~ PASANGAN BERZ!N4 ~
Rintik hujan yang turun tak menyurutkan hati seorang Cataleya untuk bertemu pujaan hatinya. Seminggu tak bertemu seperti sewindu saja rasanya. Setelah dua jam mengendarai mobil hitam yang menjadi teman setia akhirnya Leya sampai juga di dalam garasi rumah minimalis miliknya. Senyum ceria tak henti-henti terukir di wajahnya. "Mas Abram pasti senang dengan kejutanku ini, untung saja Mbak Sofa bisa diajak kerja sama. Jadi aku bisa izin pulang lebih cepat," gumam Leya sembari menggapai paperbag yang berisi cake kesukaan suaminya. Tak lupa sebuah buket rangkaian bunga Lili putih yang indah melambangkan kesetiaan. Hujan kembali menggelegar, kilatnya menyambar-nyambar seakan tengah murka pada dunia. "Astaghfirullah, kenapa cuaca semakin buruk sekali. Sepanjang jalan hujan saja, tapi untung aku sudah di rumah. Tapi ... apa mungkin Mas Abram sedang tidur?" Kening Leya terlipat dalam melihat suasana rumahnya yang tampak begitu sepi seakan tak berpenghuni. Dia mengeluarkan kunci dari dalam tas yang terlampir di bahunya. Dengan langkah pelan dia melangkah masuk ke dalam rumah yang minim pencahayaan. Leya tak ada niat untuk memanggil nama suaminya ataupun penghuni rumah yang lainnya. Dia ingin membuat kejutan spesial untuk suaminya di hari anniversary pernikahan mereka. Sebagai wanita karier yang memiliki kedudukan cukup tinggi di perusahaan mengharuskan dirinya selalu siap ditugaskan ke mana saja. Satu minggu Leya tak pulang ke rumah, dia harus menghandle anak cabang perusahaan di luar kota. Leya terus melangkah ke kamar dengan perasaan yang berdebar. Terbayang dalam benaknya saat ini bagaimana ekspresi sang suami yang terkejut dan bahagia. "Ahhh!" Suara rintihan terdengar sayup-sayup dari balik pintu membuat tubuh Leya terpaku sesaat. Dadanya berdesir dengan sejuta tanda tanya di dalam benaknya. Di balik pintu itu adalah ranjang peraduan miliknya dan juga Abram. Jika dia berada di sini lalu siapa yang ada di dalam sana? Suara rintihan itu semakin jelas terdengar di balik gemuruh hujan yang menggelegar saat langkah kakinya semakin mendekat. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Tubuhnya pun sedikit bergetar dengan kedua tangan menggenggam erat hadiah yang dia bawa. Leya bukanlah anak kecil yang tak tahu arti dari suara-suara yang dia dengar saat ini. Tetapi dirinya masih berusaha untuk menyangkal jika bukan suaminya yang ada di balik pintu itu. Tapi di detik Leya membuka celah pintu itu sedikit, saat itu juga pertahanan hatinya hancur. Air mata menetes tak dapat dia bendung. Rasa sakit kecewa bercampur menjadi satu saat melihat sepasang anak manusia tengah menikmati keindahan surga dunia. Keduanya tanpa busana tengah berpacu dengan liar untuk mencapai kepuasan. Lengkuhan-lengkuhan nikmat mengalun seperti ribuan anak panah yang terlepas dan menancap di tubuh Leya. Kepala wanita berambut panjang yang tengah berada di atas suaminya sedikit berbalik. Wajahnya terlihat nyata di mata Leya. Tubuh Leya terhuyung kebelakang dan membentur tembok. Kakinya gemetar seakan tak mampu menopang tubuh kurusnya itu. "Arsya dan Mas Abram," ucapnya lirih. Wajahnya tampak begitu pucat seakan darah tak mengalir di sana. Di bawah derasnya hujan suara rintihan dan jeritan itu kian bergema seakan hanya ada mereka berdua di rumah itu. Air mata Leya kian membanjiri pipi. "Di mana Bi Imah dan Pak Nanang? Apa