Arsya bergegas mendekati Leya. Tangannya terasa begitu ringan terayun ke wajah mulus wanita cantik yang tengah mengenakan kemeja biru langit dengan belahan dada yang cukup rendah. Size pres body dipadu rok span selutut memamerkan lekuk tubuhnya yang indah. Amarah Arsya semakin meradang, dia menganggap Leya sengaja mengenakan pakaian itu untuk menggoda mantan suaminya. Leya memegang pipi kanannya yang kini terasa panas, tapi belum sepanas hatinya yang kian mengelegak. Atas dasar apa dirinya harus menerima tamparan yang menjatuhkan harga dirinya. Baru saja Nirwan hendak bertindak, skor satu sama antara dua wanita itu pun tercetak setelah tangan Leya dengan cepat terayun membalas perlakuan Arsya padanya. "Kau berani menamparku?" Arsya tak terima. Dia menatap Nirwan sekilas berharap mantan suaminya masih memiliki rasa kasihan padanya. Tapi sayang, harapannya langsung sirna saat lelaki itu justru bergeming menatap Leya khawatir. "Tentu, bahkan aku berani memberikan sepuluh kali
"Kenapa belum pergi!" Suara Nirwam yang cukup tajam menarik kesadaran Leya. Entah apa yang dipikirkan gadis itu. "Tentang pengajuan dari perusahaan Saya?" "Pergilah!" Nirwan mengibaskan tangannya tanpa berbalik sebagai kode untuk mengusir Leya dari ruangannya. Dirinya sedang tak berminat membahas pekerjaan, apalagi pekerjaan yang sudah dia tolak mentah-mentah dari awal. "Susah sekali berurusan dengan lelaki ini." Leya mendengkus di dalam hatinya. Tak hanya kesal, dia pun bingung harus berbuat apa agar lelaki yang masih membelakanginya itu mau memberikan kontrak kerja untuk perusahaannya. "Tolong jangan campur adukkan masalah di antara kita dengan pekerjaan. Apa anda masih mencintai istri Anda?"Nirwan menajamkan matanya kemudian berbalik menatap Leya. Alis lebat itu bersusun seperti semut dengan ribuan pasukan yang saling berhadapan membentuk dua kubu yang siap berperang. Hidung bak perosotan anak tk itu tampak begitu serasi bersanding dengan rahang yang tegas. Sempurna tanpa ca
Setelah makan siang, Cataleya kembali ke kantor dengan tak bersemangat. Ruang kerjanya tak terlalu besar dan bersekat antara satu meja dengan meja yang lainnya. Baru saja Leya duduk, panggilan dari teman sekantor menarik perhatiannya. "Kamu dipanggil Pak Thomas ke ruangannya." "Dipanggil kenapa?" tanya Leya sekedar memastikan. Walau sebenarnya dia juga tidak yakin alasan lelaki galak itu memanggil dirinya. "Gak tahu aku. Temui saja langsung, gih!" Siska langsung berlalu dari ruangan Leya setelah melaksanakan tugasnya. Helaan napas panjang terdengar mengusik kesunyian. Tubuhnya terasa enggan beranjak dari atas kursi. Hari ini terasa begitu berat, Dewi keberuntungan yang selalu ada di dekatnya seskan pergi meninggalkannya bersama sakit hati yang ditorehkan mantan suami serta sahabatnya itu. "Baiklah. Ayo semangat, hari ini tinggal beberapa jam lagi. Aku pasti bisa melewatinya," seru Leya menyemangati dirinya sendiri, itu sangat penting saat tak ada siapa pun yang bisa
