“Mas! Astagfirullah! Kamu kenapa?” teriakku sambil berjalan setengah berlari menghampiri Mas Erlangga yang tengah duduk di lantai bersandar pinggiran ranjang.
Laki-laki dengan wajah babak belur serta darah mengalir di pelipis juga hidung itu hanya menatap nanar wajahku. Raut kepedihan terpancar jelas di sorot kedua netranya.“Mas, tolong katakan. Ada apa?” tanyaku lagi sembari mengusap darah yang keluar menggunakan baju yang tengah kukenakan.Hening. Mas Erlangga masih tetap diam dan kini kedua kelopaknya malah terpejam.“Mas, ya Allah!”Buru-buru mengambil gawai, menghubungi ambulans dan juga keluargaku, mengabari tentang keadaan suami dan meminta salah satu dari mereka untuk datang.“Mas, bangun. Kamu kenapa? Apa ini perbuatan Abang? Ya Allah, Mas. Jangan buat aku takut. Bangun, Sayang. Liat anak-anak kita masih kecil-kecil. Aku juga lagi hamil ‘kan?” Mengusap pipi Mas Erlangga membersihkan darah yang mulai mengerinAlisku bertaut hingga hampir menyatu satu sama lain, karena closed circuit television di rumah tidak dapat merekam video. Sepertinya ada yang sengaja merusaknya, sebab tidak mungkin bisa tiba-tiba mati disaat masalah besar seperti ini sedang melanda.Ya Tuhan ... Siapa yang tega melakukan ini kepada kami?Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka dua dini hari. Keadaan di ruang Intensive Care Unit terasa begitu sepi, hanya terdengar suara peralatan monitoring yang mengisi keheningan malam.Aku terus saja menatap layar yang menunjukkan grafik detak jantung suami, takut mendadak berhenti ketika aku terlelap seperti dalam serial televisi. Aku belum siap kehilangan suamiku.Menyandarkan kepala di bibir ranjang, menggenggam tangan Mas Erlangga sambil mengajak dia berbicara, siapa tahu dia mendengar dan segera sadar.“Bu, maaf. Kami mau memeriksa keadaan pasien.” Aku terperanjat ketika sebuah tangan mengusap lembut bahu ini.
Menarik handuk, melilitnya di tubuh kamudian segera keluar dari toilet dan berpakaian. Mami sudah berada di kamar dan berbaring di sebelah Viera, sementara kedua putriku yang lainnya tengah asik bermain ponsel di atas kasur mereka.“Sayangnya Mama jangan main hape, ya. Nanti matanya sakit!” ucapku dengan intonasi sangat lembut, lalu mengambil ponsel Mami yang sedang dimainkan anak-anak.“Aku mau nonton yutup, Ma,” rengek Danisa membuatku tidak tega.“Ya sudah. Setengah jam saja ya. Habis itu Kakak main sama dedek. Mama mau makan dulu.” Mengusap rambut hitam Danisa kemudian keluar dari kamar dan berjalan menuju meja makan.Sayur bening bayam beserta jagung manis dan wortel sudah terhidang di atas meja, juga ikan gurame goreng yang menggugah selera. Sepertinya Mami sengaja memasak untukku, sebab aku paham betul rasa masakan perempuan yang telah melahirkanku itu.“Vani, keluar kamu. Keluar!!” Aku terperanjat ketika mend
“Ma, Mama ini punya hati atau enggak sih? Mas Erlang itu lagi sakit. Mama sebagai orang tua harusnya mendoakan yang baik-baik buat anak Mama, bukan malah mempermasalahkan harta yang kami punya. Sebenarnya Mama ibunya Mas Erlang bukan, sih?” Menatap tajam wajah senja berbalut bedak tebal itu, mencoba mencari arti suamiku di hatinya.“Bilang saja kamu mau menguasai hartanya. Nggak usah sok-sokan nasihati Mama. Mama juga paham masalah mendoakan. Mama hanya antisipasi saja, karena Mama tau kalau kamu itu serakah dan pasti tidak mau berbagi hartanya sepeser pun dengan Mama jika tiba-tiba Erlang tiada!”Ya Allah. Sakit sekali mendengar jawaban ibu mertua. Hatinya sudah ditutup rasa serakah sampai lupa mendoakan yang baik-baik untuk putranya yang tengah terbaring koma. Semoga saja Tuhan segera memberikan hidayah dan membuka hati serta pikiran Mama, supaya tidak hanya harta yang bersarang di otaknya.“Kenapa diam. Bener kan, kamu mau menguasai harta Erlang?”
