Malam itu, suasana desa sudah mulai sepi. Langkah kaki Juned terdengar pelan di jalan setapak menuju rumahnya. Sisa kehangatan acara di balai desa masih terasa di hatinya, tetapi ada sesuatu yang mengganjal. Pikirannya kembali melayang ke Lilis dan Anton yang tak terlihat sepanjang acara.“Kenapa mereka enggak datang, ya?” gumam Juned dalam hati. “Padahal biasanya, Anton itu enggak pernah absen kalau ada keramaian. Apalagi, Tante Lilis juga selalu suka ikut kumpul.”Ketika Juned tiba di depan rumahnya, ia mendapati sesuatu yang aneh. Pintu rumah yang biasanya dibiarkan sedikit terbuka kini tertutup rapat dan terkunci dari dalam. Ia berhenti di depan pintu, mengernyitkan alis.“Ini aneh. Biasanya Tante Lilis enggak pernah mengunci pintu kalau tahu aku pulang malam,” pikir Juned sambil melirik sekeliling. Kampung sudah benar-benar sepi.Juned tidak langsung mengetuk pintu. Ada sesuatu yang mendorongnya untuk mencari tahu lebih dulu. Ia berjalan perlahan ke samping rumah, menuju salah sa
Lilis kembali ke kamar, sementara Juned duduk di sofa ruang tamu. Walaupun tubuhnya lelah setelah seharian mengurus acara desa, pikirannya justru terus berputar-putar tanpa henti.Ia teringat saat melihat Anton keluar dari rumah, dengan pintu yang sebelumnya terkunci rapat. Ingatan itu terus menghantui. “Kenapa Tante Lilis enggak bilang apa-apa soal kedatangan Anton sebelumnya? Kenapa rumah dikunci? Apa yang mereka bicarakan? Apa ada sesuatu yang enggak aku tahu?”Juned menggeleng, mencoba mengusir pikiran-pikiran buruk yang mulai muncul. Namun, semakin ia mencoba melupakan, semakin kuat bayangan itu menghantuinya. Ia membayangkan Lilis dan Anton berbicara dengan nada pelan, mungkin saling menyentuh, mungkin lebih dari itu.“Apa mungkin Tante Lilis punya hubungan lain sama Anton?” pikirnya sambil menggigit bibir bawahnya. Ia mengenal Lilis sebagai wanita yang selalu menjunjung tinggi moral, tapi kehadiran Anton malam itu membuat Juned dilanda rasa curiga yang tak terbendung.Ia mengh
Ketika pagi menjelang, ia terbangun dengan kepala sedikit berat. Sisa-sisa mimpi buruk semalam seolah masih mengambang di pikirannya. Ia Berdiri dari sofa sambil meregangkan tubuh, mendapati rumah terasa lebih sunyi dari biasanya.“Tante Lilis mana, ya?” gumamnya sambil melangkah menuju dapur. Namun, dapur kosong. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Lilis. Ia mengetuk pintu kamar Lilis, tetapi tidak ada jawaban. Saat membuka pintu, kamar itu terlihat rapi tanpa siapa pun di dalamnya.Kegelisahan mulai merayap. Ia masih berdiri di tengah ruang tamu, mencoba mengingat sesuatu. Lalu, seperti petir menyambar, ia teringat. “Hari ini hari pertukaran!” serunya dalam hati.Sebelum ia sempat memproses lebih jauh, suara langkah kaki dari luar terdengar. Pintu depan terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Vivi yang mengenakan daster tipis warna biru muda. Ia membawa keranjang belanjaan dari pasar, wajahnya sedikit berkeringat, tetapi tetap tampak segar.“Pagi, Juned,” sapa Vivi dengan senyum kecil
