“Alisa?!”Adik perempuannya yang berusia 18 tahun itu berdiri dengan wajah pucat, baju kusut, dan mata yang penuh ketakutan. Juned yang tadi santai seketika berdiri tegak, semua pakaiannya sudah kembali rapi."Masuk, cepat!" Tania menarik lengan Alisa dengan kasar, matanya langsung memindai jalanan di belakang adiknya. Alisa gemetar seperti daun. "Mereka... mereka menemukan persembunyian kami." Tania mengunci pintu berganda, wajahnya berubah dingin seperti saat bertugas. "Ayah?" "Masih aman," bisik Alisa. "Aku lari lewat jalur berbeda." Juned sudah berdiri di depan jendela, mengintip keluar melalui celah tirai. "Tidak ada yang mengejar." Tania menarik Alisa ke sofa. "Kau seharusnya tetap di tempat persembunyian!" Alisa menggeleng liar. "Tidak bisa! Orang-orang itu sudah tahu lokasinya. Aku... aku bisa merasakan pikiran saat tanpa sengaja menyentuh salah satu dari mereka."Tania menghela napas, tangannya mengepal. “Aku akan panggil tim darurat dari kantor.” “Ti
“Kita harus mencari tahu informasi tentang komandan itu.” Ujar Juned sambil mengusap dagunya beberapa kali.Tania mencoba mengatur nafasnya yang sempat memburu tak karuan. “Aku akan menanyakan hal itu kepada Rangga, teman polisiku.”Tania sudah mengangkat ponselnya, jarinya siap menekan nomor Rangga—rekan kerjanya yang paling dipercaya. "Tunggu." Juned menutup tangan di atas ponsel Tania, matanya tajam. "Kita tidak bisa percaya siapa pun sekarang. Jika Komandan Heru bisa berkhianat..." Tania mengerutkan kening. "Rangga sudah seperti saudara bagiku. Dia—" "Dan Komandan Heru?" Juned memotong. "Bukankah dia juga orang kepercayaanmu?" Alisa tiba-tiba menggeliat kesakitan di sofa. "Dia... dia benar. Ada lebih banyak... seperti benang hitam menjalar di kepolisian..." Tania meletakkan ponselnya perlahan, wajahnya berkerut dalam konflik batin. "Lalu bagaimana kita bisa tahu siapa yang masih bisa dipercaya?" Juned mengambil napas dalam. "Kita mulai dari nol. Asumsikan semua
Selepas kepergian Tania, Juned menoleh ke jam dinding di sudut kamar menunjukkan masih pukul lima pagi. Pria itu berniat untuk melanjutkan tidur yang masih belum tuntas.Ding.. Dong...Baru saja hendak memejamkan mata kembali, suara bel rumah berbunyi membuat Juned sedikit kesal.Juned mengusap wajah yang masih berbekas kantuk saat membuka pintu. Rizka berdiri di teras dengan keranjang belanja setengah kosong, jari-jarinya memilin ujung kaosnya.“Maaf mengganggu pagi-pagi, Mas Jun,” ujarnya cepat. “Aku... aku baru pulang dari pasar pagi, kebetulan lewat.” Matanya melirik ke dalam rumah. “Apa Mbak Tania sudah berangkat?” Juned menguap lebar. “Iya, dapat panggilan darurat. Ada perlu sama Tania?” Rizka menunduk. “Sebenarnya aku mau minta pendapat Mbak Tania... tapi...” Napasnya tersendat. “Aku tidak tahu harus bicara pada siapa lagi.” Mata Juned terbuka lebih lebar. “Ada masalah?” “Ibu mertuaku...” Rizka mengangkat wajah yang memerah. “Aku... aku tidak sanggup menghadapinya
