~ MANUSIA TEBAL MUKA ~
Leya menghubungi Abram dan mengabari kedatangannya setelah dua hari menenangkan dirinya di hotel. Dia pulang ke rumah setelah berjuang memantapkan hati untuk bisa bersikap seakan tak terjadi apa-apa "Surprise!!" Baru saja Leya membuka pintu, dia sudah disambut dengan dua sosok manusia yang ingin dia singkirkan dari muka bumi ini. Wajah keduanya tampak begitu ceria. Bram memegang buket bunga Lily putih sementara Arsya memegang sebuah cake yang bertuliskan anniversary pernikahan ke 2 tahun. "Selamat Anniversary pernikahan kita Sayang. Aku harap pernikahan kita langgeng hingga maut memisahkan," ucap Bram memanjatkan harapan. Leya memandang Arsya sekilas kemudian beralih memandang hampa cake berwarna pink dengan gambar sepasang pengantin yang berdiri tegak sembari menari. "Selamat ya, Say. Aku berharap semua doa terbaik untukmu." Arsya menyodorkan kue yang di pegang pada Abram dan berniat untuk merangkul tubuh Leya. Rasa kecewa membuat Leya reflek menolak dengan mundur satu langkah. Senyum terpaksa Leya hadiahkan. "Ada apa?" tanya Arsya bingung. Tak seperti biasanya Leya menolak rangkulan tangannya. "Aku baru pulang dan bau keringat. Sebaiknya aku mandi dulu," dalih Leya cepat untuk menghilangkan kecurigaan. Jangankan bersentuhan tubuh secara langsung dengan Arsya, melihat wajah wanita itu saja sudah membuat dada Leya meradang. Ingatannya kembali pada malam itu saat wanita yang menyebut dirinya sebagai seorang sahabat itu begitu menikmati pergumulan panas dengan suaminya. "Ya sudah, kamu mandi dulu Sayang. Kita kumpul makan malam bersama. Hari ini Arsya menyempatkan diri memasak untuk kita." "Baiklah, aku ke atas dulu," pamit Leya setelah memberi respon biasa pada apa yang diucapkan suaminya. "Kenapa dengannya, Mas? Tak seperti biasanya istrimu itu terlihat dingin seperti itu?" tanya Arsya yang menaruh curiga. "Mungkin benar dia sedang kecapean. Biarkan saja dulu! Sekarang ayo kita ke meja makan." Abram mengajak Arsya untuk duduk di meja makan sembari menunggu kedatangan Leya. Sesampainya di kamar kepala Leya serasa berputar dengan rasa mual yang mendera. Adegan demi adegan menjijikkan malam itu kembali berputar memberikan rasa sesak di dada. Pembantu rumah tangga yang datang membawa koper Leya pun tersentak panik melihat majikannya yang kini terhuyung dan bersandar pada dinding sebagai tumpuan. "Anda tidak apa-apa, Nyonya?" "Tidak apa-apa, Bik. Aku hanya lelah." "Kalau begitu Nyonya istirahat dulu dan biar Bibik yang kasih tahu Tuan kalau nyonya tak bisa ke bawah," ucap Bi Imah perhatian. Baru saja pelayan wanita yang sudah berumur kepala empat itu hendak beranjak, Leya sudah lebih dulu menahan lengannya. "Aku audah bilang aku tidak apa-apa, Bik. Tak perlu memanggil siapa pun. Oh ya, Bik. Selama beberapa hari aku pergi apa ada kurir yang mengantarkan paket ke sini?" Leya sengaja membuat pertanyaan bohong untuk mencari tahu apa saja yang terjadi di rumahnya selama dia tak ada. "Saya tidak tahu Nyonya. Kan selama nyonya pergi keluar kota, saya kan pulang kampung juga." "Coba tanyakan sama satpam atau tukang kebun?" cecar Leya. "Saya yakin mereka juga tak tahu Nyonya karena mereka juga libur seperti saya." Aku tersentak kaget. "Semuanya libur? Kenapa?" "Perintah Tuan seperti itu nyonya, karena katanya selama nyonya tak ada, semua karyawan harus libur," jawab Bi Imah. Senyum tipis terbit di bibir Leya. Dia