~ PASANGAN BERZ!N4 ~
Rintik hujan yang turun tak menyurutkan hati seorang Cataleya untuk bertemu pujaan hatinya. Seminggu tak bertemu seperti sewindu saja rasanya. Setelah dua jam mengendarai mobil hitam yang menjadi teman setia akhirnya Leya sampai juga di dalam garasi rumah minimalis miliknya. Senyum ceria tak henti-henti terukir di wajahnya. "Mas Abram pasti senang dengan kejutanku ini, untung saja Mbak Sofa bisa diajak kerja sama. Jadi aku bisa izin pulang lebih cepat," gumam Leya sembari menggapai paperbag yang berisi cake kesukaan suaminya. Tak lupa sebuah buket rangkaian bunga Lili putih yang indah melambangkan kesetiaan. Hujan kembali menggelegar, kilatnya menyambar-nyambar seakan tengah murka pada dunia. "Astaghfirullah, kenapa cuaca semakin buruk sekali. Sepanjang jalan hujan saja, tapi untung aku sudah di rumah. Tapi ... apa mungkin Mas Abram sedang tidur?" Kening Leya terlipat dalam melihat suasana rumahnya yang tampak begitu sepi seakan tak berpenghuni. Dia mengeluarkan kunci dari dalam tas yang terlampir di bahunya. Dengan langkah pelan dia melangkah masuk ke dalam rumah yang minim pencahayaan. Leya tak ada niat untuk memanggil nama suaminya ataupun penghuni rumah yang lainnya. Dia ingin membuat kejutan spesial untuk suaminya di hari anniversary pernikahan mereka. Sebagai wanita karier yang memiliki kedudukan cukup tinggi di perusahaan mengharuskan dirinya selalu siap ditugaskan ke mana saja. Satu minggu Leya tak pulang ke rumah, dia harus menghandle anak cabang perusahaan di luar kota. Leya terus melangkah ke kamar dengan perasaan yang berdebar. Terbayang dalam benaknya saat ini bagaimana ekspresi sang suami yang terkejut dan bahagia. "Ahhh!" Suara rintihan terdengar sayup-sayup dari balik pintu membuat tubuh Leya terpaku sesaat. Dadanya berdesir dengan sejuta tanda tanya di dalam benaknya. Di balik pintu itu adalah ranjang peraduan miliknya dan juga Abram. Jika dia berada di sini lalu siapa yang ada di dalam sana? Suara rintihan itu semakin jelas terdengar di balik gemuruh hujan yang menggelegar saat langkah kakinya semakin mendekat. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Tubuhnya pun sedikit bergetar dengan kedua tangan menggenggam erat hadiah yang dia bawa. Leya bukanlah anak kecil yang tak tahu arti dari suara-suara yang dia dengar saat ini. Tetapi dirinya masih berusaha untuk menyangkal jika bukan suaminya yang ada di balik pintu itu. Tapi di detik Leya membuka celah pintu itu sedikit, saat itu juga pertahanan hatinya hancur. Air mata menetes tak dapat dia bendung. Rasa sakit kecewa bercampur menjadi satu saat melihat sepasang anak manusia tengah menikmati keindahan surga dunia. Keduanya tanpa busana tengah berpacu dengan liar untuk mencapai kepuasan. Lengkuhan-lengkuhan nikmat mengalun seperti ribuan anak panah yang terlepas dan menancap di tubuh Leya. Kepala wanita berambut panjang yang tengah berada di atas suaminya sedikit berbalik. Wajahnya terlihat nyata di mata Leya. Tubuh Leya terhuyung kebelakang dan membentur tembok. Kakinya gemetar seakan tak mampu menopang tubuh kurusnya itu. "Arsya dan Mas Abram," ucapnya lirih. Wajahnya tampak begitu pucat seakan darah tak mengalir di sana. Di bawah derasnya hujan suara rintihan dan jeritan itu kian bergema seakan hanya ada mereka berdua di rumah itu. Air mata Leya kian membanjiri pipi. "Di mana Bi Imah dan Pak Nanang? Apa