“Sebelum mulai, aku perlu beberapa informasi dulu,” ujarnya dengan suara profesional. Rizka duduk di tepi ranjang, jari-jarinya memilin ujung jilbab. Juned memperhatikan tubuh Rizka yang canggung."Kamu umur berapa, Mbak?" "Dua puluh tujuh," jawab Rizka sambil menunduk. "Sudah berapa lama kamu menikah?" "Baru... enam bulan," balas Rizka, menghitung di jarinya.Juned mengangguk, lalu bertanya lebih dalam. “Kapan terakhir kali kamu berhubungan dengan suamimu?” Rizka tersedak. “A-apa harus dijawab?” Juned tersenyum. “Ini untuk menyesuaikan teknik pijatnya.” Rizka memerah sampai ke leher. “Kalau tidak salah... sebulan yang lalu. Akhir-akhir ini dia terlalu capek kerja.” Juned mengangguk pelan seolah paham dengan yang terjadi.“Bagian tubuh mana yang paling sensitif?” Rizka menggeliat gelisah. “Aku... aku tidak pernah memperhatikan...” “Leher?” Juned menebak. “Paha? Atau...”“D–dada,” bisik Rizka hampir tak terdengar. “Kalau dipegang... rasanya aneh.” Wajah
Juned perlahan memindahkan tangannya ke punggung Rizka, minyak hangat mengalir di sepanjang tulang belakangnya. “Kita lanjut ke bagian punggungmu,” bisik Juned, suaranya berat. Rizka mengangguk lemah, wajahnya masih tertanam di bantal. “Baik...”Ketika tangan Juned mulai membentuk gerakan melingkar dari bahu ke tulang rusuk, jari-jarinya tanpa sengaja menyentuh tepi samping gunung Rizka dari belakang. “Ah—!” Rizka menahan napas, tubuhnya bergetar tak terkendali. Juned berpura-pura tidak menyadari. “Maaf, apakah aku menekan terlalu keras?” Rizka menggigit bibirnya. “Tidak... itu hanya... aku tidak menyangka...”Tangan Juned kembali bergerak, kali ini sengaja memperluas area pijatan hingga mendekati ketiak, membuat ujung jarinya kembali menyapu tepian gunung yang sensitif. “Nngh... Mas...” erang Rizka, tangannya mencengkeram seprei. “Tenang, ini akan membuka aliran darah yang membuat tubuhmu kaku,” Juned berbisik, meski detak jantungnya tak karuan. Rizka menutup mata erat
Juned mengangguk, tangannya mulai membuat gerakan melingkar di atas tulang dada tanpa benar-benar menyentuh payudaranya. “Zat aktifnya akan meresap melalui kulit. Baik untuk kesehatan jaringan payudaramu,” jelasnya dengan nada profesional, meski nafasnya sendiri semakin berat. Rizka menutup mata, menyerah pada sensasi aneh namun nikmat saat minyak itu terus merayap ke bawah, membuat pakaian dalamnya yang tipis semakin transparan. “Nngh... Mas Juned... aku tidak yakin—”“Percayalah,” Juned memotong, jarinya sekarang mengusap lembut area sekitar gunung, “aku tahu apa yang kulakukan.”Setiap sentuhan sengaja diarahkan untuk memijat otot-otot di sekitar gunung tanpa menyentuh puncaknya, namun efeknya justru membuat Rizka semakin tidak bisa menyembunyikan reaksi tubuhnya. Juned menahan napas saat tangannya melayang tepat di atas tulang selangka Rizka, minyak pijat membentuk jalur-jalur mengkilap di kulitnya yang halus. “Titik meridian di sini...” bisiknya, suara serak, “...mempeng
Juned nyaris tersedak saat mengenali sosok itu. “Bu Ratna...?” suaranya serak. Wanita itu tersenyum manis, tapi matanya menyala dengan kenangan yang hanya mereka berdua yang tahu. “Sudah lama tidak bertemu, Pak Juned. Ternyata kamu sekarang sudah buka praktik di rumah ya?”Bu Reni terkejut, matanya membulat. “Lho? Kalian sudah kenal?!”Bu Ratna menyeringai. “Iya, Ren. Aku bertemu Mas Juned dulu saat dia jadi tukang pijat keliling di taman”“Wah, berarti kamu sudah merasakan hebatnya pijatan Mas Juned dong?” Bu Reni bersemangat, tak menyadari makna ganda dalam kata-katanya. “Dia itu jempol banget! Titik-titik saraf semuanya dia kuasai!”Juned menggaruk-garuk lehernya yang tiba-tiba terasa panas. “Reni ini sahabat SMP-ku, Mas Jun,” Bu Ratna menjelaskan dengan senyum penuh arti. “Kebetulan ketemu di acara reuni kemarin...”Bu Reni langsung menyambung dengan semangat, “Iya! Sudah gak perlu cerita tentang hal itu, gak terlalu penting. Ratna ini sebenarnya mau pijat jadi aku antar k