mengancungi jempol keberanian Abram mengkhianatinya. Bahkan hingga di atas peraduan mereka. "Panggil Mang Nanang dan yang lainnya, Bi! Suruh keluarkan ranjang ini!" "Loh kenapa, Nya? Ranjangnya kan masih bagus dan enak dipakai?" "Aku mau ganti suasana baru. Cepat panggilkan, Bik! Terserah kasur itu mau di bawa ke mana. Bakar sekalipun juga gak masalah," ucap Leya tak perduli. Leya menghubungi seseorang di ponselnya. Dia memesan sebuah ranjang baru sebagai pengganti ranjangnya yang masih bagus itu. Semua itu dia lakukan karena dia jijik harus tidur di atas rajang yang sudah dipakai pasangan pez1n4 itu. Bi Imah tetap menjalankan perintahnya walau dengan perasaan bingung atas sikap majikannya yang sedikit aneh menurutnya. Abram dan Arsya kaget melihat ranjang keluar dari kamar atas. Mata Abram pun melebar melihat kamar mereka kini tampak kosong dan lapang. "Kenapa dengan kasurnya?" tanya Abram menghampiri istrinya yang ada di kamar tamu tak jauh dari kamar utama milik mereka. "Aku ganti dengan yang baru. Aku pengen suasana baru, Mas. Dan untuk sementara sampai kasur baru datang, kita akan tidur di kamar ini," jelas Leya yang baru saja habis mandi. Dia pun duduk di pinggir ranjang dengan handuk kecil mengeringkan rambutnya yang basah. Senyum simpul terukur di bibirnya melihat kebingungan di wajah suaminya itu. "Oh, ya Mas. Aku tadi mendapat kabar dari kantor, sepertinya lusa aku akan pergi ke luar kota lagi. Masih ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan. Kamu tak apa-apa kan?" Abram tersentak kaget. "Kamu pergi lagi, Sayang? Kamu kan baru saja pulang dan lusa akan pergi lagi?" "Mau bagaimana lagi, Mas. Kan kamu tahu sendiri posisi aku di perusahaan sekarang mengharuskan aku menghendle semuanya. Aku sebenarnya capek seperti ini. Apa aku resign saja dari pekerjaan ya, Mas. Kan ada kamu yang gantiin aku untuk membiayai hidup kita. Aku ingin di rumah saja sambil ngurus anak kuta nanti," ucap Leya yang lagi-lagi membuat Abram tersentak. Lelaki berambut ikal itu duduk di samping istrinya. "Jangan resign dulu, Sayang. Kamu tahu kan usaha aku belum berkembang. Mana bisa untuk membiayai hidup kita nanti dan kebetulan sekarang aku mau pinjam uang dua ratus juta sama kamu untuk pengembangan usaha," ucap Abram yang kini membuat Leya tersentak. Abram memiliki usaha konveksi yang mulai dia rintis saat mereka baru saja menikah dan semua modal usaha dia dapatkan dari Leya. Usahanya cukup besar dan maju setahun belakangan ini, tetapi tak pernah sekalipun Leya mencicipi uang dari hasil usahanya itu. "Modal lagi? Memangnya kemana uang dari hasil usahamu selama ini?" Leya menatap wajah Abram, lelaki itu tampak mengelak dan mengedarkan pandangan ke sembarang arah. Tak berani menatap mata istrinya membuat Leya yakin jika suaminya tengah berniat menipunya lagi. "Oh, itu ... semua keuntungan konveksi Mas gunakan untuk ikut investasi bisnis baru. Dan memang Mas belum sempat bilang sama kamu, tapi kamu jangan khawatir sayang, kalau bisnis Mas yang satu ini juga berhasil, kamu bisa langsung berhenti dari perusahaan itu. Di rumah saja mengurus anak-anak kita nanti, tapi sebelum itu pinjamkan Mas modal terlebih dahulu," rayu Abram. Leya hapal di luar kepala dan paling ujung-ujungnya uang yang dia berikan akan lenyap begitu saja bagai angin yang mengurai. "Maaf Mas, tapi untuk saat ini aku tak punya dana lebih untuk pengembangan usahamu itu." "Aku tak sudi memberikan sepeserpun uangku padamu lagi dan kamu tunggu saja, Mas. Hidupmu dan gundikmu itu akan aku buat menderita!" lanjut Leya di dalam hatinya.