mereka juga ikut menyembunyikan ini semua dariku?" gumam Leya yang merasa heran tak ada siapa-siapa di rumah itu. Dia bahkan baru sadar jika dari awal pintu pagar sudah terbuka tanpa adanya satpam yang biasa bertugas jaga. Leya berdiri dan bergegas pergi. Dirinya tak mampu lagi untuk mendengar suara-suara yang menyesakkan dadanya itu. Bodohnya dia, bukannya mendatangi dan menghajar pasangan Zina itu. Leya justru berlari keluar rumah membawa mobilnya kembali pergi melaju di bawah derasnya hujan. ~ ~ ~ Di antara hiruk pikuk jalan Suratna yang ada di tengah kota, terdapat Leya yang duduk termenung seorang diri sembari memeluk lututnya. Leya yang tak tahu harus pergi kemana akhirnya terdampar di sebuah hotel bintang lima yang di suguhi Pemandangan kota X di penuhi dengan gedung-gedung pencakar langit. Ponsel berdering berulang kali. Leya yang tidak tidur semalaman hanya melirik sekilas pada ponselnya yang ada di atas meja, lalu kembali menatap hampa ke arah luar balkon. Leya yang melamun pun tak menyadari seseorang kini telah menemaninya dan tengah berdiri di sampingnya. Usapan lembut di kepala menyadarkan Leya dan sontak dia menoleh. Menyadari siapa yang ada di sebelahnya, tanpa suara ataupun untaian kata. Wanita cantik yang sudah berumur 28 tahun itu langsung memeluk pinggul wanita yang lebih tua 4 tahun darinya dengan derai air mata yang kembali membanjiri. "Kau membuatku panik Leya. Sudah lama sekali sejak 13 tahun yang lalu kamu bersikap seperti ini. Ada apa?" tanya wanita tak kalah cantik itu padanya. Tangan wanita itu masih mengusap punggung Leya, memberikan jeda untuknya menenangkan diri agar dapat bercerita. "Di-dia ... Mas Abram, dia mengkhianatiku Asna. Dia menduakanku. Semalam aku tak sengaja memergokinya sedang tidur dengan sahabatku sendiri." Asna terkejut. Dia menarik dagu Leya untuk menatap wajahnya. Mata bengkak dan sembab Leya cukup menjelaskan sudah begitu lama wanita itu menangis. "Apa Arsya yang kamu maksud?" Leya menganggukkan kepala. "Lalu kamu hanya akan diam saja, menangis dan meratap seorang diri di sini dan membiarkan mereka bersenang-senang atas penderitaanmu!" "Lalu aku harus apa Asna? Aku harus apa?" tanya Leya frustasi. Otaknya terasa buntu dan tak mampu untuk berpikir. Semangat hidupnya seakan telah pergi jauh meninggalkannya begitu saja. "Hapus air matamu!" Asna menggerakkan kedua jempolnya untuk mengusap linangan air mata di kedua sisi pipi sepupunya. Tatapan wanita itu begitu dalam dan penuh amarah. "Satu tusukan yang mereka berikan padamu kembalikan puluhan kali lipat agar rasa sakitmu bisa mereka berdua rasakan hingga datang mengemis di bawah kakimu! Balas mereka Leya, jangan terpuruk sendiri seperti ini. Lakukan apa pun yang bisa membuat mereka meminta ampun padamu." "Caranya?" tanya Leya seperti orang bodoh. Asna mendekatkan bibirnya di telinga Leya. Mata Leya melebar sempurna mendengarnya, dia mulai membisikkan rencana yang sama sekali tak pernah terlintas di otak Cataleya. "Apa aku bisa?" Lagi-lagi Leya ragu pada dirinya sendiri. Terkadang dia tak punya keberanian sebesar yang Asna miliki. "Manfaatkan wajah cantikmu ini, lalaki mana yang tak akan tergoda. Rebut kembali apa yang sudah dia curi darimu dan ambil miliknya juga sekalian. Sisanya biar aku yang atasi," ucap wanita bertubuh langsing berbalut gaun seksi itu menghasut.