Pelan-pelan menatap wajah sendu laki-laki yang ada di sebelahku, menggigit bibir bagian bawah saat tangannya terulur mengusap lembut rambutku yang terikat rapi.Mungkin menurut orang-orang Bang Damian itu monster menyeramkan tapi, sebenarnya dia itu baik dan tidak pernah menyakiti perasaanku sama sekali. Mungkin karena saking sayangnya itulah yang membuat dia merasa ingin selalu menjadi pelindungku untuk selamanya, dan tidak membiarkan siapa pun memiliki diriku selain dia.Suasana lorong rumah sakit semakin hening karena kami saling diam. Aku memilih beranjak dari kursi, masuk ke dalam ruangan dan menemani suamiku yang terbaring tidak sadarkan diri di atas ranjang.“Mas, kapan kamu bangun? Aku kangen sama kamu. Apa kamu nggak kangen sama aku?” ucapku sambil menahan air mata yang sudah hampir menyeruak dari balik kelopak.Tidak lama kemudian terdengar suara derit pintu terbuka. Dokter ber-nametag Askana masuk dan menghampiri kami.
Karena diselimuti rasa penasaran aku berjalan menghampiri, menyapa papa mertua membuat mata laki-laki berusia lima puluh lima tahun itu membola sempurna.“Siapa perempuan ini, Pa?” tanyaku sambil menatap wajah wanita yang aku taksir usianya sekitar tiga puluh lima tahunan itu.“Saya istrinya Mas Ilman, Mbak. Mbaknya siapa?” Si perempuan menjawab dengan intonasi sangat lembut, bahkan dia menerbitkan senyuman manis kepadaku.“Saya menantunya, Mbak.”“Ealah .... kenalin, saya Wiena. Senang bertemu dengan kamu. Saya dari pertama nikah sama Mas Ilman sebenarnya sudah ingin berkenalan dengan anak menantunya, tetapi kata Mas Ilman anak-anak nggak ada yang mau nerima saya. Mereka melarang suami saya mencari pengganti almarhumah ibu mereka!”Hah? Almarhumah ibu? Mulutku menganga dibuatnya.Tega sekali papa mengatakan kalau istrinya sudah meninggal.“Sini ikut papa sebentar!” Dengan kasar laki-laki berperawakan persi
“Mama bobok sama kakak ya?” Danisa melingkarkan tangan di pinggang sambil menatapku.“Iya, Sayangnya mama.” Mengecup kening bidadari kecilku dan membantu dia membaca doa.“Papa kok duduk ngeliatin kita terus, Ma?”. Dia menunjuk ke arah meja rias, membuatku spontan langsung menoleh ke arah yang ditunjuk. Kosong.“Papa nggak ada di sini, Nak.”“Itu, Papa lagi liatin kita sambil tersenyum. Memangnya Mama ndak liat?”Tanpa dikomando buliran-buliran air bening meluncur begitu saja dari kedua sudut netra. Aku tidak bisa membayangkan jika Mas Erlangga benar-benar tidak mau lagi membuka matanya.“Mas, tolong kuat. Bertahanlah demi aku dan anak-anak. Aku tidak sanggup menghadapi semuanya sendiri. Aku butuh kamu, Mas!” jeritku dalam hati.Danisa semakin mempererat pelukannya, memejamkan mata ketika kuusap-usap dengan lembut punggungnya. Dan setelah semua anak-anak terlelap, aku mencoba memejamkan mata, menjemput lela
