Share

Bab 161

Penulis: Frands
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-02 19:20:50

“Winda, aku pikir kita harus menyelesaikan sesi pijat ini dengan lebih cepat,” kata Juned dengan nada tegas namun tetap sopan.

Winda hanya tersenyum samar, tidak melepaskan tatapannya. “Kenapa terburu-buru, Juned? Kita masih punya banyak waktu.”

Juned merasa semakin gugup, tapi dia mencoba tetap tenang. “Aku hanya ingin memastikan semuanya berjalan sebagaimana mestinya, Winda.”

Dia kembali memijat dengan hati-hati, berusaha menghindari kontak mata dengan Winda. Namun, Winda terlihat semakin nyaman dengan situasi itu, bahkan sesekali mendesah pelan, membuat Juned merasa situasinya semakin rumit.

Ketika dia melirik ke pintu lagi, jantungnya berdegup kencang karena terlihat Rama yang sedang sibuk menatap layar laptopnya. Sementara Marina sedang memainkan ponsel dengan santai di ruang tamu.

Juned berpikir harus segera menyelesaikan ini dan keluar dari situasi yang membingungkan ini secepat mungkin. Tapi Winda tiba-tiba membuka kain yang menutupi tubuhnya, memperlihatkan lekuk tubuh yang
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Tukang Pijat Super   Bab 162

    Awalnya, Juned tidak terlalu memerhatikan, fokusnya tetap pada pijatan yang ia berikan kepada Winda. Namun, sesuatu membuatnya terus menoleh ke arah ruang tamu. Marina justru duduk di samping Rama dan mulai berbicara dengan nada yang lebih lembut, lebih menggoda.Juned mengerutkan keningnya, melihat bagaimana tangan Marina perlahan menyentuh bahu Rama, lalu berpindah ke dadanya, seolah memberikan pijatan ringan.“Apa yang di lakukan Marina? Apa dia serius menggoda suami sahabatnya?” Gumam Juned sambil terus melirik ke arah mereka di sela pijatannya kepada Winda.Rama, yang awalnya terlihat ragu, akhirnya tersenyum kecil dan membiarkan Marina melanjutkan. Dari celah pintu, Juned bisa melihat bagaimana Marina semakin berani membuka bajunya sendiri, hingga akhirnya Rama menutup laptopnya dan menatap Marina dengan tatapan yang berbeda.Juned menghela napas. Ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia sempat berpikir untuk menutup pintu dan mengabaikan semuanya, tapi rasa ingin tahunya

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-02
  • Tukang Pijat Super   Bab 163

    Tak lama, pintu ruangan tempat Winda dipijat terbuka, dan Winda keluar dengan wajah yang tampak segar dan senyum semringah.Melihat itu, Marina segera menyambutnya dengan tatapan menggoda. “Wah, sepertinya puas banget, ya?” katanya sambil tersenyum penuh arti.Winda tertawa kecil sambil mengangguk. “Iya, pijatan Juned enak banget, bikin badan rileks,” ucapnya sambil melirik Juned sekilas.Winda berjalan ke arah sofa dan duduk di sebelah Marina. Matanya kemudian menangkap sosok suaminya, Rama, yang sedang berdiri di dekat meja dengan wajah yang tampak tenang, tapi bajunya terlihat sedikit berantakan.Winda mengernyitkan dahi, lalu bertanya dengan nada santai, “Kok bajumu agak berantakan, Mas?”Rama menoleh sekilas, lalu dengan cepat merapikan kerah bajunya. “Oh, tadi aku baru aja membetulkan kulkas. Ada bagian yang longgar, jadi harus aku perbaiki sedikit,” jawabnya dengan nada meyakinkan.Juned memperhatikan interaksi mereka dengan seksama. Sekilas, dia sempat berpikir bahwa Winda mu

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-02
  • Tukang Pijat Super   Bab 164

    Marko tersenyum tipis dan menatap keduanya dengan tatapan penuh arti. “Aku cuma ingin memastikan sesuatu… tentang tempat yang akan kalian sewa.”Marko membuka tas kerjanya dan mengeluarkan sebuah map berwarna cokelat yang terlihat tebal. Ia meletakkannya di atas meja dan menyodorkannya ke arah Marina dan Juned."Ini surat perjanjian sewa tempat dari Bu Ratna," katanya dengan nada santai namun penuh keangkuhan.Marina menyipitkan mata dan mengambil map itu, membukanya sekilas untuk melihat isinya. Namun, ada sesuatu yang membuatnya curiga. "Bukankah Bu Ratna sendiri yang akan menyerahkan ini kepada kami nanti?" tanyanya, menatap Marko dengan penuh selidik.Marko tertawa kecil, lalu bersandar santai di sofa dengan tangan terlipat di dadanya. "Bu Ratna punya banyak urusan yang jauh lebih penting. Dia tidak punya waktu untuk bertemu dengan… orang biasa seperti kalian berdua."Nada suaranya begitu meremehkan, membuat Juned mengepalkan tangannya diam-diam. Ia sudah menduga kalau Marko