Lilin kecil hidup di beberapa sudut kamar mandi, selain sebagai aroma terapy juga berfungsi sebagai penerangan. Cataleya merealisasikan ucapannya tadi. Berdiam diri di kamar mandi seraya bersandar di dalam bathtub yang diberi cairan khusus dan juga taburan kelopak bunga mawar merah serta minyak esensial. Matanya menatap dalam layar yang dia susun di ujung kaki, menampilkan gambar adegan romantis dari sepasang kekasih yang dimabuk cinta. Diteguknya secara perlahan cairan merah di gelas yang ada dalam genggamannya. Leya cukup paham agama sehingga dirinya tak akan menyentuh minuman beralkohol. Cairan dalam gelasnya tak lebih dari sirup beraroma choco pandan yang warnanya menyerupai anggur. "Bodoh! Terlalu mudah luluh dengan kata manis!" gumamnya mengomentari dengan geram. Dirinya seakan tersindir dengan alur cerita yang hampir mirip kisah hidupnya kini. Ponselnya berdering, memaksa dirinya mengalihkan pandangan dari layar monitor ke benda pipih yang dia letak tak jauh dari
Cataleya pergi ke hotel bintang lima yang cukup besar dan terkenal dengan sebuah harapan di hatinya. Dia tidak datang ke sana untuk chek in, melainkan untuk bertemu dengan seseorang yang telah membuat janji dengannya. Pintu restoran mewah itu dibukakan oleh pelayan dan langsung mempersilakan Leya masuk. Meja nomor 6 menjadi tujuannya. Di sana sudah duduk seorang lelaki. Melihat postur tubuh lelaki itu dari belakang, Leya begitu yakin jika itu bukanlah lelaki yang dia harapkan. "Hallo Nona Cataleya." Federick berdiri dan mengulurkan tangannya saat Leya sudah berdiri di hadapannya dengan perasaan kecewa. "Kenapa anda, Pak Federick?" tanya Leya tak lupa membalas uluran tangan lelaki berambut keriting itu. Mereka berdua pun kembali duduk. Frederick memanggil pelayan dan memesankan makanan setelah mendapatkan konfirmasi dari orang yang bersangkutan tentang menu makanan apa yang mau dimakannya. "Kenapa anda yang datang ke sini pak Federick. Kenapa bukan Pak Nirwan saja?" tanya
Lelaki berambut panjang yang terikat di belakang menyerupai ekor kuda itu menyerahkan segelas cocktail pada Leya. Jika biasanya minuman sejenis cocktail mengandung alkohol, tapi yang ini tidak melainkan soda sebagai penggantinya.Dia mulai santai menikmati minumannya secara perlahan. Rasa buah-buahan terasa menyegarkan di mulutnya serta sedikit rasa pahit yang menggetarkan lidah.Sepasang mata liar yang sedari tadi memperhatikannya pun mulai mendekat. Duduk di samping Leya dan mulai mengajaknyaa berbincang. "Sendirian saja? Mau aku temani?" suara basnya terdengar menggoda di telinga. Leya melirik sekilas. Dia langsung menunjukkan ekpresi tak berminat membuat lelaki itu menjadi semakin tertantang. Siapa yang tak tergoda dengan wajah cantik serta lekuk tubuh indah di balik dres yang dia kenakan walau dengan potongan yang tak terlalu ketat."Sombong banget sih cantik. Sendirian di tempat seperti itu tidak menyenangkan." Lelaki itu mulai bertindak nakal. Tangannya mengelus dagu Leya
Cahaya matahari merambat masuk melalui jendela. Mata sayu dengan bulu lentik itu terbuka perlahan. Aroma antiseptik dan obat-obatan tercium begitu pekat di indra penciumannya. Hal yang tampak pertama kali di mata Leya adalah langit-langit putih di mana ada tiang tinggi yang tergantung tabung infus. Kepala Leya terasa begitu berat hanya sekedar untuk menoleh. Suara lirih pun terdengar begitu memprihatinkan. "Jangan banyak bergerak! Istirahatlah dulu, kamu belum benar-benar pulih!" Suara itu terdengar begitu lirih di telinga. Ada getar kepanikan yang tertangkap."As-na, air," pinta Leya susah payah. Tenggorokannya terasa begitu kering.Wanita yang tak lain adalah Asna langsung menyodorkan pipet ke mulut Leya. Leya merasa lega saat cairan bening itu perlahan masuk dan membasahi tenggorokannya. "Bagaimana bisa aku berada di sini? Siapa yang menolongku?""Kalau bukan di tempat ini, lalu kamu maunya di mana? Kau membuat jantungku hampir berhenti. Aku tak akan bertanya banyak hal padamu
