Nirwan dan Leya pulang ke rumahnya masing-masing meninggalkan pasangan m3sum itu karena tak kuat menahan batin.
Tak hanya Leya yang sesampainya di rumah keesokan harinya langsung membereskan pakaian Abram, tapi Nirwan juga melakukan hal yang sama. Dia menyuruh semua pelayan memasukkan pakaian wanita itu yang tak lagi ingin dia debgar namanya ke dalam koper tanpa ada satu pun yang tertinggal. "Ada apa sih Mbok? Kenapa tuan besar pulang-pulang dalam keadaan marah. Dan mau diapakan semua pakaian Nyonya ini, Mbok?" tanya Silvia penuh minat. Dia pelayan paling muda di dalam keluarga Anggara. Dia juga merupakan anak dari Mbok Darmi. Pelayan yang mengabdi puluhan tahun pada kekuarga tersebut. Setelah Nirwan berumah tangga, Nirwan memboyong Mbok Darmi untuk melayaninya dan juga istrinya. "Mbok juga gak tahu, Nduk. Sebaiknya kita tak usah ikut campur!" ucap wanita tua bersanggul itu pada anaknya. Mbok Darmi tahu jikaa putrinya ada rasa pada majikannya itu. Impian menjadi orang kaya yang dilayani banyak pelayan membuat Silvia selalu berangan-angan dipersunting oleh majikannya seperti novel romansa yang sering dia baca. "Sepertinya mereka bertengkar hebat deh, Mbok. Tak biasanya Tuan muda pulang dengan wajah penuh murka. Dan aku yakin Tuan muda juga mengusir wanita itu dari rumah ini." "Hust! Hati-hati bicaramu Nduk. Jangan panggil hanya dengan kalimat 'wanita itu' nanti ada yang dengar bisa bahaya. Nyonya muda!" tegur Mbok Darmi khawatir. Tangannya masih bergerak menyusun pakaian itu dengan rapi. Semua koper yang ada di kamar tersebut sudah diturunkan, ada sekitar dua koper besar dan satu koper tanggung. Tapi masih tak cukup untuk menjadi wadah pakaian Arsya. "Berapa banyak uang yang dihabiskan perempuan itu untuk membeli semua barang-barang ini? Aku yakin ada masalah dan dia diusir oleh Tuan. Bagaimana kalau aku mengambil sebagian barang-barangnya untuk aku jual," otak Silvia berpikir. Mata gadis manis dengan lesung pipi itu berbinar menatap lemari pakaian yang terbuka di hadapannya. Silvia berbalik mendatangi Mboknya yang sedang berusaha menutup koper yang penuh itu dengan susah payah. "Mbok, biar aku saja yang membereskan semuanya. Mbok istirahat saja ya!" "Kamu yakin bisa membereskan semuanya sendirian, Via? Ini banyak sekali loh, nanti kamu membuat kesalahan dan membuat Tuan murka," jawab Mbok Darmi khawatir. "Memangnya aku buat masalah apa Mbok? Mbok ini suuzhon saja sama anak sendiri. Aku tu kasihan sama Mbok yang pasti capek," ucap Silvia manis. Dia mengurut-urut kedua bahu wanita yang telah melahirkannya itu agar terasa rileks dan juga tenang. "Baiklah, putri kecil Mbok sekarang sudah besar dan bisa di andalkan. Mbok akan kembali ke dapur untuk buat makan siang Tuan. Kamu kerjakan yang benar dan jangan bikin masalah," ucap Mbok Darmi menasehati gadis satu-satunya itu. Silvia terlonjat girang di dalam hatinya setelah ibunya pergi dari tempat tersebut. Dia kembali menatap lemari yang terbuka itu untuk memilah dan memilih duit yang akan masuk ke dalam rekeningnya nanti. "Dia tidak begitu cantik tapi kenapa bisa membuat Tuan muda begitu cinta padanya. Aku yakin wanita j4l4n9 itu menggunakan tubuhnya untuk menjerat Tuan muda dulu," gumam Silvia. Dia terus menghina wanita yang sebentar lagi akan membuatnya tertawa karena nasibnya yang tragism ~ ~ ~ "Tuhan memang sangat baik pada