarkan suara berat seseorang yang sedang memberikan kultum.Sebuah pintu ganda berbahan kayu tanpa ukiran diketuk pelan Rahmat saat sudah berada di depannya. Pada ketukan ketiga, suara kunci diputar terdengar menjawab salam kami.Pintu tersebut terbuka menampilkan sesosok ayu mbak ndalem, dia kemudian menyapa dengan membalas salam, “Wa’alaikumsalam.”“Masyaallah, Ning Zea!” Belum sempat bertanya dari arah belakang kami, Asna datang.Pekiknya gembira, sembari berjalan ke arahku, membuka kedua tangannya dan memeluk dengan hangat. Tidak terlalu lama menunggu, kami dipersilakan masuk ke dalam rumahnya.&ld
Mobil yang membawa kami sudah berada di jembatan Suramadu menjelang pukul sepuluh malam. Kubuka jendela mobil. Angin laut terasa begitu dingin menerpa kulit. Sayang, di malam hari begini kami tidak bisa menikmati pemandangan laut yang terbentang indah yang seperti permadani.Lampu jalan raya serta kelenggangannya seolah menambah syahdu suasana.Sebenarnya kami sempat beradu pendapat ketika keluar Masjid Sunan Ampel– saat kupaksa Rahmat untuk mengantarkanku ke Bangkalan. Aku memang mengatakan kalau ingin pergi berziarah ke Sunan Ampel, dan sengaja tidak mengatakan apapun padanya."Mau ke mana sih, Ning?" Tanyanya dengan nada kesal.Tadi, aku memintanya mengantarku ke Sunan Ampel, Surabaya. Dia tidak curiga pada awalnya, tapi ketika menyadari bahwa tidak ada niatku untuk kembali pulang, akhirnya Rahmat dengan terpaksa mengikuti mauku.Sunan Ampel adalah salah satu dari para wali yang bernama asli Raden Rahmat tersebut diberi
“Baik. Baik. Ummi juga ingin merubah keadaan ini, seandainya kami bisa –” Ummi menahan isaknya. Wanita yang melahirkan suamiku itu terlihat sepuluh tahun lebih tua dalam beberapa menit."Jangan terlalu disesali, mereka yang pergi takkan pernah bisa kembali dan tidak mungkin bisa dihidupkan kembali. Akan tetapi, kita masih bisa menyelamatkan sisa-sisanya. Walau sisa itu tinggal secuil, kita pasti bisa menyelamatkannya." Abah tersenyum sedih kepadaku, dielusnya puncak kepala sembari membaca doa-doa."Sebentar, Ummi ambilkan oleh-oleh buat Kyai Baihaqi dulu." Ummi hampir beranjak tapi kutahan.“Maaf Ummi, tapi Abah kulo sedang mengunjungi Dek Roziq. Kemungkinan di rumah hanya ada Rahmat dan saya,” sergahku memberi alasan cukup masuk akal agar tidak semakin mengulur waktu."Ya wes, kalau begitu biar dimakan Rahmat, dia lagi liburan, kan?" Aku menahannya sekali lagi. Menggeleng dengan tatapan memelas meminta t
“Mat!”“Mmm?”“Jemput aku sore nanti.”“Pulang ke rumah?”“Ya.”“Baiklah! Itu bagus, aku senang mendengarnya!”Aku menutup sambungan telepon.Aku menatap pantulan diri di depan cermin kaca kamar mandi. Menelan ludah kelat kala mendapati bayang-bayang hitam di bawah kelopak mata. Salah satu alasan mengapa wajah pucat itu menjadi seburuk ini. Jarang menikmati tidur nyenyak barangkali yang membuat seringnya aku mengalami halusinasi. Perasaan mencekam membuatku tertekan apalagi setelah Mas Abi tahu tentang keinginanku untuk bercerai. Dia tak memberiku izin keluar rumah selalu memantau apapun yang kulakukan hanya demi memastikan tetap berada di tempat ini.Menunduk, aku mengangkat tangan kanan yang sedikit gemetar ke arah kepala yang mendadak pening. Pelan, kemudian kuturunkan tangan untuk memijit pangkal hidung, memberi sedikit tekana
"Njenengan,sudah memiliki penerus. Saya lihat, Sahra juga sangat mencintaikamu, Mas...., saya yakin tidak butuh waktu lama untuk bisa membuka hati pada wanita yang sudah merelakan seluruh hidupnya untuk membuat seluruh pesantren ini menjadibungah, bahagia. Sebab, penerus kerajaan yang sudah meraka nantikan akhirnya hadir. Sedangkan untuk saya ....”Aku memaksa saliva membasahi tenggorokan, membiarkan silabel bermunculan dengan sempurna.
Ibu, abah, mertua dan adik-adikku datang menjenguk silih berganti, mereka membisikkan kalimat penenang. Mendoakan agar aku bisa kembali pulih. Jika Ummi yang datang, beliau hanya duduk dan membaca Al-Qur’an tak mengajakku banyak bicara. Raut lelah di pelupuk senjanya nampak jelas.Bila Abah dan ibuku yang berkunjung, mereka akan menceritakan banyak hal, mengenai jumlah santri yang ada di pondok kecil keluarga kami yang semakin bertambah, atau membicarakan mengenai keinginan Ibu untuk menambah koleksi tabulampotnya. Tidak ada yang menarik memang, selain obrolan ringan suasana di rumah tempatku dulu dilahirkan,tapi aku menyukainya. Sekuat tenaga ingin menarikku dari pusat kegilaan.
"Pak! Sudah saya bilang untuk tetap di luar!" Alya mencoba mengusir seorang pria. Bukankah pria itu kekasihku? "Tak apa. Biarkan dia di sini, kami ingin bicara berdua," sergahku sebelum Alya mengusir Mas Abi dari sini."Sayang, bagaimana keadaanmu,
Dear pohon cinta,Kulihat wujud dendam yang menyeruak di wajah binatang jalang. Arak-arakan wajah malam kian memasih.Taman violet memilu asih. Kecongkakan violet makin melantang mengutuk malam.Ah, sukma yang terjerat belukar kawanan mawar. Tancapkan duri-durimu ke tubuh yang kian memar. Biar tak ada lagi binatang ataupun kembang yang mengutuk wajah sang mala