"Mau kemana lagi kamu? Apa tak bisa sehari saja tak keluar rumah?" Suara bass Abram terdengar menggema di rumah petak kecil yang mereka sewa. Dia menatap istrinya tak suka. Meja makan yang seharusnya tempat terhidangnya makanan justru dipenuhi peralatan make up yang berserakan. Arsya sudah cantik dengan pakaian terbaiknya. Make up dari brand ternama juga sudah melekat di wajahnya. "Gak bisa! Daripada sibuk mengomel jam segini, lebih baik kamu pergi keluar cari kerja atau apalah, Mas. Cari duit sana yang banyak!" "Lancang sekali kamu berkata seperti itu padaku. Aku suamimu, bukan tuyul pencetak uangmu!""Suami? Suami yang mau bergantung hidup sama istrinya maksudmu? Cuih! Aku tak sudi. Aku bukan Cataleya yang bodoh itu, ya Mas!" "Arsya!" Mata Abram semakin menyala. Darahnya semakin mendidih dengan kedua tangan yang terkepal di kedua sisi. Ucapan Arsya terasa melucuti harga dirinya sebagai seorang lelaki. Sejak tinggal bersama dan Abram tak lagi bisa memenuhi keinginannya, sikap
Liliana uring-uringan di ruang tamu. Tangannya membolak-balik majalah fashion dengan perasaan tak menentu. Genap tiga hari putra dan menantunya tak pulang ke rumah tanpa kabar, dia ingi menelpon tetapi ada rasa gengsi di hatinya. Liliana juga marah dengan sikap putranya yang tak menghubungi dirinya seakan tak perduli dengan kondisi sang Mama yang tentunya akan baik-baik saja. "Kenapa mereka belum pulang juga?" gumam Liliana. Silvia yang mendengar itupun berceletuk."Sepertinya Nyonya tampak kesal. Ada apa, Nya?"Liliana menoleh sekilas seraya mencebikkan bibirnya. "Sok tahu kamu. Gak lihat saya sedang baca majalah," balasnya tak ramah.Silvia tersenyum tipis. "Dari raut wajah cantik Nyonya saja sudah jelas terlihat. Nyonya besar pasti lagi mikirin Tuan Nirwan kan, Nya," balas Silvia. "Aku masih gak habis pikir sampai saat ini, Via. Kenapa Nirwan bisa-bisanya menikah dengan sahabat istrinya itu. Apalagi suami wanita itu dengan mantan istrinya Nirwan selingkuh." Liliana masih saja
"Keluar kalian semua! Kembalikan anakku! Kalian pembunuh!" teriakan nyaring itu terdengar bergema hingga keluar ruangan. Bersamaan dengan itu suara benda-benda berjatuhan serta pecah pun ikut terdengar.Leya masuk ke ruangan itu dengan perasaan campur aduk. Kaget melihat kondisi ruangan yang berantakan serta kasihan melihat saudaranya yang terlihat begitu menyedihkan.Leya memeluk tubuh Asna. Dia mendekap kuat seraya menangis membuat Asna yang tengah mengamuk menjadi diam. "Na, sadarlah! Ini aku, aku mohon hentikan ini!" bisik Leya lirih. Asna mendorong tubuh Leya kasar hingga Leya terdorong beberapa langkah ke belakang. Nirwan yang melihat itu sontak langsung menangkap tubuh istrinya agar tidak terjatuh terjerembab ke lantai. Senyum mengejek Asna terbit di bibir pucatnya. Dia menatap Leya dan Nirwan penuh benci. "Apa yang kamu lakukan?" sentak Nirwan tak terima. Tatapan matanya tajam seakan ingin membunuh membuat Asna terdiam di tempat. Nirwan paham jika wanita di hadapannya itu