hambanya yang terzolimi. Kamu lihat kan Leya, tanpa kamu harus bersusah-susah mencari peluang untuk mendapatkan bukti kejahatan mereka, justru mereka sendiri yang membuka jalan," ucap Asna puas. Matanya memandang hasil dari rekaman yang telah dirinya ambil kemarin. "Apa kamu lihat bagaimana ekpresi wanita murahan itu. Sangat menyedihkan. Aku yakin saat ini dia pasti mengutuk dirinya sendiri," sambung Asna. Tak mendapat respon dari saudaranya, Asna pun menoleh. Didapatinya Leya yang tengah menyandarkan kepalanya dengan malas pada sandaran sofa. Leya tampak tak tak memiliki semangat hidup. "Apa-apaan ini? Seharusnya kamu merayakannya dengan pesta meriah atau makan-makan. Kenapa malah seperti ayam yang tengah menunggu ajal dis3mb3lih. Aku tak suka kamu yang seperti ini!" gerutu Asna. "Kamu tampak begitu bahagia dengan kehancuran rumah tanggaku, ya?" Asna menghela napas panjang. "Bukan kehancuran rumah tanggamu, tapi kehancuran mereka yang sudah berhianat padamu." Leya menegakkan kepalanya. Tak munafik, dia masih merasa sedih dengan apa yang telah terjadi. Serta status janda yang akan disandangnya tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Leya sama seperti wanita di luaran sana. Menginginkan pernikahan sekaali seumur hidup, hidup bahagia bersama suami dan anak-anak mereka nanti. "Tapi hati ini juga ikut sakit Asna. Ini tak seperti yang aku harapkan." Asna meletakkan handycam ke atas meja kemudian menggeser pinggulnya mendekat pada Leya. Tangannya memegang bahu adik sepupunya itu. "Tapi nyatanya inilah yang terjadi. Untuk apa kamu bersedih hati meratapi hubungan yang palsu itu. Aku yakin sejak awal Abram tak mencintaimu, dia hanya memanfaakanmu untuk kepentingan dirinya saja." "Mungkin kamu benar, tapi tetap saja rasanya tak semudah itu untuk melupakan. Bukan berarti aku masih cinta tetapi lebih keperasaan kecewa saja. Apa kamu tahu Asna, beberapa tahun kami bersama dan aku telah terbiasa dengan kahadirannya di rumah ini. Kini aku harus menyesuaikan diri kembali dengan kepergiannya," jelas Leya. Asna menganggukkan kepala mengerti kemudian menghela napas panjang. "Sedih, kecewa, kesal dan rindu itu sebenarnya hal yang wajar sih. Tapi sampai kapan kamu akan larut dengan perasaan itu. Waktu terus berjalan dan tak dapat diputar lagi, Leya." Asna mengeluarkan kotak persegi kecil berwarna putih dari saku celananya. Mengeluarkan gulungan tembakau setinggi kelingking, kemudian menyulutkan ke bibirnya. Gulungan asap putih mulai terbang ke udara dengam aroma nukotin yang membuat rileks dan berakhir dengan kecanduan. "Sejak kapan kamu merokok Asna?" "Sejak hidupku berantakan," jawab Asna singkat. Diusianya yang sudah lewat dari kepala tiga, wanita itu masih betah menyendiri. Menikmati kesedihannya sendiri. Leya tertawa getir. "Kita saudara kenapa nasibnya sama ya? Sama-sama menyedihkan." Leya ikut menarik sebatang dari dalam kotak putih yang sudah terbuka. Dia ambil dan menelisik lebih teliti sebelum menggunakannya. Satu hisapan tak membuatnya nyaman. Dia berharap bisa menjadi tenang tapi sakit tenggorokan yang dia rasakan. Leya meletakkan benda itu ke dalam asbak. Begitu banyak cara untuk mencintai seseorang tapi tak tahu bagaimana cara untuk melupakan seseorang itu dengan mudah.Arsya berdebat dengan satpam yang ada di depan rumahnya. Tiga koper besar sudah berjejer cantik di