“Ada apa dengan suami saya, Dokter?” tanyaku ketika salah seorang tenaga medis keluar.“Tadi Bapak sempat kejang dan ritme detak jantungnya tidak beraturan. Tapi sekarang alhamdulillah sudah kembali normal. Ibu banyak-banyak berdoa ya?” sahut pria berkacamata itu sambil menatapku sendu.Aku mengangguk pelan, menahan getir luar biasa dalam sanubari. “Ya sudah. Sekarang saya permisi dulu. Pak Erlangga sedang ditangani oleh Dokter Dilan. Dokter baru di rumah sakit ini. Beliau itu dokter ahli syaraf terbaik. Semoga saja Allah memberikan kesembuhan kepada Pak Erlang melalui tangan beliau!”“Aamiin...Terima kasih, Dokter!”“Sama-sama, Bu.” Aku lekas mengenyakkan bokong di kursi panjang setelah dokter tersebut pergi. Kini, air mata berlomba-lomba lolos dari balik kelopak melewati pipi, jatuh di dada membasahi baju yang sedang aku kenakan.Bayangan kepergian tiba-tiba berkelebat dalam angan, rasa takut kehilangan terus saja membayang. Bolehkah aku mengeluh, Tuhan. Tidak salahkah jika aku
Emosiku berada di ubun-ubun membaca pesan dari Linda.[Berapa uang yang diambil mertua saya, Lin?] Send, Linda Toko.[Tiga belas juta dua ratus]Aku mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, mencoba sabar menghadapi segala cobaan.Mama, kenapa mama selalu saja mengajakku berperang. Aku diam tapi dia selalu menyerang.Dengan perasaan kesal kusambar tas yang tergeletak di atas nakas, mengambil ponsel yang biasa aku pakai untuk berbisnis lalu mengirimkan foto papa saat bersama seorang perempuan. Biar dia tau rasa.Keterlaluan memang. Tetapi apa boleh buat. Dia selalu mengusik ketenangan hidupku, dan kini giliran diriku yang membuat hidupnya tidak tenang. Aku juga akan mengajak Bang Damian untuk datang ke rumah, mengambil semua yang seharusnya menjadi hakku juga anak-anak. Enak saja dia main ambil-ambil uang orang.Ponsel dalam genggaman terdengar berdering. Mama mertua memanggil ke nomer yang
Mungkin ini saatnya aku mengalah dan pergi. Membiarkan dia hidup dengan kekasih hatinya, tanpa lagi mengganggu apalagi berusaha merebut dia dari pelukan Erlangga. Semoga saja setelah ini aku bisa kembali menata hidup seperti sebelumnya, melupakan semua kenangan dan mengubur duka yang tengah bertahta dalam dada.***"Pak Damian bukan?" sapa seorang laki-laki berkoko putih saat aku sedang duduk di sebuah rumah makan."Iya, betul. Kamu siapa ya?" tanyaku penasaran, karena merasa tidak mengenal lelaki tersebut."Saya Rian, Pak. Dulu Bapak pernah menolong saya waktu saya dikejar warga gara-gara dikira copet!"Aku mengernyitkan dahi, lalu tersenyum saat mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu. Seorang pemuda berpenampilan lusuh berlari ketakutan karena ada beberapa orang yang sedang mengejarnya, lalu aku menarik pemuda itu dan membawanya masuk ke dalam mobil.''Kenapa kamu dikejar-kejar warga?" tanyaku saat itu.
