“Mama bobok sama kakak ya?” Danisa melingkarkan tangan di pinggang sambil menatapku.
“Iya, Sayangnya mama.” Mengecup kening bidadari kecilku dan membantu dia membaca doa.“Papa kok duduk ngeliatin kita terus, Ma?”. Dia menunjuk ke arah meja rias, membuatku spontan langsung menoleh ke arah yang ditunjuk. Kosong.“Papa nggak ada di sini, Nak.”“Itu, Papa lagi liatin kita sambil tersenyum. Memangnya Mama ndak liat?”Tanpa dikomando buliran-buliran air bening meluncur begitu saja dari kedua sudut netra. Aku tidak bisa membayangkan jika Mas Erlangga benar-benar tidak mau lagi membuka matanya.“Mas, tolong kuat. Bertahanlah demi aku dan anak-anak. Aku tidak sanggup menghadapi semuanya sendiri. Aku butuh kamu, Mas!” jeritku dalam hati.Danisa semakin mempererat pelukannya, memejamkan mata ketika kuusap-usap dengan lembut punggungnya. Dan setelah semua anak-anak terlelap, aku mencoba memejamkan mata, menjemput lela“Ada apa dengan suami saya, Dokter?” tanyaku ketika salah seorang tenaga medis keluar.“Tadi Bapak sempat kejang dan ritme detak jantungnya tidak beraturan. Tapi sekarang alhamdulillah sudah kembali normal. Ibu banyak-banyak berdoa ya?” sahut pria berkacamata itu sambil menatapku sendu.Aku mengangguk pelan, menahan getir luar biasa dalam sanubari. “Ya sudah. Sekarang saya permisi dulu. Pak Erlangga sedang ditangani oleh Dokter Dilan. Dokter baru di rumah sakit ini. Beliau itu dokter ahli syaraf terbaik. Semoga saja Allah memberikan kesembuhan kepada Pak Erlang melalui tangan beliau!”“Aamiin...Terima kasih, Dokter!”“Sama-sama, Bu.” Aku lekas mengenyakkan bokong di kursi panjang setelah dokter tersebut pergi. Kini, air mata berlomba-lomba lolos dari balik kelopak melewati pipi, jatuh di dada membasahi baju yang sedang aku kenakan.Bayangan kepergian tiba-tiba berkelebat dalam angan, rasa takut kehilangan terus saja membayang. Bolehkah aku mengeluh, Tuhan. Tidak salahkah jika aku
Emosiku berada di ubun-ubun membaca pesan dari Linda.[Berapa uang yang diambil mertua saya, Lin?] Send, Linda Toko.[Tiga belas juta dua ratus]Aku mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, mencoba sabar menghadapi segala cobaan.Mama, kenapa mama selalu saja mengajakku berperang. Aku diam tapi dia selalu menyerang.Dengan perasaan kesal kusambar tas yang tergeletak di atas nakas, mengambil ponsel yang biasa aku pakai untuk berbisnis lalu mengirimkan foto papa saat bersama seorang perempuan. Biar dia tau rasa.Keterlaluan memang. Tetapi apa boleh buat. Dia selalu mengusik ketenangan hidupku, dan kini giliran diriku yang membuat hidupnya tidak tenang. Aku juga akan mengajak Bang Damian untuk datang ke rumah, mengambil semua yang seharusnya menjadi hakku juga anak-anak. Enak saja dia main ambil-ambil uang orang.Ponsel dalam genggaman terdengar berdering. Mama mertua memanggil ke nomer yang
“Abang tadi cuma bercanda kan?” tanyaku ketika sudah berada di dalam mobil.“Soal menembak mertua kamu?” Dia balik bertanya.“Soal Ariesa!”“Oh, dia memang sering datang ke rumah abang dan menawarkan tubuhnya untuk dijamah. Mungkin Daffo tidak bisa memuaskan dia. Entahlah! Abang tidak suka dengan cara dia ingin mendapatkan hati Abang!”“Nekat juga dia ya? Sama kaya Abang!” Aku terkekeh.“Jangan samakan abang dengan orang lain, karena sudah pasti berbeda!” Bang Damian terlihat tidak suka.“Maaf!”“Hei...kenapa malah murung? Abang tidak marah sama kamu.” Dia membingkai wajahku, mendekatkan wajah hendak mendaratkan ciuman, namun, cepat-cepat kupalingkan wajah darinya.“Kita kembali ke rumah sakit, Bang!” “Ya!”Deru mesin kendaraan membawa kami menjauh dari pekarangan rumah. Suasa di dalam mobil begitu hening, karena kami berdua saling diam dalam pikiran masing-masing.