luar pagar. Dirinya tak diizinkan masuk, pintu pagar pun tertutup rapat tanpa dapat dia terobos. "Pokoknya aku gak mau tahu, cepat buka pintunya. Kamu pikun atau amnesia, hah! Aku Nyonya di rumah ini!" hardik Arsya jengkel. Udara panas terasa begitu menyengat kepalanya. Dia butuh waktu untuk menenangkan diri sebelum kembali ke rumah, itu sebabnya setelah kejadian itu Arsya memilih untuk tinggal sementara di hotel untuk beberapa hari. "Maafkan saya Nyonya. Saya melakukan ini juga atas dasar perintah dari Tuan muda. Dan maaf, tentu kami lebih mendengarkan kata-katanya karena selama ini beliau yang memberikan gaji pada kami."Arsya mengerang kesal dengan kedua tangan yang terkepal."Aku harus bertemu dengan Mas Nirwan sekarang juga."Arsya menerobos masuk lewat pintu kecil yang sedikit terbuka, tapi langkah kaki pak Satpam lebih dulu untuk menghadangnya. "Lepaskan aku! Aku masih istriny
Arsya terbelalak melihat tumpukan piring yang berdiri tegak di hadapannya. Abram susah dia hubungi. Lelaki itu hilang bagai ditelan bumi. Dengan menahan malu Arsya pun harus pasrah di seret ke dapur sebagai pembayar atas makanan yang sudah dia nikmati.Bukan berarti Arsya tak mencari bantuan lainnya. Dia sudah berulang kali melakukan panggilan pada beberapa nomor yang dia kenal. Seperti kata pepatah, teman datang hanya saat butuh dan lenyap saat dirimu terjatuh. Itulah yang dialami Arsya saat ini. "Cepat kerjakan itu! Setelah itu kamu bantu lap meja-meja di depan!" perintah pelayan wanita tadi dengan ketus. Tak ada lagi panggilan Nyonya yang dia sematkan di awal padanya. Arsya menatap wanita yang baru dia ketahui bernama Sheren itu dengan kesal. Tapi bukannya takut, wanita berambut pendek itu justru bertolak pinggang dengan angkuh padanya. "Kenapa? Gak terima? Kalau gak suka tinggal bayar saja apa yang sudah kamu makan. Gampang kan! Ini bergaya
"Sekarang aku harus kemana?" Di dalam mobil Arsya masih diam menatap lurus ke depan. Parkiran Resto sepi tanpa adanya satupun pengunjung. Jalan raya pun hanya ada satu atau dua mobil yang berlalu-lalang silih berganti. "Baru satu hari aku di usir dari rumah, hidupku sudah seperti gelandangan saja. Sekarang aku menginap di mana malam ini?" Arsya melakukan panggilan dengan ponselnya. Menekan kombinasi angka yang tentunya dia ingat diluar kepala. "Ada apa?" sahut suara bas dari seberang sana cukup membuat hati gelisahnya menjadi lega."Mas, aku di usir dari rumah dan malam ini aku gak tahu harus tinggal di mana?" ujar Arsya merengek manja. Untuk sesaat suara yang ada di seberang terdengar hening yang disusul dengan hembusan napas panjang. "Kamu sekarang ada di mana? Biar aku jemput.""Tidak usah! Aku bawa mobil, biar aku saja yang ke sana.""Aku ada di ruko. Kutunggu kamu di sini," balas lelaki yang tak lain a
"Dia minta harta gono-gini padamu?" teriak Asna tak percaya. Leya hanya menjawab dengan anggukan kepalanya yang lemah. Kepalanya sudah mau pecah dengan segala permasalahan yang ada. Belum lagi urusan pekerjaan yang semakin membuatnya tertekan. Leya menenggak orange jus yang masih tersisa di gelas panjangnya. Menu makan siang yang menjadi vaforitnya kini tak begitu menggugah selera. "Benar-benar lelaki tak tahu malu. Aku heran seberapa bodohnya dirimu. Apa yang kamu lihat darinya dulu hingga bersedia menerimanya menjadi suamimu?" celetuk Asna mengungkit masa lalu. Leya menghela napas panjang. Cinta membutakan mata hati dan pikirannya. Dulu leya pikir dengan saling mencinta saja sudah cukup untuk membangun rumah tangga yang bahagia. Ekonomi tak menjadi tolak ukur untuknya karena sebagai wanita mandiri dirinya memiliki karier yang bagus, bisa menjadi penunjang ekonomi rumah tangga mereka jika Abram tak mampu untuk memenuhinya. Nyatanya Abram tak cukup setia untuk menjaga janji suci
