Dua orang scurity berjalan setengah berlari, masuk ke dalam ruangan tempat dimana mama sedang mengamuk, mencoba menarik keluar perempuan berusia lebih dari setengah abad itu tapi, tenaga mama mendadak berubah seperti Hulk yang sulit sekali untuk dikalahkan apalagi dikendalikan.
Dia terus berusaha menyerang Mbak Wiena, membuat perempuan yang tengah hamil tua itu ketakutan luar biasa.“Stop, Anita. Jangan pernah kasar sama Wiena!” bentak papa mertua seraya menarik kasar tubuh mama menjauh dari istri barunya.“Kamu lebih membela dia daripada aku, Pa?” Wajah ibunya Mas Erlangga terlihat memerah padam, dengan api amarah berkobar-kobar di mata.“Sudah, sebaiknya kamu pulang. Biar kita bicarakan masalah kita di rumah nanti!”“Tidak bisa. Aku mau kita menyelesaikan masalah ini di sini juga dan sekarang juga!”Bukan mama namanya kalau tidak bersikeras ingin mendapatkan apa yang dia inginkan. Ternyata ada perasaan bahagia jugAku merangkul lengan Bang Damian ketika lelaki berusia lebih dari setengah abad itu menatap, seolah ingin menerkam lalu meremukkan seluruh tulang-tulangku.“Tidak usah takut. Selagi ada Abang kamu aman!” bisik lelaki yang sedang berdiri di sisiku seraya mengambil jemariku dan menggenggam erat.Papa terlihat tidak berkutik ketika melihat kakak tertuaku membalas tatapannya, dengan pindaian menyeramkan seperti singa lapar yang tiba-tiba melihat mangsa.“Van, kita nggak langsung pulang nggak apa-apa, kan?” tanya Bang Damian ketika kami sudah masuk ke dalam mobil.“Memangnya kita mau ke mana, Bang?” Aku balik bertanya, merasa takut kejadian saat di Bogor terulang kembali.“Abang ada urusan sebentar!”Sebenarnya ingin rasanya menolak dan memilih pulang mengguanakan taksi, akan tetapi aku tahu betul kalau Bang Damian tidak suka dengan penolakan. Pasti dia akan marah dan berbuat nekat. Lebih baik ikuti saja
Risma duduk meringkuk di dekat mobil dengan tubuh bergetar hebat, menatap pot bunga yang pecah berantakan karena ditembak oleh Bang Damian.“Sekali lagi kamu berkata kasar kepada mami serta adik saya, saya pastikan timah panas di senjataku akan melesat dan bersarang di kepala kamu yang tidak berontak itu!” ancam kakak tertuaku dengan tatapan menghunus serta sinis, membuat air mata berlomba-lomba lolos dari balik kelopak Risma.Aku menghela napas lega. Tadinya kupikir Bang Damian benar-benar menembak tubuh Risma, karena itu akan menambah banyak sekali masalah tentunya.“Pergi kamu dari rumah ini sebelum kesabaran saya habis!”Dengan kaki gemetar wanita berambut cokelat itu mencoba berdiri, berjalan gontai meninggalkan kediamanku sambil berpegangan pintu garasi.Gawai milikku yang sejak tadi tergeletak di atas meja terdengar berbunyi nyaring. Ada panggilan masuk dari rumah sakit, mengabari kalau Mas Erlangga sudah siuman dan
