~ KEBERANIAN BERMAIN API ~
"Sialan! Brengsek! Katanya tidak cinta tapi kenapa memasang foto profil istrinya itu di seluruh sosial media miliknya. Maksudnya apa? Mau mempermainkan aku?" gerutu Arsya di depan meja hiasnya. Kedua tanganny terkepal di atas meja. Dia baru saja berselancar di sosial media dan melihat postingan Leya dan juga Abram yang lewat di beranda sosial medianya. Dadanya bergemuruh melihat Abram mengganti foto profilnya dengan foto istri sahnya yang tengah duduk serta tertawa mesra bersama. Tak lupa terdapat caption manis yang Abram sematkan semakin membakar hatinya. "Sepertinya kamu menikmati waktu liburan bersama istrimu itu, Mas. Kalimat manis laki-laki tak ada yang dapat di percaya." Brak! Prang! Arsya mendorong semua peralatan kosmetik yang ada di atas meja riasnya itu hingga jatuh berhamburan ke lantai. Di merasa iri dengan kemesraan orang lain yang baru saja dia lihat. Arsya dan Leya adalah teman baik jaman smp dulu. Leya yang berasal dari keluarga berada termasuk gadis yang baik, dia kerap membagi apa pun yang dia miliki pada Arsya yang berasal dari keluarga pas-pasan. Arsya juga kerap meminjam pakaian Leya ataupun tas dan sepatu agar dinilai mampu oleh teman-temannya. Orang tuanya hanyalah pegawai golongan rendah di mana gaji yang dimiliki selalu habis setiap akhir bulan untuk makan. Berkat pakaian dan perlengkapan yang sering dia pinjam dari Leya menjadikan dirinya terlihat modis dan cantik hingga mampu memikat Nirwan—suaminya saat ini yang merupakan seorang pengusaha tambang batu bara. Kehidupan Arsya berubah drastis. Dia bisa memiliki apa pun yang dia mau tanpa harus susah-susah bekerja seperti sahabatnya itu. Namun kebahagiaan itu hanya sementara. Karena sifat Nirwan yang terlalu fokus pada pekerjaannya dan tak memiliki waktu untuk dirinya. Tangannya dengan cepat membuka layar ponsel. Menekan panggilan pada sebuah nomor. Hatinya kembali geram saat panggilan telpon itu tak kunjung tersambung. Setelah panggilan ke tiga barulah panggilannya terangkat. "Kemana saja kamu, Mas? Kenapa telponku baru diangkat?" tanya Arsya dengan suara manja yang menjadi ciri khasnya. "Kerja, memangnya ada apa? Tumben?" sahut suara bass dari dalam ponsel. Suara itu terdengar acuh. "Mas, aku ingin liburan berdua. Selama menikah kamu jarang ngajak aku liburan, besok kita liburan ke luar kota ya!" pintanya langsung tanpa berbasa-basi. "Kamu bisa pergi dengan teman-temanmu. Aku akan mentransfer uang yang kamu butuhkan." Arsya berdecak kesal. Dia memiliki semuanya tetapi entah kenapa itu tak cukup untuk mengisi kekosongan hatinya. "Aku gak butuh uang, aku mau pergi bersama kamu. Apaa gak bisa meluangkan waktu untukku sehari saja?" rengek Arsya semakin menjadi. Dia tak terima penolakan yang suaminya itu berikan. "Mana bisa! Aku masih ada kerjaan yang harus aku selesaikan. Pergi sama teman-temanmu saja. Oh ya sayang aku harus pergi meeting sekarang juga. Bay bay!" Sambungan telpon terputus seketika tanpa menunggu satu patah atau dua kalimat balasan darinya. "Lagi-lagi alasan kerja. Kerja! Kerja! Dan kerja! Apa dia tak sadar jika aku juga butuh perhatian dan kehadirannya di sisiku saat ini!" sungut Leya begitu kesal. Lelaki tinggi hitam manis itu terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan hanya memanjakan Arsya dengan uangnya saja, membuat Arsya akhirnya tergoda dengan