Ibarat perang, Leya hanya mempunyai dua pilihan. Pergi laksanakan perintah atasan atau mundur dan mempersiapkan surat pengunduran diri. Tentu Leya memilih untuk tetap maju daripada menjadi pengangguran. Gedung pencakar langit dengan sembilan anak cabang yang tersebar di beberapa kota dan berkembang pesat. Gedung yang dia masuki menjadi gedung yang paling di impikan sebagian masyarakat terutama kaula muda. Setiap tahunnya selalu ada ribuan surat pelamar yang datang ke perusahaan itu walaupun perusahaan tersebut tidak membuat lowongan pekerjaan. "Ada apa, Bu? Kenapa wajah ibu Leya terlihat kusut?" tanya Kevin. Hari ini lelaki itu ditugaskan untuk menjadi asistennya. "Tidak ada. Ayo lanjut jalan." Leya tak ingin menjawab pertanyaan lelaki berambut ikal itu. Mempresentasikan proposal yang dia buat di hadapan lelaki bermata elang yang menatapnya tajam itu. Tatapannya begitu menusuk membuatnya tak nyaman. Waktu terasa berjalan begitu lambat. Dirinya seakan tengah menunggu e
Arsya bergegas mendekati Leya. Tangannya terasa begitu ringan terayun ke wajah mulus wanita cantik yang tengah mengenakan kemeja biru langit dengan belahan dada yang cukup rendah. Size pres body dipadu rok span selutut memamerkan lekuk tubuhnya yang indah. Amarah Arsya semakin meradang, dia menganggap Leya sengaja mengenakan pakaian itu untuk menggoda mantan suaminya. Leya memegang pipi kanannya yang kini terasa panas, tapi belum sepanas hatinya yang kian mengelegak. Atas dasar apa dirinya harus menerima tamparan yang menjatuhkan harga dirinya. Baru saja Nirwan hendak bertindak, skor satu sama antara dua wanita itu pun tercetak setelah tangan Leya dengan cepat terayun membalas perlakuan Arsya padanya. "Kau berani menamparku?" Arsya tak terima. Dia menatap Nirwan sekilas berharap mantan suaminya masih memiliki rasa kasihan padanya. Tapi sayang, harapannya langsung sirna saat lelaki itu justru bergeming menatap Leya khawatir. "Tentu, bahkan aku berani memberikan sepuluh kali
"Kenapa belum pergi!" Suara Nirwam yang cukup tajam menarik kesadaran Leya. Entah apa yang dipikirkan gadis itu. "Tentang pengajuan dari perusahaan Saya?" "Pergilah!" Nirwan mengibaskan tangannya tanpa berbalik sebagai kode untuk mengusir Leya dari ruangannya. Dirinya sedang tak berminat membahas pekerjaan, apalagi pekerjaan yang sudah dia tolak mentah-mentah dari awal. "Susah sekali berurusan dengan lelaki ini." Leya mendengkus di dalam hatinya. Tak hanya kesal, dia pun bingung harus berbuat apa agar lelaki yang masih membelakanginya itu mau memberikan kontrak kerja untuk perusahaannya. "Tolong jangan campur adukkan masalah di antara kita dengan pekerjaan. Apa anda masih mencintai istri Anda?"Nirwan menajamkan matanya kemudian berbalik menatap Leya. Alis lebat itu bersusun seperti semut dengan ribuan pasukan yang saling berhadapan membentuk dua kubu yang siap berperang. Hidung bak perosotan anak tk itu tampak begitu serasi bersanding dengan rahang yang tegas. Sempurna tanpa ca
