“Winda, aku pikir kita harus menyelesaikan sesi pijat ini dengan lebih cepat,” kata Juned dengan nada tegas namun tetap sopan.Winda hanya tersenyum samar, tidak melepaskan tatapannya. “Kenapa terburu-buru, Juned? Kita masih punya banyak waktu.”Juned merasa semakin gugup, tapi dia mencoba tetap tenang. “Aku hanya ingin memastikan semuanya berjalan sebagaimana mestinya, Winda.”Dia kembali memijat dengan hati-hati, berusaha menghindari kontak mata dengan Winda. Namun, Winda terlihat semakin nyaman dengan situasi itu, bahkan sesekali mendesah pelan, membuat Juned merasa situasinya semakin rumit.Ketika dia melirik ke pintu lagi, jantungnya berdegup kencang karena terlihat Rama yang sedang sibuk menatap layar laptopnya. Sementara Marina sedang memainkan ponsel dengan santai di ruang tamu. Juned berpikir harus segera menyelesaikan ini dan keluar dari situasi yang membingungkan ini secepat mungkin. Tapi Winda tiba-tiba membuka kain yang menutupi tubuhnya, memperlihatkan lekuk tubuh yang
Awalnya, Juned tidak terlalu memerhatikan, fokusnya tetap pada pijatan yang ia berikan kepada Winda. Namun, sesuatu membuatnya terus menoleh ke arah ruang tamu. Marina justru duduk di samping Rama dan mulai berbicara dengan nada yang lebih lembut, lebih menggoda.Juned mengerutkan keningnya, melihat bagaimana tangan Marina perlahan menyentuh bahu Rama, lalu berpindah ke dadanya, seolah memberikan pijatan ringan.“Apa yang di lakukan Marina? Apa dia serius menggoda suami sahabatnya?” Gumam Juned sambil terus melirik ke arah mereka di sela pijatannya kepada Winda.Rama, yang awalnya terlihat ragu, akhirnya tersenyum kecil dan membiarkan Marina melanjutkan. Dari celah pintu, Juned bisa melihat bagaimana Marina semakin berani membuka bajunya sendiri, hingga akhirnya Rama menutup laptopnya dan menatap Marina dengan tatapan yang berbeda.Juned menghela napas. Ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia sempat berpikir untuk menutup pintu dan mengabaikan semuanya, tapi rasa ingin tahunya
Tak lama, pintu ruangan tempat Winda dipijat terbuka, dan Winda keluar dengan wajah yang tampak segar dan senyum semringah.Melihat itu, Marina segera menyambutnya dengan tatapan menggoda. “Wah, sepertinya puas banget, ya?” katanya sambil tersenyum penuh arti.Winda tertawa kecil sambil mengangguk. “Iya, pijatan Juned enak banget, bikin badan rileks,” ucapnya sambil melirik Juned sekilas.Winda berjalan ke arah sofa dan duduk di sebelah Marina. Matanya kemudian menangkap sosok suaminya, Rama, yang sedang berdiri di dekat meja dengan wajah yang tampak tenang, tapi bajunya terlihat sedikit berantakan.Winda mengernyitkan dahi, lalu bertanya dengan nada santai, “Kok bajumu agak berantakan, Mas?”Rama menoleh sekilas, lalu dengan cepat merapikan kerah bajunya. “Oh, tadi aku baru aja membetulkan kulkas. Ada bagian yang longgar, jadi harus aku perbaiki sedikit,” jawabnya dengan nada meyakinkan.Juned memperhatikan interaksi mereka dengan seksama. Sekilas, dia sempat berpikir bahwa Winda mu