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-03
  • Tukang Pijat Super   Bab 165

    Namun sebelum tangannya sempat menyentuh wajah gadis itu, sebuah tangan lain lebih dulu mencengkeram pergelangannya dengan kuat.Juned menatap Marko dengan sorot tajam, suaranya dalam dan penuh ketegasan. “Jangan pernah coba-coba menyakiti perempuan di hadapanku.”Marko terkejut ketika tangannya tertahan oleh Juned. Ia menatap Juned dengan tatapan marah, merasa harga dirinya diinjak.“Lepaskan tangan saya, Juned!” bentaknya dengan nada penuh emosi.Juned tetap diam sejenak, menatapnya tajam, sebelum akhirnya melepaskan genggamannya dengan perlahan. “Aku bilang, jangan pernah menyakiti perempuan,” ucapnya tegas.Siti masih berdiri di tempatnya, sedikit gemetar, namun tetap berusaha terlihat tenang. Marina yang sejak tadi menyaksikan kejadian itu hanya menyilangkan tangan di dada, menatap Marko dengan tatapan mencemooh.Marko menggeram, merasa dipermalukan. Ia merapikan pakaiannya, mencoba menjaga wibawa, lalu mendekatkan wajahnya ke arah Juned. “Kau akan menyesal karena ikut campur ur

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-03
  • Tukang Pijat Super   Bab 166

    Pak Darma menghela napas, seperti sedang mengingat sesuatu. “Dulu, kata orang-orang Bu Marina sempat sakit cukup lama, tapi nggak pernah jelas soal penyakitnya. Saya juga nggak pernah lihat obat-obatan yang dia konsumsi. Tapi ada beberapa kali saya perhatikan, dia sering pergi ke dokter bahkan rumah sakit untuk mengobati penyakitnya.”Juned terdiam sejenak, pikirannya mulai dipenuhi spekulasi. “Sepertinya aku tahu apa yang dimaksud Pak Darma.” Gumam Juned dalam hati. Jika benar Marina masih menderita penyakit yang sama, mengapa ia terlihat baik-baik saja selama ini? Atau mungkin, ada sesuatu yang disembunyikannya?Namun, Juned memilih untuk tidak terlalu larut dalam pikirannya. Ia menghela napas pelan dan mengangguk. “Ya sudah, Pak. Mungkin dia Cuma beli obat biasa.”qPak Darma mengangguk setuju. “Iya, Mas. Semoga aja bukan sesuatu yang serius.”Di tengah obrolan Juned dan Pak Darma, tiba-tiba Siti muncul dari arah dapur dengan senyum ramah.“Mas Juned, Pak Darma, makanannya su

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-03
  • Tukang Pijat Super   Bab 167

    Pak Darma hanya terkekeh di ujung meja, sementara Juned menggeleng pelan melihat tingkah mereka berdua. “Aduh, kalian ini. Makan dulu, nanti aku jelasin.”Ratih masih tertawa kecil, sementara Siti mencoba menenangkan diri dari rasa malunya. Suasana makan malam itu semakin akrab dengan candaan mereka, meskipun di dalam hati Juned tahu, cepat atau lambat dia harus menjelaskan semuanya.Setelah suapan terakhirnya, Juned meletakkan sendok dan berniat untuk berdiri dari kursinya. Namun, belum sempat dia benar-benar bangkit, Ratih dengan cepat menahan lengannya.“Eits! Tunggu dulu, Mas Juned! Tadi katanya mau jelasin! Aku sama Siti udah penasaran banget nih,” kata Ratih dengan wajah penuh antusias.Siti yang duduk di seberangnya hanya tersenyum malu-malu, sementara Pak Darma ikut menatap Juned dengan penuh minat.Juned menghela napas, lalu kembali bersandar di kursinya. “Oke, oke. Jadi gini... Tempat yang aku dan Marina sewa itu memang buat usaha pijat.”Siti dan Ratih langsung saling ber

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-03
  • Tukang Pijat Super   Bab 168