“Dek, ini rumah siapa?” tanya suami ketika kami sudah berada di rumah.“Rumah kita, Mas!” Aku menjawab sambil menerbitkan senyuman, mengusap lembut pipi suami yang mulai ditumbuhi bulu-bulu halus.Lagi, dahi lelaki bertubuh jangkung itu berkerut-kerut sambil menyisir ke seluruh penjuru ruangan.Danisa dan Mikayla menghambur ke dalam pelukan papanya. Tapi anehnya, walaupun Mas Erlangga tidak mengenali anak-anak, dia tetap tidak menolak pelukan kedua buah hati kami dan malah membalas dekapan kedua malaikat kecil itu dan mencium pipi mereka berdua.“Anak Papa?” tanyanya seperti orang kebingungan.“Iya, Mas. Liat kakak Danisa. Mukanya mirip banget sama kamu. Mikayla juga.”“Iya!” Dia mengusap wajah anak-anakku, menelisik setiap inci wajah keduanya dan menitikkan air mata. “Maafkan Papa karena tidak mengingat kalian. Tapi Papa percaya kalau kalian adalah anak-anak Papa, karena Papa juga merasakan ikatan batin yang kuat!” u
“Dek, kamu nggak capek urusin aku terus?” tanya Mas Erlangga sambil menatap wajahku dengan mata sudah berkabut.Kalau ditanya lelah, sudah pasti lelah sekali, baik hati maupun pikiran. Tetapi anggap saja ini sebagai baktiku sebagai seorang istri.“Enggak dong, Mas. Kamu ini kan suami aku.” Mengusap lembut pipinya, mendaratkan kecupan di kening sambil memejamkan mata, meminta kepada Allah supaya lekas mengembalikan suamiku seperti sedia kala.“Terima kasih, yah. Mas semakin sayang sama kamu, walaupun sebenarnya Mas belum begitu yakin kalau kita sudah menikah!”Aku membuang napas kasar. Tapi sudahlah. Kata dokter Dilan tidak boleh memaksa Mas Erlangga untuk mengingat segalanya, karena itu bisa membahayakan kesehatan serta keselamatan Mas Erlangga.“Ya sudah. Nggak usah dipikirkan. Yang penting kamu cepet sembuh, biar kita bisa kembali seperti dulu lagi!”Lelaki berjambang tipis itu mengangguk pelan.
Aku memijat pelipis yang tiba-tiba berdenyut nyeri, membuang napas kasar karena ternyata diam-diam ada yang berkhianat di toko ini.Padahal, aku begitu mempercayai mereka untuk mengelola, bahkan, selalu memprioritaskan para karyawan agar tidak sampai kehilangan pekerjaan.Tetapi beginilah manusia. Terkadang kita berusaha memberikan yang terbaik juga membela, mereka malah menusukku dari belakang.Sepertinya harus diadakan rapat dadakan, untuk membicarakan masalah ini supaya tidak berlarut-larut dan semakin banyak konsumen yang merasa dirugikan hingga akhirnya berhenti berlangganan.“Linda, panggil semua karyawan. Tutup toko sebentar, dan suruh mereka ke lantai dua menemui saya!” perintahku kepada Linda–orang yang paling dipercaya untuk mengurus toko selama aku tidak datang.“Ada apa, Bu?” tanya wanita berusia dua puluh lima tahun itu terlihat gusar. Apa jangan-jangan dia yang melakukan ini semua, karena catatan pemasukan toko juga dia yang menangani?Tidak. Aku nggak boleh berprasangk
“Kalian tidak dibayar?” tanyaku belum percaya. Aku yakin mereka semua sedang membohongi diriku secara kompak. Karena walaupun Mas Erlangga sedang sakit dan membutuhkan banyak sekali biaya, aku selalu memprioritaskan para pegawai daripada kebutuhan-kebutuhanku sendiri. Sebab tidak mau dianggap zalim, karena sudah menahan hak orang lain.“Tolong jelaskan semua ini kepada saya, Linda. Sebab saya yakin kamu pasti tau jawabannya. Selama ini saya mempercayakan keuangan sama kamu, dan bahkan semua uang gaji karyawan pun sudah aku titipkan ke kamu!”Kini, semua mata tertuju kepada Linda, dan wajah wanita itu langsung terlihat pias serta ketakutan.“Sa—saya... Uangnya diminta sama Pak Ilman dan kalau saya tidak memberikannya, Pak Ilman mengancam akan melukai saya dan putri saya. Apalagi Pak Ilman sudah bawa surat kuasa, jadi saya tidak berani membantah beliau!” terang Linda sambil menangis.“Bukannya saya sudah bilang ke kamu, kalau toko itu urusan