mereka juga ikut menyembunyikan ini semua dariku?" gumam Leya yang merasa heran tak ada siapa-siapa di rumah itu. Dia bahkan baru sadar jika dari awal pintu pagar sudah terbuka tanpa adanya satpam yang biasa bertugas jaga. Leya berdiri dan bergegas pergi. Dirinya tak mampu lagi untuk mendengar suara-suara yang menyesakkan dadanya itu. Bodohnya dia, bukannya mendatangi dan menghajar pasangan Zina itu. Leya justru berlari keluar rumah membawa mobilnya kembali pergi melaju di bawah derasnya hujan. ~ ~ ~ Di antara hiruk pikuk jalan Suratna yang ada di tengah kota, terdapat Leya yang duduk termenung seorang diri sembari memeluk lututnya. Leya yang tak tahu harus pergi kemana akhirnya terdampar di sebuah hotel bintang lima yang di suguhi Pemandangan kota X di penuhi dengan gedung-gedung pencakar langit. Ponsel berdering berulang kali. Leya yang tidak tidur semalaman hanya melirik sekilas pada ponselnya yang ada di atas meja, lalu kembali menatap hampa ke arah luar balkon. Leya yang melamun pun tak menyadari seseorang kini telah menemaninya dan tengah berdiri di sampingnya. Usapan lembut di kepala menyadarkan Leya dan sontak dia menoleh. Menyadari siapa yang ada di sebelahnya, tanpa suara ataupun untaian kata. Wanita cantik yang sudah berumur 28 tahun itu langsung memeluk pinggul wanita yang lebih tua 4 tahun darinya dengan derai air mata yang kembali membanjiri. "Kau membuatku panik Leya. Sudah lama sekali sejak 13 tahun yang lalu kamu bersikap seperti ini. Ada apa?" tanya wanita tak kalah cantik itu padanya. Tangan wanita itu masih mengusap punggung Leya, memberikan jeda untuknya menenangkan diri agar dapat bercerita. "Di-dia ... Mas Abram, dia mengkhianatiku Asna. Dia menduakanku. Semalam aku tak sengaja memergokinya sedang tidur dengan sahabatku sendiri." Asna terkejut. Dia menarik dagu Leya untuk menatap wajahnya. Mata bengkak dan sembab Leya cukup menjelaskan sudah begitu lama wanita itu menangis. "Apa Arsya yang kamu maksud?" Leya menganggukkan kepala. "Lalu kamu hanya akan diam saja, menangis dan meratap seorang diri di sini dan membiarkan mereka bersenang-senang atas penderitaanmu!" "Lalu aku harus apa Asna? Aku harus apa?" tanya Leya frustasi. Otaknya terasa buntu dan tak mampu untuk berpikir. Semangat hidupnya seakan telah pergi jauh meninggalkannya begitu saja. "Hapus air matamu!" Asna menggerakkan kedua jempolnya untuk mengusap linangan air mata di kedua sisi pipi sepupunya. Tatapan wanita itu begitu dalam dan penuh amarah. "Satu tusukan yang mereka berikan padamu kembalikan puluhan kali lipat agar rasa sakitmu bisa mereka berdua rasakan hingga datang mengemis di bawah kakimu! Balas mereka Leya, jangan terpuruk sendiri seperti ini. Lakukan apa pun yang bisa membuat mereka meminta ampun padamu." "Caranya?" tanya Leya seperti orang bodoh. Asna mendekatkan bibirnya di telinga Leya. Mata Leya melebar sempurna mendengarnya, dia mulai membisikkan rencana yang sama sekali tak pernah terlintas di otak Cataleya. "Apa aku bisa?" Lagi-lagi Leya ragu pada dirinya sendiri. Terkadang dia tak punya keberanian sebesar yang Asna miliki. "Manfaatkan wajah cantikmu ini, lalaki mana yang tak akan tergoda. Rebut kembali apa yang sudah dia curi darimu dan ambil miliknya juga sekalian. Sisanya biar aku yang atasi," ucap wanita bertubuh langsing berbalut gaun seksi itu menghasut.