Setelah makan siang, Cataleya kembali ke kantor dengan tak bersemangat. Ruang kerjanya tak terlalu besar dan bersekat antara satu meja dengan meja yang lainnya. Baru saja Leya duduk, panggilan dari teman sekantor menarik perhatiannya. "Kamu dipanggil Pak Thomas ke ruangannya." "Dipanggil kenapa?" tanya Leya sekedar memastikan. Walau sebenarnya dia juga tidak yakin alasan lelaki galak itu memanggil dirinya. "Gak tahu aku. Temui saja langsung, gih!" Siska langsung berlalu dari ruangan Leya setelah melaksanakan tugasnya. Helaan napas panjang terdengar mengusik kesunyian. Tubuhnya terasa enggan beranjak dari atas kursi. Hari ini terasa begitu berat, Dewi keberuntungan yang selalu ada di dekatnya seskan pergi meninggalkannya bersama sakit hati yang ditorehkan mantan suami serta sahabatnya itu. "Baiklah. Ayo semangat, hari ini tinggal beberapa jam lagi. Aku pasti bisa melewatinya," seru Leya menyemangati dirinya sendiri, itu sangat penting saat tak ada siapa pun yang bisa
Silvia menahan sakit hati mendengarkan bentakan Liliana padanya sore ini. Semua itu disebabkan hanya karena Silvia lamban memasak makanan yang Liliana pinta dan rasanya juga tidak enak.Liliana bahkan sampai melepeh kembali makanan yang sudah masuk ke dalam mulutnya. Rasa asin yang terlalu menyengat berlomba dengan rasa getir dari bumbu yang tidak tanak saat menumis. "Sebenarnya apa saja kerjamu. Beres rumah tidak pernah rapi, masak pun juga tidak bisa." Liliana terus saja mengomel tanpa henti seakan tengah meluapkan kekesalan hati yang telah lama tersimpan. Darmi dan beberapa pelayan lainnya menyaksikan dari sudut ruangan sembari mengerjakan pekerjaan mereka. "Memang gak ada guna dia di sini. Kerjaannya cuma ngawasi seakan dirinya yang nyonya rumah," bisik seorang pelayan yang tengah memotong wortel pada temannya. "Makanya kalau ada Tuan muda dandannya menor banget," balas sebelahnya tak kalah berbisik. "Apa iya?" tanya satunya lagi yang tak pernah memperhatikan hal-hal aneh sel
Burung berkicau merdu di balik jendela mengusik ketenangan sepasang suami-istri yang baru saja terlelap saat subuh menjelang. Leya mengerjabkan matanya perlahan saat cahaya matahari merambat ke retina. Lagi-lagi Leya terbangun dengan yang terasa kram akibat aktifitas mereka semalam. Namun yang berbeda kali ini adalah Leya yang menyodorkan dirinya secara suka rela. Bukan karena cinta melainkan pasrah pada kewajiban semata. Leya tersentak kaget mendengar jam weker di atas nakas yang tiba-tiba berbunyi. Tak ingin bunyi nyaring itu membangunkan makhluk kekar yang tengah terlelap di sampingnya, Leya bergegas mematikan. Baru saja Leya hendak beranjak dari ranjang, tangan kekar Nirwan membelit pinggangnya manja. "Mau kemana?""Kerja," jawab Leya singkat. Tangannya berusaha mendorong lengan suaminya agar menyingkir dari tubuhnya. Tetapi bukannya terlepas, rangkulan tangan itu semakin erat. Nirwan membenamkan wajah ke balik punggung mulus istrinya. Menghirup aroma tubuh pendamping hidupny