Bram yang begitu baik serta pengertian menurutnya. Arsha kembali menatap ponselnya. Tangannya dengan cepat mengetik sesuatu yang langsung dia kirimkan pada seseorang yang entah ada di mana. "Aku tak mau tahu, kamu harus datang ke sini, Mas! Enak saja kamu liburan dengannya di sana sedangkan aku di rumah seorang diri!" ~ ~ ~ Leya menatap curiga pada suaminya yang tampak fokus memainkan ponsel yang ada di tangannya itu. Wajah suaminya tampak pucat dan juga gelisah. "Ada apa, Mas? Kamu sakit?" tanya Leya berbasa-basi. Dia bahkan bisa menebak siapa gerangan yang tengah berbalas pesan dengan suaminya saat ini. Sontak Abram memijik pelipisnya dengan pelan. Seakan Tuhan sedang merestuinya hari ini. Dia yang bingung mencari-cari alasan justru alasan itu sendiri yang datang padanya. "Iya, Sayang. Tiba-tiba kepalaku pusing. Sebaiknya kita pulang sekarang saja ya. Jalan-jaalannya kita sambung besok saja, kan masih banyak waktu untuk kita jalan-jalan berdua." "Tapi kita baru saja sampai dan duduk di kafe ini. Masih ada tempat yang mau aku kunjungi," protes Leya mencoba untuk egois. Toh dia yakin suaminya itu tak benar-benar sedang sakit. "Tolonglah! Apa kamu tega melihat Mas menahan sakit sedangkan kamu bersenang-senang sendiri!" balas Abram penekanan dan menggiring makna jika Leya egois. Leya pun akhirnya mengalah. Mereka berdua pulang cepat di luar dari rencana. Sesampainya di rumah, dengan wajah asam Leya memasuki kamar mereka berdua. Baru setengah jam mereka berdua di rumah. Ponsel di saku celana Abram berbunyi tepat saat Leya keluar dari kamar mandi. "Apa! Kok bisa kalian selalai itu? Kalau sudah begini, siapa yang mau bertanggung jawab!" hardik Abram penuh emosi. Leya yang tersentak kaget, dia memicingkan matanya menatap ke arah sang suami yang tengah duduk pada sofa sudut kamar. "Ada apa, Mas?" tanya Leya langsung setelah suaminya selesai menelpon tentunya. Dia yang sudah mengenakan pakaian lengkap menggosok rambutnya yang basah dengan handuk kecil. "Mas harus ke ruko sekarang, Sayang. Ada masalah dengan bahan yang dipesan." "Tapi bukannya kamu lagi sakit, Mas?" "Kalau Mas gak pergi akan semakin sakit lagi, Dek. Kerugian yang akan Mas dapatkan sangat besar. Jadi Mas pergi dulu, ya! Kamu gak usah menunggu Mas pulang!" Abram bergegas mengambil kunci mobil miliknya di atas nakas. Hati Leya berdetak tak karuan. Leya pun juga bergegas meraih kunci mobil miliknya dan melempar handuk kecil yang menutupi kepalanya itu sembarang arah. Dia membuntuti mobil suaminya dari belakang. Mengatur jarak aman agar tak mudah ketahuan. "Ini bukan jalan menuju ruko. Mau kemana dia?" gumam Leya yang heran dengan rute yang dituju Abram. Mobil itu kini berjalan menuju pinggiran kota, melewati pinggiran pantai yang membentang panjang. Sepanjang jalan sudah beberapa banyak hotel dan wisma yang Leya temui semakin membuat hatinya yakin jika suaminya tengah membohonginya saat ini. Akhirnya mobil Abram memasuki sebuah penginapan. Leya masih terus mengikuti diam-diam hingga dia melihat Abram memasuki sebuah kamar yang setiap kamarnya dibuat dengan konsep homestay, rumah panggung dari kayu yang berjarak cukup jauh dari satu kamar ke kamar yang lain. "Oh jadi di sini kamu mengurus pekerjaanmu, Mas. Dasar pembohong!" ucap Leya geram dengan kedua tangan mengepal.