~ MANUSIA TEBAL MUKA ~Leya menghubungi Abram dan mengabari kedatangannya setelah dua hari menenangkan dirinya di hotel. Dia pulang ke rumah setelah berjuang memantapkan hati untuk bisa bersikap seakan tak terjadi apa-apa "Surprise!!" Baru saja Leya membuka pintu, dia sudah disambut dengan dua sosok manusia yang ingin dia singkirkan dari muka bumi ini.Wajah keduanya tampak begitu ceria. Bram memegang buket bunga Lily putih sementara Arsya memegang sebuah cake yang bertuliskan anniversary pernikahan ke 2 tahun. "Selamat Anniversary pernikahan kita Sayang. Aku harap pernikahan kita langgeng hingga maut memisahkan," ucap Bram memanjatkan harapan.Leya memandang Arsya sekilas kemudian beralih memandang hampa cake berwarna pink dengan gambar sepasang pengantin yang berdiri tegak sembari menari. "Selamat ya, Say. Aku berharap semua doa terbaik untukmu." Arsya menyodorkan kue yang di pegang pada Abram dan berniat untuk merangkul tubuh Leya. Rasa kecewa membuat Leya reflek menolak denga
~ PERMAINAN CANTIK ~ Arsya mendekati Leya yang baru saja duduk di ruang tamu dengan toples keripik di tangannya. "Ley, sepertinya kamu melupakan sesuatu," ucap Arsya membuat Leya mengernyitkan dahinya. "Mana oleh-oleh untukku? Aku kan sudah menitipkannya padamu," ucap Arsya mengingatkan seraya membentangkan telapak tangan kanannya di hadapan Leya. "Aku sibuk, jadi mana sempat berbelanja." Tepis Leya pada telapak tangan wanita berambut panjang itu. Arsya merengut. "Tak biasanya dia mengabaikan aku. Ada apa dengannya?" batin Arsya pun bertanya-tanya. Sebagai seorang sahabat yang begitu dekat sejak SMA, Leya selalu mengabulkan keinginan Arsya termasuk membelikan barang-barang yang wanita itu pinta. Walaupun sebenarnya Arsya bisa membelinya sendiri dari uang yang diberikan suaminya, tetapi menikmati uang Leya ada kepuasan tersendiri bagi Arsya. "Kamu sengaja tak membawakannya untukku kan? Padahal aku sudah menantikan tas itu," ucap Arsya merajuk. Leya memutar bola matanya
~ KEBERANIAN BERMAIN API ~"Sialan! Brengsek! Katanya tidak cinta tapi kenapa memasang foto profil istrinya itu di seluruh sosial media miliknya. Maksudnya apa? Mau mempermainkan aku?" gerutu Arsya di depan meja hiasnya. Kedua tanganny terkepal di atas meja. Dia baru saja berselancar di sosial media dan melihat postingan Leya dan juga Abram yang lewat di beranda sosial medianya. Dadanya bergemuruh melihat Abram mengganti foto profilnya dengan foto istri sahnya yang tengah duduk serta tertawa mesra bersama. Tak lupa terdapat caption manis yang Abram sematkan semakin membakar hatinya. "Sepertinya kamu menikmati waktu liburan bersama istrimu itu, Mas. Kalimat manis laki-laki tak ada yang dapat di percaya."Brak! Prang!Arsya mendorong semua peralatan kosmetik yang ada di atas meja riasnya itu hingga jatuh berhamburan ke lantai. Di merasa iri dengan kemesraan orang lain yang baru saja dia lihat. Arsya dan Leya adalah teman baik jaman smp dulu. Leya yang berasal dari keluarga berada te
