Wanita itu terus membawa Juned hingga keluar dari kafe. Setelah berada di luar Juned yang masih bingung dan mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi berdiri mematung, menatap wanita bertopeng yang telah menyelamatkannya dari kerumunan. Dalam sekejap, wanita itu membuka topengnya, memperlihatkan wajah yang sangat dikenalnya. Juned terkejut bukan main.“Tante Lilis?!” seru Juned dengan suara setengah berbisik, matanya membulat tak percaya.Lilis menatap Juned dengan ekspresi datar, seolah mencoba mengukur reaksi keponakannya. “Iya, ini aku, Juned,” jawabnya sambil melipat topeng itu dan menyelipkannya ke balik gaunnya.Juned mengernyit, kebingungan. “Kenapa Tante ada di sini? Apakah Tante juga bekerja di sini?” tanyanya, nadanya penuh curiga dan cemas.Lilis mendesah pelan, lalu mengalihkan pandangannya. “Aku nggak kerja di sini, Juned,” katanya dengan nada tenang, meski ada sedikit getaran. “Tapi, kadang aku... berkunjung ke sini. Hanya untuk... melampiaskan sesuatu.”Juned menger
Lilis akhirnya berdiri, mengambil selimut dari kamar, lalu meletakkannya di atas tubuh Juned. "Istirahatlah, Juned. Kalau kamu terus begini, tubuhmu akan tumbang," ucap Lilis lembut.Juned hanya mengangguk pelan tanpa membuka matanya.Beberapa saat kemudian, suara napas Juned mulai teratur. Ia tertidur dengan tenang di atas sofa, sementara Lilis duduk di kursi di dekatnya, menjaga malam yang sunyi.Dalam pikiran Lilis masih terbayang saat Rini memberikan pelayanan ekstra kepada Juned. Hingga tanpa sadar kembali Lilis menggerayangi tubuhnya sendiri.“Sshh...” Lilis mengeluarkan desahan yang membuat dadanya mulai berdebar kencang.Perlahan, ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan debaran di dadanya. Perasaan yang selama ini ia simpan semakin sulit untuk ditahan.Dengan hati-hati, Lilis mendekatkan tubuhnya ke Juned. Ia menyelimuti dirinya sendiri dengan selimut yang sama, lalu meraih tubuh Juned dan memeluknya erat. "Juned...," bisiknya pelan, suaranya bergetar, "Kamu tahu nggak
“Aku serius, Juned,” jawab Lilis tanpa ragu. “Aku ingin kita memulai hidup baru. Aku ingin kita membangun keluarga kita sendiri, jauh dari semua kekacauan ini. Aku ingin memiliki seorang anak darimu”Juned tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya memeluk Lilis lebih erat dan mengecup bibir tantenya dengan ganas. Hal itu menunjukkan Juned tak menolak permintaan Lilis. Akhirnya suara benturan paha mereka yang saling beradu kembali memecah keheningan malam untuk yang kedua kalinya.Saat Juned dan Lilis tenggelam dalam lautan birahi, mereka tak menyadari bahwa ada sepasang mata yang tengah mengamati.Ya benar saja, Lastri yang sebelumnya berada di kamar tidak bisa tidur karena mendengar suara-suara yang di keluarkan oleh Lilis maupun Juned. Sehingga dia mencoba mengintip pemandangan yang tak terduga dari celah pintu.“Hmmppff” Lastri membungkam mulutnya dengan tangan kanan, mencoba menahan suaranya sendiri.Awalnya, Lastri merasa tak habis pikir saat melihat seorang tante dan keponakann
Juned yang tanpa menggubris bisik-bisik Lilis dan Lastri terus menikmati sarapannya Tiba-tiba Juned meletakkan sendoknya dengan cepat. Ekspresinya berubah serius, seolah mengingat sesuatu yang penting.“Astaga, aku lupa!” serunya sambil menepuk dahinya.Lilis yang duduk di sebelahnya menoleh dengan heran. “Lupa apa, Juned? Ada apa?”Juned berdiri dan segera meraih ponselnya yang tergeletak di meja. Ia memeriksa sesuatu di layar dengan tergesa-gesa. Matanya menatap layar ponsel itu sejenak sebelum ia menghela napas panjang.“Aku ada janji,” katanya singkat sambil mulai menghabiskan sisa makanannya dengan cepat.“Janji sama siapa?” tanya Lilis penasaran, nada suaranya sedikit curiga.Juned hanya menggeleng, tidak memberikan jawaban yang jelas. “Nanti aku jelasin, Tante. Ini penting banget. Aku harus pergi sekarang,” ucapnya sambil meneguk segelas air dan meraih jaket yang tergantung di dekat pintu.Lastri, menatap Juned dengan sedikit ragu. “Hati-hati di jalan, Jun,” katanya pelan.June