Juned mengerutkan kening. “Kenapa aku harus mendekatinya lagi?”“Dia satu-satunya orang yang punya akses ke Ratna Wijaya, pemilik PT Cakra Buana,” jelas Tania. “Tapi kami tidak punya foto Ratna – dia sangat tertutup dan menghindari publikasi.”Juned mengangguk pelan, mencerna informasi ini. “Itu masuk akal, namun sepertinya akan berat mendekati Marina setelah semua yang terjadi di masa lalu.”“Kau sering dipuji Marina bahkan dia berani menjadikanmu simpanannya, kan?” Tania menatap Juned dengan tegas.Tak ada keraguan dalam diri Tania mengenai ide yang sebenarnya dapat memancing kecemburuan.Juned menggeleng keras. “Tidak. Aku tidak akan jadi mata-matamu dengan cara begitu." Tubuhnya tegang saat menatap istrinya. “Mending aku langsung hadapi Anton. Aku bisa menghancurkannya dengan tanganku.” Tania menghela napas panjang. “Kau tahu tidak mungkin semudah itu. Anton punya pengacara dan—”“Lebih baik seperti itu daripada aku harus pura-pura mesra dengan Marina!” suara Juned meninggi tan
“Aku tahu maksudmu, Bu. Kamu berhak—”“Kamu pernah meniduriku dalam keadaan aku sedang mabuk.” Potong Bu Ningsih dengan tenang. “Aku juga tahu kalau kamu tak memperkosa Rizka maupun aku.”Juned menelan ludah sedikit cemas mendengar setiap ucapan Bu Ningsih.Wanita itu menghampiri Juned yang terpaku, nafasnya berat. “Aku tidak peduli kau main dengan wanita mana saja. Tapi Rizka?!” Jarinya menusuk dada Juned. “Dia adalah menantuku. Jika aib ini tersebar, keluarga kami akan merasakan rasa malu hingga turunan kami!”Juned tercekat. Kilas balik singkat menerawang di pikirannya kala itu.Bu Ningsih yang limbung di lorong hotel, meraih tubuhnya dan memaksanya tanpa sadar. Hingga Juned tak mampu menahan hasrat dalam tubuhnya karena dia seorang pria perkasa.Dia menempelkan tubuhnya ke Juned, tangan dinginnya meraba garis rahangnya. “Apa yang kau lakukan padaku di hotel malam itu... dan pada Rizka pagi tadi... itu sama. Liar, tapi sulit dilupakan.”Juned mencoba mundur, tapi Bu Ningsih me
Ratna kini berdiri tepat di depannya, jari-jarinya yang dingin menyentuh pipi Juned. “Masih ada cara lain, kan?” godanya. “Kau pasti sudah mempersiapkan backup plan. Aku suka itu tentang dirimu.”Dia menoleh ke arah kamera CCTV, lalu tersenyum langsung ke lensa. “Tapi inilah masalahnya—kita berdua tahu rekaman ini lebih berharga untuk disimpan daripada disebarkan. Jadi bagaimana kalau kita... bernegosiasi?”Juned turun dari ranjang berjalan ke arah jendela. “Negosiasi apa yang kau tawarkan? Aku tak ingin menjadi boneka orang lain.”Ratna duduk tegap di tepi ranjang, tangan bertaut di atas lutut. “Kau punya dua pilihan,” suaranya jernih memotong kesunyian. “Bekerja bersamaku, atau jadi musuh yang akan kuremukkan.” Juned berdiri di depan jendela, siluet tubuhnya terpotong cahaya terik. “Aku tak memiliki kewajiban untuk bekerja sama denganmu.”Ratna tersenyum, membuka tas kulitnya dengan gerakan teatrikal. “Kamu pasti masih menyimpan dendam kepada pemilik PT Anton Perkasa.”Juned