POV Damian.Membuka mata perlahan, memegangi dada yang kadang masih terasa sakit akibat luka bekas tembakan yang diberondongkan kepadaku. Untung saja tidak mengenai jantung, sehingga aku masih memiliki kesempatan untuk hidup. Meskipun hidup tapi terasa mati, karena harus berpisah dengan separuh jiwaku.Andai saja Mami tidak mengancam akan mengakhiri hidupnya jika aku terus mengejar Rivani, 'kan kuperjuangkan cintaku sampai titik darah penghabisan, hingga akhirnya Tuhan berkenan mempersatukan kami berdua dalam ikatan suci pernikahan.Tapi ketika aku sekarat dan mengalami koma selama berhari-hari, Mami malah memanipulasinya kematianku. Dia membuat diri ini seolah-olah sudah mati, lalu membawaku terbang ke Kalimantan, dan setelah aku sehat dia terus mendesakku untuk menjauhi putrinya."Mami mohon, Dem. Jangan terus menerus mengganggu adik kamu. Dia sudah bahagia bersama pasangannya. Vani sudah bahagia bersama keempat anaknya juga. Jangan ganggu
Sari duduk di bibir ranjang dengan riasan menempel di wajah,serta kebaya putih melekat di tubuh rampingnya. Tangannya terus saja meremas ujung kebaya, menahan rasa grogi luar biasa karena hari ini Andika akan mengucap janji suci di depan penghulu serta saksi, menjadikan dia sebagai seorang istri yang sah baik menurut hukum maupun agama.Rasanya bagai mimpi, karena setelah melewati titian takdir yang begitu menyakitkan akhirnya Allah meniupkan kebahagiaan di dalam hidupnya. Dinikahi oleh pengacara yang membantu menangani kasusnya, menemukan keluarga baru yang mau menerima dia apa adanya.Melalui pengeras suara, sang pembawa acara mulai membacakan susunan acara, dilanjutkan oleh pembacaan ayat suci Al-Quran lalu disusul khutbah nikah. Mata Sari mulai terlihat berkaca-kaca ketika acara inti dimulai, apalagi setelah mendengar suara ayahnya di pengeras suara."Ayah kamu datang, Sar. Dia mau jadi wali nikah kamu!" bisik Rivani sambil mengusap air mata bahagia.
"Maaf, Pak. Kedatangan kami ke sini hanya untuk meminta restu sama Bapak, karena saya akan menikahi Sari secepatnya!" ucap Andika sambil merangkul pundak Sari, menatap tanpa takut secuil pun laki-laki yang sedang berkacak pinggang di hadapannya.Baginya, apa pun keputusan ayah Sari nanti, tidak akan menyurutkan sedikit pun niatnya untuk meminang sang pujaan hati. Dia hanya berusaha meminta restu karena Sari masih memiliki keluarga. Tidak sopan rasanya kalau tiba-tiba menikahi sang calon istri tanpa restu dari orang tuanya, karena biar bagaimanapun Sari masih punya wali."Ya sudah. Nikahi saja dia, asalkan jangan pernah dibawa pulang ke rumah ini. Sudah cukup malu saya dengan kelakuannya yang tidak bisa menjaga diri. Menjijikkan. Hamil sama mertua majikannya. Aib. Jadah!" maki laki-laki berusia setengah abad tersebut sambil menatap mencemooh ke arah putrinya sendiri."Harusnya sebagai orang tua bapak mendukung Sari, bukan malah ikut membenci seperti ini. Ka
"Ada apa, Pak?" tanya Sari sambil menatap Andika yang terus saja menundukkan kepala, dengan pipi sudah memerah seperti tomat matang."Emm...begini, Mbak Sari. Kedatangan saya ke sini, sebenarnya...emmm..."Perempuan berambut hitam panjang itu terus menyimak dengan tidak sabar, sambil terus memindai Andika yang terlihat semakin gemetar. Padahal dia biasa menghadapi beberapa kasus berat dan tidak jarang memenangkannya. Akan tetapi ketika hendak berbicara dengan Sari, mendadak bibirnya kelu. Kata-kata yang sudah dia susun sedemikan rupa hilang seketika."Ada apa, Pak? Apa Bapak mau meminta bayaran kepada saya?" Sari menatap tajam wajah lawan bicaranya, merasa sedikit takut jika tiba-tiba pengacara yang ditunjuk keluarga Erlangga untuk membantu menyelesaikan kasus yang dia hadapi tiba-tiba meminta bayaran."Bu--bukan, Mbak Sari. Kedatangan saya ke sini, mau anu..."Bu Irmawati, ibundanya Andika menyikut pinggang anaknya gemas. "Begi