“Mbak, nanti tagihan rumah sakit yang belum dibayar tolong, kasih ke ibu-ibu yang nungguin suami saya ya. Kalo Mas Erlangga butuh sesuatu yang darurat, minta juga uangnya sama beliau. Kalau bisa besok pagi ditangih, biar tidak membengkak. Ini nomer ponselnya beliau.” Aku sengaja mampir ke bagian administrasi terlebih dahulu, supaya masalah pembayaran dan lain-lainnya ditagih ke Ibu. Aku pengen liat, sejauh mana dia bertahan menjaga anaknya yang terbaring koma dan membutuhkan biaya begitu banyak.“Baik, Bu,” jawab perempuan berhijab satin itu dengan intonasi sangat lembut.“Ya sudah. Saya permisi dulu. Terima kasih, ya Mbak!” Mengulas senyum tipis kepadanya, lalu segera beranjak meninggalkan rumah sakit dengan perasaan berat.Tapi sudahlah. Biar ibu merasakan lelahnya mengurus orang sakit, apalagi jika tanpa sengaja nanti malah bertemu dengan papa. Rasanya akan bertambah indah drama kehidupan mereka.Sekali lagi menatap pintu masuk rumah sakit yang sudah menjadi tempat persinggahanku s
Suasana dapur berubah menjadi hening, hanya suara denting spatula beradu dengan wajan yang terdengar, karena kami saling diam dalam pikiran masing-masing. Andai saja bisa menyelam ke dasar hati Bang Damian, ingin sekali aku mencari arti diriku di dalam sana, juga menguak kebenaran mengapa dia begitu over protektif terhadapku. Terlebih lagi ketika aku melihat dia menatapku, aku lihat ada cinta samar terlihat di sorot netranya. Bukan cinta seorang kakak, tetapi cinta dua insan manusia dewasa.“Abang sudah makan?” tanyaku mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba berubah beku.“Belum. Abang kangen masakan kamu, Van. Kangen disuapi dan dimanja!”Aku menyentak napas kasar. “Papa...” teriak anak-anak seraya berlari menghampiri Bang Damian, merangkul kakinya dan dengan sigap lelaki berhidung bangir itu menggendong putriku.“Anak papa udah berat. Udah mimik cucu?” Bang Damian mencium pipi Danisa dan mengusap lembut ke
Dua orang scurity berjalan setengah berlari, masuk ke dalam ruangan tempat dimana mama sedang mengamuk, mencoba menarik keluar perempuan berusia lebih dari setengah abad itu tapi, tenaga mama mendadak berubah seperti Hulk yang sulit sekali untuk dikalahkan apalagi dikendalikan. Dia terus berusaha menyerang Mbak Wiena, membuat perempuan yang tengah hamil tua itu ketakutan luar biasa.“Stop, Anita. Jangan pernah kasar sama Wiena!” bentak papa mertua seraya menarik kasar tubuh mama menjauh dari istri barunya.“Kamu lebih membela dia daripada aku, Pa?” Wajah ibunya Mas Erlangga terlihat memerah padam, dengan api amarah berkobar-kobar di mata.“Sudah, sebaiknya kamu pulang. Biar kita bicarakan masalah kita di rumah nanti!”“Tidak bisa. Aku mau kita menyelesaikan masalah ini di sini juga dan sekarang juga!” Bukan mama namanya kalau tidak bersikeras ingin mendapatkan apa yang dia inginkan. Ternyata ada perasaan bahagia jug
