"Kalau Abang lagi ada masalah ceritakan saja sama aku. Aku siap menjadi pendengar yang baik. Abang tidak perlu melakukan hal konyol yang menyakiti diri sendiri!" omelku.Dan seperti biasanya, sang pemilik rahang tegas itu hanya diam tanpa menyahut, serta hanya menatap dengan pindaian datar."Kamu siap-siap. Kita jalan sekarang!" Bang Damian beranjak dari duduknya, lalu pergi begitu saja setelah aku obati."Memangnya kalian mau ke mana, Van?" Mami bertanya dengan mimik penasaran."Vani nggak tau, Mam. Katanya Abang mau ngajak Vani jalan dan membelikan sesuatu. Semalam dia bilang begitu," jawabku apa adanya, sebab memang Bang Damian hanya berkata seperti itu semalam saat berada di dalam kamar.Aku kemudian segera masuk ke dalam bilik, mengganti pakaian bersiap pergi dengan Bang Damian. [Assalamualaikum, Mas. Aku jalan sebentar sama Abang. Kamu hari ini ke rumah Mami nggak? Aku mau bicara penting sama Mas]Mengirim pesan kepada suami sebelum pergi, karena biar bagaimanapun seorang istri
“Berhenti, Bang! Aku lagi hamil. Abang sengaja mau bunuh aku dan anak aku? Apa Abang nggak kasian sama anak-anak aku kalau sampai ibunya meninggal? Mereka masih kecil-kecil, Bang. Mereka butuh aku!” Spontan Bang Damian banting setir ke kiri, menginjak pedal rem hingga terdengar suara decitan ban beradu dengan aspal, serta suara klakson dari kendaraan lain yang saling bersahutan.Nafasku naik turun tidak beraturan. Tubuhku menggigil dan ketakutan, sementara Bang Damian terus saja menatap dengan pindaian yang begitu menakutkan. Dia terlihat begitu marah, tetapi sepersekian detik kemudian tatapannya melunak dan penuh cinta seperti biasa.Apa jangan-jangan, kakakku ini seorang psikopat yang sifat bisa berubah-ubah dalam waktu singkat. Sebab Bang Damian itu mood-nya mudah sekali naik dan turun levelnya, dan ketika marah dia akan sangat menyeramkan.Ah, kenapa aku tidak menyadari sejak dulu.“Abang minta maaf, Sayang. Abang tadi terb
“Sudah sore, Bang. Sebentar lagi magrib!” jawabku sesantai mungkin, mencoba menutupi rasa takut karena jujur, aku begitu khawatir dia nekat menyakiti anak-anakku.“Danisa mau ‘kan jalan-jalan sama Om Dem?” Pria bertubuh tinggi besar itu berjongkok, mengusap pipi putriku seperti dia mengusap pipiku barusan.Aku tidak mau dia menyayangi putriku seperti dia menyayangi diriku. Berlebihan serta menakutkan. Aku tidak mau.“Abang, tolong jangan maksa anak-anak.”“Hanya mengajak mereka membeli es krim, Vani. Kenapa kamu takut sekali aku mencelakai mereka. Mereka itu putri-putriku. Mana ada seorang ayah yang berani melukai putrinya sendiri!”“Sudah sih, Van. Benar juga apa kata Damian. Danisa dan Mikayla itu putrinya Damian juga. Paman itu ‘kan sama dengan ayah. Masa mau diajak jalan sama pamannya saja kamu larang? ‘Kan aneh!” timpal Mami sambil menyerahkan Mikayla kepada anak sulungnya.“Tapi, Mam?”“Tidak ada tapi
“Lepas! Jangan peluk-peluk aku, Bang. Jangan buat aku semakin takut sama Abang!” Mendorong tubuh kekar Bang Damian, tetapi dia begitu erat memeluk diriku.“Biarkan seperti ini, Van. Tolong jangan siksa perasaan Abang. Jangan buat Abang semakin merindukan kamu. Abang sudah tidak sanggup lagi!” racaunya seperti orang sedang dipengaruhi minuman keras, namun aku yakin saat ini laki-laki yang tengah mendekapku tidak dalam keadaan mabuk. Sebab Bang Damian paling anti menenggak minuman haram seperti itu.“Aku mau pulang, Bang. Anak-anak nanti nyariin. Kasian Viera. Dia belum menyusu. Mikayla juga kalo bobok nyariin aku terus. Tolong Abang mengerti. Sekarang ini aku bukan lagi Vani si gadis kecil yang hanya dimiliki oleh Abang. Aku sudah punya anak dan suami. Tolong Abang ngertiin posisi aku.”Dekapan Bang Damian mengendur. Riak wajahnya berubah dan menyiratkan luka yang begitu dalam.Ah, harusnya tadi tidak usah datang kalau tahu akan menjadi sep