~ KETANGKAP BASAH ~Jika ada yang mengatakan uang bukanlah segalanya, maka semua itu salah. Justru uanglah yang menyelesaikan masalah Leya saat ini. Dia membayar seorang pelayan untuk melakukan apa yang di perintahkan secara diam-diam. Leya juga menelpon Asna, meminta bantuan wanita itu untuk membawa suami Arsya datang bagaimanapun caranya. Cukup lama Asna tiba membuat hati Leya was-was. Dia takut pasangan bejad itu sudah lebih dulu pergi. Hampir lima jam Leya menunggu seperti orang bodoh menatap dari balik jendela tanpa bergeming. Dia menyewa kamar yang berada tepat sebelah kiri kamar yang ditempati Bram dan Arsya. Tampaknya keduanya masih asik menikmati surga dunia hingga matahari menghilang di balik langit pun tak kunjung mereka keluar. "Sampai kapan aku menunggu seperti ini?"Pintu terketuk mengagetkan Leya, membuatnya terjaga dari lamunan sedihnya. Leya bergegas membuka pintu dan langsung dia lihat Asna dan juga lelaki tinggi berahang tegas. Asna langsung masuk ke dalam yang
Plak! Leya mengayunkan tangannya dengan keras ke arah pipi Abram. Hatinya sakit tak terkira, dua kali dia harus menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana suaminya bermain gila bersama sahabatnya itu. Dadanya bergemuruh. "Aku bisa jelaskan tentang ini semua, Sayang!" "Jangan panggil aku dengan sebutan itu! Aku muak mendengarnya!" sergah Leya cepat. Dia mundur satu langkah saat Abram mendekatinya. "Aku tahu kamu marah padaku, Dek. Tapi tolong dengarkan dulu penjelasanku! Semua ini tak seperti yang kamu pikirkan, Leya. Aku dijebak," balas Abram. Leya tersenyum kecut. Bisa-bisa lelaki itu berdalih dengan kalimat yang tak masuk akal. "Di jebak? Jelas-jelas kamu menikmatinya. Bagaimana Mas rasanya selingkuh dariku, enak? Apa membuat barangmu yang kecil loyo itu jadi lbih hidup?" sarkas Leya seraya melirik jijik pada apa yang ada di balik celana Abram. Abram mengepalkan kedua tangannya tak terima dengan apa yang dikatakan istrinya. Begitu tajam menginjak-injak harga di
Nirwan dan Leya pulang ke rumahnya masing-masing meninggalkan pasangan m3sum itu karena tak kuat menahan batin. Tak hanya Leya yang sesampainya di rumah keesokan harinya langsung membereskan pakaian Abram, tapi Nirwan juga melakukan hal yang sama. Dia menyuruh semua pelayan memasukkan pakaian wanita itu yang tak lagi ingin dia debgar namanya ke dalam koper tanpa ada satu pun yang tertinggal. "Ada apa sih Mbok? Kenapa tuan besar pulang-pulang dalam keadaan marah. Dan mau diapakan semua pakaian Nyonya ini, Mbok?" tanya Silvia penuh minat. Dia pelayan paling muda di dalam keluarga Anggara. Dia juga merupakan anak dari Mbok Darmi. Pelayan yang mengabdi puluhan tahun pada kekuarga tersebut. Setelah Nirwan berumah tangga, Nirwan memboyong Mbok Darmi untuk melayaninya dan juga istrinya. "Mbok juga gak tahu, Nduk. Sebaiknya kita tak usah ikut campur!" ucap wanita tua bersanggul itu pada anaknya. Mbok Darmi tahu jikaa putrinya ada rasa pada majikannya itu. Impian menjadi orang kaya yang
Arsya berdebat dengan satpam yang ada di depan rumahnya. Tiga koper besar sudah berjejer cantik di luar pagar. Dirinya tak diizinkan masuk, pintu pagar pun tertutup rapat tanpa dapat dia terobos. "Pokoknya aku gak mau tahu, cepat buka pintunya. Kamu pikun atau amnesia, hah! Aku Nyonya di rumah ini!" hardik Arsya jengkel. Udara panas terasa begitu menyengat kepalanya. Dia butuh waktu untuk menenangkan diri sebelum kembali ke rumah, itu sebabnya setelah kejadian itu Arsya memilih untuk tinggal sementara di hotel untuk beberapa hari. "Maafkan saya Nyonya. Saya melakukan ini juga atas dasar perintah dari Tuan muda. Dan maaf, tentu kami lebih mendengarkan kata-katanya karena selama ini beliau yang memberikan gaji pada kami."Arsya mengerang kesal dengan kedua tangan yang terkepal."Aku harus bertemu dengan Mas Nirwan sekarang juga."Arsya menerobos masuk lewat pintu kecil yang sedikit terbuka, tapi langkah kaki pak Satpam lebih dulu untuk menghadangnya. "Lepaskan aku! Aku masih istriny