    Di teras rumah yang diterangi lampu temaram, Juned mulai memijat tangan Pak Darma dengan gerakan perlahan. Pak Darma mendesah lega sambil menyandarkan punggung ke kursi."Aduh, Mas Juned, ini baru enak. Udah seminggu tangan saya pegal begini. Kalau tahu dipijat Mas Juned enak begini, saya pasti udah minta dari kemarin-kemarin," keluhnya sambil terkekeh.Juned tersenyum tipis sambil tetap fokus pada pijatannya. "Makanya, Pak, kalau pegal jangan ditahan. Bisa-bisa tambah parah. Bapak kan sering kerja berat, pasti suka kecapekan juga."Pak Darma mengangguk. "Iya, bener juga. Tapi ya gimana, Mas. Saya juga kepikiran sama keluarga di kampung. Anak saya yang paling kecil baru masuk sekolah, butuh banyak biaya."Juned sedikit melonggarkan tekanannya dan bertanya, "Anak Pak Darma yang paling kecil umur berapa sekarang?""Baru tujuh tahun, Mas. Masih kelas satu SD," jawab Pak Darma dengan nada bangga. "Tapi ya itu, biayanya lumayan. Untung aja ada kerjaan di sini, jadi bisa kirim uang ke

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-03
  • Tukang Pijat Super   Bab 169

    Juned menghela napas sejenak untuk menenangkan pikirannya. Lalu, ia menatap Siti dan Ratih dengan serius.“Kalian berdua tetap di rumah saja,” katanya tegas. “Aku dan Pak Darma yang akan ke rumah sakit. Kalau ada kabar baru, nanti aku hubungi kalian.”“Tapi, Mas Juned…” Siti tampak ragu. “Mungkin aku bisa bantu kalau ada apa-apa di sana.”Juned menggeleng. “Nggak perlu, Siti. Ini sudah malam, kalian lebih baik di rumah. Kalau aku butuh sesuatu nanti, aku akan menelponmu.”Ratih menatap Juned dengan cemas. “Mas, kalau butuh sesuatu, kasih tahu ya. Aku bakal siapin apa pun kalau kamu butuh.”Juned mengangguk. “Iya, Ratih. Makasih.”Pak Darma sudah siap dengan motornya. “Ayo, Mas. Kita berangkat sekarang sebelum makin malam.”Tanpa membuang waktu, Juned naik ke motor, dan mereka segera melaju menuju rumah sakit. Siti dan Ratih hanya bisa menatap kepergian mereka dengan penuh harap agar tidak ada kabar buruk yang menanti.Juned duduk di belakang Pak Darma, berpegangan pada bahu pria paru

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-04

Bab terbaru

  • Tukang Pijat Super   Bab 185

    Pria itu—si pengganggu dari warung makan tadi—juga langsung mengenali mereka. Begitu melihat Juned dan Marina berjalan kaki, dia menyeringai lebar.“Hahaha! Aku pikir tadi aku salah lihat, tapi ternyata benar! Motor bututmu itu rusak ya?” katanya dengan nada mengejek, menunjuk ke arah motor Juned yang masih terparkir di pinggir jalan.Juned tidak menanggapi, hanya menatap pria itu dengan wajah datar. Sementara Marina sudah mulai kesal, tapi berusaha menahan emosinya.“Kenapa? Tidak punya uang buat servis motor? Wah, kasihan sekali. Pantas kalian jalan kaki begini,” lanjut pria itu dengan nada menyebalkan.Marina menatapnya tajam. “Setidaknya kami tidak hidup mengandalkan koneksi orang dalam untuk bisa bekerja di suatu tempat.”Pria itu mendengus. “Oh, jadi kamu masih ingat omonganku tadi? Bagus! Sebentar lagi aku akan diterima di Bumi Marina. Kalau sudah diterima, mungkin aku bisa kasih kamu kerjaan jadi OB di sana!” Dia tertawa puas, seolah merasa dirinya sudah menang.Juned tetap di

  • Tukang Pijat Super   Bab 184

    Saat Juned dan Marina baru saja hendak naik ke motor, suara pria itu kembali terdengar di belakang mereka.“WOI! Lo pikir bisa pergi gitu aja?!” teriaknya sambil berjalan menghampiri mereka dengan wajah merah padam.Marina memutar mata, merasa kesal dengan pria itu yang tidak tahu kapan harus berhenti. Sementara Juned hanya menoleh sekilas, masih dengan ekspresi tenangnya.“Apa lagi?” tanya Juned datar.Pria itu menunjuk celananya yang terkena noda makanan. “kamu udah bikin celanaku kotor! Aku mau ganti rugi! Ini celana mahal, ngerti?! Kamu harus bayar sesuai harga celana ini!”Marina hampir tertawa mendengar itu. “Celana mahal? Yang benar aja. Paling juga beli di pasar malam.”Pria itu mendelik marah. “Eh cewek, kalau nggak tahu barang bermerek, jangan sok tahu! Ini celana bisa lebih mahal dari motor bututmu itu!”Juned menarik napas panjang, lalu menatap pria itu dengan tenang. “Dengar, aku udah minta maaf tadi. Kamu yang menyenggol tanganku duluan. Dan sekarang kamu minta ganti rug

