Marina tersenyum tipis, mencoba tetap tenang. “Kami sedang melihat kemungkinan untuk menyewa ruko ini. Kamu siapa, ya?”Marko tertawa kecil, seolah mengejek. “Aku salah satu manajer di PT Cakra Buana, pemilik properti ini. Jadi, aku berhak tahu siapa yang tertarik untuk menggunakan tempat ini,” katanya dengan nada arogan.Juned memperhatikan Marko dengan tatapan datar. Dia tahu sifat Marko yang sombong dan suka meremehkan orang lain, tapi dia memilih untuk tidak menanggapi.Marko melanjutkan dengan nada sinis, “Jujur saja, aku nggak yakin kalian bisa bikin sesuatu yang sukses di tempat ini. Tempat ini butuh manajemen yang profesional, bukan... ya, kalian paham maksudku, kan?”Marina tetap tenang, meski nada Marko jelas-jelas merendahkan mereka. “Terima kasih atas masukannya. Kami sudah punya rencana yang jelas untuk tempat ini, dan kami yakin itu akan berhasil,” jawab Marina dengan tegas namun sopan.Marko mengangkat alis, seolah terkejut mendengar ketegasan Marina. “Oh, jadi kam
Juned duduk di salah satu kursi di ruko itu, memandangi ruang kosong yang akan diubah menjadi tempat pijat. Wajahnya tampak penuh keraguan. Dia menghela napas panjang, mencoba mencerna semuanya.Marina yang memperhatikan raut wajah Juned langsung mendekat dan duduk di sampingnya. “Kamu masih ragu, ya?” tanyanya dengan nada lembut.Juned menunduk, mengangguk pelan. “Aku nggak tahu, Marina. Apa aku benar-benar bisa menjalankan tempat ini? Aku memang tahu cara memijat, tapi mengelola usaha seperti ini... aku nggak pernah punya pengalaman.”Marina tersenyum, menepuk bahunya dengan penuh keyakinan. “Dengar, Juned. Keahlian memijatmu itu luar biasa. Aku yakin banyak orang yang akan datang ke sini kalau kita buat tempat ini nyaman dan profesional. Yang penting kamu percaya diri dulu.”Juned mengangkat wajahnya, menatap Marina yang begitu yakin. “Tapi... semua ini terlalu besar buat aku. Bagaimana kalau aku gagal?”“Kalau gagal, kita bangkit lagi,” jawab Marina tegas. “Tapi aku yakin kamu ngg
Suara mereka menggema di tengah ruangan itu, diredam oleh kebisingan aktivitas di luar. Hingga waktu berlalu tanpa terasa, mereka mencapai puncak kenikmatan yang seolah mampu menggenggam lautan.“Juned bagaimana kalau kita pergi ke taman hiburan hari ini?” Tanya Marina lirih sambil menutup keindahan tubuhnya dengan pakaiannya.Juned hanya mengangguk perlahan sambil memakai pakaiannya.“Nanti malam aku akan menemukanmu dengan Bu Ratna, pemilik PT Cakra Buana.” Lanjut ucap Marina.Juned langsung menoleh ke arah Marina dengan tatapan tajam. “Kenapa ada agenda bertemu dengan Bu Ratna?” Juned menunjukkan wajah bingungnya.Marina yang melihat wajah Juned justru malah tersenyum. “Dia ingin mencoba sesuatu dari kamu, untuk memastikan apa kamu layak membuka usaha di tempat ini.”Juned semakin bingung dia berdiri sambil menatap sekeliling ruangan di sana. “Aku tak mengerti maksudmu, Marina.”“Sudahlah jangan terlalu di pikirkan, kamu nikmati saja semua yang ada di depanmu. Yang penting s