Novi, yang baru saja selesai menata barang-barangnya di meja dapur, tiba-tiba merasa ada sesuatu yang tidak biasa. Matanya menyapu ke arah Vivi, yang berdiri di dekatnya dengan daster tipis berwarna biru.“Mbak Vivi, maaf ya, aku nanya. Tapi... Mbak Vivi enggak kedinginan cuma pakai daster kayak gitu?” tanyanya dengan senyum kecil, mencoba untuk tidak menyinggung.Vivi, yang semula tampak santai, mendadak terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia melirik ke arah daster birunya dan kemudian ke arah Novi. Wajahnya sedikit memerah, tapi ia tetap mencoba menjawab dengan santai.“Aku sudah biasa pakai begini, Novi. Aku tadi juga buru-buru pulang dari pasar, jadi belum sempat ganti baju,” jawab Vivi sambil merapikan rambutnya yang terurai.Novi mengangguk, meskipun rasa aneh itu belum sepenuhnya hilang. Ia melirik sekilas ke arah Juned, yang tampak sibuk membereskan sesuatu di meja.“Mas Juned,” panggil Novi tiba-tiba, “Mbak Vivi ini habis dari pasar, ya? Mas enggak anterin?”Juned menoleh cepa
Dari balik pintu kamar, Vivi berdiri sambil menyandarkan tubuhnya pada dinding. Ia memegang kedua gundukan miliknya yang masih terbalut daster. Matanya memperhatikan tingkah Novi barusan—dari cara Novi mengganti pakaian hingga percakapannya dengan Juned yang penuh kecanggungan. “Ternyata benar dugaanku,” gumam Vivi pelan sambil menunduk, seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Semua wanita di sekitar Juned pasti ingin mendapatkan perhatiannya. Begitu juga dengan Novi. Bahkan dia masih terlalu polos untuk menyembunyikan perasaannya.” Ia menarik napas panjang, lalu menatap pintu kamar yang sedikit terbuka. Dari sudut itu, Vivi masih bisa melihat Juned yang sibuk dengan ponselnya di ruang tamu. Vivi menggeleng pelan. “Tapi Juned memang beda sekarang,” pikirnya. “Sikapnya, caranya bicara, apalagi barangnya yang pernah kulihat—semua itu membuatku jadi pingin ada di dekatnya.” Dalam benaknya, Vivi kembali teringat bagaimana kehidupannya dengan Anton. Dia menjadi wanita yang tak pern
Lastri masuk tanpa menunggu undangan, memegangi lengan kirinya yang tampak bengkak. “Aku jatuh tadi pas jalan di depan rumah. Aku rasa ini terkilir. Tolong lihat, Juned.”Juned mengangguk, mencoba mengendalikan dirinya setelah kejadian barusan. “Oke, duduk dulu. Biar aku periksa.”Vivi berdiri di sudut ruangan, matanya menatap Juned dan Lastri. Ia tidak mengatakan apa-apa, tapi ada sesuatu dalam senyumnya yang sulit diartikan. Wajah Lastri juga sempat menoleh ke arah Vivi yang berdiri diam, tapi ia tidak berkomentar apa-apa, seolah menyadari keanehan suasana rumah itu.Juned segera mengambil jaketnya yang tergantung di dekat pintu. Setelah memastikan Lastri nyaman, ia membantu kembang desa itu berdiri perlahan.“Kita ke klinik saja, Lastri. Di sana aku bisa pijat bagian tanganmu dengan lebih leluasa, aku meninggalkan minyak untuk memijat di klinik” ucap Juned, suaranya tenang, mencoba menyembunyikan kebingungannya setelah kejadian tadi dengan Vivi.Lastri menegakkan tubuhnya meskipun
Lastri kembali, ia sudah mengenakan handuk yang dililitkan rapi di tubuhnya, menutupi area penting, tetapi masih menunjukkan kulit pundaknya yang putih bersih dan sebagian paha hingga kakinya yang jenjang. “Ayo, Juned. Aku enggak punya waktu lama. Jangan kelamaan,” katanya, nada bicaranya seperti sedang memberi perintah.Lastri duduk di ranjang pijat dengan ekspresi yang masih terlihat enggan, meskipun ada sedikit rasa percaya diri yang tak bisa disembunyikan.“Kamu berbaring kalau begitu.” Kata Juned mempersiapkan beberapa minyak yang akan digunakan.Sulastri berbaring telentang dengan perlahan.“Sudah, ayo cepetan!.” Hardik Sulastri.Juned berbalik arah dan melihat Sulastri yang sedang terlentang hanya dengan memakai handuk.Juned tertegun melihat keindahan tubuh Sulastri, kedua gundukan yang agak besar terlihat pas dengan postur Sulastri membuat Juned menelan ludahnya.“Tengkurap dong Lastri, memang gunungnya yang mau di pijat?” tanya Juned sambil menahan senyum.Sambil menutup ke