~ MANUSIA TEBAL MUKA ~Leya menghubungi Abram dan mengabari kedatangannya setelah dua hari menenangkan dirinya di hotel. Dia pulang ke rumah setelah berjuang memantapkan hati untuk bisa bersikap seakan tak terjadi apa-apa "Surprise!!" Baru saja Leya membuka pintu, dia sudah disambut dengan dua sosok manusia yang ingin dia singkirkan dari muka bumi ini.Wajah keduanya tampak begitu ceria. Bram memegang buket bunga Lily putih sementara Arsya memegang sebuah cake yang bertuliskan anniversary pernikahan ke 2 tahun. "Selamat Anniversary pernikahan kita Sayang. Aku harap pernikahan kita langgeng hingga maut memisahkan," ucap Bram memanjatkan harapan.Leya memandang Arsya sekilas kemudian beralih memandang hampa cake berwarna pink dengan gambar sepasang pengantin yang berdiri tegak sembari menari. "Selamat ya, Say. Aku berharap semua doa terbaik untukmu." Arsya menyodorkan kue yang di pegang pada Abram dan berniat untuk merangkul tubuh Leya. Rasa kecewa membuat Leya reflek menolak denga
~ PERMAINAN CANTIK ~Arsya mendekati Leya yang baru saja duduk di ruang tamu dengan toples keripik di tangannya."Ley, sepertinya kamu melupakan sesuatu," ucap Arsya membuat Leya mengernyitkan dahinya."Mana oleh-oleh untukku? Aku kan sudah menitipkannya padamu," ucap Arsya mengingatkan seraya membentangkan telapak tangan kanannya di hadapan Leya."Aku sibuk, jadi mana sempat berbelanja." Tepis Leya pada telapak tangan wanita berambut panjang itu.Arsya merengut. "Tak biasanya dia mengabaikan aku. Ada apa dengannya?" batin Arsya pun bertanya-tanya.Sebagai seorang sahabat yang begitu dekat sejak SMA, Leya selalu mengabulkan keinginan Arsya termasuk membelikan barang-barang yang wanita itu pinta. Walaupun sebenarnya Arsya bisa membelinya sendiri dari uang yang diberikan suaminya, tetapi menikmati uang Leya ada kepuasan tersendiri bagi Arsya. "Kamu sengaja tak membawakannya untukku kan? Padahal aku sudah menantikan tas itu," ucap Arsya merajuk. Leya memutar bola matanya muak, jika dul
~ KEBERANIAN BERMAIN API ~"Sialan! Brengsek! Katanya tidak cinta tapi kenapa memasang foto profil istrinya itu di seluruh sosial media miliknya. Maksudnya apa? Mau mempermainkan aku?" gerutu Arsya di depan meja hiasnya. Kedua tanganny terkepal di atas meja. Dia baru saja berselancar di sosial media dan melihat postingan Leya dan juga Abram yang lewat di beranda sosial medianya. Dadanya bergemuruh melihat Abram mengganti foto profilnya dengan foto istri sahnya yang tengah duduk serta tertawa mesra bersama. Tak lupa terdapat caption manis yang Abram sematkan semakin membakar hatinya. "Sepertinya kamu menikmati waktu liburan bersama istrimu itu, Mas. Kalimat manis laki-laki tak ada yang dapat di percaya."Brak! Prang!Arsya mendorong semua peralatan kosmetik yang ada di atas meja riasnya itu hingga jatuh berhamburan ke lantai. Di merasa iri dengan kemesraan orang lain yang baru saja dia lihat. Arsya dan Leya adalah teman baik jaman smp dulu. Leya yang berasal dari keluarga berada te