Marina berbalik ke arah Juned dengan tertawa kecil sambil memandangnya. “Juned, aku dan suamiku punya hubungan yang... cukup unik. Kami menikah bukan karena cinta, tapi karena urusan bisnis keluarga. Jadi, baik aku maupun dia nggak pernah terlalu peduli soal kesetiaan atau urusan seperti ini.”Juned tampak bingung dengan jawaban itu. “Jadi... suamimu akan tahu kalau kamu...”Marina mengangguk sambil memotong ucapannya. “Aku yakin dia tahu, Juned. Lagipula, aku juga tahu pasti dia melakukan hal yang sama. Dia sering ke luar negeri untuk urusan bisnis, dan aku tahu dia punya wanita lain di sana. Kami tidak pernah mempermasalahkan itu.”Juned hanya terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. “Tapi... kenapa kamu tetap bertahan dalam pernikahan seperti itu?”Marina menarik napas panjang sebelum menjawab. “Karena aku nggak menikah untuk cinta, Juned. Pernikahan ini hanya sebuah perjanjian antara dua keluarga besar. Aku tahu ini mungkin terdengar aneh untukmu, tapi begitul
Setelah menghabiskan waktu di wahana, Marina langsung mengarahkan mobilnya ke sebuah kompleks perumahan yang terlihat cukup elit. Sepanjang perjalanan, Juned hanya duduk diam sambil memikirkan apa yang akan terjadi. Marina, seperti biasanya, terlihat santai dan penuh percaya diri.“Ayo, Juned, jangan kelihatan gugup begitu,” kata Marina sambil tertawa kecil. “Winda orangnya ramah, kok. Dia nggak bakal bikin kamu canggung.”“Ramah? Atau terlalu ramah?” Juned mencoba melontarkan candaan untuk menutupi rasa gugupnya.Marina tersenyum tipis tanpa menjawab, hanya memusatkan perhatian pada jalan di depan. Tak lama kemudian, mereka tiba di depan sebuah rumah besar dengan desain modern. Marina mematikan mesin mobil dan berbalik ke arah Juned. “Kita sudah sampai. Jangan bikin aku malu, ya,” katanya sambil mengedipkan mata.Juned mengangguk pelan, lalu mereka berdua keluar dari mobil. Marina turun dari mobil lebih dulu, lalu mengetuk pintu rumah.Beberapa saat kemudian, pintu terbuka, dan seor
Juned mengangguk. “Baik, Win. Kalau begitu, aku sarankan untuk membuka baju agar pijatannya lebih efektif.”Winda terlihat tanpa ragu, lalu bertanya, “Jilbabnya bagaimana, perlu dilepas juga?”Juned mempertahankan nada tenangnya. “Tidak perlu juga tidak apa-apa, Winda. Aku bisa menyesuaikan.”Winda mengangguk sambil tersenyum genit. “Baiklah, kalau begitu.”Dia membuka bajunya, menyisakan pakaian dalam dan jilbab yang masih dikenakannya. Juned mengambil kain penutup yang tak jauh darinya dan menutupi bagian tubuh Winda yang tidak sedang dipijat, menjaga profesionalitasnya.“Silakan tiduran tengkurap, Winda, biar aku mulai dari punggung dulu,” kata Juned.Winda mengikuti arahan Juned. Dia tampak nyaman, meskipun sesekali melirik pintu yang sedikit terbuka, memastikan suasana tetap aman dan terkendali. Juned mengoleskan minyak pijat di telapak tangannya dan mulai memijat punggung Winda dengan gerakan lembut namun bertenaga. Dia memusatkan perhatian pada otot-otot yang terasa kaku, men
“Winda, aku pikir kita harus menyelesaikan sesi pijat ini dengan lebih cepat,” kata Juned dengan nada tegas namun tetap sopan.Winda hanya tersenyum samar, tidak melepaskan tatapannya. “Kenapa terburu-buru, Juned? Kita masih punya banyak waktu.”Juned merasa semakin gugup, tapi dia mencoba tetap tenang. “Aku hanya ingin memastikan semuanya berjalan sebagaimana mestinya, Winda.”Dia kembali memijat dengan hati-hati, berusaha menghindari kontak mata dengan Winda. Namun, Winda terlihat semakin nyaman dengan situasi itu, bahkan sesekali mendesah pelan, membuat Juned merasa situasinya semakin rumit.Ketika dia melirik ke pintu lagi, jantungnya berdegup kencang karena terlihat Rama yang sedang sibuk menatap layar laptopnya. Sementara Marina sedang memainkan ponsel dengan santai di ruang tamu. Juned berpikir harus segera menyelesaikan ini dan keluar dari situasi yang membingungkan ini secepat mungkin. Tapi Winda tiba-tiba membuka kain yang menutupi tubuhnya, memperlihatkan lekuk tubuh yang