Aku merangkul lengan Bang Damian ketika lelaki berusia lebih dari setengah abad itu menatap, seolah ingin menerkam lalu meremukkan seluruh tulang-tulangku.“Tidak usah takut. Selagi ada Abang kamu aman!” bisik lelaki yang sedang berdiri di sisiku seraya mengambil jemariku dan menggenggam erat.Papa terlihat tidak berkutik ketika melihat kakak tertuaku membalas tatapannya, dengan pindaian menyeramkan seperti singa lapar yang tiba-tiba melihat mangsa.“Van, kita nggak langsung pulang nggak apa-apa, kan?” tanya Bang Damian ketika kami sudah masuk ke dalam mobil.“Memangnya kita mau ke mana, Bang?” Aku balik bertanya, merasa takut kejadian saat di Bogor terulang kembali.“Abang ada urusan sebentar!”Sebenarnya ingin rasanya menolak dan memilih pulang mengguanakan taksi, akan tetapi aku tahu betul kalau Bang Damian tidak suka dengan penolakan. Pasti dia akan marah dan berbuat nekat. Lebih baik ikuti saja
Risma duduk meringkuk di dekat mobil dengan tubuh bergetar hebat, menatap pot bunga yang pecah berantakan karena ditembak oleh Bang Damian.“Sekali lagi kamu berkata kasar kepada mami serta adik saya, saya pastikan timah panas di senjataku akan melesat dan bersarang di kepala kamu yang tidak berontak itu!” ancam kakak tertuaku dengan tatapan menghunus serta sinis, membuat air mata berlomba-lomba lolos dari balik kelopak Risma.Aku menghela napas lega. Tadinya kupikir Bang Damian benar-benar menembak tubuh Risma, karena itu akan menambah banyak sekali masalah tentunya.“Pergi kamu dari rumah ini sebelum kesabaran saya habis!”Dengan kaki gemetar wanita berambut cokelat itu mencoba berdiri, berjalan gontai meninggalkan kediamanku sambil berpegangan pintu garasi.Gawai milikku yang sejak tadi tergeletak di atas meja terdengar berbunyi nyaring. Ada panggilan masuk dari rumah sakit, mengabari kalau Mas Erlangga sudah siuman dan
Mungkin ini saatnya aku mengalah dan pergi. Membiarkan dia hidup dengan kekasih hatinya, tanpa lagi mengganggu apalagi berusaha merebut dia dari pelukan Erlangga. Semoga saja setelah ini aku bisa kembali menata hidup seperti sebelumnya, melupakan semua kenangan dan mengubur duka yang tengah bertahta dalam dada.***"Pak Damian bukan?" sapa seorang laki-laki berkoko putih saat aku sedang duduk di sebuah rumah makan."Iya, betul. Kamu siapa ya?" tanyaku penasaran, karena merasa tidak mengenal lelaki tersebut."Saya Rian, Pak. Dulu Bapak pernah menolong saya waktu saya dikejar warga gara-gara dikira copet!"Aku mengernyitkan dahi, lalu tersenyum saat mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu. Seorang pemuda berpenampilan lusuh berlari ketakutan karena ada beberapa orang yang sedang mengejarnya, lalu aku menarik pemuda itu dan membawanya masuk ke dalam mobil.''Kenapa kamu dikejar-kejar warga?" tanyaku saat itu.