Sesampainya di rumah sakit, dari balik jendela Nirwan bisa bernapas lega melihat sosok yang terbaring di atas ranjang bukanlah istrinya.Nirwan pun melangkah masuk yang menarik atensi Leya untuk menoleh. Leya berdiri setelah menyadari siapa yang datang. Leya tak mengucapkan satu patah pun, dia merangkul tubuh Nirwan erat dan menumpahkan kembali air mataa tanpa suara. Tubuh ringkihnya bergetar hebat. Entah dapat dorongan dari mana, lelaki itu pun membalas pelukan istrinya serta membelai lembut rambut hitam terikat berantakan itu. "Tenanglah! Aku di sini!"Satu kalimat pendek yang Nirwan ucapkan seperti sihir yang langsung meredakan kegelisahan hati Leya. Tangis sesenggukan itu seketika terhenti. Leya yang lelah akhirnya pingsan di dalam dekapan suaminya. Nirwan panik memanggil perawat untuk memeriksa istrinya. ~ ~ ~Pagi yang cerah menyinari kediaman keluarga Anggara. Semua yang ada di rumah sudah sibuk dari subuh tadi dengan pekerjaan mereka masing-masing."Mereka suda
Leya tak dapat berkata apa-apa setelah melihat kondisi Asna yang menyedihkan. Lidahnya terasa kelu. Asna bahkan tak lagi sadar saat Leya sampai di sana. Setelah menandatangi berkas-berkas, Asna langsung di bawa ke ruang operasi untuk melakukan tindakan selanjutnya. Perawat mengatakan Asna di bawa dalam keadaan pendarahan hebat. Bayi di dalam kandungannya tak dapat diselamatkan dan tak hanya itu, rahimnya yang robek mengharuskan wanita itu menjalani operasi pengangkatan rahim secepatnya. Asna tentu saja menolak keras hingga menjerit histeris sehingga dokter tak dapat melakukan prosedur selanjutnya. Itu sebabnya kehadiran Leya sangat diharapkan sebagai penanggung jawab. Beruntung, Asna mau memberikan kontak Leya pada pihak rumah sakit. Lebih dari dua jam operasi itu berjalan, namun belum juga menunjukkan akan selesai. "Ya Allah, lindungi dia!" pinta Leya lirih penuh harap. Cairan bening mulai menganak sungai di sudut mata seraya menunggu pertahanan tanggul jebol dan mengalir
Cahaya matahari yang merambat masuk dari jendela terpantul ke mata Leya. Leya menggeliat dan membuka matanya perlahan.Masih terasa di tubuhnya sisa percintaan mereka hingga subuh menjelang. Percintaan? Apa yang terjadi diantara mereka bisa disebut bercint4 jika nyatanya semua itu terjadi karena pemaksaan. Leya menatap ke samping, tampak Nirwan masih terlelap dengan dengkuran halusnya. Ada amarah di dalam hatinya atas perlakuan Nirwan semalam walau sebenarnya apa yang mereka lakukan bukanlah sebuah dosa. Mereka sudah menikah sah secara hukum dan agama. Tetapi apa yang terjadi tadi malam membawa penyesalan yang dalam di hati Leya. Dia mulai bergerak perlahan menuruni ranjang dengan tubuh yang terasa remuk redam. Di dalam kamar mandi, guyuran air dari shower terasa seperti pijitan lembut di tubuhnya. Lama Leya menikmati mandinya seakan tubuhnya sangat kotor dan harus dibersihkan dengan teliti agar tak ada yang terlewat.Setelah mandi, Leya hanya menggunakan handuk yang melilit dada
Leya yang berada di mobil tampak cemas. Bagaimana tidak, dirinya menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana mantan suaminya itu dihajar habis-habisan oleh suaminya yang sekarang. Dalam hati Leya yang paling dalam masih terbesit perasaan tak tega. Akan tetapi ada satu hal lagi yang membuat kecemasan Leya semakin meningkat. "Berhenti! Apa kamu mau kita mati di mobil ini!" jerit Leya ketakutan. Kecepatan mobil itu sudah di atas rata-rata membelah jalanan kota di malam hari. Masih ada beberapa mobil yang berlalu lalang dan di salip Nirwan begitu saja. Leya mencengkram sabuk pengamannya erat seraya memejamkan mata. Dalam hati dia terus merapalkan mantra pada sang pencipta dan berharap hari ini bukanlah hari terakhir dia menatap dunia. Cittt!Mobil yang tiba-tiba berhenti mendorong tubuh Leya ke depan hingga keningnya tak sengaja menubruk sesuatu yang padat tapi lembut. Leya pun membuka mata, tepak tangan Nirwan tepat berada di keningnya. Belum sempat Leya menoleh, Nirwan suda
