Saliva yang hendak kutelan, seperti tersangkut di tenggorokan. Mata memanas, tak percaya pandangan sendiri saat mendapati Mas Abi, suamiku sedang bercumbu mesra dengan perempuan lain.
Adegan itu terus berlanjut hingga sebuah kilat bayang hitam hadir mewujud sebagai diriku. Apa ini? Ingin bergerak tetapi seluruh tubuh terasa kaku.
Oh, Allah apa yang terjadi? Pandangan menyisir di mana tempat ku berdiri saat ini. Melihat dari benda yang ada, sofa, ranjang, ini bukan kamarku.
Aku menatap kembali kepada dua manusia yang kini sedang bergelung saling tindih di atas ranjang. Sayup ku dengar suara Mas Abi ketika menyentuh wanita itu, bukan diriku. Akan tetapi, lelaki berambut rapi itu terus mendesah, memanggil nama, "Ze, sayang...."
Kaku seluruh tubuh, dengan segenap tenaga tersisa berlari ke arah mereka, mencoba memisahkan keduanya sekuat kubisa, tetapi nihil.
Wajah wanita yang bercinta dengan Mas Abi tak bisa kulihat wajahnya. Dalam sekejap, rasa takut berubah menjadi amarah yang siap meledak
"Mas! Lihat, aku di sini!" Sekali lagi berteriak memanggil, tapi suaraku sepertinya tidak terdengar. Mereka tetap melakukan aksi di atas ranjang hingga spreinya kusut. Menjijikkan!
Mulutku terkatup rapat merasai hujaman demi hujaman rasa sakit yang menyerang beringas. Merangsek dan menghancurkan sisa-sisa hatiku yang mati rasa.
"Hai?" Aku menoleh ke belakang. Kudapati seorang wanita paruh baya cantik sedang tersenyum. Dia menatapku dengan seringai yang mengerikan.
"Ap …, siapa kamu?"
Dia terus berjalan ke arahku tatapan matanya seakan hendak menerkam karena berada di ruangan yang tak seharusnya aku berada di sini. Namun, di luar dugaan tubuh wanita itu menembus tubuhku.
Aku terkesiap kaget. Kenapa tubuhku yang utuh ini bisa berubah seperti asap?
Belum reda rasa terkejutku tubuhku seperti tertarik pada sebuah ruangan yang lebih benderang.
Ah, ini siang. Bukankah ini.... ruang tamu yang....
"Aku bisa membuatnya bertekuk lutut padamu." Kata suara itu, pelan tetapi tegas terdengar.
Aku berusaha menghilangkan rasa getir yang tiba-tiba menyergap. Mendengar percakapan dua orang perempuan
Ruangan yang benderang kini menyirami wajah dua orang yang sedang berdiskusi, bukankah itu wajah....
***
Selamat datang di cerita saya yang satu ini, semoga kalian semua menikmati kisah ini dan terima kasih untuk yang sudah mampir serta menyalakan bintang.
Love,
Mahar
Venus Zeaneda rangkaian nama lengkapku, atau juga suka dipanggil dengan Kemuning. Tinggal di salah satu pesantren daerah Benculuk, Cluring. Satu hal yang kuingat siang itu, tiba-tiba Mbah putri menanyakan perihal jodoh di umurku yang genap dua puluh empat tahun. Hanya tersipu mendengar omelan Mbah yang terasa indah di telinga."Enek, cucu temannya Mbah kung, rumahnya Glenmore. Dekat sama rumahmu, masih bujang. Umu
Gusti ... janpakdeku ini. Benar-benar anak yang penurut. Aku yakin setelah beberapa hari yang lalu mbah putri bicara soal jodoh. Beliau pasti langsung menelpon putra sulungnya itu untuk segera melaksanakan titah.Aku duduk menegakkan punggung. Berdeham kecil agar debar di dalam dada tidak mencuat keluar."Dimi
Tidak lama, melihat pajeronya terparkir terlihat dari jendela tempat berdiri. Beberapa santri menghambur menyalami. Ada yang mengulurkan kedua tangannya untuk meminta ransel yang menggantung di pundak kiri Gus favoritnya itu. Mereka suka rela menawarkan diri untuk membantu demi secuil berkah.Suamiku yang gagah selalu berusaha untuk menolak, tetapi sama seperti hari sebelumnya. Gus kesayangan itu tidak sanggup menolak setelah melihat tatapan sendu yang nampak jelas terbaca di raut wajah santri-santri tersebut.Aku selalu terkekeh melihatnya pasrah saat kresek atau ransel dan ba
Aku mengangguk, lalu mengusap lagi perutku. Tendangan itu antara terasa dan tidak. Mungkin karena kelelahan. Sejak kemarin acara ini dimulai dan sejak kemarin pula, aku ikut membantu mengurusinya."Adek, baik-baik, ya, sayang … kita bobo setelah Abirawuh (datang)," Merasa lebih lelah dari sebelumnya. Menahan sebisa mungkin jantungku yang berdegup lebih kuat, hingga terasa agak sesak.
POV HabibiSeseorang sedang berdiri di sana. Di depan sebuah kaca tembus pandang.Dia terlihat khusyuk mengamati satu persatu makhluk mungil yang tergeletak di box bayi. Mereka pasti terlihat sangat mungil aneka ekspresi di wajah-wajah kecil itu sudah membuat jari Zea menempel di kaca, ingin menyentuh salah satu dari mereka. Tanpa sadar air mataku menderas saat merasakan ngilu pada dada saat istriku itu menyentuh payudaranya.
"Ini, Ning Rayya, dia putrinya Ustad Rahmat. Sedang hamil, Nduk.” Ummi memperkenalkan seorang wanita berjilbab lebar. Wajahnya teduh, alisnya seperti ulat bulu tebal yang berjalan beriringan. Hidungnya kecil. Bibirnya merah muda, selalu tersenyum.Aku menyalaminya, dia membuka kedua tangan untuk memeluk dengan hangat, merasa lucu, pelukan kami terganjal perut buncitnya. Tidak lama, saling melepas dan duduk bersama di ruangan tempat ummi biasa menerima tamu. Mirip pendopo terbuka dihiasi kursi panjang sanggup menampung jika tamu yang datang lebih dari sepuluh orang, serta beberapa meja modern khas dari k
Sejak awal kami menikah, Mas Abi memang senang memanggilku "Nduk" panggilan sayang juga khusus katanya. Bahkan di depan Ummi dan Abah, suami kesayangan itu memanggil dengan sebutan yang sama.Lalu beberapa jam kemudian detak menit sudah menunjuk ke angka dua belas. Aku dan Mas Abi sejak sepuluh menit yang lalu sudah dipanggil untuk bertemu Dokter Neelam.Neelam Sari Khan, nama khas orang India.Wajahnya cantik hampir serupa deng
Aku sedang menikmati kesendirian di ambenan tempat biasanya kami menepikan diri setelah merasakan semua kesakitan yang begitu luar biasa ini. Merenungkan segala kemungkinan-kemungkinan yang akan kudapatkan sebagai tuah kehidupan. Kita tidak bisa tetap berdiri di tempat yang sama seperti kemarin. Manusia harus belajar dari kemarin dan merenungkan untuk hari esok. Mengusap mushaf terjemahan dalam genggaman, kurasakan tubuh yang kembali gemetaran saat sebuah ayat yang memberikan sebuah nasihat manis mengenai hubungan antara Tuhan dan ikatan silaturahim kepada sesama. Mereka hendaknya berjalan seimbang agar tidak timpang tindih.