Kesal, merasa bodoh dan terhina. Itu yang selalu dia rasakan. Bahkan beberapa kali berniat mengakhiri hidup, akan tetapi akal sehat serta hati kecilnya selalu berbisik, melarang dia untuk melakukan hal tersebut.Melihat kedua majikannya terus saja bersiteru dan Rivani terus saja menuduh Erlangga telah berselingkuh dengannya, Sari akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah tempat dia mengadukan nasib serta merasa menemukan keluarga, juga tempat dimana dia dinodai oleh Ayah mertua dari sang majikan.Namun, kepergiannya dari rumah Rivani ternyata justru membuat dia harus menjadi pelampiasan seksual Ilman. Sari tidak sengaja bertemu dengan pria bajingan itu saat hendak pergi meninggalkan kediaman Erlangga, disekap oleh Ilman dalam sebuah rumah dan harus berkali-kali melayaninya.Sari juga pernah mengalami pendarahan dan dibawa ke rumah sakit oleh pria yang menghamilinya, lalu berhasil melarikan diri ketika Ilman sedang menebus obat di apotek kemudi
"Sar, anak kamu nangis. Kayaknya kepengen nyusu!" ucap Rivani kepada sang asisten rumah tangga yang sedang sibuk menjemur pakaian di pekarangan belakang."Iya, Bu." Sari segera menyudahi aktivitasnya dan lekas menghampiri jagoan kecilnya yang sedang menangis di atas ranjang bayi di dekat pintu."ASI kamu masih belum keluar juga?""Keluar tapi sedikit. Biasanya Arief nggak sabar kalau menyusu. Dikasih susu formula juga pup-nya suka keras!"Rivani menghela napas lalu membuangnya secara perlahan. Dia merasa tidak tega melihat anaknya Sari yang tubuhnya terlihat begitu kurus, bahkan berat badannya hampir sama dengan anaknya yang masih berusia dua bulan."Sini saya susui saja, Sar. Kebetulan ASI saya banyak. Nanti saya pompa juga biar kalau malam Arief bisa nyusu. Saya nggak tega liat dia nangis terus!" ucap perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu seraya mengangkat putra asisten rumah tangganya, memangkunya dengan hati-hati kemudian memb
#POV AuthorErlangga duduk memaku di teras rumah sembari menatap rintik gerimis yang mengecup dedaunan. Diuasapnya tengkuk yang sering terasa sakit, apalagai semenjak kejadian pengeroyokan yang dilakukan oleh sang ayah serta adik ipar, yang hampir saja merenggut nyawanya dulu. Saat itu dia baru saja pulang dari basecamp Damian, setelah menerima tantangan kakak iparnya yang terdengar sedikit konyol. Melawan beberapa orang algojonya dengan taruhan Rivani sang istri. Awalnya pria berhidung mancung itu menolak tantangan konyol Damian, namun, si kakak ipar malah mengancam akan memisahkan dirinya dengan wanita yang teramat dicintainya itu. Karena tidak mau kehilangan orang-orang yang dicinta akhirnya dia menerima tantangan tersebut dan harus mengalakan anak buah Damian.Demi cinta Erlangga melakukan semuanya. Menahan sakit karena pukulan demi pukulan yang dilayangkan, hingga akhirnya memenangkan beberapa pertandingan walaupun harus mengalami luka-luka di sekujur badan, terutama bagian waj
Semua alat yang menempel di tubuh lelaki bertato ular naga itu satu per satu mulai dilepas. Tubuh kekarnya ditutup menggunakan kain hingga ke kepala, dan kami segera mengurus surat kematiannya."Mami akan menguburkan Damian di Kalimantan. Sesuai permintaan dia sebelum pergi," ucap Mami sambil mengusap air mata yang terus saja mengalir dari kelopaknya."Aku ikut, Mam. Aku ingin mengantarkan Bang Damian ke tempat peristirahatannya yang terakhir!""Tidak usah, Sayang. Kamu lagi hamil dan Abang juga berpesan supaya kamu tidak menghadiri pemakamannya. Itu wasiat Abang sama Mami kemarin, sebelum dia akhirnya mengalami koma!"Aku mengernyitkan dahi mendengar ucapan Mami. Apa iya Abang tidak mengizinkan aku untuk menghadiri pemakamannya, sementara dia begitu mencintai aku?Sepertinya tidak masuk akal. Apa jangan-jangan, Abang juga tidak memaafkan semua kesalahanku?"Mam, apa Abang tidak memaafkan aku?""Bahkan Abang me