Setelah perdebatan panjang itu, selama beberapa hari Leya berusaha mengubah jadwalnya. Dia yang biasanya pulang malam terpaksa pulang lebih awal dan membawa pekerjaannya pulang untuk dikerjakan di rumah. Ditambah sifat Nirwan yang kembali ke mode awal, cuek dan dingin membuat Leya mulai merasa lelah. Hari ini Leya memutuskan kembali pulang ke rumahnya. Tapi sebelum pulang dia menyempatkan diri mampir ke sebuah air mancur yang ada di taman kota.Dulu Leya sangat suka duduk di sana, menikmati aneka jajanan yang berjejer tak jauh dari air mancur seraya menikmati gemericik air yang jatuh. Sebuah piring siomay tersodor ke arahnya. Tentu saja itu membuatnya bingung karena dia tak merasa memesan makanan itu, atau mungkin belum. "Saya tidak memesannya, apa mamang salah orang?" ucap Leya kemudiaan mendongakkan kepala menatap ke arah sang penjual. Betapa terkejut dirinya setelah tahu siapa gerangan yang memberikan makanan itu padanya. "Mas Abram? Kenapa kamu bisa ada di sini?""Sama sepert
"Bukan begitu maksudku, Ma—,""Terus maksud kamu bagaimana?" Liliana menarik dagu Leya agar wajahnya terangkat dan pandangan mata mereka kembali saling bertemu. "Aku paling tidak suka melihat menantuku pulang malam-malam begini." Liliana melepaskan tangannya, dia berbalik dan kembali duduk di sofa dengan gaya nyonya angkuhnya yang tak pernah lepas dari karakter dirinya. "Ok, kamu wanita karier dan berbeda dari istri Nirwan sebelumnya. Tapi bukan berarti kamu mengabaikan tanggung jawabmu sebagai seorang istri. Kalau kamu setiap pulang kerja malam begini, lalu fungsimu suami bagimu apa? Apa kurang anakku memberikan nafkah padamu?"Leya menggelengkan kepala. Bahkan jumlah yang diberikan Nirwan padanya cukup untuk dia berfoya-foya tanpa harus capek-cepek bekerja. Tapi bukan itu masalahnya. Pernikahan mereka yang hanya dalam hitungan bulan lagi berakhir ini tak dapat Leya jadikan pondasi keuangannya. Saat mereka berpisah nanti, bagaimana hidupnya jika tak memiliki penghasilan dan juga p
"Ini tehnya Nyonya." Silvia menyuguhkan secangkir kecil teh chamomile pada meja kecil di samping Liliana. Liliana tak menjawab dan hanya melirik sedikit kemudian memberi kode pada Silvia untuk menyingkir dari dekatnya segera. Pagi ini raut wajah Liliana begitu suram tak enak di pandang. Wanita paruh baya yang tetap modis diusia senja itu tampaknya masih kesal dengan kenyataan yang baru saja dia dengar, ditambah perdebatan yang terjadi antara dirinya dan putranya pada malam itu menghadirkan kebencian yang semakin dalam untuk Leya. Sampai-sampai saat Leya pergi ke kantor Lilian tak berniat untuk menyapa dan memilih untuk diam duduk di meja makan sembari menyantap makanannya. "Maaf, Nyonya. Apa anda ingin teman ngobrol, saya bisa menjadi teman ngobrol yaang baik untuk Anda," ujar Silvia menawarkan diri. Liliana menoleh, menatap Silvia dari ujung kepala ke ujung rambut dengan sinis. "Pahami statusmu. Jangan terlalu banyak berharap atas apa yang tak sanggup kamu dapatkan. Dan aku jug