Awalnya, Juned tidak terlalu memerhatikan, fokusnya tetap pada pijatan yang ia berikan kepada Winda. Namun, sesuatu membuatnya terus menoleh ke arah ruang tamu. Marina justru duduk di samping Rama dan mulai berbicara dengan nada yang lebih lembut, lebih menggoda.Juned mengerutkan keningnya, melihat bagaimana tangan Marina perlahan menyentuh bahu Rama, lalu berpindah ke dadanya, seolah memberikan pijatan ringan.“Apa yang di lakukan Marina? Apa dia serius menggoda suami sahabatnya?” Gumam Juned sambil terus melirik ke arah mereka di sela pijatannya kepada Winda.Rama, yang awalnya terlihat ragu, akhirnya tersenyum kecil dan membiarkan Marina melanjutkan. Dari celah pintu, Juned bisa melihat bagaimana Marina semakin berani membuka bajunya sendiri, hingga akhirnya Rama menutup laptopnya dan menatap Marina dengan tatapan yang berbeda.Juned menghela napas. Ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia sempat berpikir untuk menutup pintu dan mengabaikan semuanya, tapi rasa ingin tahunya
“Aneh... kenapa dia begitu menarik sekarang?” Gumam Juned dalam hatinya.Juned menatap Tania beberapa detik lebih lama, seolah mencoba membaca pikirannya. Tapi tak ada yang bisa dia tangkap dari ekspresi wanita itu selain ketegasan yang membuatnya semakin penasaran.Tanpa berkata apa-apa lagi, Juned berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Tania sendirian dalam lamunannya. Tania menghela napas panjang, menatap punggung Juned yang semakin menjauh.Angin berembus pelan, membuat helaian rambut Tania sedikit berantakan. Dia menggigit bibir, mencoba menyingkirkan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di hatinya.“Kenapa aku harus peduli?” pikirnya dalam hati.Tapi bayangan Juned yang berjalan pergi tetap melekat dalam benaknya, membuatnya tak bisa benar-benar mengabaikan perasaan yang baru saja muncul itu.“Apa kamu masih akan melamun terus, kak?”Suara Alisa sedikit mengejutkan Tania yang sempat terbuai dalam lamunan.“Kamu mau ke mana, Alisa?” Tanya Tania sesaat setelah menoleh ke a
Alisa menepuk bahu Juned dengan penuh semangat. “Mas, kenapa nggak mulai pijat lagi aja? Ini kan keahlian Mas Juned. Daripada bingung mau ngapain, kan lebih baik buka pijat lagi di kehidupan baru ini?”Juned terdiam, tampak mempertimbangkan saran itu. “Aku memang suka memijat, dan itu satu-satunya yang paling aku kuasai...”Namun, sebelum Juned bisa melanjutkan kata-katanya, Tania langsung menyela dengan nada datar, “Menurutku nggak perlu.”Alisa menoleh cepat ke arah kakaknya, matanya menyipit curiga. “Lho, kenapa, Kak? Bukannya itu hal yang bagus?”Tania tetap berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang. “Aku Cuma mikir... mungkin Juned bisa mencoba hal lain. Nggak harus balik ke dunia pijat.”Alisa tersenyum licik, seperti baru saja menemukan sesuatu yang menarik. “Atau... Kakak sebenarnya nggak mau Mas Juned mijat orang lain?”Tania langsung merasakan wajahnya memanas, tapi dia tetap berusaha bersikap biasa saja. “Bukan itu alasannya.”Namun, Alisa tak begitu saja percaya. Dia bersa