~ PERMAINAN CANTIK ~Arsya mendekati Leya yang baru saja duduk di ruang tamu dengan toples keripik di tangannya."Ley, sepertinya kamu melupakan sesuatu," ucap Arsya membuat Leya mengernyitkan dahinya."Mana oleh-oleh untukku? Aku kan sudah menitipkannya padamu," ucap Arsya mengingatkan seraya membentangkan telapak tangan kanannya di hadapan Leya."Aku sibuk, jadi mana sempat berbelanja." Tepis Leya pada telapak tangan wanita berambut panjang itu.Arsya merengut. "Tak biasanya dia mengabaikan aku. Ada apa dengannya?" batin Arsya pun bertanya-tanya.Sebagai seorang sahabat yang begitu dekat sejak SMA, Leya selalu mengabulkan keinginan Arsya termasuk membelikan barang-barang yang wanita itu pinta. Walaupun sebenarnya Arsya bisa membelinya sendiri dari uang yang diberikan suaminya, tetapi menikmati uang Leya ada kepuasan tersendiri bagi Arsya. "Kamu sengaja tak membawakannya untukku kan? Padahal aku sudah menantikan tas itu," ucap Arsya merajuk. Leya memutar bola matanya muak, jika dul
~ KEBERANIAN BERMAIN API ~"Sialan! Brengsek! Katanya tidak cinta tapi kenapa memasang foto profil istrinya itu di seluruh sosial media miliknya. Maksudnya apa? Mau mempermainkan aku?" gerutu Arsya di depan meja hiasnya. Kedua tanganny terkepal di atas meja. Dia baru saja berselancar di sosial media dan melihat postingan Leya dan juga Abram yang lewat di beranda sosial medianya. Dadanya bergemuruh melihat Abram mengganti foto profilnya dengan foto istri sahnya yang tengah duduk serta tertawa mesra bersama. Tak lupa terdapat caption manis yang Abram sematkan semakin membakar hatinya. "Sepertinya kamu menikmati waktu liburan bersama istrimu itu, Mas. Kalimat manis laki-laki tak ada yang dapat di percaya."Brak! Prang!Arsya mendorong semua peralatan kosmetik yang ada di atas meja riasnya itu hingga jatuh berhamburan ke lantai. Di merasa iri dengan kemesraan orang lain yang baru saja dia lihat. Arsya dan Leya adalah teman baik jaman smp dulu. Leya yang berasal dari keluarga berada te
~ KETANGKAP BASAH ~Jika ada yang mengatakan uang bukanlah segalanya, maka semua itu salah. Justru uanglah yang menyelesaikan masalah Leya saat ini. Dia membayar seorang pelayan untuk melakukan apa yang di perintahkan secara diam-diam. Leya juga menelpon Asna, meminta bantuan wanita itu untuk membawa suami Arsya datang bagaimanapun caranya. Cukup lama Asna tiba membuat hati Leya was-was. Dia takut pasangan bejad itu sudah lebih dulu pergi. Hampir lima jam Leya menunggu seperti orang bodoh menatap dari balik jendela tanpa bergeming. Dia menyewa kamar yang berada tepat sebelah kiri kamar yang ditempati Bram dan Arsya. Tampaknya keduanya masih asik menikmati surga dunia hingga matahari menghilang di balik langit pun tak kunjung mereka keluar. "Sampai kapan aku menunggu seperti ini?"Pintu terketuk mengagetkan Leya, membuatnya terjaga dari lamunan sedihnya. Leya bergegas membuka pintu dan langsung dia lihat Asna dan juga lelaki tinggi berahang tegas. Asna langsung masuk ke dalam yang