~ KETANGKAP BASAH ~Jika ada yang mengatakan uang bukanlah segalanya, maka semua itu salah. Justru uanglah yang menyelesaikan masalah Leya saat ini. Dia membayar seorang pelayan untuk melakukan apa yang di perintahkan secara diam-diam. Leya juga menelpon Asna, meminta bantuan wanita itu untuk membawa suami Arsya datang bagaimanapun caranya. Cukup lama Asna tiba membuat hati Leya was-was. Dia takut pasangan bejad itu sudah lebih dulu pergi. Hampir lima jam Leya menunggu seperti orang bodoh menatap dari balik jendela tanpa bergeming. Dia menyewa kamar yang berada tepat sebelah kiri kamar yang ditempati Bram dan Arsya. Tampaknya keduanya masih asik menikmati surga dunia hingga matahari menghilang di balik langit pun tak kunjung mereka keluar. "Sampai kapan aku menunggu seperti ini?"Pintu terketuk mengagetkan Leya, membuatnya terjaga dari lamunan sedihnya. Leya bergegas membuka pintu dan langsung dia lihat Asna dan juga lelaki tinggi berahang tegas. Asna langsung masuk ke dalam yang
Plak! Leya mengayunkan tangannya dengan keras ke arah pipi Abram. Hatinya sakit tak terkira, dua kali dia harus menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana suaminya bermain gila bersama sahabatnya itu. Dadanya bergemuruh. "Aku bisa jelaskan tentang ini semua, Sayang!" "Jangan panggil aku dengan sebutan itu! Aku muak mendengarnya!" sergah Leya cepat. Dia mundur satu langkah saat Abram mendekatinya. "Aku tahu kamu marah padaku, Dek. Tapi tolong dengarkan dulu penjelasanku! Semua ini tak seperti yang kamu pikirkan, Leya. Aku dijebak," balas Abram. Leya tersenyum kecut. Bisa-bisa lelaki itu berdalih dengan kalimat yang tak masuk akal. "Di jebak? Jelas-jelas kamu menikmatinya. Bagaimana Mas rasanya selingkuh dariku, enak? Apa membuat barangmu yang kecil loyo itu jadi lbih hidup?" sarkas Leya seraya melirik jijik pada apa yang ada di balik celana Abram. Abram mengepalkan kedua tangannya tak terima dengan apa yang dikatakan istrinya. Begitu tajam menginjak-injak harga di
Nirwan dan Leya pulang ke rumahnya masing-masing meninggalkan pasangan m3sum itu karena tak kuat menahan batin. Tak hanya Leya yang sesampainya di rumah keesokan harinya langsung membereskan pakaian Abram, tapi Nirwan juga melakukan hal yang sama. Dia menyuruh semua pelayan memasukkan pakaian wanita itu yang tak lagi ingin dia debgar namanya ke dalam koper tanpa ada satu pun yang tertinggal. "Ada apa sih Mbok? Kenapa tuan besar pulang-pulang dalam keadaan marah. Dan mau diapakan semua pakaian Nyonya ini, Mbok?" tanya Silvia penuh minat. Dia pelayan paling muda di dalam keluarga Anggara. Dia juga merupakan anak dari Mbok Darmi. Pelayan yang mengabdi puluhan tahun pada kekuarga tersebut. Setelah Nirwan berumah tangga, Nirwan memboyong Mbok Darmi untuk melayaninya dan juga istrinya. "Mbok juga gak tahu, Nduk. Sebaiknya kita tak usah ikut campur!" ucap wanita tua bersanggul itu pada anaknya. Mbok Darmi tahu jikaa putrinya ada rasa pada majikannya itu. Impian menjadi orang kaya yang