Saat bias matahari baru saja muncul memudarkan warna gelap di langit. Nirwan terbangun karena terganggu oleh tangisan seseorang di sebelahnya. Lelaki itu mengucek-ngucek matanya, seraya bangkit dengan kepala yang masih terasa pusing. "Berisik!" sentaknya kasar membuat suara tangis itu terdiam sesaat. Nirwan membuka matanya, betapa terkejutnya dia mendapati wanita yang tengah menangis di sampingnya tak mengenakan busana dan hanya ditutupi selimut tebal."Silvia? Bagaimana kamu bisa ada di sini?" tanya Nirwan syok. Dan lebih syok lagi dia melihat dirinya dalam keadaan yang sama dengan Silvia, tanpa pakaian yang menutupi tubuh mereka. "Apa Tuan lupa? Kalau semalam ... kalau semalam Tuan sudah merampas kehormatan saya, hik hik hik," terang Silvia seraya kembali menangis. Tangisannya terdengar pilu membuat Nirwan semakin pusing. Nirwan memijit pelipisnya kuat, kepalanya terasa berat. Dia berusaha menarik kembali memori yang tersimpan di otaknya tentang kejadian semalam. Ingatannya hanya
Nirwan meminum langsung cairan putih dari dalam botol. Wajah dan matanya telah memerah seperti kepiting rebus yang tersapu angin malam. Nirwan bersandar pada dinding balkon ruang kerjanya, matanya menatap lurus langit yang begitu terang membentuk gugus bintang Lyra.Dalam mitologi Yunani, adalah sebuah harpa emas yang dimiliki oleh Orpheus, seorang musisi legendaris. Orpheus memiliki kemampuan untuk menjinakkan binatang buas dan membuat orang menangis dengan musiknya.Orpheus sangat mencintai istrinya, Eurydice dan ketika Eurydice meninggal, Orpheus turun ke dunia bawah untuk membawanya kembali. Namun Orpheus melanggar syarat dewa dan harus kembali ke dunia atas tanpa Eurydice.Lyra sering dikaitkan dengan musik, keindahan, dan kesedihan. Kisah Orpheus dan Eurydice menjadi simbol cinta yang abadi dan kehilangan yang menyakitkan. Nirwan terkekeh getir, dia merasa hidupnya sama seperti Orpheus. Sama-sama menyedihkan tanpa orang yang disayang.Sayang? Apakah dia menyayangi istrinya atau
Sepulang dari kantor, Leya tidak membawa mobilnya pulang ke rumah. Dirinya lebih memilih ke suatu tempat untuk menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Leya benar-benar merasa sepi seorang diri. Dia duduk termenung di sebuah taman memandangi dedaunan yang tengah bergoyang. Sebagai seorang anak yatim-piatu kehilangan Asna membuatnya hilang tumpuan bersandar dan kini hidupnya dihadapkan oleh problematik baru di tempat kerja. Berkali-kali Leya menghapus air matanya, malang terasa di badan. Di dalam hati dia terus bertanya-tanya pada Tuhan apa kesalahannya sehingga cobaan terus datang bertubi-tubi tanpa henti dalam hidupnya. Seperti estafet yang membuatnya lelah. Leya selalu bermimpi menikah sekali seumur hidup dan membangun keluarga harmonis, namun nyatanya pengkhianatan justru menjadi luka yang amat dalam di hatinya. Langit seakan mengerti perasaannya, rintik-rintik hujan pun mulai turun dan dalam sekejap menjadi lebat. Membubarkan sekelompok orang yang asik bermain menjadi koca
Leya dan Nirwan kembali ke rumah dan kembali masuk ke dalam kamar mereka. Pertengkaran hebat pun terjadi di antara keduanya. "Hebat, istriku sekarang sungguh hebat. Apa aku kurang cukup memuaskanmu hingga kamu melirik lelaki lain di luaran sana, hah!" "Jaga bicaramu! Aku tidak serendah itu!" sungut Leya tak terima. Secara tidak langsung Nirwan telah menyamakan dirinya terhadap mantan istrinya dulu. "Lalu apa namanya? Pantas saja kamu kekeuh untuk terus menutupi status pernikahan kita, ternyata agar kamu bisa menggoda laki-laki lain di belakangku rupanya!" balas Nirwan tak kalah menyunggut. Nafasnya naik turun karena gelegak api amarah di hatinya. "Apa kamu lupa perjanjian kita. Kita menikah hanya karena—," "Persetan dengan perjanjian itu! Atau apa pun alasan dibalik pernikahan ini. Yang pasti saat ini kamu adalah istriku dan pernikahan kita sah secara hukum dan agama. Aku akan mengatur ulang semuanya dan aku akan mengabarkan pada publik tentang pernikahan kita agar kejadian