“Dia kenapa, Mam? Mas Erlang baik-baik saja kan? Mam, Mami tau nggak? Bang Damian menjadikan suami aku joki tinjunya. Suami aku itu sering banget pulang dengan keadaan babak belur dan setiap ditanya dia tidak mau berbicara. Pasti Abang juga yang mengancam dia. Sekarang, selama aku tinggal di rumah Mami, Mas Erlang sama sekali tidak bisa dihubungi. Nomernya selalu tida aktif dan aku liat rekaman CCTV rumah juga ternyata dia tidak pulang, Mam!” Wajah Mami terlihat syok mendengar apa yang aku ceritakan. Sebenarnya tidak mau membeberkan rahasia ini tapi, aku juga tidak kuat harus menanggung beban sendiri. Biasanya Mami selalu memberikan solusi atas segala masalah yang tengah dihadapi. “Nanti biar Mami ceritakan ke Papi kamu. Kamu tenang saja. Setelah ini pasti Demian tidak akan mengganggu kalian!” “Lagian Abang itu kenapa sih? Selalu saja ngelarang aku dekat-dekat dengan orang lain. Mas Erlang itu kan suami aku, masa iya dia tega ingin menghabisi adik ip
“Mas! Astagfirullah! Kamu kenapa?” teriakku sambil berjalan setengah berlari menghampiri Mas Erlangga yang tengah duduk di lantai bersandar pinggiran ranjang.Laki-laki dengan wajah babak belur serta darah mengalir di pelipis juga hidung itu hanya menatap nanar wajahku. Raut kepedihan terpancar jelas di sorot kedua netranya.“Mas, tolong katakan. Ada apa?” tanyaku lagi sembari mengusap darah yang keluar menggunakan baju yang tengah kukenakan.Hening. Mas Erlangga masih tetap diam dan kini kedua kelopaknya malah terpejam.“Mas, ya Allah!”Buru-buru mengambil gawai, menghubungi ambulans dan juga keluargaku, mengabari tentang keadaan suami dan meminta salah satu dari mereka untuk datang.“Mas, bangun. Kamu kenapa? Apa ini perbuatan Abang? Ya Allah, Mas. Jangan buat aku takut. Bangun, Sayang. Liat anak-anak kita masih kecil-kecil. Aku juga lagi hamil ‘kan?” Mengusap pipi Mas Erlangga membersihkan darah yang mulai mengerin
Alisku bertaut hingga hampir menyatu satu sama lain, karena closed circuit television di rumah tidak dapat merekam video. Sepertinya ada yang sengaja merusaknya, sebab tidak mungkin bisa tiba-tiba mati disaat masalah besar seperti ini sedang melanda.Ya Tuhan ... Siapa yang tega melakukan ini kepada kami?Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka dua dini hari. Keadaan di ruang Intensive Care Unit terasa begitu sepi, hanya terdengar suara peralatan monitoring yang mengisi keheningan malam.Aku terus saja menatap layar yang menunjukkan grafik detak jantung suami, takut mendadak berhenti ketika aku terlelap seperti dalam serial televisi. Aku belum siap kehilangan suamiku.Menyandarkan kepala di bibir ranjang, menggenggam tangan Mas Erlangga sambil mengajak dia berbicara, siapa tahu dia mendengar dan segera sadar.“Bu, maaf. Kami mau memeriksa keadaan pasien.” Aku terperanjat ketika sebuah tangan mengusap lembut bahu ini.
Menarik handuk, melilitnya di tubuh kamudian segera keluar dari toilet dan berpakaian. Mami sudah berada di kamar dan berbaring di sebelah Viera, sementara kedua putriku yang lainnya tengah asik bermain ponsel di atas kasur mereka.“Sayangnya Mama jangan main hape, ya. Nanti matanya sakit!” ucapku dengan intonasi sangat lembut, lalu mengambil ponsel Mami yang sedang dimainkan anak-anak.“Aku mau nonton yutup, Ma,” rengek Danisa membuatku tidak tega.“Ya sudah. Setengah jam saja ya. Habis itu Kakak main sama dedek. Mama mau makan dulu.” Mengusap rambut hitam Danisa kemudian keluar dari kamar dan berjalan menuju meja makan.Sayur bening bayam beserta jagung manis dan wortel sudah terhidang di atas meja, juga ikan gurame goreng yang menggugah selera. Sepertinya Mami sengaja memasak untukku, sebab aku paham betul rasa masakan perempuan yang telah melahirkanku itu.“Vani, keluar kamu. Keluar!!” Aku terperanjat ketika mend