Arsya terbelalak melihat tumpukan piring yang berdiri tegak di hadapannya. Abram susah dia hubungi. Lelaki itu hilang bagai ditelan bumi. Dengan menahan malu Arsya pun harus pasrah di seret ke dapur sebagai pembayar atas makanan yang sudah dia nikmati.Bukan berarti Arsya tak mencari bantuan lainnya. Dia sudah berulang kali melakukan panggilan pada beberapa nomor yang dia kenal. Seperti kata pepatah, teman datang hanya saat butuh dan lenyap saat dirimu terjatuh. Itulah yang dialami Arsya saat ini. "Cepat kerjakan itu! Setelah itu kamu bantu lap meja-meja di depan!" perintah pelayan wanita tadi dengan ketus. Tak ada lagi panggilan Nyonya yang dia sematkan di awal padanya. Arsya menatap wanita yang baru dia ketahui bernama Sheren itu dengan kesal. Tapi bukannya takut, wanita berambut pendek itu justru bertolak pinggang dengan angkuh padanya. "Kenapa? Gak terima? Kalau gak suka tinggal bayar saja apa yang sudah kamu makan. Gampang kan! Ini bergaya
Silvia menahan sakit hati mendengarkan bentakan Liliana padanya sore ini. Semua itu disebabkan hanya karena Silvia lamban memasak makanan yang Liliana pinta dan rasanya juga tidak enak.Liliana bahkan sampai melepeh kembali makanan yang sudah masuk ke dalam mulutnya. Rasa asin yang terlalu menyengat berlomba dengan rasa getir dari bumbu yang tidak tanak saat menumis. "Sebenarnya apa saja kerjamu. Beres rumah tidak pernah rapi, masak pun juga tidak bisa." Liliana terus saja mengomel tanpa henti seakan tengah meluapkan kekesalan hati yang telah lama tersimpan. Darmi dan beberapa pelayan lainnya menyaksikan dari sudut ruangan sembari mengerjakan pekerjaan mereka. "Memang gak ada guna dia di sini. Kerjaannya cuma ngawasi seakan dirinya yang nyonya rumah," bisik seorang pelayan yang tengah memotong wortel pada temannya. "Makanya kalau ada Tuan muda dandannya menor banget," balas sebelahnya tak kalah berbisik. "Apa iya?" tanya satunya lagi yang tak pernah memperhatikan hal-hal aneh sel
Burung berkicau merdu di balik jendela mengusik ketenangan sepasang suami-istri yang baru saja terlelap saat subuh menjelang. Leya mengerjabkan matanya perlahan saat cahaya matahari merambat ke retina. Lagi-lagi Leya terbangun dengan yang terasa kram akibat aktifitas mereka semalam. Namun yang berbeda kali ini adalah Leya yang menyodorkan dirinya secara suka rela. Bukan karena cinta melainkan pasrah pada kewajiban semata. Leya tersentak kaget mendengar jam weker di atas nakas yang tiba-tiba berbunyi. Tak ingin bunyi nyaring itu membangunkan makhluk kekar yang tengah terlelap di sampingnya, Leya bergegas mematikan. Baru saja Leya hendak beranjak dari ranjang, tangan kekar Nirwan membelit pinggangnya manja. "Mau kemana?""Kerja," jawab Leya singkat. Tangannya berusaha mendorong lengan suaminya agar menyingkir dari tubuhnya. Tetapi bukannya terlepas, rangkulan tangan itu semakin erat. Nirwan membenamkan wajah ke balik punggung mulus istrinya. Menghirup aroma tubuh pendamping hidupny