Arsya berdebat dengan satpam yang ada di depan rumahnya. Tiga koper besar sudah berjejer cantik di luar pagar. Dirinya tak diizinkan masuk, pintu pagar pun tertutup rapat tanpa dapat dia terobos. "Pokoknya aku gak mau tahu, cepat buka pintunya. Kamu pikun atau amnesia, hah! Aku Nyonya di rumah ini!" hardik Arsya jengkel. Udara panas terasa begitu menyengat kepalanya. Dia butuh waktu untuk menenangkan diri sebelum kembali ke rumah, itu sebabnya setelah kejadian itu Arsya memilih untuk tinggal sementara di hotel untuk beberapa hari. "Maafkan saya Nyonya. Saya melakukan ini juga atas dasar perintah dari Tuan muda. Dan maaf, tentu kami lebih mendengarkan kata-katanya karena selama ini beliau yang memberikan gaji pada kami."Arsya mengerang kesal dengan kedua tangan yang terkepal."Aku harus bertemu dengan Mas Nirwan sekarang juga."Arsya menerobos masuk lewat pintu kecil yang sedikit terbuka, tapi langkah kaki pak Satpam lebih dulu untuk menghadangnya. "Lepaskan aku! Aku masih istriny
Arsya terbelalak melihat tumpukan piring yang berdiri tegak di hadapannya. Abram susah dia hubungi. Lelaki itu hilang bagai ditelan bumi. Dengan menahan malu Arsya pun harus pasrah di seret ke dapur sebagai pembayar atas makanan yang sudah dia nikmati.Bukan berarti Arsya tak mencari bantuan lainnya. Dia sudah berulang kali melakukan panggilan pada beberapa nomor yang dia kenal. Seperti kata pepatah, teman datang hanya saat butuh dan lenyap saat dirimu terjatuh. Itulah yang dialami Arsya saat ini. "Cepat kerjakan itu! Setelah itu kamu bantu lap meja-meja di depan!" perintah pelayan wanita tadi dengan ketus. Tak ada lagi panggilan Nyonya yang dia sematkan di awal padanya. Arsya menatap wanita yang baru dia ketahui bernama Sheren itu dengan kesal. Tapi bukannya takut, wanita berambut pendek itu justru bertolak pinggang dengan angkuh padanya. "Kenapa? Gak terima? Kalau gak suka tinggal bayar saja apa yang sudah kamu makan. Gampang kan! Ini bergaya
"Sekarang aku harus kemana?" Di dalam mobil Arsya masih diam menatap lurus ke depan. Parkiran Resto sepi tanpa adanya satupun pengunjung. Jalan raya pun hanya ada satu atau dua mobil yang berlalu-lalang silih berganti. "Baru satu hari aku di usir dari rumah, hidupku sudah seperti gelandangan saja. Sekarang aku menginap di mana malam ini?" Arsya melakukan panggilan dengan ponselnya. Menekan kombinasi angka yang tentunya dia ingat diluar kepala. "Ada apa?" sahut suara bas dari seberang sana cukup membuat hati gelisahnya menjadi lega."Mas, aku di usir dari rumah dan malam ini aku gak tahu harus tinggal di mana?" ujar Arsya merengek manja. Untuk sesaat suara yang ada di seberang terdengar hening yang disusul dengan hembusan napas panjang. "Kamu sekarang ada di mana? Biar aku jemput.""Tidak usah! Aku bawa mobil, biar aku saja yang ke sana.""Aku ada di ruko. Kutunggu kamu di sini," balas lelaki yang tak lain a
"Dia minta harta gono-gini padamu?" teriak Asna tak percaya. Leya hanya menjawab dengan anggukan kepalanya yang lemah. Kepalanya sudah mau pecah dengan segala permasalahan yang ada. Belum lagi urusan pekerjaan yang semakin membuatnya tertekan. Leya menenggak orange jus yang masih tersisa di gelas panjangnya. Menu makan siang yang menjadi vaforitnya kini tak begitu menggugah selera. "Benar-benar lelaki tak tahu malu. Aku heran seberapa bodohnya dirimu. Apa yang kamu lihat darinya dulu hingga bersedia menerimanya menjadi suamimu?" celetuk Asna mengungkit masa lalu. Leya menghela napas panjang. Cinta membutakan mata hati dan pikirannya. Dulu leya pikir dengan saling mencinta saja sudah cukup untuk membangun rumah tangga yang bahagia. Ekonomi tak menjadi tolak ukur untuknya karena sebagai wanita mandiri dirinya memiliki karier yang bagus, bisa menjadi penunjang ekonomi rumah tangga mereka jika Abram tak mampu untuk memenuhinya. Nyatanya Abram tak cukup setia untuk menjaga janji suci