POV Damian.Membuka mata perlahan, memegangi dada yang kadang masih terasa sakit akibat luka bekas tembakan yang diberondongkan kepadaku. Untung saja tidak mengenai jantung, sehingga aku masih memiliki kesempatan untuk hidup. Meskipun hidup tapi terasa mati, karena harus berpisah dengan separuh jiwaku.Andai saja Mami tidak mengancam akan mengakhiri hidupnya jika aku terus mengejar Rivani, 'kan kuperjuangkan cintaku sampai titik darah penghabisan, hingga akhirnya Tuhan berkenan mempersatukan kami berdua dalam ikatan suci pernikahan.Tapi ketika aku sekarat dan mengalami koma selama berhari-hari, Mami malah memanipulasinya kematianku. Dia membuat diri ini seolah-olah sudah mati, lalu membawaku terbang ke Kalimantan, dan setelah aku sehat dia terus mendesakku untuk menjauhi putrinya."Mami mohon, Dem. Jangan terus menerus mengganggu adik kamu. Dia sudah bahagia bersama pasangannya. Vani sudah bahagia bersama keempat anaknya juga. Jangan ganggu
Sari duduk di bibir ranjang dengan riasan menempel di wajah,serta kebaya putih melekat di tubuh rampingnya. Tangannya terus saja meremas ujung kebaya, menahan rasa grogi luar biasa karena hari ini Andika akan mengucap janji suci di depan penghulu serta saksi, menjadikan dia sebagai seorang istri yang sah baik menurut hukum maupun agama.Rasanya bagai mimpi, karena setelah melewati titian takdir yang begitu menyakitkan akhirnya Allah meniupkan kebahagiaan di dalam hidupnya. Dinikahi oleh pengacara yang membantu menangani kasusnya, menemukan keluarga baru yang mau menerima dia apa adanya.Melalui pengeras suara, sang pembawa acara mulai membacakan susunan acara, dilanjutkan oleh pembacaan ayat suci Al-Quran lalu disusul khutbah nikah. Mata Sari mulai terlihat berkaca-kaca ketika acara inti dimulai, apalagi setelah mendengar suara ayahnya di pengeras suara."Ayah kamu datang, Sar. Dia mau jadi wali nikah kamu!" bisik Rivani sambil mengusap air mata bahagia.
"Maaf, Pak. Kedatangan kami ke sini hanya untuk meminta restu sama Bapak, karena saya akan menikahi Sari secepatnya!" ucap Andika sambil merangkul pundak Sari, menatap tanpa takut secuil pun laki-laki yang sedang berkacak pinggang di hadapannya.Baginya, apa pun keputusan ayah Sari nanti, tidak akan menyurutkan sedikit pun niatnya untuk meminang sang pujaan hati. Dia hanya berusaha meminta restu karena Sari masih memiliki keluarga. Tidak sopan rasanya kalau tiba-tiba menikahi sang calon istri tanpa restu dari orang tuanya, karena biar bagaimanapun Sari masih punya wali."Ya sudah. Nikahi saja dia, asalkan jangan pernah dibawa pulang ke rumah ini. Sudah cukup malu saya dengan kelakuannya yang tidak bisa menjaga diri. Menjijikkan. Hamil sama mertua majikannya. Aib. Jadah!" maki laki-laki berusia setengah abad tersebut sambil menatap mencemooh ke arah putrinya sendiri."Harusnya sebagai orang tua bapak mendukung Sari, bukan malah ikut membenci seperti ini. Ka
"Ada apa, Pak?" tanya Sari sambil menatap Andika yang terus saja menundukkan kepala, dengan pipi sudah memerah seperti tomat matang."Emm...begini, Mbak Sari. Kedatangan saya ke sini, sebenarnya...emmm..."Perempuan berambut hitam panjang itu terus menyimak dengan tidak sabar, sambil terus memindai Andika yang terlihat semakin gemetar. Padahal dia biasa menghadapi beberapa kasus berat dan tidak jarang memenangkannya. Akan tetapi ketika hendak berbicara dengan Sari, mendadak bibirnya kelu. Kata-kata yang sudah dia susun sedemikan rupa hilang seketika."Ada apa, Pak? Apa Bapak mau meminta bayaran kepada saya?" Sari menatap tajam wajah lawan bicaranya, merasa sedikit takut jika tiba-tiba pengacara yang ditunjuk keluarga Erlangga untuk membantu menyelesaikan kasus yang dia hadapi tiba-tiba meminta bayaran."Bu--bukan, Mbak Sari. Kedatangan saya ke sini, mau anu..."Bu Irmawati, ibundanya Andika menyikut pinggang anaknya gemas. "Begi