Air mata lolos begitu saja dari kedua sudut netra, melewati pipi kemudian jatuh di dada. Tepat di tempatku merasakan sesak sekaligus nelangsa.Mengurus suami dari pertama dia sakit sampai ke tahap sekarang, merawatnya dengan sepenuh hati tanpa kenal lelah hingga mengorbankan seluruh waktu istirahatku, dan sekarang, ketika ada sekeping masa lalu yang dia ingat, justru orang yang sama sekali tidak pernah ada saat dia terbaring koma. Menyakitkan.“Dek, kenapa menangis?” tanya suami tanpa rasa bersalah sama sekali. Dia mencekal lenganku ketika hendak pergi, menggengam jari jemari ini dengan erat dan kedua bulat beningnya terus saja memindai ke arahku.“Siapa Sari, Mas?” Sengaja kutanya siapa wanita itu, ingin tahu juga mendengar jawaban dari Mas Erlangga.“Tidak tau. Tapi setelah sampai di sini dan melihat tower sutet itu, nama Sari tiba-tiba muncul di ingatan Mas. Tapi Mas tidak merasakan kalau diantara Mas dan dia ada ikatan entah keluarga a
“Mana bisa kita menikah, Bang. Aku ini adik Abang!”Lagi, Bang Damian menyentak napas kasar. Dia lalu mendorong kursi ke belakang, lekas beranjak bangun meninggalkan aku sendirian.Ada-ada saja si Abang. Masa mau menikahi adiknya sendiri?“Dek, sarapan buat Mas mana?” Aku berjingkat kaget saat Mas Erlangga ternyata sudah berdiri tidak jauh dariku duduk.“Kamu mau sarapan apa?” tanyaku sambil menelisik tampilannya yang sudah rapi, mengenakan kemeja pendek berwarna hijau telur asin serta celana bahan berwarna hitam panjang. “Mas Erlang mau ke mana?” “Kerja!” jawabnya serius.“Kerja? Di mana?”“Nggak tau. Mas lupa dulu saat sehat Mas kerja di mana. Makanya Mas mau nanya sama kamu.” Dia menjawab dengan polos, membuat hati ini mencelos hingga ke dasar.“Kamu lagi sakit. Tidak usah kemana-mana.”“Tapi aku laki-laki. Harus bertanggungjawab menafkahi istri dan anak.”“Iya, aku tau.
Mungkin ini saatnya aku mengalah dan pergi. Membiarkan dia hidup dengan kekasih hatinya, tanpa lagi mengganggu apalagi berusaha merebut dia dari pelukan Erlangga. Semoga saja setelah ini aku bisa kembali menata hidup seperti sebelumnya, melupakan semua kenangan dan mengubur duka yang tengah bertahta dalam dada.***"Pak Damian bukan?" sapa seorang laki-laki berkoko putih saat aku sedang duduk di sebuah rumah makan."Iya, betul. Kamu siapa ya?" tanyaku penasaran, karena merasa tidak mengenal lelaki tersebut."Saya Rian, Pak. Dulu Bapak pernah menolong saya waktu saya dikejar warga gara-gara dikira copet!"Aku mengernyitkan dahi, lalu tersenyum saat mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu. Seorang pemuda berpenampilan lusuh berlari ketakutan karena ada beberapa orang yang sedang mengejarnya, lalu aku menarik pemuda itu dan membawanya masuk ke dalam mobil.''Kenapa kamu dikejar-kejar warga?" tanyaku saat itu.