Alisa menyilangkan tangan di dadanya dan tersenyum kecil. “Akhirnya kamu mulai berpikir lebih jernih.”Tania yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Juned, kamu tidak harus memaksakan diri untuk mencari orang yang tidak menginginkanmu.”Juned menoleh ke arah Tania, memperhatikan wajahnya dengan lebih saksama. Ada sesuatu di dalam tatapan Tania yang belum pernah ia perhatikan sebelumnya—sebuah kehangatan yang selama ini mungkin ia abaikan.“Jadi... apa yang harus kulakukan sekarang?” tanyanya pelan.Alisa tertawa kecil dan menepuk bahu Juned. “Itu pilihanmu, Mas. Tapi kalau kamu tanya aku... aku akan bilang tetaplah di sini. Jangan ke mana-mana. Ada seseorang yang lebih pantas untuk kamu hargai di rumah ini.”Juned kembali menatap Tania, dan kali ini, hatinya mulai mempertimbangkan sesuatu yang selama ini tidak pernah ia pikirkan.Juned mengalihkan pandangannya menatap Alisa dengan raut bingung. “Kenapa kamu bisa tahu semua tentang aku? Bahkan hal-hal yang aku sendiri baru sada
Mereka bertiga duduk di ruang tengah, dengan secangkir teh di depan masing-masing.Juned mengerutkan kening, mencoba menggali ingatan terakhir yang masih terasa kabur di kepalanya. Seolah ada sesuatu yang penting, sesuatu yang begitu emosional, namun belum sepenuhnya jelas.Perlahan, bayangan tentang seseorang muncul di benaknya. “Apa benar kalau tante Lilis sudah meninggal?”Tania menganggukkan kepalanya perlahan. “Hal itulah yang membuatmu menjadi depresi, Juned.”Juned terdiam, napasnya sedikit berat. Ia mulai mengingat saat terakhir bersama Lilis, dan bagaimana wanita itu menghilang dari hidupnya. “Mas Juned harus merelakan apa yang sudah terjadi.” Sahut Alisa dengan serius.Tiba-tiba, amarah menyala di matanya. Rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal. “Anton...” gumamnya pelan, namun penuh kebencian.Tania dan Alisa yang sedari tadi memperhatikan perubahan ekspresi Juned saling bertukar pandang.“Apa kamu akan kembali membalas dendam kepada Anton?” tanya Tania dengan nad
“Ju... Juned?” Tania berbisik, masih belum bisa memproses apa yang baru saja terjadi.Juned perlahan menarik diri, matanya yang sebelumnya kosong kini tampak lebih hidup. Ada kebingungan di wajahnya, tetapi juga ketenangan yang sebelumnya tidak ada.“Bukankah kamu... Tania?” tanya Juned dengan suara lembut, seperti seorang anak kecil yang baru saja bangun dari tidur panjang.Tania terdiam, hatinya mencelos. Ini pertama kalinya setelah sekian lama Juned berbicara dengan nada normal—bukan gumaman tak jelas atau ocehan seperti orang kehilangan akal.“Apa kau sudah mengingatku?” Tania sedikit tersenyum lega.Juned mengerjapkan matanya beberapa kali, seolah baru menyadari sesuatu. Tatapannya menyapu tubuh Tania yang masih mengenakan handuk, lalu ia tersenyum lembut."Oh, Kenapa kamu hanya memakai handuk?" katanya santai. "Biasanya wanita yang hanya memakai handuk ingin aku untuk menidurinya. Apa kamu juga mau, Tania?"Tania membeku. Jantungnya kembali berdegup kencang, bukan hanya karen
Tania keluar dari kamar mandi dengan handuk yang masih melilit tubuhnya. Rambutnya yang basah meneteskan air ke lantai saat dia berjalan ke ruang tamu. Namun langkahnya terhenti ketika melihat pemandangan yang mengejutkan—Alisa sedang duduk sangat dekat dengan Juned, wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter.“Hei! Apa yang kamu lakukan?!” suara Tania meninggi, membuat Alisa langsung menoleh dengan ekspresi terkejut.Alisa mengerjapkan mata, seolah baru saja kembali dari dunia lain. Dia masih bisa merasakan ingatan Juned yang mengalir dalam kepalanya, tetapi kini perhatian Tania sepenuhnya tertuju padanya.“Jangan bilang kamu mau ciuman sama Juned?!” lanjut Tania dengan nada curiga.Alisa terdiam sejenak sebelum akhirnya tertawa kecil. “Kakak ini mikirnya aneh-aneh saja.” Dia berdiri dan mengibaskan tangannya di udara. “Aku Cuma... ya, mencoba sesuatu.”Tania menatap adiknya dengan tajam. “Mencoba sesuatu apa?”Alisa menatap kakaknya dengan penuh kesabaran. "Kak, serius deh. Ak