~ KETANGKAP BASAH ~Jika ada yang mengatakan uang bukanlah segalanya, maka semua itu salah. Justru uanglah yang menyelesaikan masalah Leya saat ini. Dia membayar seorang pelayan untuk melakukan apa yang di perintahkan secara diam-diam. Leya juga menelpon Asna, meminta bantuan wanita itu untuk membawa suami Arsya datang bagaimanapun caranya. Cukup lama Asna tiba membuat hati Leya was-was. Dia takut pasangan bejad itu sudah lebih dulu pergi. Hampir lima jam Leya menunggu seperti orang bodoh menatap dari balik jendela tanpa bergeming. Dia menyewa kamar yang berada tepat sebelah kiri kamar yang ditempati Bram dan Arsya. Tampaknya keduanya masih asik menikmati surga dunia hingga matahari menghilang di balik langit pun tak kunjung mereka keluar. "Sampai kapan aku menunggu seperti ini?"Pintu terketuk mengagetkan Leya, membuatnya terjaga dari lamunan sedihnya. Leya bergegas membuka pintu dan langsung dia lihat Asna dan juga lelaki tinggi berahang tegas. Asna langsung masuk ke dalam yang
Plak! Leya mengayunkan tangannya dengan keras ke arah pipi Abram. Hatinya sakit tak terkira, dua kali dia harus menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana suaminya bermain gila bersama sahabatnya itu. Dadanya bergemuruh. "Aku bisa jelaskan tentang ini semua, Sayang!" "Jangan panggil aku dengan sebutan itu! Aku muak mendengarnya!" sergah Leya cepat. Dia mundur satu langkah saat Abram mendekatinya. "Aku tahu kamu marah padaku, Dek. Tapi tolong dengarkan dulu penjelasanku! Semua ini tak seperti yang kamu pikirkan, Leya. Aku dijebak," balas Abram. Leya tersenyum kecut. Bisa-bisa lelaki itu berdalih dengan kalimat yang tak masuk akal. "Di jebak? Jelas-jelas kamu menikmatinya. Bagaimana Mas rasanya selingkuh dariku, enak? Apa membuat barangmu yang kecil loyo itu jadi lbih hidup?" sarkas Leya seraya melirik jijik pada apa yang ada di balik celana Abram. Abram mengepalkan kedua tangannya tak terima dengan apa yang dikatakan istrinya. Begitu tajam menginjak-injak harga di
Nirwan dan Leya pulang ke rumahnya masing-masing meninggalkan pasangan m3sum itu karena tak kuat menahan batin. Tak hanya Leya yang sesampainya di rumah keesokan harinya langsung membereskan pakaian Abram, tapi Nirwan juga melakukan hal yang sama. Dia menyuruh semua pelayan memasukkan pakaian wanita itu yang tak lagi ingin dia debgar namanya ke dalam koper tanpa ada satu pun yang tertinggal. "Ada apa sih Mbok? Kenapa tuan besar pulang-pulang dalam keadaan marah. Dan mau diapakan semua pakaian Nyonya ini, Mbok?" tanya Silvia penuh minat. Dia pelayan paling muda di dalam keluarga Anggara. Dia juga merupakan anak dari Mbok Darmi. Pelayan yang mengabdi puluhan tahun pada kekuarga tersebut. Setelah Nirwan berumah tangga, Nirwan memboyong Mbok Darmi untuk melayaninya dan juga istrinya. "Mbok juga gak tahu, Nduk. Sebaiknya kita tak usah ikut campur!" ucap wanita tua bersanggul itu pada anaknya. Mbok Darmi tahu jikaa putrinya ada rasa pada majikannya itu. Impian menjadi orang kaya yang
Arsya berdebat dengan satpam yang ada di depan rumahnya. Tiga koper besar sudah berjejer cantik di luar pagar. Dirinya tak diizinkan masuk, pintu pagar pun tertutup rapat tanpa dapat dia terobos. "Pokoknya aku gak mau tahu, cepat buka pintunya. Kamu pikun atau amnesia, hah! Aku Nyonya di rumah ini!" hardik Arsya jengkel. Udara panas terasa begitu menyengat kepalanya. Dia butuh waktu untuk menenangkan diri sebelum kembali ke rumah, itu sebabnya setelah kejadian itu Arsya memilih untuk tinggal sementara di hotel untuk beberapa hari. "Maafkan saya Nyonya. Saya melakukan ini juga atas dasar perintah dari Tuan muda. Dan maaf, tentu kami lebih mendengarkan kata-katanya karena selama ini beliau yang memberikan gaji pada kami."Arsya mengerang kesal dengan kedua tangan yang terkepal."Aku harus bertemu dengan Mas Nirwan sekarang juga."Arsya menerobos masuk lewat pintu kecil yang sedikit terbuka, tapi langkah kaki pak Satpam lebih dulu untuk menghadangnya. "Lepaskan aku! Aku masih istriny