POV Damian.Membuka mata perlahan, memegangi dada yang kadang masih terasa sakit akibat luka bekas tembakan yang diberondongkan kepadaku. Untung saja tidak mengenai jantung, sehingga aku masih memiliki kesempatan untuk hidup. Meskipun hidup tapi terasa mati, karena harus berpisah dengan separuh jiwaku.Andai saja Mami tidak mengancam akan mengakhiri hidupnya jika aku terus mengejar Rivani, 'kan kuperjuangkan cintaku sampai titik darah penghabisan, hingga akhirnya Tuhan berkenan mempersatukan kami berdua dalam ikatan suci pernikahan.Tapi ketika aku sekarat dan mengalami koma selama berhari-hari, Mami malah memanipulasinya kematianku. Dia membuat diri ini seolah-olah sudah mati, lalu membawaku terbang ke Kalimantan, dan setelah aku sehat dia terus mendesakku untuk menjauhi putrinya."Mami mohon, Dem. Jangan terus menerus mengganggu adik kamu. Dia sudah bahagia bersama pasangannya. Vani sudah bahagia bersama keempat anaknya juga. Jangan ganggu
Sari duduk di bibir ranjang dengan riasan menempel di wajah,serta kebaya putih melekat di tubuh rampingnya. Tangannya terus saja meremas ujung kebaya, menahan rasa grogi luar biasa karena hari ini Andika akan mengucap janji suci di depan penghulu serta saksi, menjadikan dia sebagai seorang istri yang sah baik menurut hukum maupun agama.Rasanya bagai mimpi, karena setelah melewati titian takdir yang begitu menyakitkan akhirnya Allah meniupkan kebahagiaan di dalam hidupnya. Dinikahi oleh pengacara yang membantu menangani kasusnya, menemukan keluarga baru yang mau menerima dia apa adanya.Melalui pengeras suara, sang pembawa acara mulai membacakan susunan acara, dilanjutkan oleh pembacaan ayat suci Al-Quran lalu disusul khutbah nikah. Mata Sari mulai terlihat berkaca-kaca ketika acara inti dimulai, apalagi setelah mendengar suara ayahnya di pengeras suara."Ayah kamu datang, Sar. Dia mau jadi wali nikah kamu!" bisik Rivani sambil mengusap air mata bahagia.
"Maaf, Pak. Kedatangan kami ke sini hanya untuk meminta restu sama Bapak, karena saya akan menikahi Sari secepatnya!" ucap Andika sambil merangkul pundak Sari, menatap tanpa takut secuil pun laki-laki yang sedang berkacak pinggang di hadapannya.Baginya, apa pun keputusan ayah Sari nanti, tidak akan menyurutkan sedikit pun niatnya untuk meminang sang pujaan hati. Dia hanya berusaha meminta restu karena Sari masih memiliki keluarga. Tidak sopan rasanya kalau tiba-tiba menikahi sang calon istri tanpa restu dari orang tuanya, karena biar bagaimanapun Sari masih punya wali."Ya sudah. Nikahi saja dia, asalkan jangan pernah dibawa pulang ke rumah ini. Sudah cukup malu saya dengan kelakuannya yang tidak bisa menjaga diri. Menjijikkan. Hamil sama mertua majikannya. Aib. Jadah!" maki laki-laki berusia setengah abad tersebut sambil menatap mencemooh ke arah putrinya sendiri."Harusnya sebagai orang tua bapak mendukung Sari, bukan malah ikut membenci seperti ini. Ka
"Ada apa, Pak?" tanya Sari sambil menatap Andika yang terus saja menundukkan kepala, dengan pipi sudah memerah seperti tomat matang."Emm...begini, Mbak Sari. Kedatangan saya ke sini, sebenarnya...emmm..."Perempuan berambut hitam panjang itu terus menyimak dengan tidak sabar, sambil terus memindai Andika yang terlihat semakin gemetar. Padahal dia biasa menghadapi beberapa kasus berat dan tidak jarang memenangkannya. Akan tetapi ketika hendak berbicara dengan Sari, mendadak bibirnya kelu. Kata-kata yang sudah dia susun sedemikan rupa hilang seketika."Ada apa, Pak? Apa Bapak mau meminta bayaran kepada saya?" Sari menatap tajam wajah lawan bicaranya, merasa sedikit takut jika tiba-tiba pengacara yang ditunjuk keluarga Erlangga untuk membantu menyelesaikan kasus yang dia hadapi tiba-tiba meminta bayaran."Bu--bukan, Mbak Sari. Kedatangan saya ke sini, mau anu..."Bu Irmawati, ibundanya Andika menyikut pinggang anaknya gemas. "Begi