Marko tersenyum tipis dan menatap keduanya dengan tatapan penuh arti. “Aku cuma ingin memastikan sesuatu… tentang tempat yang akan kalian sewa.”Marko membuka tas kerjanya dan mengeluarkan sebuah map berwarna cokelat yang terlihat tebal. Ia meletakkannya di atas meja dan menyodorkannya ke arah Marina dan Juned."Ini surat perjanjian sewa tempat dari Bu Ratna," katanya dengan nada santai namun penuh keangkuhan.Marina menyipitkan mata dan mengambil map itu, membukanya sekilas untuk melihat isinya. Namun, ada sesuatu yang membuatnya curiga. "Bukankah Bu Ratna sendiri yang akan menyerahkan ini kepada kami nanti?" tanyanya, menatap Marko dengan penuh selidik.Marko tertawa kecil, lalu bersandar santai di sofa dengan tangan terlipat di dadanya. "Bu Ratna punya banyak urusan yang jauh lebih penting. Dia tidak punya waktu untuk bertemu dengan… orang biasa seperti kalian berdua."Nada suaranya begitu meremehkan, membuat Juned mengepalkan tangannya diam-diam. Ia sudah menduga kalau Marko
Namun sebelum tangannya sempat menyentuh wajah gadis itu, sebuah tangan lain lebih dulu mencengkeram pergelangannya dengan kuat.Juned menatap Marko dengan sorot tajam, suaranya dalam dan penuh ketegasan. “Jangan pernah coba-coba menyakiti perempuan di hadapanku.”Marko terkejut ketika tangannya tertahan oleh Juned. Ia menatap Juned dengan tatapan marah, merasa harga dirinya diinjak.“Lepaskan tangan saya, Juned!” bentaknya dengan nada penuh emosi.Juned tetap diam sejenak, menatapnya tajam, sebelum akhirnya melepaskan genggamannya dengan perlahan. “Aku bilang, jangan pernah menyakiti perempuan,” ucapnya tegas.Siti masih berdiri di tempatnya, sedikit gemetar, namun tetap berusaha terlihat tenang. Marina yang sejak tadi menyaksikan kejadian itu hanya menyilangkan tangan di dada, menatap Marko dengan tatapan mencemooh.Marko menggeram, merasa dipermalukan. Ia merapikan pakaiannya, mencoba menjaga wibawa, lalu mendekatkan wajahnya ke arah Juned. “Kau akan menyesal karena ikut campur ur
Pak Darma menghela napas, seperti sedang mengingat sesuatu. “Dulu, kata orang-orang Bu Marina sempat sakit cukup lama, tapi nggak pernah jelas soal penyakitnya. Saya juga nggak pernah lihat obat-obatan yang dia konsumsi. Tapi ada beberapa kali saya perhatikan, dia sering pergi ke dokter bahkan rumah sakit untuk mengobati penyakitnya.”Juned terdiam sejenak, pikirannya mulai dipenuhi spekulasi. “Sepertinya aku tahu apa yang dimaksud Pak Darma.” Gumam Juned dalam hati. Jika benar Marina masih menderita penyakit yang sama, mengapa ia terlihat baik-baik saja selama ini? Atau mungkin, ada sesuatu yang disembunyikannya?Namun, Juned memilih untuk tidak terlalu larut dalam pikirannya. Ia menghela napas pelan dan mengangguk. “Ya sudah, Pak. Mungkin dia Cuma beli obat biasa.”qPak Darma mengangguk setuju. “Iya, Mas. Semoga aja bukan sesuatu yang serius.”Di tengah obrolan Juned dan Pak Darma, tiba-tiba Siti muncul dari arah dapur dengan senyum ramah.“Mas Juned, Pak Darma, makanannya su
Pak Darma hanya terkekeh di ujung meja, sementara Juned menggeleng pelan melihat tingkah mereka berdua. “Aduh, kalian ini. Makan dulu, nanti aku jelasin.”Ratih masih tertawa kecil, sementara Siti mencoba menenangkan diri dari rasa malunya. Suasana makan malam itu semakin akrab dengan candaan mereka, meskipun di dalam hati Juned tahu, cepat atau lambat dia harus menjelaskan semuanya.Setelah suapan terakhirnya, Juned meletakkan sendok dan berniat untuk berdiri dari kursinya. Namun, belum sempat dia benar-benar bangkit, Ratih dengan cepat menahan lengannya.“Eits! Tunggu dulu, Mas Juned! Tadi katanya mau jelasin! Aku sama Siti udah penasaran banget nih,” kata Ratih dengan wajah penuh antusias.Siti yang duduk di seberangnya hanya tersenyum malu-malu, sementara Pak Darma ikut menatap Juned dengan penuh minat.Juned menghela napas, lalu kembali bersandar di kursinya. “Oke, oke. Jadi gini... Tempat yang aku dan Marina sewa itu memang buat usaha pijat.”Siti dan Ratih langsung saling ber