Novi yang sedang duduk di meja resepsionis sedang bersenandung mengikuti musik yang dia mainkan dari ponselnya, Namun suaranya berhenti sejenak ketika ia melihat Sulastri keluar dari ruang pijat.“Loh.. kapan masuknya ya? Apa tadi saat aku keluar beli sarapan?” Novi kebingungan saat melihat SulastriSulastri berjalan tergesa-gesa, namun wajahnya terlihat berbeda—lebih cerah dari biasanya. Novi memperhatikan wanita itu dengan alis sedikit terangkat. “Eh, Novi. Jangan melamun aja setelah ini kita buka kliniknya,” suara Juned terdengar dari dalam, membuyarkan pikiran Novi.Novi segera memalingkan wajahnya dari pintu klinik. “Tadi aku lihat Mbak Lastri keluar buru-buru. Ada apa, Mas Jun?”Juned sedang menyusun botol minyak di rak melirik sekilas. “Oh, itu. Dia habis pijat. Katanya dia habis jatuh di depan rumahnya.”Novi menatap Juned dengan alis terangkat. “Mbak Lastri pijat? Serius? Dia kelihatannya enggak cocok sama hal-hal kayak gitu.”Juned tersenyum tipis, lalu duduk di kursi kerja
BAB 320Juned menyaksikan dengan nafas tertahan saat Rizka berdiri di hadapannya, jari-jarinya yang gemetar kini beralih ke resleting rok panjangnya. “Aku... aku tak terbiasa dilihat seperti itu oleh pria lain,” suara Rizka bergetar hampir berbisik karena suasana canggung. Dengan gerakan lambat, resleting itu merosot ke bawah, mengungkapkan kulit pucat di pinggulnya yang sempit. Rok panjang itu meluncur ke lantai dengan suara desiran halus, meninggalkan Rizka hanya dengan celana dalam renda warna krem yang sederhana namun menggoda. Juned tak bisa menahan diri untuk tidak mengagumi lekuk tubuh Rizka yang terungkap sepenuhnya – betisnya yang ramping namun berotot halus, pahanya yang padat namun lembut, dan pinggulnya yang bergerak dengan anggun setiap kali ia bernafas. “Apa ini... perlu,” Rizka menggerakkan tangan ke kancing kutangnya, wajahnya memerah tapi matanya tak melepaskan pandangan dari Juned. “Tidak perlu!” Juned buru-buru menyela, suaranya lebih keras dari yang ia ma
Rizka berdiri di ujung jalan, mengenakan jilbab krem yang menutupi rambutnya dengan rapi, dipadukan sweter tipis dan rok panjang yang sederhana namun elegan. Tangannya memegang erat tas kecil di depan tubuhnya, seperti sedang gugup. Juned menelan ludah. “Mbak Rizka? Ada... ada apa?” Perempuan itu melangkah mendekat, matanya menunduk. “Maaf mengganggu, Mas. Aku... aku perlu bicara.” Suaranya kecil, hampir seperti bisikan. Juned merasakan jantungnya berdegup kencang. “Sekarang? Mau bicara apa?”Rizka mengangguk, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke tanah. “Tentang... pijatan kemarin.”Udara di sekitar mereka tiba-tiba terasa lebih panas. Juned dengan cepat membuka pintu rumah. “Mari masuk. Kita tidak perlu berbicara di jalan.”Rizka melirik sekeliling, seolah memastikan tidak ada tetangga yang melihat, sebelum melangkah masuk dengan cepat.Juned menutup pintu rumah dengan perlahan, suara *klik* kunci yang mengunci dunia luar. Rizka berdiri di tengah ruang tamu, jari-jariny