Kesal, merasa bodoh dan terhina. Itu yang selalu dia rasakan. Bahkan beberapa kali berniat mengakhiri hidup, akan tetapi akal sehat serta hati kecilnya selalu berbisik, melarang dia untuk melakukan hal tersebut.Melihat kedua majikannya terus saja bersiteru dan Rivani terus saja menuduh Erlangga telah berselingkuh dengannya, Sari akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah tempat dia mengadukan nasib serta merasa menemukan keluarga, juga tempat dimana dia dinodai oleh Ayah mertua dari sang majikan.Namun, kepergiannya dari rumah Rivani ternyata justru membuat dia harus menjadi pelampiasan seksual Ilman. Sari tidak sengaja bertemu dengan pria bajingan itu saat hendak pergi meninggalkan kediaman Erlangga, disekap oleh Ilman dalam sebuah rumah dan harus berkali-kali melayaninya.Sari juga pernah mengalami pendarahan dan dibawa ke rumah sakit oleh pria yang menghamilinya, lalu berhasil melarikan diri ketika Ilman sedang menebus obat di apotek kemudi
"Sar, anak kamu nangis. Kayaknya kepengen nyusu!" ucap Rivani kepada sang asisten rumah tangga yang sedang sibuk menjemur pakaian di pekarangan belakang."Iya, Bu." Sari segera menyudahi aktivitasnya dan lekas menghampiri jagoan kecilnya yang sedang menangis di atas ranjang bayi di dekat pintu."ASI kamu masih belum keluar juga?""Keluar tapi sedikit. Biasanya Arief nggak sabar kalau menyusu. Dikasih susu formula juga pup-nya suka keras!"Rivani menghela napas lalu membuangnya secara perlahan. Dia merasa tidak tega melihat anaknya Sari yang tubuhnya terlihat begitu kurus, bahkan berat badannya hampir sama dengan anaknya yang masih berusia dua bulan."Sini saya susui saja, Sar. Kebetulan ASI saya banyak. Nanti saya pompa juga biar kalau malam Arief bisa nyusu. Saya nggak tega liat dia nangis terus!" ucap perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu seraya mengangkat putra asisten rumah tangganya, memangkunya dengan hati-hati kemudian memb
#POV AuthorErlangga duduk memaku di teras rumah sembari menatap rintik gerimis yang mengecup dedaunan. Diuasapnya tengkuk yang sering terasa sakit, apalagai semenjak kejadian pengeroyokan yang dilakukan oleh sang ayah serta adik ipar, yang hampir saja merenggut nyawanya dulu. Saat itu dia baru saja pulang dari basecamp Damian, setelah menerima tantangan kakak iparnya yang terdengar sedikit konyol. Melawan beberapa orang algojonya dengan taruhan Rivani sang istri. Awalnya pria berhidung mancung itu menolak tantangan konyol Damian, namun, si kakak ipar malah mengancam akan memisahkan dirinya dengan wanita yang teramat dicintainya itu. Karena tidak mau kehilangan orang-orang yang dicinta akhirnya dia menerima tantangan tersebut dan harus mengalakan anak buah Damian.Demi cinta Erlangga melakukan semuanya. Menahan sakit karena pukulan demi pukulan yang dilayangkan, hingga akhirnya memenangkan beberapa pertandingan walaupun harus mengalami luka-luka di sekujur badan, terutama bagian waj
Semua alat yang menempel di tubuh lelaki bertato ular naga itu satu per satu mulai dilepas. Tubuh kekarnya ditutup menggunakan kain hingga ke kepala, dan kami segera mengurus surat kematiannya."Mami akan menguburkan Damian di Kalimantan. Sesuai permintaan dia sebelum pergi," ucap Mami sambil mengusap air mata yang terus saja mengalir dari kelopaknya."Aku ikut, Mam. Aku ingin mengantarkan Bang Damian ke tempat peristirahatannya yang terakhir!""Tidak usah, Sayang. Kamu lagi hamil dan Abang juga berpesan supaya kamu tidak menghadiri pemakamannya. Itu wasiat Abang sama Mami kemarin, sebelum dia akhirnya mengalami koma!"Aku mengernyitkan dahi mendengar ucapan Mami. Apa iya Abang tidak mengizinkan aku untuk menghadiri pemakamannya, sementara dia begitu mencintai aku?Sepertinya tidak masuk akal. Apa jangan-jangan, Abang juga tidak memaafkan semua kesalahanku?"Mam, apa Abang tidak memaafkan aku?""Bahkan Abang me