Saat bias matahari baru saja muncul memudarkan warna gelap di langit. Nirwan terbangun karena terganggu oleh tangisan seseorang di sebelahnya. Lelaki itu mengucek-ngucek matanya, seraya bangkit dengan kepala yang masih terasa pusing. "Berisik!" sentaknya kasar membuat suara tangis itu terdiam sesaat. Nirwan membuka matanya, betapa terkejutnya dia mendapati wanita yang tengah menangis di sampingnya tak mengenakan busana dan hanya ditutupi selimut tebal."Silvia? Bagaimana kamu bisa ada di sini?" tanya Nirwan syok. Dan lebih syok lagi dia melihat dirinya dalam keadaan yang sama dengan Silvia, tanpa pakaian yang menutupi tubuh mereka. "Apa Tuan lupa? Kalau semalam ... kalau semalam Tuan sudah merampas kehormatan saya, hik hik hik," terang Silvia seraya kembali menangis. Tangisannya terdengar pilu membuat Nirwan semakin pusing. Nirwan memijit pelipisnya kuat, kepalanya terasa berat. Dia berusaha menarik kembali memori yang tersimpan di otaknya tentang kejadian semalam. Ingatannya hanya
Nirwan meminum langsung cairan putih dari dalam botol. Wajah dan matanya telah memerah seperti kepiting rebus yang tersapu angin malam. Nirwan bersandar pada dinding balkon ruang kerjanya, matanya menatap lurus langit yang begitu terang membentuk gugus bintang Lyra.Dalam mitologi Yunani, adalah sebuah harpa emas yang dimiliki oleh Orpheus, seorang musisi legendaris. Orpheus memiliki kemampuan untuk menjinakkan binatang buas dan membuat orang menangis dengan musiknya.Orpheus sangat mencintai istrinya, Eurydice dan ketika Eurydice meninggal, Orpheus turun ke dunia bawah untuk membawanya kembali. Namun Orpheus melanggar syarat dewa dan harus kembali ke dunia atas tanpa Eurydice.Lyra sering dikaitkan dengan musik, keindahan, dan kesedihan. Kisah Orpheus dan Eurydice menjadi simbol cinta yang abadi dan kehilangan yang menyakitkan. Nirwan terkekeh getir, dia merasa hidupnya sama seperti Orpheus. Sama-sama menyedihkan tanpa orang yang disayang.Sayang? Apakah dia menyayangi istrinya atau
Sepulang dari kantor, Leya tidak membawa mobilnya pulang ke rumah. Dirinya lebih memilih ke suatu tempat untuk menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Leya benar-benar merasa sepi seorang diri. Dia duduk termenung di sebuah taman memandangi dedaunan yang tengah bergoyang. Sebagai seorang anak yatim-piatu kehilangan Asna membuatnya hilang tumpuan bersandar dan kini hidupnya dihadapkan oleh problematik baru di tempat kerja. Berkali-kali Leya menghapus air matanya, malang terasa di badan. Di dalam hati dia terus bertanya-tanya pada Tuhan apa kesalahannya sehingga cobaan terus datang bertubi-tubi tanpa henti dalam hidupnya. Seperti estafet yang membuatnya lelah. Leya selalu bermimpi menikah sekali seumur hidup dan membangun keluarga harmonis, namun nyatanya pengkhianatan justru menjadi luka yang amat dalam di hatinya. Langit seakan mengerti perasaannya, rintik-rintik hujan pun mulai turun dan dalam sekejap menjadi lebat. Membubarkan sekelompok orang yang asik bermain menjadi koca
Leya dan Nirwan kembali ke rumah dan kembali masuk ke dalam kamar mereka. Pertengkaran hebat pun terjadi di antara keduanya. "Hebat, istriku sekarang sungguh hebat. Apa aku kurang cukup memuaskanmu hingga kamu melirik lelaki lain di luaran sana, hah!" "Jaga bicaramu! Aku tidak serendah itu!" sungut Leya tak terima. Secara tidak langsung Nirwan telah menyamakan dirinya terhadap mantan istrinya dulu. "Lalu apa namanya? Pantas saja kamu kekeuh untuk terus menutupi status pernikahan kita, ternyata agar kamu bisa menggoda laki-laki lain di belakangku rupanya!" balas Nirwan tak kalah menyunggut. Nafasnya naik turun karena gelegak api amarah di hatinya. "Apa kamu lupa perjanjian kita. Kita menikah hanya karena—," "Persetan dengan perjanjian itu! Atau apa pun alasan dibalik pernikahan ini. Yang pasti saat ini kamu adalah istriku dan pernikahan kita sah secara hukum dan agama. Aku akan mengatur ulang semuanya dan aku akan mengabarkan pada publik tentang pernikahan kita agar kejadian