“Aaaarrgggh...”Suara lenguhan panjang Bu Ningsih mengakhiri riuh pertemuan tubuh mereka—suara yang keluar dari kedalaman jiwa yang terluka, bukan sekadar kepuasan fisik. Dadanya naik turun tak beraturan, kulitnya yang berkeringat memantulkan cahaya lampu kamar yang redup.BrukJuned ambruk di sampingnya, nafasnya tersengal-sengal. Tubuhnya yang masih perkasa itu kini lemas, dipenuhi rasa bersalah yang tiba-tiba menyergap begitu nafsu itu reda. Matanya menatap langit-langit kamar hotel yang bernoda kuning, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. “Kita... kita seharusnya tidak melakukan ini, Bu.”Di sebelahnya, Bu Ningsih sudah tertidur dengan posisi yang tak lagi anggun—rambutnya yang biasanya rapi kini berantakan di atas bantal, bibirnya yang merah masih sedikit terbuka.Dengan gerakan pelan, Juned menyelimuti tubuh Bu Ningsih yang sudah tak berdaya itu. “Sekali lagi maafkan aku, Bu Ningsih.” Bisiknya pelan.Juned menutup mata, mencoba tidur hingga akhirnya tidur menyerga
Juned menopang tubuh Bu Ningsih yang limbung di pelataran klub, angin malam menerbangkan ujung gaun anggurnya.“Aku tak bisa pulang seperti ini,” ucap Bu Ningsih dengan bibir yang sudah tak jelas pengucapannya.“Di sebelah... ada hotel. Aku akan menginap saja.”Juned mengamati bangunan hotel sederhana yang berdiri tepat di samping klub. Lampu neon di depannya berkedip-kedip menampilkan tulisan “Hotel Mawar”. “Baik, Bu. Saya antar ke sana,” jawab Juned perlahan. Di lobi hotel yang sempit, resepsionis setengah baya mengangkat alis melihat mereka masuk. “Kamar untuk satu malam,” pinta Juned sambil menopang Bu Ningsih yang mulai mengantuk. Resepsionis itu mengeluarkan kunci kamar. “Nomor 204. Lantai dua. Lift di sebelah kanan.”Di dalam lift yang reyot, Bu Ningsih bersandar di dinding, matanya setengah terpejam. “Terima kasih... sudah menemaniku malam ini,” ucapnya dengan suara serak. Kamar hotel itu sederhana namun bersih. Juned menuntun Bu Ningsih yang limbung ke arah tempat t
Taksi berhenti di depan klub dengan lampu neon berwarna ungu yang berkedip-kedip. Suara musik yang menggelegar sudah terdengar dari luar. “Kita benar-benar akan masuk ke sini, Bu?” tanya Juned ragu, menatap kerumunan orang berpakaian modis di depan pintu. Bu Ningsih tersenyum girang seperti gadis muda. “Ayo, Juned! Aku ingin merasakan lagi bagaimana jadi orang bebas. Malam ini, lupakan semua masalah!”Dengan langkah mantap, Bu Ningsih menarik Juned yang masih ragu menuju pintu masuk. Penjaga pintu menyambut mereka dengan ramah sesuai prosedur yang diterapkan di tempat itu.“Selamat malam Tuan dan Nyonya, apakah anda sudah ada reservasi sebelumnya?” tanya penjaga. “Tidak, kami hanya ingin bersenang-senang sebentar,” jawab Bu Ningsih polos. Setelah membayar tiket masuk, mereka disambut gelombang musik yang mengguncang dada. Lampu laser berwarna-warni menyapu ruangan penulis orang menari. “Wah, sudah lama aku tidak ke tempat seperti ini!” teriak Bu Ningsih di telinga Juned agar
Bu Ningsih mengatupkan mata sejenak. “Tekanan dari mana-mana. Perusahaan tambang, warga yang terpecah... Aku khawatir dia tidak kuat.” Tangannya gemetar memegang lengan Juned. “Aku mengerti apa yang telah terjadi antara kamu dan suamiku.”Juned melempar pandangannya sesekali. Ingatannya kembali ke masa saat dia masih di kampung—Pak Kepala desa yang bersekongkol dengan Anton untuk menindas warga yang lemah.“Tapi Bu, saya sekarang sudah tak...”Bu Ningsih memandangnya tajam. “Kamu satu-satunya orang yang berani melawan Anton.” Juned menyeruput kopi hitam untuk menenangkan diri sebelum akhirnya kembali bicara. “Hal yang di alami oleh Pak Kepala desa sudah menjadi konsekuensinya sebagai seorang pemimpin. Apa ibu mengerti kalau aku kehilangan banyak hal karena menentang mereka?”Bu Ningsih mengangkat wajahnya. Ada garis-garis air mata yang mengering di pipinya. “Ya, aku mengerti.”Juned sedikit merasa iba kepada Bu Ningsih. Namun untuk saat ini strategi melawan Anton tak bisa diseba