Plak! Leya mengayunkan tangannya dengan keras ke arah pipi Abram. Hatinya sakit tak terkira, dua kali dia harus menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana suaminya bermain gila bersama sahabatnya itu. Dadanya bergemuruh. "Aku bisa jelaskan tentang ini semua, Sayang!" "Jangan panggil aku dengan sebutan itu! Aku muak mendengarnya!" sergah Leya cepat. Dia mundur satu langkah saat Abram mendekatinya. "Aku tahu kamu marah padaku, Dek. Tapi tolong dengarkan dulu penjelasanku! Semua ini tak seperti yang kamu pikirkan, Leya. Aku dijebak," balas Abram. Leya tersenyum kecut. Bisa-bisa lelaki itu berdalih dengan kalimat yang tak masuk akal. "Di jebak? Jelas-jelas kamu menikmatinya. Bagaimana Mas rasanya selingkuh dariku, enak? Apa membuat barangmu yang kecil loyo itu jadi lbih hidup?" sarkas Leya seraya melirik jijik pada apa yang ada di balik celana Abram. Abram mengepalkan kedua tangannya tak terima dengan apa yang dikatakan istrinya. Begitu tajam menginjak-injak harga di
Nirwan dan Leya pulang ke rumahnya masing-masing meninggalkan pasangan m3sum itu karena tak kuat menahan batin. Tak hanya Leya yang sesampainya di rumah keesokan harinya langsung membereskan pakaian Abram, tapi Nirwan juga melakukan hal yang sama. Dia menyuruh semua pelayan memasukkan pakaian wanita itu yang tak lagi ingin dia debgar namanya ke dalam koper tanpa ada satu pun yang tertinggal. "Ada apa sih Mbok? Kenapa tuan besar pulang-pulang dalam keadaan marah. Dan mau diapakan semua pakaian Nyonya ini, Mbok?" tanya Silvia penuh minat. Dia pelayan paling muda di dalam keluarga Anggara. Dia juga merupakan anak dari Mbok Darmi. Pelayan yang mengabdi puluhan tahun pada kekuarga tersebut. Setelah Nirwan berumah tangga, Nirwan memboyong Mbok Darmi untuk melayaninya dan juga istrinya. "Mbok juga gak tahu, Nduk. Sebaiknya kita tak usah ikut campur!" ucap wanita tua bersanggul itu pada anaknya. Mbok Darmi tahu jikaa putrinya ada rasa pada majikannya itu. Impian menjadi orang kaya yang
Arsya berdebat dengan satpam yang ada di depan rumahnya. Tiga koper besar sudah berjejer cantik di luar pagar. Dirinya tak diizinkan masuk, pintu pagar pun tertutup rapat tanpa dapat dia terobos. "Pokoknya aku gak mau tahu, cepat buka pintunya. Kamu pikun atau amnesia, hah! Aku Nyonya di rumah ini!" hardik Arsya jengkel. Udara panas terasa begitu menyengat kepalanya. Dia butuh waktu untuk menenangkan diri sebelum kembali ke rumah, itu sebabnya setelah kejadian itu Arsya memilih untuk tinggal sementara di hotel untuk beberapa hari. "Maafkan saya Nyonya. Saya melakukan ini juga atas dasar perintah dari Tuan muda. Dan maaf, tentu kami lebih mendengarkan kata-katanya karena selama ini beliau yang memberikan gaji pada kami."Arsya mengerang kesal dengan kedua tangan yang terkepal."Aku harus bertemu dengan Mas Nirwan sekarang juga."Arsya menerobos masuk lewat pintu kecil yang sedikit terbuka, tapi langkah kaki pak Satpam lebih dulu untuk menghadangnya. "Lepaskan aku! Aku masih istriny
Arsya terbelalak melihat tumpukan piring yang berdiri tegak di hadapannya. Abram susah dia hubungi. Lelaki itu hilang bagai ditelan bumi. Dengan menahan malu Arsya pun harus pasrah di seret ke dapur sebagai pembayar atas makanan yang sudah dia nikmati.Bukan berarti Arsya tak mencari bantuan lainnya. Dia sudah berulang kali melakukan panggilan pada beberapa nomor yang dia kenal. Seperti kata pepatah, teman datang hanya saat butuh dan lenyap saat dirimu terjatuh. Itulah yang dialami Arsya saat ini. "Cepat kerjakan itu! Setelah itu kamu bantu lap meja-meja di depan!" perintah pelayan wanita tadi dengan ketus. Tak ada lagi panggilan Nyonya yang dia sematkan di awal padanya. Arsya menatap wanita yang baru dia ketahui bernama Sheren itu dengan kesal. Tapi bukannya takut, wanita berambut pendek itu justru bertolak pinggang dengan angkuh padanya. "Kenapa? Gak terima? Kalau gak suka tinggal bayar saja apa yang sudah kamu makan. Gampang kan! Ini bergaya