Arsya terbelalak melihat tumpukan piring yang berdiri tegak di hadapannya. Abram susah dia hubungi. Lelaki itu hilang bagai ditelan bumi. Dengan menahan malu Arsya pun harus pasrah di seret ke dapur sebagai pembayar atas makanan yang sudah dia nikmati.Bukan berarti Arsya tak mencari bantuan lainnya. Dia sudah berulang kali melakukan panggilan pada beberapa nomor yang dia kenal. Seperti kata pepatah, teman datang hanya saat butuh dan lenyap saat dirimu terjatuh. Itulah yang dialami Arsya saat ini. "Cepat kerjakan itu! Setelah itu kamu bantu lap meja-meja di depan!" perintah pelayan wanita tadi dengan ketus. Tak ada lagi panggilan Nyonya yang dia sematkan di awal padanya. Arsya menatap wanita yang baru dia ketahui bernama Sheren itu dengan kesal. Tapi bukannya takut, wanita berambut pendek itu justru bertolak pinggang dengan angkuh padanya. "Kenapa? Gak terima? Kalau gak suka tinggal bayar saja apa yang sudah kamu makan. Gampang kan! Ini bergaya
Liliana uring-uringan di ruang tamu. Tangannya membolak-balik majalah fashion dengan perasaan tak menentu. Genap tiga hari putra dan menantunya tak pulang ke rumah tanpa kabar, dia ingi menelpon tetapi ada rasa gengsi di hatinya. Liliana juga marah dengan sikap putranya yang tak menghubungi dirinya seakan tak perduli dengan kondisi sang Mama yang tentunya akan baik-baik saja. "Kenapa mereka belum pulang juga?" gumam Liliana. Silvia yang mendengar itupun berceletuk."Sepertinya Nyonya tampak kesal. Ada apa, Nya?"Liliana menoleh sekilas seraya mencebikkan bibirnya. "Sok tahu kamu. Gak lihat saya sedang baca majalah," balasnya tak ramah.Silvia tersenyum tipis. "Dari raut wajah cantik Nyonya saja sudah jelas terlihat. Nyonya besar pasti lagi mikirin Tuan Nirwan kan, Nya," balas Silvia. "Aku masih gak habis pikir sampai saat ini, Via. Kenapa Nirwan bisa-bisanya menikah dengan sahabat istrinya itu. Apalagi suami wanita itu dengan mantan istrinya Nirwan selingkuh." Liliana masih saja
"Keluar kalian semua! Kembalikan anakku! Kalian pembunuh!" teriakan nyaring itu terdengar bergema hingga keluar ruangan. Bersamaan dengan itu suara benda-benda berjatuhan serta pecah pun ikut terdengar.Leya masuk ke ruangan itu dengan perasaan campur aduk. Kaget melihat kondisi ruangan yang berantakan serta kasihan melihat saudaranya yang terlihat begitu menyedihkan.Leya memeluk tubuh Asna. Dia mendekap kuat seraya menangis membuat Asna yang tengah mengamuk menjadi diam. "Na, sadarlah! Ini aku, aku mohon hentikan ini!" bisik Leya lirih. Asna mendorong tubuh Leya kasar hingga Leya terdorong beberapa langkah ke belakang. Nirwan yang melihat itu sontak langsung menangkap tubuh istrinya agar tidak terjatuh terjerembab ke lantai. Senyum mengejek Asna terbit di bibir pucatnya. Dia menatap Leya dan Nirwan penuh benci. "Apa yang kamu lakukan?" sentak Nirwan tak terima. Tatapan matanya tajam seakan ingin membunuh membuat Asna terdiam di tempat. Nirwan paham jika wanita di hadapannya itu