Juned berhenti sejenak, tangannya masih menempel di pundak Rizka. “Kenapa bertanya seperti itu, Mbak?” Rizka menggeleng, wajahnya memerah. Desakan hasrat dan rasa penasaran yang mulai menggerogoti moralitasnya. Sudah terlalu lama suaminya tak menyentuhnya, terlalu lama ia merasa diabaikan. Dan sekarang, di rumah sunyi ini, dengan Juned yang begitu dekat, rasanya sulit untuk tetap kuat. “Tidak... aku hanya...” Rizka tak bisa menyelesaikan kalimatnya. Juned memandangnya, matanya membaca kegelisahan di wajah Rizka. Ia tahu apa yang terjadi, dan meski hatinya juga bergejolak, ia mencoba menahan diri. Tapi godaan itu terlalu besar. “Mbak Rizka...” ucapnya pelan, tangannya tanpa sadar bergerak ke pinggangnya. Rizka menahan napas. Detak jantungnya begitu kencang, seakan ingin keluar dari dadanya. Ia tahu ini salah, tapi tubuhnya seolah tak mau menurut. “Mas, aku...” Juned mendekat, wajahnya hanya berjarak sejengkal dari Rizka. Nafasnya hangat, membelai kulit Rizka yang sudah
Rizka langsung menunduk, tangannya bergetar. “Aku... aku masih belum tahu...”“Bagaimana kalau aku berikan sedikit terapi di tanganmu sekarang?” Juned langsung meraih tangan Rizka.Jantung dan aliran darah Rizka berdenyut lebih kencang saat tangan kasar Juned meraba telapak tangannya.Rizka mencoba menarik kembali tangannya. “Mas, jangan begini. Aku takut suamiku–”“Tidak akan, suami kamu pulang jam sembilan. Ini hanya pijatan tangan saja.” Juned tak melepaskan tangan Rizka yang halus.Rizka mengisap bibir bawahnya, merasakan sentuhan Juned yang terampil di bawah bahan kemejanya. “Pijatan... memang enak,” bisiknya, tanpa sadar membiarkan pergelangan tangannya lebih rileks. Juned menggeser posisi, memastikan tangannya tidak menyentuh bagian yang tidak pantas. “Teknik khusus untuk relaksasi. Coba fokus pada tarikan napas.”Jari-jarinya berpindah dengan presisi dari telapak tangan ke pergelangan, menekan titik-titik akupresur. Rizka menutup mata, tapi tiba-tiba membukanya lebar ke
“Tapi kita butuh backup. Aku tidak bisa mengawasi pertemuanmu besok sendirian.”Juned meraih tangan Tania dengan lembut, membuka kepalan jarinya satu per satu. “Percayalah padaku,” bisiknya, matanya memancarkan keteguhan. “Aku hanya akan bersikap normal seperti biasa. Tidak lebih.”Dia menarik napas dalam sebelum melanjutkan. “Yang lebih mengkhawatirkan aku justru keselamatanmu. Jika sampai ada yang tahu kau sedang menyelidiki mega proyek Anton Perkasa, Cakra Buana, dan Bumi Marina...”Tania menatap Juned, melihat bayangan ketakutan yang jarang terlihat di mata pasangannya itu. “Aku akan berhati-hati,” janjinya, memutar tangan sehingga kini dialami yang menggenggam Juned. “Tapi kau harus berjanji—”“Aku tahu,” Juned menyela dengan senyum kecil. “Tidak heroik. Tidak mengambil risiko. Jika ada yang mencurigakan, aku akan langsung pergi.”Tania mengangkat tangan sambil menutup mulut yang menguap lebar. “Maaf ya, sayang. Aku mau tidur duluan. Lelah sekali hari ini,” ujarnya sambil berj