"Sekarang aku harus kemana?" Di dalam mobil Arsya masih diam menatap lurus ke depan. Parkiran Resto sepi tanpa adanya satupun pengunjung. Jalan raya pun hanya ada satu atau dua mobil yang berlalu-lalang silih berganti. "Baru satu hari aku di usir dari rumah, hidupku sudah seperti gelandangan saja. Sekarang aku menginap di mana malam ini?" Arsya melakukan panggilan dengan ponselnya. Menekan kombinasi angka yang tentunya dia ingat diluar kepala. "Ada apa?" sahut suara bas dari seberang sana cukup membuat hati gelisahnya menjadi lega."Mas, aku di usir dari rumah dan malam ini aku gak tahu harus tinggal di mana?" ujar Arsya merengek manja. Untuk sesaat suara yang ada di seberang terdengar hening yang disusul dengan hembusan napas panjang. "Kamu sekarang ada di mana? Biar aku jemput.""Tidak usah! Aku bawa mobil, biar aku saja yang ke sana.""Aku ada di ruko. Kutunggu kamu di sini," balas lelaki yang tak lain a
Tak pernah ada yang tahu takdir mereka seperti apa dan kisah cinta berakhir dalam pelukan siapa. Seolah takdir tengah bermain-main dengan kehidupan Leya dan Nirwan. Mereka yang tengah mengalami kemelut kehidupan yang sama pun dipertemukan pada tempat yang tak terduga. Leya yang baru saja sampai di sebuah resto hotel berbintang lima untuk malan malam tanpa sadar duduk pada meja yang ada di seberang meja Nirwan. Posisi mereka saling berhadapan. Dalam diam Leya terpaku tanpa tahu harus berbuat apa saat matanya tak sengaja beradu pandang pada mata yang selalu menatapnya tajam. Di tengah keterdiamannya, di benak Leya tiba-tiba kembali terbesit bayangan Abram dan juga Arsya. Ditambah Abram yang baru saja menemuinya untuk rujuk membuat hatinya gelisah. Leya takut dirinya kembali dalam pelukan Abram, bukan karena dirinya yang goyah tetapi karena kepiawaian lelaki itu yang terus mencari kesempatan untuk mendekatinya."Selamat malam, Mbak. Mau pesan apa?" Suara waiters menarik atensi Leya.
Hujan membasahi seluruh kota. Awan gelap yang menutupi seluruh langit menunjukkan alam seakan tengah berduka. Leya duduk manis di sofa panjangnya, menikmati secangkir kopi susu sembari menatap jauh keluar jendela. Jika hari minggu bagi sebagian orang di manfaatkan untuk berlibur bersama pasangan atau keluarga, Leya justru termenung seorang diri memandangi bunga-bunga yang bersusun di dalam pot. Kelopak bunga yang basah kuyup tertimpa air hujan menjadi pemandangan yang menyegarkan mata."Permisi Mbak, ada tamu yang mau bertemu Mbak Leya."Suara lembut pelayan baru mengalihkan pandangannya. Leya menoleh dengan malas."Siapa?" tanyanya memastikan. Dia tak merasa memiliki janji dengan siapa pun hari ini. "Laki-laki tapi saya tak tahu siapa namanya, Mbak," jawab polos wanita yang lebih tua tiga tahun darinya itu. Wulan nama pelayan baru itu, wanita hitam manis yang dibesarkan dipinggiran kampung kota sumatra itu memberanikan diri merantau ke kota besar hanya dengan bermodalkan tenaga