Di teras rumah yang diterangi lampu temaram, Juned mulai memijat tangan Pak Darma dengan gerakan perlahan. Pak Darma mendesah lega sambil menyandarkan punggung ke kursi."Aduh, Mas Juned, ini baru enak. Udah seminggu tangan saya pegal begini. Kalau tahu dipijat Mas Juned enak begini, saya pasti udah minta dari kemarin-kemarin," keluhnya sambil terkekeh.Juned tersenyum tipis sambil tetap fokus pada pijatannya. "Makanya, Pak, kalau pegal jangan ditahan. Bisa-bisa tambah parah. Bapak kan sering kerja berat, pasti suka kecapekan juga."Pak Darma mengangguk. "Iya, bener juga. Tapi ya gimana, Mas. Saya juga kepikiran sama keluarga di kampung. Anak saya yang paling kecil baru masuk sekolah, butuh banyak biaya."Juned sedikit melonggarkan tekanannya dan bertanya, "Anak Pak Darma yang paling kecil umur berapa sekarang?""Baru tujuh tahun, Mas. Masih kelas satu SD," jawab Pak Darma dengan nada bangga. "Tapi ya itu, biayanya lumayan. Untung aja ada kerjaan di sini, jadi bisa kirim uang ke
“Aku tahu maksudmu, Bu. Kamu berhak—”“Kamu pernah meniduriku dalam keadaan aku sedang mabuk.” Potong Bu Ningsih dengan tenang. “Aku juga tahu kalau kamu tak memperkosa Rizka maupun aku.”Juned menelan ludah sedikit cemas mendengar setiap ucapan Bu Ningsih.Wanita itu menghampiri Juned yang terpaku, nafasnya berat. “Aku tidak peduli kau main dengan wanita mana saja. Tapi Rizka?!” Jarinya menusuk dada Juned. “Dia adalah menantuku. Jika aib ini tersebar, keluarga kami akan merasakan rasa malu hingga turunan kami!”Juned tercekat. Kilas balik singkat menerawang di pikirannya kala itu.Bu Ningsih yang limbung di lorong hotel, meraih tubuhnya dan memaksanya tanpa sadar. Hingga Juned tak mampu menahan hasrat dalam tubuhnya karena dia seorang pria perkasa.Dia menempelkan tubuhnya ke Juned, tangan dinginnya meraba garis rahangnya. “Apa yang kau lakukan padaku di hotel malam itu... dan pada Rizka pagi tadi... itu sama. Liar, tapi sulit dilupakan.”Juned mencoba mundur, tapi Bu Ningsih me
Ratna kini berdiri tepat di depannya, jari-jarinya yang dingin menyentuh pipi Juned. “Masih ada cara lain, kan?” godanya. “Kau pasti sudah mempersiapkan backup plan. Aku suka itu tentang dirimu.”Dia menoleh ke arah kamera CCTV, lalu tersenyum langsung ke lensa. “Tapi inilah masalahnya—kita berdua tahu rekaman ini lebih berharga untuk disimpan daripada disebarkan. Jadi bagaimana kalau kita... bernegosiasi?”Juned turun dari ranjang berjalan ke arah jendela. “Negosiasi apa yang kau tawarkan? Aku tak ingin menjadi boneka orang lain.”Ratna duduk tegap di tepi ranjang, tangan bertaut di atas lutut. “Kau punya dua pilihan,” suaranya jernih memotong kesunyian. “Bekerja bersamaku, atau jadi musuh yang akan kuremukkan.” Juned berdiri di depan jendela, siluet tubuhnya terpotong cahaya terik. “Aku tak memiliki kewajiban untuk bekerja sama denganmu.”Ratna tersenyum, membuka tas kulitnya dengan gerakan teatrikal. “Kamu pasti masih menyimpan dendam kepada pemilik PT Anton Perkasa.”Juned