Ruangan mendadak terasa sangat sunyi setelah pengakuan itu. Juned tak bereaksi seperti yang Bu Ratna—Ratna Wijaya—harapkan. Alih-alih panik atau ketakutan, bibirnya malah menyunggingkan senyum tipis yang dingin. “Ratna Wijaya, pemilik PT Cakra Buana...” ujarnya perlahan, bangkit dari tempat tidur dengan tenang yang mengejutkan. “Aku pernah hampir bekerja sama denganmu. Saat masih menjadi tangan kanan Marina pemilik PT Bumi Marina.” Ratna Wijaya membeku. Nama Marina seperti sedikit sengatan listrik di kepalanya.“Kau... kau anak buah Marina.” suaranya tiba-tiba kehilangan nada merendahnya. Juned mengambil kemejanya, mengenakannya dengan gerakan perlahan yang penuh arti. “Bukan sekedar anak buah. Aku juga bisa dibilang mitra bisnis paling berharga untuknya saat dia hampir bekerja sama dengan Cakra Buana beberapa bulan lalu.” Kilas balik muncul dalam pikiran Bu Ratna saat dia berbicara dengan Marina lewat telepon. Mereka membicarakan tentang Marina yang hendak menyewa properti B
Bu Ratna mendesah panjang, tangannya meraih rambut Juned. “Aku tahu kau tak bisa menolak...” Tapi Juned tiba-tiba berhenti, menatap tajam wanita di hadapannya. “Bukan untukmu. Ini untukku.” Dia mengangkat tubuh Bu Ratna dengan mudah, melemparkannya ke atas tempat tidur. Saat ini, Juned bukan lagi korban, dia menjadi pemain yang mengambil alih kendali.Kondisi redup dalam kamar yang terhalang oleh korden tebal menyisakan sedikit sinar yang menerpa tubuh mereka dalam potongan-potongan cahaya yang sensual. Juned berdiri di tepi tempat tidur, jari-jarinya yang kasar mulai membuka kancing blus sutra Bu Ratna satu persatu. Kulit pucat nan mulus perlahan terungkap seperti mutiara yang keluar dari cangkangnya. “Diamlah," bisik Bu Ratna ketika Juned terhenti sebentar, terpana oleh lekuk tulang selangkanya yang nyaris sempurna dan gunung kembar yang masih tertutup bra renda hitam.Tapi Bu Ratna tak tinggal diam. Tangannya yang bercincin berlian membelai bahu bidang Juned, diikuti otot pe
“Ini suamiku, Agung Prasetyo,” ujar Bu Ratna dengan nada datar, seolah memperkenalkan asisten rumah tangga. Suaminya—pria berusia 50-an dengan rambut mulai memutih—hanya tersenyum lemah ke arah Juned. “Maaf mengganggu,” ujarnya dengan suara halus, “Ratna bilang ada yang perlu dibicarakan.” Bu Ratna bangkit dari sofa, berjalan mendekati suaminya dengan langkah penuh wibawa. “Agung, ini Juned,” katanya sambil menunjuk ke arah Juned yang masih setengah telanjang, “tukang pijat favoritku... dan kali ini, dia mau memuaskanku.” Pak Agung hanya mengangguk, wajahnya tanpa ekspresi. “Ya Sayang, seperti biasa, aku persilakan selama kau bahagia.” Juned ternganga. Ini bukan reaksi yang ia duga. Bu Ratna mendekati Juned dengan langkah penuh keyakinan, jari-jarinya yang bercincin menyentuh kulit dadanya yang berkeringat. “Apa kamu masih ragu, Sayang?” bisiknya, sambil melirik ke arah Pak Agung yang berdiri kaku di dekat pintu. “Suamiku adalah orang yang pengertian... tidak mempermasa
Wajah pucatnya muncul di ambang pintu rumah, matanya membulat.Juned yang sudah setengah telanjang sedang ditindih Bu Ratna yang masih mengenakan blus sutra terbuka.“Kalian...?” Rizka berbisik, suaranya getir.Juned hanya membeku, mulutnya terbuka tapi tak bersuara mampu mengeluarkan suara. Dia melihat Rizka mundur selangkah demi selangkah dengan wajah syok.“Mbak Riz, tunggu—” Juned akhirnya bersuara. Tapi Rizka sudah menghilang dari arah pintu depan, meninggalkan kekecewaan yang menggantung di udara. Bu Ratna beralih dari atas tubuh Juned, wajahnya berkerut dalam ekspresi jengah yang tertahan. “Mengganggu saja.” desisnya, kuku-kuku merahnya mencengkeram lengan Juned dengan lemah. Juned bangkit dari sofa itu, tubuhnya masih membara antara rasa malu dan dorongan untuk mengejar. “Aku harus—”“Tidak, sayang.” Bu Ratna menahan lengannya dengan gerakan cepat, suaranya mendesis seperti ular yang terganggu. “Kau pikir boleh begitu saja meninggalkanku dalam keadaan seperti ini?”J