Kesal, merasa bodoh dan terhina. Itu yang selalu dia rasakan. Bahkan beberapa kali berniat mengakhiri hidup, akan tetapi akal sehat serta hati kecilnya selalu berbisik, melarang dia untuk melakukan hal tersebut.Melihat kedua majikannya terus saja bersiteru dan Rivani terus saja menuduh Erlangga telah berselingkuh dengannya, Sari akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah tempat dia mengadukan nasib serta merasa menemukan keluarga, juga tempat dimana dia dinodai oleh Ayah mertua dari sang majikan.Namun, kepergiannya dari rumah Rivani ternyata justru membuat dia harus menjadi pelampiasan seksual Ilman. Sari tidak sengaja bertemu dengan pria bajingan itu saat hendak pergi meninggalkan kediaman Erlangga, disekap oleh Ilman dalam sebuah rumah dan harus berkali-kali melayaninya.Sari juga pernah mengalami pendarahan dan dibawa ke rumah sakit oleh pria yang menghamilinya, lalu berhasil melarikan diri ketika Ilman sedang menebus obat di apotek kemudi
"Sar, anak kamu nangis. Kayaknya kepengen nyusu!" ucap Rivani kepada sang asisten rumah tangga yang sedang sibuk menjemur pakaian di pekarangan belakang."Iya, Bu." Sari segera menyudahi aktivitasnya dan lekas menghampiri jagoan kecilnya yang sedang menangis di atas ranjang bayi di dekat pintu."ASI kamu masih belum keluar juga?""Keluar tapi sedikit. Biasanya Arief nggak sabar kalau menyusu. Dikasih susu formula juga pup-nya suka keras!"Rivani menghela napas lalu membuangnya secara perlahan. Dia merasa tidak tega melihat anaknya Sari yang tubuhnya terlihat begitu kurus, bahkan berat badannya hampir sama dengan anaknya yang masih berusia dua bulan."Sini saya susui saja, Sar. Kebetulan ASI saya banyak. Nanti saya pompa juga biar kalau malam Arief bisa nyusu. Saya nggak tega liat dia nangis terus!" ucap perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu seraya mengangkat putra asisten rumah tangganya, memangkunya dengan hati-hati kemudian memb
#POV AuthorErlangga duduk memaku di teras rumah sembari menatap rintik gerimis yang mengecup dedaunan. Diuasapnya tengkuk yang sering terasa sakit, apalagai semenjak kejadian pengeroyokan yang dilakukan oleh sang ayah serta adik ipar, yang hampir saja merenggut nyawanya dulu. Saat itu dia baru saja pulang dari basecamp Damian, setelah menerima tantangan kakak iparnya yang terdengar sedikit konyol. Melawan beberapa orang algojonya dengan taruhan Rivani sang istri. Awalnya pria berhidung mancung itu menolak tantangan konyol Damian, namun, si kakak ipar malah mengancam akan memisahkan dirinya dengan wanita yang teramat dicintainya itu. Karena tidak mau kehilangan orang-orang yang dicinta akhirnya dia menerima tantangan tersebut dan harus mengalakan anak buah Damian.Demi cinta Erlangga melakukan semuanya. Menahan sakit karena pukulan demi pukulan yang dilayangkan, hingga akhirnya memenangkan beberapa pertandingan walaupun harus mengalami luka-luka di sekujur badan, terutama bagian waj
Semua alat yang menempel di tubuh lelaki bertato ular naga itu satu per satu mulai dilepas. Tubuh kekarnya ditutup menggunakan kain hingga ke kepala, dan kami segera mengurus surat kematiannya."Mami akan menguburkan Damian di Kalimantan. Sesuai permintaan dia sebelum pergi," ucap Mami sambil mengusap air mata yang terus saja mengalir dari kelopaknya."Aku ikut, Mam. Aku ingin mengantarkan Bang Damian ke tempat peristirahatannya yang terakhir!""Tidak usah, Sayang. Kamu lagi hamil dan Abang juga berpesan supaya kamu tidak menghadiri pemakamannya. Itu wasiat Abang sama Mami kemarin, sebelum dia akhirnya mengalami koma!"Aku mengernyitkan dahi mendengar ucapan Mami. Apa iya Abang tidak mengizinkan aku untuk menghadiri pemakamannya, sementara dia begitu mencintai aku?Sepertinya tidak masuk akal. Apa jangan-jangan, Abang juga tidak memaafkan semua kesalahanku?"Mam, apa Abang tidak memaafkan aku?""Bahkan Abang me