Sesampainya di rumah sakit, dari balik jendela Nirwan bisa bernapas lega melihat sosok yang terbaring di atas ranjang bukanlah istrinya.Nirwan pun melangkah masuk yang menarik atensi Leya untuk menoleh. Leya berdiri setelah menyadari siapa yang datang. Leya tak mengucapkan satu patah pun, dia merangkul tubuh Nirwan erat dan menumpahkan kembali air mataa tanpa suara. Tubuh ringkihnya bergetar hebat. Entah dapat dorongan dari mana, lelaki itu pun membalas pelukan istrinya serta membelai lembut rambut hitam terikat berantakan itu. "Tenanglah! Aku di sini!"Satu kalimat pendek yang Nirwan ucapkan seperti sihir yang langsung meredakan kegelisahan hati Leya. Tangis sesenggukan itu seketika terhenti. Leya yang lelah akhirnya pingsan di dalam dekapan suaminya. Nirwan panik memanggil perawat untuk memeriksa istrinya. ~ ~ ~Pagi yang cerah menyinari kediaman keluarga Anggara. Semua yang ada di rumah sudah sibuk dari subuh tadi dengan pekerjaan mereka masing-masing."Mereka suda
Leya tak dapat berkata apa-apa setelah melihat kondisi Asna yang menyedihkan. Lidahnya terasa kelu. Asna bahkan tak lagi sadar saat Leya sampai di sana. Setelah menandatangi berkas-berkas, Asna langsung di bawa ke ruang operasi untuk melakukan tindakan selanjutnya. Perawat mengatakan Asna di bawa dalam keadaan pendarahan hebat. Bayi di dalam kandungannya tak dapat diselamatkan dan tak hanya itu, rahimnya yang robek mengharuskan wanita itu menjalani operasi pengangkatan rahim secepatnya. Asna tentu saja menolak keras hingga menjerit histeris sehingga dokter tak dapat melakukan prosedur selanjutnya. Itu sebabnya kehadiran Leya sangat diharapkan sebagai penanggung jawab. Beruntung, Asna mau memberikan kontak Leya pada pihak rumah sakit. Lebih dari dua jam operasi itu berjalan, namun belum juga menunjukkan akan selesai. "Ya Allah, lindungi dia!" pinta Leya lirih penuh harap. Cairan bening mulai menganak sungai di sudut mata seraya menunggu pertahanan tanggul jebol dan mengalir
Cahaya matahari yang merambat masuk dari jendela terpantul ke mata Leya. Leya menggeliat dan membuka matanya perlahan.Masih terasa di tubuhnya sisa percintaan mereka hingga subuh menjelang. Percintaan? Apa yang terjadi diantara mereka bisa disebut bercint4 jika nyatanya semua itu terjadi karena pemaksaan. Leya menatap ke samping, tampak Nirwan masih terlelap dengan dengkuran halusnya. Ada amarah di dalam hatinya atas perlakuan Nirwan semalam walau sebenarnya apa yang mereka lakukan bukanlah sebuah dosa. Mereka sudah menikah sah secara hukum dan agama. Tetapi apa yang terjadi tadi malam membawa penyesalan yang dalam di hati Leya. Dia mulai bergerak perlahan menuruni ranjang dengan tubuh yang terasa remuk redam. Di dalam kamar mandi, guyuran air dari shower terasa seperti pijitan lembut di tubuhnya. Lama Leya menikmati mandinya seakan tubuhnya sangat kotor dan harus dibersihkan dengan teliti agar tak ada yang terlewat.Setelah mandi, Leya hanya menggunakan handuk yang melilit dada
Leya yang berada di mobil tampak cemas. Bagaimana tidak, dirinya menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana mantan suaminya itu dihajar habis-habisan oleh suaminya yang sekarang. Dalam hati Leya yang paling dalam masih terbesit perasaan tak tega. Akan tetapi ada satu hal lagi yang membuat kecemasan Leya semakin meningkat. "Berhenti! Apa kamu mau kita mati di mobil ini!" jerit Leya ketakutan. Kecepatan mobil itu sudah di atas rata-rata membelah jalanan kota di malam hari. Masih ada beberapa mobil yang berlalu lalang dan di salip Nirwan begitu saja. Leya mencengkram sabuk pengamannya erat seraya memejamkan mata. Dalam hati dia terus merapalkan mantra pada sang pencipta dan berharap hari ini bukanlah hari terakhir dia menatap dunia. Cittt!Mobil yang tiba-tiba berhenti mendorong tubuh Leya ke depan hingga keningnya tak sengaja menubruk sesuatu yang padat tapi lembut. Leya pun membuka mata, tepak tangan Nirwan tepat berada di keningnya. Belum sempat Leya menoleh, Nirwan suda