Ini pagi kesekian kalinya Leya bangun dalam keadaan tubuh terasa remuk. Lagi-lagi Nirwan memp3rk0s4nya, tapi dapatkah dirinya menyebut itu sebuah p3merk0saan jika nyatanya status mereka halal secara agama. Leya mencengkram ujung selimut erat seraya menahan sesak yang bergumul di dadanya. Ada rasa sakit akibat perlakuan suaminya tersebut, bukan hanya tubuhnya tetapi juga hatinya. Dirinya saat ini tak ubahnya seperti p3lacur halal yang dipaksa untuk memuaskan tanpa perlu ditanya apakah dia ridho memberikan tubuhnya. Pintu kamar mandi terbuka, Nirwan keluar dengan handuk yang melingkar di pinggang. Leya seakan tengah dejavu akan adegan yang pernah dirinya lalui. Tangannya bergerak menghapus air mata yang baru saja menetes. Dirinya tak ingin terlihat seperti manusia menyedihkan."Ada apa? Apa tubuhmu sakit?" tanya Nirwan lembut seraya mendekat. Nirwan seakan menjadi orang yang berbeda dengan Nirwan yang bersamanya semalam. Leya tak menjawab ataupun menoleh. Dia memilih untuk turun da
Malam minggu sepulang kantor Leya memutuskan untuk nongkrong di cafe. Dia butuh hiburan untuk menjernihkan pikirannya yang terus bergelut sehingga untuk bernapas saja Leya terasa sesak.Takdir sedang ingin bermain-main dengannya sampai-sampai Leya tak mampu lagi untuk tertawa. Live musik terdengar begitu merdu, suara penyanyi perempuan melantunkan tembang hit masa kini. Leya seakan terbawa suasana mudanya dulu. Dulu tempat seperti ini hampir setiap dua sampai tiga kali dalam seminggu dia datangi. Leya menikmati secangkir espresso miliknya, di tatapnya Cindy yang tengah senyum-senyum sendiri dengan gawainya. Sepertinya dia tengah berbagi pesan pada sang kekasih yang tengah tugas di luar kota.Dimana ada Cindy pasti ada Riko. Cindy yang gencar menjodohkan Leya bersama Riko sehingga selalu menyeret lelaki itu setiap mereka nongkrong bersama. "Beb, pacarku sudah pulang dan dia jemput aku di depan. Jadi sorry, aku gak bisa menemani kalian lama-lama di sini," ujar Cindy. Senyum bahagia s
Liliana uring-uringan di ruang tamu. Tangannya membolak-balik majalah fashion dengan perasaan tak menentu. Genap tiga hari putra dan menantunya tak pulang ke rumah tanpa kabar, dia ingi menelpon tetapi ada rasa gengsi di hatinya. Liliana juga marah dengan sikap putranya yang tak menghubungi dirinya seakan tak perduli dengan kondisi sang Mama yang tentunya akan baik-baik saja. "Kenapa mereka belum pulang juga?" gumam Liliana. Silvia yang mendengar itupun berceletuk."Sepertinya Nyonya tampak kesal. Ada apa, Nya?"Liliana menoleh sekilas seraya mencebikkan bibirnya. "Sok tahu kamu. Gak lihat saya sedang baca majalah," balasnya tak ramah.Silvia tersenyum tipis. "Dari raut wajah cantik Nyonya saja sudah jelas terlihat. Nyonya besar pasti lagi mikirin Tuan Nirwan kan, Nya," balas Silvia. "Aku masih gak habis pikir sampai saat ini, Via. Kenapa Nirwan bisa-bisanya menikah dengan sahabat istrinya itu. Apalagi suami wanita itu dengan mantan istrinya Nirwan selingkuh." Liliana masih saja