Ruangan mendadak terasa sangat sunyi setelah pengakuan itu. Juned tak bereaksi seperti yang Bu Ratna—Ratna Wijaya—harapkan. Alih-alih panik atau ketakutan, bibirnya malah menyunggingkan senyum tipis yang dingin. “Ratna Wijaya, pemilik PT Cakra Buana...” ujarnya perlahan, bangkit dari tempat tidur dengan tenang yang mengejutkan. “Aku pernah hampir bekerja sama denganmu. Saat masih menjadi tangan kanan Marina pemilik PT Bumi Marina.” Ratna Wijaya membeku. Nama Marina seperti sedikit sengatan listrik di kepalanya.“Kau... kau anak buah Marina.” suaranya tiba-tiba kehilangan nada merendahnya. Juned mengambil kemejanya, mengenakannya dengan gerakan perlahan yang penuh arti. “Bukan sekedar anak buah. Aku juga bisa dibilang mitra bisnis paling berharga untuknya saat dia hampir bekerja sama dengan Cakra Buana beberapa bulan lalu.” Kilas balik muncul dalam pikiran Bu Ratna saat dia berbicara dengan Marina lewat telepon. Mereka membicarakan tentang Marina yang hendak menyewa properti B
Bu Ratna mendesah panjang, tangannya meraih rambut Juned. “Aku tahu kau tak bisa menolak...” Tapi Juned tiba-tiba berhenti, menatap tajam wanita di hadapannya. “Bukan untukmu. Ini untukku.” Dia mengangkat tubuh Bu Ratna dengan mudah, melemparkannya ke atas tempat tidur. Saat ini, Juned bukan lagi korban, dia menjadi pemain yang mengambil alih kendali.Kondisi redup dalam kamar yang terhalang oleh korden tebal menyisakan sedikit sinar yang menerpa tubuh mereka dalam potongan-potongan cahaya yang sensual. Juned berdiri di tepi tempat tidur, jari-jarinya yang kasar mulai membuka kancing blus sutra Bu Ratna satu persatu. Kulit pucat nan mulus perlahan terungkap seperti mutiara yang keluar dari cangkangnya. “Diamlah," bisik Bu Ratna ketika Juned terhenti sebentar, terpana oleh lekuk tulang selangkanya yang nyaris sempurna dan gunung kembar yang masih tertutup bra renda hitam.Tapi Bu Ratna tak tinggal diam. Tangannya yang bercincin berlian membelai bahu bidang Juned, diikuti otot pe
“Ini suamiku, Agung Prasetyo,” ujar Bu Ratna dengan nada datar, seolah memperkenalkan asisten rumah tangga. Suaminya—pria berusia 50-an dengan rambut mulai memutih—hanya tersenyum lemah ke arah Juned. “Maaf mengganggu,” ujarnya dengan suara halus, “Ratna bilang ada yang perlu dibicarakan.” Bu Ratna bangkit dari sofa, berjalan mendekati suaminya dengan langkah penuh wibawa. “Agung, ini Juned,” katanya sambil menunjuk ke arah Juned yang masih setengah telanjang, “tukang pijat favoritku... dan kali ini, dia mau memuaskanku.” Pak Agung hanya mengangguk, wajahnya tanpa ekspresi. “Ya Sayang, seperti biasa, aku persilakan selama kau bahagia.” Juned ternganga. Ini bukan reaksi yang ia duga. Bu Ratna mendekati Juned dengan langkah penuh keyakinan, jari-jarinya yang bercincin menyentuh kulit dadanya yang berkeringat. “Apa kamu masih ragu, Sayang?” bisiknya, sambil melirik ke arah Pak Agung yang berdiri kaku di dekat pintu. “Suamiku adalah orang yang pengertian... tidak mempermasa
Wajah pucatnya muncul di ambang pintu rumah, matanya membulat.Juned yang sudah setengah telanjang sedang ditindih Bu Ratna yang masih mengenakan blus sutra terbuka.“Kalian...?” Rizka berbisik, suaranya getir.Juned hanya membeku, mulutnya terbuka tapi tak bersuara mampu mengeluarkan suara. Dia melihat Rizka mundur selangkah demi selangkah dengan wajah syok.“Mbak Riz, tunggu—” Juned akhirnya bersuara. Tapi Rizka sudah menghilang dari arah pintu depan, meninggalkan kekecewaan yang menggantung di udara. Bu Ratna beralih dari atas tubuh Juned, wajahnya berkerut dalam ekspresi jengah yang tertahan. “Mengganggu saja.” desisnya, kuku-kuku merahnya mencengkeram lengan Juned dengan lemah. Juned bangkit dari sofa itu, tubuhnya masih membara antara rasa malu dan dorongan untuk mengejar. “Aku harus—”“Tidak, sayang.” Bu Ratna menahan lengannya dengan gerakan cepat, suaranya mendesis seperti ular yang terganggu. “Kau pikir boleh begitu saja meninggalkanku dalam keadaan seperti ini?”J