Silvia berdendang riang seraya mengatur meja makan sedemikian rupa seakan dirinyalah nyonya rumah itu. Sekuntum mawar merah dia rangkai sedemikian rupa agar terlihat cantik di antara piring-piring yang telah terisi masakannya. Bi Darmi menggelengkan kepala. Wajahnya tampak memerah karena malu mendengar bisik-bisik pekerja lain yang tengah membicarakan keponakannya itu. "Lihat ada katak yang berusaha manjat untuk menjadi bangau.""Kita lihat saja apa yang akan dia lakukan. Kasihan dia, terlalu menganggap tinggi dirinya." "Alah paling hanya mengandalkan tubuhnya naik ke atas ranjang tuan. Wajah pas-pasan seperti itu mana bisa dibandingkan dengan mantan Nyonya rumah ini."Bi Darmi berbalik menatap tajam pada dua orang rekan kerjanya yang sedari tadi masih asik membicarakan keponakannya itu. "Kenapa? Tidak terima? Apa yang kami katakan itu kenyataan. Daripada kamu menatap garang pada kami, lebih baik kamu tegur keponakanmu itu agar sadar diri!" balas perempuan dengan tahi lalat di ata
Silvia mendapati Federick di lobby kantor tengah menggoda seorang staf di sana. Dia menolak tawaran lelaki berambut keriting itu untuk mengantarkan berkas yang dia bawa. Silvia ingin mengantarkannya langsung pada lelaki yang menjadi pujaan hatinya tersebut."Sebaiknya kamu pulang saja dan berikan map itu padaku!" perintah Federick tegas. "Tidak. Aku akan langsung mengantarkannya langsung ke Tuan muda. Ini amanah dan aku gak mau terjadi kesalahan. Bagaimana jika nanti benda ini ada yang hilang atau rusak. Pasti aku yang akan di salahkan!" debatnya. Dirinya tetap kekeuh pada tujuannya. Federick tersenyum tipis. Sebagai seorang lelaki yang cukup peka, tentu dirinya mengerti maksud dan tujuan wanita manis di hadapannya ini. "Aku asisten pribadinya dan kamu mencurigaiku. Konyol sekali!" "Tak ada yang konyol di dunia ini. Bisa saja kan kamu pura-pura setia pada tuannya tapi dibelakang bersekutu dengan musuh. Pokoknya aku akan mengantarkannya sendiri.""Terlalu banyak nonton film action
Tak terkira betapa kesalnya hati Arsya tatkala seorang anak pelayan yang biasa melayani dirinya, patuh dan tunduk dalam perintahnya kini berani mengeluarkan kata-kata untuk menekannya. Arsya terus menggerutu sepanjang perjalanan, di dalam kendaraan roda empat yang kebetulan melintasi area kantor tersebut. "Fokus saja dengan kemudi setirnya, Pak! Jangan jelalatan ke belakang!" ketua Arsya saat dia tak sengaja menangkap basah si sopir taksi yang curi-curi pandang pada belahan bajunya yang rendah. "Maaf Neng, saya pikir Neng kenapa bicara sendiri dari tadi," jawab si supir dengan cengengesan. Deretan giginya yang berubah warna karena nikotin dan kafein membuat Arsya memalingkan muka karena jijik."Mau bicara sendiri atau kesurupan sekalipun itu bukan urusan anda. Fokus saja ke depan! Tua-tua, matanya masih saja jelalatan!" balas Arsya menurunkan nada suaranya hingga terdengar seperti berbisik saat dirinya mengatai lelaki yang beberapa helai rambut
"Mau kemana lagi kamu? Apa tak bisa sehari saja tak keluar rumah?" Suara bass Abram terdengar menggema di rumah petak kecil yang mereka sewa. Dia menatap istrinya tak suka. Meja makan yang seharusnya tempat terhidangnya makanan justru dipenuhi peralatan make up yang berserakan. Arsya sudah cantik dengan pakaian terbaiknya. Make up dari brand ternama juga sudah melekat di wajahnya. "Gak bisa! Daripada sibuk mengomel jam segini, lebih baik kamu pergi keluar cari kerja atau apalah, Mas. Cari duit sana yang banyak!" "Lancang sekali kamu berkata seperti itu padaku. Aku suamimu, bukan tuyul pencetak uangmu!""Suami? Suami yang mau bergantung hidup sama istrinya maksudmu? Cuih! Aku tak sudi. Aku bukan Cataleya yang bodoh itu, ya Mas!" "Arsya!" Mata Abram semakin menyala. Darahnya semakin mendidih dengan kedua tangan yang terkepal di kedua sisi. Ucapan Arsya terasa melucuti harga dirinya sebagai seorang lelaki. Sejak tinggal bersama dan Abram tak lagi bisa memenuhi keinginannya, sikap