Setelah perdebatan panjang itu, selama beberapa hari Leya berusaha mengubah jadwalnya. Dia yang biasanya pulang malam terpaksa pulang lebih awal dan membawa pekerjaannya pulang untuk dikerjakan di rumah. Ditambah sifat Nirwan yang kembali ke mode awal, cuek dan dingin membuat Leya mulai merasa lelah. Hari ini Leya memutuskan kembali pulang ke rumahnya. Tapi sebelum pulang dia menyempatkan diri mampir ke sebuah air mancur yang ada di taman kota.Dulu Leya sangat suka duduk di sana, menikmati aneka jajanan yang berjejer tak jauh dari air mancur seraya menikmati gemericik air yang jatuh. Sebuah piring siomay tersodor ke arahnya. Tentu saja itu membuatnya bingung karena dia tak merasa memesan makanan itu, atau mungkin belum. "Saya tidak memesannya, apa mamang salah orang?" ucap Leya kemudiaan mendongakkan kepala menatap ke arah sang penjual. Betapa terkejut dirinya setelah tahu siapa gerangan yang memberikan makanan itu padanya. "Mas Abram? Kenapa kamu bisa ada di sini?""Sama sepert
"Bukan begitu maksudku, Ma—,""Terus maksud kamu bagaimana?" Liliana menarik dagu Leya agar wajahnya terangkat dan pandangan mata mereka kembali saling bertemu. "Aku paling tidak suka melihat menantuku pulang malam-malam begini." Liliana melepaskan tangannya, dia berbalik dan kembali duduk di sofa dengan gaya nyonya angkuhnya yang tak pernah lepas dari karakter dirinya. "Ok, kamu wanita karier dan berbeda dari istri Nirwan sebelumnya. Tapi bukan berarti kamu mengabaikan tanggung jawabmu sebagai seorang istri. Kalau kamu setiap pulang kerja malam begini, lalu fungsimu suami bagimu apa? Apa kurang anakku memberikan nafkah padamu?"Leya menggelengkan kepala. Bahkan jumlah yang diberikan Nirwan padanya cukup untuk dia berfoya-foya tanpa harus capek-cepek bekerja. Tapi bukan itu masalahnya. Pernikahan mereka yang hanya dalam hitungan bulan lagi berakhir ini tak dapat Leya jadikan pondasi keuangannya. Saat mereka berpisah nanti, bagaimana hidupnya jika tak memiliki penghasilan dan juga p
"Ini tehnya Nyonya." Silvia menyuguhkan secangkir kecil teh chamomile pada meja kecil di samping Liliana. Liliana tak menjawab dan hanya melirik sedikit kemudian memberi kode pada Silvia untuk menyingkir dari dekatnya segera. Pagi ini raut wajah Liliana begitu suram tak enak di pandang. Wanita paruh baya yang tetap modis diusia senja itu tampaknya masih kesal dengan kenyataan yang baru saja dia dengar, ditambah perdebatan yang terjadi antara dirinya dan putranya pada malam itu menghadirkan kebencian yang semakin dalam untuk Leya. Sampai-sampai saat Leya pergi ke kantor Lilian tak berniat untuk menyapa dan memilih untuk diam duduk di meja makan sembari menyantap makanannya. "Maaf, Nyonya. Apa anda ingin teman ngobrol, saya bisa menjadi teman ngobrol yaang baik untuk Anda," ujar Silvia menawarkan diri. Liliana menoleh, menatap Silvia dari ujung kepala ke ujung rambut dengan sinis. "Pahami statusmu. Jangan terlalu banyak berharap atas apa yang tak sanggup kamu dapatkan. Dan aku jug