  • Tukang Pijat Super   Bab 183

    Marina mencoba menahan tawa, namun akhirnya dia justru semakin tertawa lepas.“Hahaha.. bukankah barusan aku bilang sama kamu, aku orangnya tak pilih-pilih makanan.” Kata Marina sambil mencubit hidungnya dengan lembut.“Syukurlah kalau kamu tak alergi dengan telur,” Wajah Juned memerah. “Soalnya aku suka dengan telur, jadi pikirku kamu juga suka.”Marina tersenyum melihat wajah Juned yang khawatir padanya.Saat mereka tengah mengobrol, pemilik warung datang mengantarkan pesanan mereka. Sepiring nasi hangat dengan telur balado berwarna merah menggoda terhidang di depan Marina, sementara Juned mendapatkan sepiring nasi dengan telur dadar dan lalapan.Begitu melihat makanan di hadapannya, Marina tersenyum lebar. “Wah, kelihatannya enak! Terima kasih ya, Bu.” ucapnya dengan nada penuh kegirangan.Juned mengangkat bahunya. “Aku pikir makanan sederhana seperti ini tak bisa membuatmu senang.”Marina terdiam sesaat, senyum di wajahnya perlahan melembut. “Kalau begitu, aku makan dengan

  • Tukang Pijat Super   Bab 182

    Di tengah perjalanan Marina tiba-tiba tertawa kecil. Juned yang masih sibuk dengan pikirannya meliriknya sekilas melalui kaca spion.“Kenapa?” tanya Juned tanpa mengurangi kecepatan motornya.“Nggak menyangka aja,” jawab Marina sambil tetap memeluk pinggang Juned. “Apa kamu tahu? Ini pertama kalinya aku naik motor.”Juned sedikit terkejut. “Serius? Kamu belum pernah naik motor sebelumnya?”“Iya, aku selalu pakai mobil atau naik taksi kalau ke mana-mana. Rasanya beda banget, anginnya langsung kena wajah, jalanan terasa lebih dekat... Aku nggak tahu harus takut atau senang.”Juned tersenyum tipis. “Kalau pertama kali naik motor dan langsung kabur dari desa kayak gini, sih, ya wajar kalau campur aduk rasanya.”Marina tertawa kecil lagi. “Tapi anehnya, aku malah merasa senang. Kayak... kita lagi berpetualang.”Juned tidak langsung membalas. Dalam hati, ia tahu ini bukan sekadar petualangan. Mereka sedang kabur dari bahaya, dan entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi mendenga

  • Tukang Pijat Super   Bab 181

    Juned dan Marina berjalan cepat menuju area pemakaman yang sudah sepi. Namun begitu mereka tiba di tempat di mana Marina terakhir kali memarkir mobilnya, mereka langsung tertegun.Marina merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. “Juned… mobilku hilang.”Juned langsung merogoh ponselnya dan mencoba menghubungi Vivi. Nada sambung terdengar, tapi Vivi tidak mengangkatnya. Dia mencoba sekali lagi—tetap tidak ada jawaban.“Sial,” desis Juned, menekan layar ponselnya dengan frustrasi.Marina menatapnya dengan wajah penuh kecurigaan. “Juned, kau masih percaya dengan Vivi?”Juned terdiam. Di dalam kepalanya, ia mencoba mengingat kembali semua hal yang terjadi. Vivi memang selalu ada bersamanya, tapi perkataan Pak Samijo tadi masih terngiang jelas di telinganya.“Aku tidak tahu… Tapi ini aneh.” Juned akhirnya berkata. “Dia tidak mungkin meninggalkan kita begitu saja, kecuali…”Marina menyilangkan tangan di dadanya, ekspresinya semakin gelap. “Kecuali dia memang sudah merencanakan sesuatu s