Cahaya matahari merambat masuk melalui jendela. Mata sayu dengan bulu lentik itu terbuka perlahan. Aroma antiseptik dan obat-obatan tercium begitu pekat di indra penciumannya. Hal yang tampak pertama kali di mata Leya adalah langit-langit putih di mana ada tiang tinggi yang tergantung tabung infus. Kepala Leya terasa begitu berat hanya sekedar untuk menoleh. Suara lirih pun terdengar begitu memprihatinkan. "Jangan banyak bergerak! Istirahatlah dulu, kamu belum benar-benar pulih!" Suara itu terdengar begitu lirih di telinga. Ada getar kepanikan yang tertangkap."As-na, air," pinta Leya susah payah. Tenggorokannya terasa begitu kering.Wanita yang tak lain adalah Asna langsung menyodorkan pipet ke mulut Leya. Leya merasa lega saat cairan bening itu perlahan masuk dan membasahi tenggorokannya. "Bagaimana bisa aku berada di sini? Siapa yang menolongku?""Kalau bukan di tempat ini, lalu kamu maunya di mana? Kau membuat jantungku hampir berhenti. Aku tak akan bertanya banyak hal padamu
Lelaki berambut panjang yang terikat di belakang menyerupai ekor kuda itu menyerahkan segelas cocktail pada Leya. Jika biasanya minuman sejenis cocktail mengandung alkohol, tapi yang ini tidak melainkan soda sebagai penggantinya.Dia mulai santai menikmati minumannya secara perlahan. Rasa buah-buahan terasa menyegarkan di mulutnya serta sedikit rasa pahit yang menggetarkan lidah.Sepasang mata liar yang sedari tadi memperhatikannya pun mulai mendekat. Duduk di samping Leya dan mulai mengajaknyaa berbincang. "Sendirian saja? Mau aku temani?" suara basnya terdengar menggoda di telinga. Leya melirik sekilas. Dia langsung menunjukkan ekpresi tak berminat membuat lelaki itu menjadi semakin tertantang. Siapa yang tak tergoda dengan wajah cantik serta lekuk tubuh indah di balik dres yang dia kenakan walau dengan potongan yang tak terlalu ketat."Sombong banget sih cantik. Sendirian di tempat seperti itu tidak menyenangkan." Lelaki itu mulai bertindak nakal. Tangannya mengelus dagu Leya
Cataleya pergi ke hotel bintang lima yang cukup besar dan terkenal dengan sebuah harapan di hatinya. Dia tidak datang ke sana untuk chek in, melainkan untuk bertemu dengan seseorang yang telah membuat janji dengannya.Pintu restoran mewah itu dibukakan oleh pelayan dan langsung mempersilakan Leya masuk. Meja nomor 6 menjadi tujuannya. Di sana sudah duduk seorang lelaki. Melihat postur tubuh lelaki itu dari belakang, Leya begitu yakin jika itu bukanlah lelaki yang dia harapkan. "Hallo Nona Cataleya." Federick berdiri dan mengulurkan tangannya saat Leya sudah berdiri di hadapannya dengan perasaan kecewa. "Kenapa anda, Pak Federick?" tanya Leya tak lupa membalas uluran tangan lelaki berambut keriting itu.Mereka berdua pun kembali duduk. Frederick memanggil pelayan dan memesankan makanan setelah mendapatkan konfirmasi dari orang yang bersangkutan tentang menu makanan apa yang mau dimakannya."Kenapa anda yang datang ke sini pak Federick. Kenapa bukan Pak Nirwan saja?" tanya Leya langs