Ibarat perang, Leya hanya mempunyai dua pilihan. Pergi laksanakan perintah atasan atau mundur dan mempersiapkan surat pengunduran diri. Tentu Leya memilih untuk tetap maju daripada menjadi pengangguran. Gedung pencakar langit dengan sembilan anak cabang yang tersebar di beberapa kota dan berkembang pesat. Gedung yang dia masuki menjadi gedung yang paling di impikan sebagian masyarakat terutama kaula muda. Setiap tahunnya selalu ada ribuan surat pelamar yang datang ke perusahaan itu walaupun perusahaan tersebut tidak membuat lowongan pekerjaan. "Ada apa, Bu? Kenapa wajah ibu Leya terlihat kusut?" tanya Kevin. Hari ini lelaki itu ditugaskan untuk menjadi asistennya. "Tidak ada. Ayo lanjut jalan." Leya tak ingin menjawab pertanyaan lelaki berambut ikal itu. Mempresentasikan proposal yang dia buat di hadapan lelaki bermata elang yang menatapnya tajam itu. Tatapannya begitu menusuk membuatnya tak nyaman. Waktu terasa berjalan begitu lambat. Dirinya seakan tengah menunggu e
Liliana uring-uringan di ruang tamu. Tangannya membolak-balik majalah fashion dengan perasaan tak menentu. Genap tiga hari putra dan menantunya tak pulang ke rumah tanpa kabar, dia ingi menelpon tetapi ada rasa gengsi di hatinya. Liliana juga marah dengan sikap putranya yang tak menghubungi dirinya seakan tak perduli dengan kondisi sang Mama yang tentunya akan baik-baik saja. "Kenapa mereka belum pulang juga?" gumam Liliana. Silvia yang mendengar itupun berceletuk."Sepertinya Nyonya tampak kesal. Ada apa, Nya?"Liliana menoleh sekilas seraya mencebikkan bibirnya. "Sok tahu kamu. Gak lihat saya sedang baca majalah," balasnya tak ramah.Silvia tersenyum tipis. "Dari raut wajah cantik Nyonya saja sudah jelas terlihat. Nyonya besar pasti lagi mikirin Tuan Nirwan kan, Nya," balas Silvia. "Aku masih gak habis pikir sampai saat ini, Via. Kenapa Nirwan bisa-bisanya menikah dengan sahabat istrinya itu. Apalagi suami wanita itu dengan mantan istrinya Nirwan selingkuh." Liliana masih saja
"Keluar kalian semua! Kembalikan anakku! Kalian pembunuh!" teriakan nyaring itu terdengar bergema hingga keluar ruangan. Bersamaan dengan itu suara benda-benda berjatuhan serta pecah pun ikut terdengar.Leya masuk ke ruangan itu dengan perasaan campur aduk. Kaget melihat kondisi ruangan yang berantakan serta kasihan melihat saudaranya yang terlihat begitu menyedihkan.Leya memeluk tubuh Asna. Dia mendekap kuat seraya menangis membuat Asna yang tengah mengamuk menjadi diam. "Na, sadarlah! Ini aku, aku mohon hentikan ini!" bisik Leya lirih. Asna mendorong tubuh Leya kasar hingga Leya terdorong beberapa langkah ke belakang. Nirwan yang melihat itu sontak langsung menangkap tubuh istrinya agar tidak terjatuh terjerembab ke lantai. Senyum mengejek Asna terbit di bibir pucatnya. Dia menatap Leya dan Nirwan penuh benci. "Apa yang kamu lakukan?" sentak Nirwan tak terima. Tatapan matanya tajam seakan ingin membunuh membuat Asna terdiam di tempat. Nirwan paham jika wanita di hadapannya itu