Tania yang sudah memegang gagang pintu tiba-tiba terhenti saat mendengar ucapan Alisa. Matanya membelalak seketika, dan dia menoleh dengan ekspresi setengah terkejut, setengah kesal.“Al, kamu ngomong apa sih?” tanyanya dengan nada tajam.Alisa hanya tersenyum jahil dan berjalan mendekat dengan santai. “Ya, aku Cuma ngomong kenyataan aja, Kak. Aku lihat Kakak masih ragu tidur sama Mas Juned, kan? Kenapa gak menikah aja sekalian? Biar kakak bebas melakukannya dan tidak ada ketakutan jika Mas Juned direbut orang lain.”Tania mendengus, jelas-jelas merasa terganggu dengan godaan adiknya. “Al, denger ya. Aku bukan takut Juned direbut siapa-siapa. Aku cuma gak mau melakukannya jika dia dalam kondisi kayak gini.”“Hmmm… kalau gitu, Kakak pasti juga gak keberatan kalau ada wanita lain yang mau melakukannya sama Mas Juned, ya?” Alisa melipat tangan di dadanya, matanya menatap Tania penuh tantangan.Tania membuka mulut, ingin membantah, tapi tiba-tiba terdiam. Ada sesuatu di dalam dadanya yan
Namun, tepat sebelum bibirnya menyentuh wajah Juned, suara keras terdengar dari belakang.“EHEM!! Kakak ngapain?!”Tania tersentak kaget dan langsung menjauh dari Juned, wajahnya memerah seketika. Ia menoleh dan melihat Alisa berdiri di ambang pintu dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu, tangannya menyilang di dada.“J-Jangan ngagetin gitu dong!” Tania berusaha menutupi rasa malunya.Alisa menaikkan alis, lalu tersenyum penuh arti. “Aku sih gak masalah kalau kakak mau nyium Mas Juned, tapi kok gak bilang-bilang? Kan bisa aku rekam buat kenang-kenangan!” godanya sambil terkikik.Tania menghela napas panjang, lalu berdiri dan berjalan menjauh dari Juned. “Aku gak ngapa-ngapain, Alisa! Sudahlah, kita harus siap-siap buat sarapan.”Tania berjalan menuju dapur dengan langkah cepat, berusaha mengalihkan pikirannya dari kejadian barusan. Ia membuka lemari dapur dan mengambil beberapa bungkus mi instan.“Mau rasa apa, Al?” tanyanya tanpa menoleh.“Yang pedas dong, Kak!” sahut Alisa sambil du
“Aku tidak yakin…” ujar Tania ragu.Alisa tersenyum jahil, lalu dengan nada menggoda, ia berkata, "Saat tadi aku melihat ingatan Mas Juned, tidak ada wanita yang menolak kejantanannya. Sepertinya Aku juga tidak menolak, kok."Tania langsung menatap tajam adiknya. "Jangan macam-macam, Alisa!"Alisa terkikik. "Ya sudah, kalau Kakak masih ragu, nggak usah dipaksa. Tapi ingat, kalau Mas Juned tetap seperti ini, itu artinya Kakak sendiri yang menyerah tanpa mencoba semuanya."Tania menggigit bibirnya. Dia tidak suka kalah, terutama dalam sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaannya sebagai polisi dan antiquary.Tania menghela napas panjang sebelum akhirnya menatap adiknya dengan tegas.“Sudah malam, Alisa. Lebih baik kamu tidur,” ujarnya.Alisa masih duduk di sofa ruang tengah dengan wajah penuh rasa ingin tahu, seolah ingin melihat bagaimana kelanjutan rencana kakaknya. “Aku masih penasaran, Kak,” kata Alisa sambil tersenyum jahil. “Tapi baiklah, aku tidur dulu.”Tania melipat tangan di