  • Tukang Pijat Super   Bab 180

    Pak Samijo menghela napas panjang, matanya mulai berkaca-kaca. Ia menundukkan kepala sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan suara lirih, “Aku sendiri sudah lama tidak bertemu dengannya.”Juned dan Marina saling berpandangan, mulai memahami betapa dalam luka yang disimpan oleh pria tua itu.“Sejak lahir, Anton sudah menahannya dariku,” lanjut Pak Samijo dengan suara bergetar. “Bukan hanya karena aku dulu bekerja untuknya, tapi juga karena aku memiliki hutang besar yang tidak bisa kubayar. Sebagai gantinya, dia mengambil anakku dan menjauhkannya dariku.”Juned mengepalkan tangannya di atas meja. “Jadi kau melakukan semua perintah Anton hanya agar anakmu tetap hidup?”Pak Samijo mengangguk lemah. “Aku tidak punya pilihan, Juned. Aku orang kecil, tidak punya kekuatan. Tapi aku juga seorang ayah… Aku hanya ingin anakku selamat.”Suasana dalam ruangan itu menjadi lebih sunyi. Marina yang biasanya sinis pun terlihat sedikit melunak.Pak Samijo menatap mereka dengan mata yang mulai basah. “

  • Tukang Pijat Super   Bab 179

    Itu adalah Pak Samijo, ketua RT setempat, yang baru saja tiba setelah mendengar kegaduhan di balai desa.“Apa yang kalian lakukan ini?!” suaranya tegas, penuh wibawa. Dia menyapu pandangan ke arah kerumunan yang mulai mereda. Beberapa warga yang tadinya berteriak langsung tertunduk, menyadari bahwa mereka telah bertindak terlalu jauh.Anton menggerutu, tetapi tetap mencoba memprovokasi. “Pak RT, mereka ini penyebab kematian Lastri! Kita tidak bisa membiarkan mereka begitu saja!”Pak Samijo mendengus, lalu melangkah maju, berdiri di antara Juned dan warga. “Apakah ada yang bisa membuktikan tuduhan itu?” tanyanya tajam.Sugeng yang sedari tadi diam hanya menggertakkan gigi, sementara Anton kembali berusaha membakar emosi warga. “Bukti? Semua orang tahu Juned punya hubungan dengan Lastri! Gara-gara dia, Lastri jadi menderita!”Pak Samijo mendengus sinis. “Tahu dari mana kau kalau Juned yang membuatnya menderita? Lastri sudah pergi, kalian tidak bisa seenaknya menuduh tanpa bukti! Aku tid

  • Tukang Pijat Super   Bab 178

    Namun, sebelum mobil bisa melaju lebih jauh, terdengar suara teriakan dari belakang.Anton berdiri di tengah kerumunan, tangannya menunjuk ke arah mobil Marina dengan ekspresi penuh kemarahan. “Dia yang menyebabkan Lastri mati! Jangan biarkan dia kabur!”Saat mobil mulai bergerak meninggalkan area pemakaman, terlihat bayangan beberapa orang dengan motor berdiri di tengah jalan sambil melintangkan motor mereka.Beberapa warga yang masih terbawa emosi mulai bergumam satu sama lain, ragu, namun juga terpengaruh oleh provokasi Anton dan Sugeng. Perlahan, beberapa dari mereka bergerak maju, mengepung mobil Marina.“Bagaimana ini, Juned?” Keringat dingin mulai membasahi wajah Marina.Juned menoleh ke kiri dan kanan, mencari jalan keluar. Namun, semakin banyak warga mendekat, ekspresi mereka penuh kemarahan dan kekecewaan.Seorang pria tua dari kerumunan berteriak, “Kenapa kalian datang ke sini?! Kalau bukan karena kalian, Lastri pasti masih hidup!”Anton melangkah mendekat dengan seny

  • Tukang Pijat Super   Bab 177

    Marina dan Vivi mengangguk paham.Mereka duduk diam, menyaksikan rombongan yang berjalan di depan mereka. Suasana di dalam mobil terasa hening, hanya terdengar suara langkah kaki yang saling beradu di luar.“Kamu benar, Juned.” kata Marina dengan suara pelan, “kalau mereka melihat kita sekarang, bisa mempersulit semuanya.”Beberapa menit kemudian, rombongan pengiring jenazah semakin jauh, mereka masih berjalan dengan hati-hati menuju tujuan mereka. Setelah memastikan rombongan itu tak lagi berada di sekitar mereka, Marina akhirnya menyalakan mesin mobil.“Baik, kita pergi sekarang,” kata Juned dengan suara mantap.Marina melajukan mobilnya perlahan hingga akhirnya berhenti di pinggir jalan, tepat di depan pintu masuk pemakaman. Dari kejauhan, dia bisa melihat para pelayat berkumpul mengelilingi liang lahat. Suara lantunan doa terdengar lirih di tengah suasana duka. Hujan yang sempat turun semalam meninggalkan aroma tanah basah yang menusuk hidung.Marina dan Vivi duduk diam di k

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status