Di dapur, Juned menuangkan air mineral ke gelas dengan tangan gemetar. Sebagian tumpah membasahi kaosnya yang sudah kotor oleh keringat dan debu jalanan. “Bodoh. Kenapa aku sebodoh ini!” Gelas dilemparkannya ke wastafel hingga pecah berkeping-keping. Pecahan kaca itu berserakan seperti keadaan pikirannya sekarang—berantakan, tajam, dan berbahaya untuk disentuh. Dia berdiri lama di depan jendela, menatap halaman kosong yang diterpa matahari siang. Seekor kucing liar melintas dengan santai, tak peduli pada drama manusia di balik kaca itu.Suara ketukan pintu yang bersemangat memecah kesunyian rumah Juned. “Permisi! Mas Juned” suara lantang Bu Ratna terdengar dari luar. Juned mengerang, baru teringat janji temu yang seharusnya dilakukannya pagi ini. Dengan wajah masih memerah, ia membuka pintu. “Maaf Bu, hari ini saya terpaksa membatalkan—” “Lho? Tapi saya sudah datang jauh-jauh ke sini!” Bu Ratna langsung melangkah masuk tanpa diminta, tas mewah kecil menggantung di lenga
Di ujung ruangan, berdiri Bu Ningsih dengan wajah pucat. Rambutnya masih acak-acakan bekas tidur, mata bengkaknya melebar dalam kejutan. “I-Ibu...” Rizka tersedak, tangan gemetar merapikan baju. Bu Ningsih melotot seolah matanya hendak melompat dari tempatnya. Matanya yang penuh darah tertancap pada Juned. “Kau... di sini?!”Juned merasa dunia berputar. “Bu Ningsih?!”Bu Ningsih menatap Juned dengan mata menyipit penuh kecurigaan. “Juned? Apa yang kau lakukan di rumah menantuku?!” Suaranya meninggi, tangan gemetar menunjuk ke arah mereka. Rizka langsung bereaksi. “Dia... dia memaksaku, Bu!” teriaknya tiba-tiba, air mata mulai mengalir deras. “Aku sedang sendirian di rumah, lalu dia masuk paksa bilang mau minum!”Juned terkesiap. ‘Apa? Tidak—” “Diam!” Bu Ningsih menghardik, wajahnya merah padam. “Aku tahu sejak dulu kau tukang pijat nakal! Sekarang berani-beraninya mengganggu menantuku?!” Rizka memanfaatkan situasi, menyembunyikan wajah di tangan sambil terisak. “Aku takut s
Rizka menoleh, matanya berbinar aneh. “Aku merasa... hidup lagi.”** Juned menghela napas panjang mendengar jawaban Rizka. Dia menyeruput kopi hitam dengan santai. “Ngomong-ngomong... Apa ibu mertuamu tidak mencarimu jika kamu terlalu lama keluar dari rumah?”Rizka mengangkat bahu dengan santai, jari-jarinya memainkan ujung baju sutra yang masih dikenakannya. “Ibu mertuaku masih terlelap di kamarnya,” ujarnya sambil mencondongkan badan ke depan. “Dia baru pulang subuh tadi dari rumah temannya.”Juned mengerutkan kening, tiba-tiba merasakan kegelisahan. “Mbak Rizka, mungkin lebih baik kau pulang sekarang,” ucapnya, suara rendah namun tegas. Rizka terkejut, senyum liciknya pudar. “Kenapa tiba-tiba? Tadi kau baik-baik saja—” “Aku hanya khawatir,” Juned menyela sambil berdiri. “Ibu mertuamu bisa saja terbangun lebih awal.”Rizka berdiri diam sejenak, wajahnya yang semula memerah perlahan kembali tenang. “Kau benar,” ujarnya dengan suara lembut sambil menghela napas. “Ini memang ter