Sesampainya di rumah sakit, dari balik jendela Nirwan bisa bernapas lega melihat sosok yang terbaring di atas ranjang bukanlah istrinya.Nirwan pun melangkah masuk yang menarik atensi Leya untuk menoleh. Leya berdiri setelah menyadari siapa yang datang. Leya tak mengucapkan satu patah pun, dia merangkul tubuh Nirwan erat dan menumpahkan kembali air mataa tanpa suara. Tubuh ringkihnya bergetar hebat. Entah dapat dorongan dari mana, lelaki itu pun membalas pelukan istrinya serta membelai lembut rambut hitam terikat berantakan itu. "Tenanglah! Aku di sini!"Satu kalimat pendek yang Nirwan ucapkan seperti sihir yang langsung meredakan kegelisahan hati Leya. Tangis sesenggukan itu seketika terhenti. Leya yang lelah akhirnya pingsan di dalam dekapan suaminya. Nirwan panik memanggil perawat untuk memeriksa istrinya. ~ ~ ~Pagi yang cerah menyinari kediaman keluarga Anggara. Semua yang ada di rumah sudah sibuk dari subuh tadi dengan pekerjaan mereka masing-masing."Mereka suda
Leya tak dapat berkata apa-apa setelah melihat kondisi Asna yang menyedihkan. Lidahnya terasa kelu. Asna bahkan tak lagi sadar saat Leya sampai di sana. Setelah menandatangi berkas-berkas, Asna langsung di bawa ke ruang operasi untuk melakukan tindakan selanjutnya. Perawat mengatakan Asna di bawa dalam keadaan pendarahan hebat. Bayi di dalam kandungannya tak dapat diselamatkan dan tak hanya itu, rahimnya yang robek mengharuskan wanita itu menjalani operasi pengangkatan rahim secepatnya. Asna tentu saja menolak keras hingga menjerit histeris sehingga dokter tak dapat melakukan prosedur selanjutnya. Itu sebabnya kehadiran Leya sangat diharapkan sebagai penanggung jawab. Beruntung, Asna mau memberikan kontak Leya pada pihak rumah sakit. Lebih dari dua jam operasi itu berjalan, namun belum juga menunjukkan akan selesai. "Ya Allah, lindungi dia!" pinta Leya lirih penuh harap. Cairan bening mulai menganak sungai di sudut mata seraya menunggu pertahanan tanggul jebol dan mengalir
Cahaya matahari yang merambat masuk dari jendela terpantul ke mata Leya. Leya menggeliat dan membuka matanya perlahan.Masih terasa di tubuhnya sisa percintaan mereka hingga subuh menjelang. Percintaan? Apa yang terjadi diantara mereka bisa disebut bercint4 jika nyatanya semua itu terjadi karena pemaksaan. Leya menatap ke samping, tampak Nirwan masih terlelap dengan dengkuran halusnya. Ada amarah di dalam hatinya atas perlakuan Nirwan semalam walau sebenarnya apa yang mereka lakukan bukanlah sebuah dosa. Mereka sudah menikah sah secara hukum dan agama. Tetapi apa yang terjadi tadi malam membawa penyesalan yang dalam di hati Leya. Dia mulai bergerak perlahan menuruni ranjang dengan tubuh yang terasa remuk redam. Di dalam kamar mandi, guyuran air dari shower terasa seperti pijitan lembut di tubuhnya. Lama Leya menikmati mandinya seakan tubuhnya sangat kotor dan harus dibersihkan dengan teliti agar tak ada yang terlewat.Setelah mandi, Leya hanya menggunakan handuk yang melilit dada
Leya yang berada di mobil tampak cemas. Bagaimana tidak, dirinya menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana mantan suaminya itu dihajar habis-habisan oleh suaminya yang sekarang. Dalam hati Leya yang paling dalam masih terbesit perasaan tak tega. Akan tetapi ada satu hal lagi yang membuat kecemasan Leya semakin meningkat. "Berhenti! Apa kamu mau kita mati di mobil ini!" jerit Leya ketakutan. Kecepatan mobil itu sudah di atas rata-rata membelah jalanan kota di malam hari. Masih ada beberapa mobil yang berlalu lalang dan di salip Nirwan begitu saja. Leya mencengkram sabuk pengamannya erat seraya memejamkan mata. Dalam hati dia terus merapalkan mantra pada sang pencipta dan berharap hari ini bukanlah hari terakhir dia menatap dunia. Cittt!Mobil yang tiba-tiba berhenti mendorong tubuh Leya ke depan hingga keningnya tak sengaja menubruk sesuatu yang padat tapi lembut. Leya pun membuka mata, tepak tangan Nirwan tepat berada di keningnya. Belum sempat Leya menoleh, Nirwan suda