Di dapur, Juned menuangkan air mineral ke gelas dengan tangan gemetar. Sebagian tumpah membasahi kaosnya yang sudah kotor oleh keringat dan debu jalanan. “Bodoh. Kenapa aku sebodoh ini!” Gelas dilemparkannya ke wastafel hingga pecah berkeping-keping. Pecahan kaca itu berserakan seperti keadaan pikirannya sekarang—berantakan, tajam, dan berbahaya untuk disentuh. Dia berdiri lama di depan jendela, menatap halaman kosong yang diterpa matahari siang. Seekor kucing liar melintas dengan santai, tak peduli pada drama manusia di balik kaca itu.Suara ketukan pintu yang bersemangat memecah kesunyian rumah Juned. “Permisi! Mas Juned” suara lantang Bu Ratna terdengar dari luar. Juned mengerang, baru teringat janji temu yang seharusnya dilakukannya pagi ini. Dengan wajah masih memerah, ia membuka pintu. “Maaf Bu, hari ini saya terpaksa membatalkan—” “Lho? Tapi saya sudah datang jauh-jauh ke sini!” Bu Ratna langsung melangkah masuk tanpa diminta, tas mewah kecil menggantung di lenga
Di ujung ruangan, berdiri Bu Ningsih dengan wajah pucat. Rambutnya masih acak-acakan bekas tidur, mata bengkaknya melebar dalam kejutan. “I-Ibu...” Rizka tersedak, tangan gemetar merapikan baju. Bu Ningsih melotot seolah matanya hendak melompat dari tempatnya. Matanya yang penuh darah tertancap pada Juned. “Kau... di sini?!”Juned merasa dunia berputar. “Bu Ningsih?!”Bu Ningsih menatap Juned dengan mata menyipit penuh kecurigaan. “Juned? Apa yang kau lakukan di rumah menantuku?!” Suaranya meninggi, tangan gemetar menunjuk ke arah mereka. Rizka langsung bereaksi. “Dia... dia memaksaku, Bu!” teriaknya tiba-tiba, air mata mulai mengalir deras. “Aku sedang sendirian di rumah, lalu dia masuk paksa bilang mau minum!”Juned terkesiap. ‘Apa? Tidak—” “Diam!” Bu Ningsih menghardik, wajahnya merah padam. “Aku tahu sejak dulu kau tukang pijat nakal! Sekarang berani-beraninya mengganggu menantuku?!” Rizka memanfaatkan situasi, menyembunyikan wajah di tangan sambil terisak. “Aku takut s
Rizka menoleh, matanya berbinar aneh. “Aku merasa... hidup lagi.”** Juned menghela napas panjang mendengar jawaban Rizka. Dia menyeruput kopi hitam dengan santai. “Ngomong-ngomong... Apa ibu mertuamu tidak mencarimu jika kamu terlalu lama keluar dari rumah?”Rizka mengangkat bahu dengan santai, jari-jarinya memainkan ujung baju sutra yang masih dikenakannya. “Ibu mertuaku masih terlelap di kamarnya,” ujarnya sambil mencondongkan badan ke depan. “Dia baru pulang subuh tadi dari rumah temannya.”Juned mengerutkan kening, tiba-tiba merasakan kegelisahan. “Mbak Rizka, mungkin lebih baik kau pulang sekarang,” ucapnya, suara rendah namun tegas. Rizka terkejut, senyum liciknya pudar. “Kenapa tiba-tiba? Tadi kau baik-baik saja—” “Aku hanya khawatir,” Juned menyela sambil berdiri. “Ibu mertuamu bisa saja terbangun lebih awal.”Rizka berdiri diam sejenak, wajahnya yang semula memerah perlahan kembali tenang. “Kau benar,” ujarnya dengan suara lembut sambil menghela napas. “Ini memang ter