Ini pagi kesekian kalinya Leya bangun dalam keadaan tubuh terasa remuk. Lagi-lagi Nirwan memp3rk0s4nya, tapi dapatkah dirinya menyebut itu sebuah p3merk0saan jika nyatanya status mereka halal secara agama. Leya mencengkram ujung selimut erat seraya menahan sesak yang bergumul di dadanya. Ada rasa sakit akibat perlakuan suaminya tersebut, bukan hanya tubuhnya tetapi juga hatinya. Dirinya saat ini tak ubahnya seperti p3lacur halal yang dipaksa untuk memuaskan tanpa perlu ditanya apakah dia ridho memberikan tubuhnya. Pintu kamar mandi terbuka, Nirwan keluar dengan handuk yang melingkar di pinggang. Leya seakan tengah dejavu akan adegan yang pernah dirinya lalui. Tangannya bergerak menghapus air mata yang baru saja menetes. Dirinya tak ingin terlihat seperti manusia menyedihkan."Ada apa? Apa tubuhmu sakit?" tanya Nirwan lembut seraya mendekat. Nirwan seakan menjadi orang yang berbeda dengan Nirwan yang bersamanya semalam. Leya tak menjawab ataupun menoleh. Dia memilih untuk turun da
Malam minggu sepulang kantor Leya memutuskan untuk nongkrong di cafe. Dia butuh hiburan untuk menjernihkan pikirannya yang terus bergelut sehingga untuk bernapas saja Leya terasa sesak.Takdir sedang ingin bermain-main dengannya sampai-sampai Leya tak mampu lagi untuk tertawa. Live musik terdengar begitu merdu, suara penyanyi perempuan melantunkan tembang hit masa kini. Leya seakan terbawa suasana mudanya dulu. Dulu tempat seperti ini hampir setiap dua sampai tiga kali dalam seminggu dia datangi. Leya menikmati secangkir espresso miliknya, di tatapnya Cindy yang tengah senyum-senyum sendiri dengan gawainya. Sepertinya dia tengah berbagi pesan pada sang kekasih yang tengah tugas di luar kota.Dimana ada Cindy pasti ada Riko. Cindy yang gencar menjodohkan Leya bersama Riko sehingga selalu menyeret lelaki itu setiap mereka nongkrong bersama. "Beb, pacarku sudah pulang dan dia jemput aku di depan. Jadi sorry, aku gak bisa menemani kalian lama-lama di sini," ujar Cindy. Senyum bahagia s
Liliana uring-uringan di ruang tamu. Tangannya membolak-balik majalah fashion dengan perasaan tak menentu. Genap tiga hari putra dan menantunya tak pulang ke rumah tanpa kabar, dia ingi menelpon tetapi ada rasa gengsi di hatinya. Liliana juga marah dengan sikap putranya yang tak menghubungi dirinya seakan tak perduli dengan kondisi sang Mama yang tentunya akan baik-baik saja. "Kenapa mereka belum pulang juga?" gumam Liliana. Silvia yang mendengar itupun berceletuk."Sepertinya Nyonya tampak kesal. Ada apa, Nya?"Liliana menoleh sekilas seraya mencebikkan bibirnya. "Sok tahu kamu. Gak lihat saya sedang baca majalah," balasnya tak ramah.Silvia tersenyum tipis. "Dari raut wajah cantik Nyonya saja sudah jelas terlihat. Nyonya besar pasti lagi mikirin Tuan Nirwan kan, Nya," balas Silvia. "Aku masih gak habis pikir sampai saat ini, Via. Kenapa Nirwan bisa-bisanya menikah dengan sahabat istrinya itu. Apalagi suami wanita itu dengan mantan istrinya Nirwan selingkuh." Liliana masih saja