Setelah perdebatan panjang itu, selama beberapa hari Leya berusaha mengubah jadwalnya. Dia yang biasanya pulang malam terpaksa pulang lebih awal dan membawa pekerjaannya pulang untuk dikerjakan di rumah. Ditambah sifat Nirwan yang kembali ke mode awal, cuek dan dingin membuat Leya mulai merasa lelah. Hari ini Leya memutuskan kembali pulang ke rumahnya. Tapi sebelum pulang dia menyempatkan diri mampir ke sebuah air mancur yang ada di taman kota.Dulu Leya sangat suka duduk di sana, menikmati aneka jajanan yang berjejer tak jauh dari air mancur seraya menikmati gemericik air yang jatuh. Sebuah piring siomay tersodor ke arahnya. Tentu saja itu membuatnya bingung karena dia tak merasa memesan makanan itu, atau mungkin belum. "Saya tidak memesannya, apa mamang salah orang?" ucap Leya kemudiaan mendongakkan kepala menatap ke arah sang penjual. Betapa terkejut dirinya setelah tahu siapa gerangan yang memberikan makanan itu padanya. "Mas Abram? Kenapa kamu bisa ada di sini?""Sama sepert
"Bukan begitu maksudku, Ma—,""Terus maksud kamu bagaimana?" Liliana menarik dagu Leya agar wajahnya terangkat dan pandangan mata mereka kembali saling bertemu. "Aku paling tidak suka melihat menantuku pulang malam-malam begini." Liliana melepaskan tangannya, dia berbalik dan kembali duduk di sofa dengan gaya nyonya angkuhnya yang tak pernah lepas dari karakter dirinya. "Ok, kamu wanita karier dan berbeda dari istri Nirwan sebelumnya. Tapi bukan berarti kamu mengabaikan tanggung jawabmu sebagai seorang istri. Kalau kamu setiap pulang kerja malam begini, lalu fungsimu suami bagimu apa? Apa kurang anakku memberikan nafkah padamu?"Leya menggelengkan kepala. Bahkan jumlah yang diberikan Nirwan padanya cukup untuk dia berfoya-foya tanpa harus capek-cepek bekerja. Tapi bukan itu masalahnya. Pernikahan mereka yang hanya dalam hitungan bulan lagi berakhir ini tak dapat Leya jadikan pondasi keuangannya. Saat mereka berpisah nanti, bagaimana hidupnya jika tak memiliki penghasilan dan juga p
"Ini tehnya Nyonya." Silvia menyuguhkan secangkir kecil teh chamomile pada meja kecil di samping Liliana. Liliana tak menjawab dan hanya melirik sedikit kemudian memberi kode pada Silvia untuk menyingkir dari dekatnya segera. Pagi ini raut wajah Liliana begitu suram tak enak di pandang. Wanita paruh baya yang tetap modis diusia senja itu tampaknya masih kesal dengan kenyataan yang baru saja dia dengar, ditambah perdebatan yang terjadi antara dirinya dan putranya pada malam itu menghadirkan kebencian yang semakin dalam untuk Leya. Sampai-sampai saat Leya pergi ke kantor Lilian tak berniat untuk menyapa dan memilih untuk diam duduk di meja makan sembari menyantap makanannya. "Maaf, Nyonya. Apa anda ingin teman ngobrol, saya bisa menjadi teman ngobrol yaang baik untuk Anda," ujar Silvia menawarkan diri. Liliana menoleh, menatap Silvia dari ujung kepala ke ujung rambut dengan sinis. "Pahami statusmu. Jangan terlalu banyak berharap atas apa yang tak sanggup kamu dapatkan. Dan aku jug