Saat pelayan datang membawa menu, Rini dengan santai memesan kopi dan roti panggang. “Mas mau pesan apa?” tanyanya sambil menatap Juned.“Apa aja deh yang ringan,” jawab Juned singkat.Setelah pelayan pergi, Rini menopang dagunya dengan tangan dan menatap Juned dengan tatapan penuh arti. “Nanti saat di acara kamu harus menuruti semua kemauanku, apapun itu kamu jangan menolak sedikitpun.”Juned mengangguk pelan. “Baiklah, asalkan jangan meminta yang aneh. Aku juga masih belum tahu dengan rencanamu untuk melawan Anton.”Rini tersenyum kecil. “Kamu gak perlu khawatir, dengan bantuan dari kawanku kita bisa membalikkan keadaan.”Belum sempat Juned membalas ucapan Rini, seorang pelayan kembali menghampiri meja mereka sambil membawa hidangan yang telah dipesan.“Silahkan mas, mbak.” Kata pelayan saat meletakkan hidangan di atas meja lalu pergi meninggalkan mereka.Setelah pelayan itu pergi Juned terus menatap makanan yang tersaji di atas meja. “Apa kamu yakin temanmu itu bisa membantu?” ta
Suhu tubuh Juned yang mulai naik akibat luapan hasrat yang kian memuncak hanya bisa pasrah. Sementara itu Rini masih membelai tubuh Juned dan terus mencium leher Juned.Saat tangan Rini hendak membuka kancing celana Juned tiba-tiba terdengar suara orang yang memanggil.“Apa ada orang di dalam?”Mereka berdua langsung tersentak ketika mendengar ada orang yang sedang menunggu di luar.Rini akhirnya melepaskan pelukannya, tapi sebelum melangkah mundur, Rini berbisik di telinga Juned. “Pakai pakaian itu, aku tunggu di luar. Orang itu benar-benar bikin kecewa, ya.”Rini keluar dari ruang ganti sambil tersenyum puas, meninggalkan Juned yang masih terpaku di tempatnya. Dengan gemetar, Juned mencoba menguasai dirinya sebelum melanjutkan untuk mengenakan pakaian yang telah dipilih Rini. “Loh ini kan kamar ganti pria? Kenapa kamu di sini?” terdengar suara seorang pria yang sepertinya menegur Rini.Juned mencoba mengabaikan suara itu dan sesegera mungkin mengganti baju. Ketika dia keluar
Juned memandang Rini yang sudah tampil anggun dengan gaun yang terlihat pas dengannya meski usianya sudah kepala empat. “Aku nggak tahu, Mbak Rin. Kayaknya aku bakal kelihatan aneh di sini.”Rini menepuk bahu Juned dengan lembut. “Kamu nggak perlu khawatir. Kamu terlihat keren. Lagipula, kamu cuma perlu berpura-pura jadi pasanganku hari ini.”Juned menghela napas panjang dan membuka pintu mobil. “Baiklah, aku ikut. Tapi aku masih nggak ngerti kenapa aku harus ada di sini.”Mereka berdua masuk ke dalam lobi hotel yang luas dan penuh dengan dekorasi elegan. Suara musik lembut mengalun di latar belakang. Beberapa orang melirik mereka saat mereka berjalan melewati kerumunan, tapi Rini tampak tidak terpengaruh.Saat mereka sampai di aula tempat acara berlangsung, Rini melingkarkan lengannya di lengan Juned, membuat pria itu sedikit kaku.“Santai saja,” bisik Rini sambil tersenyum. “Kamu Cuma perlu bersikap seperti pasangan romantis yang bahagia.”Juned mencoba tersenyum, meskipun dalam hat
“Kamu kenal dia?” tanya Rini.Juned tidak menjawab, matanya tetap terpaku pada Marina, wanita yang ternyata adalah penyelenggara acara tersebut. Ia tak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan Marina, wanita yang pernah ia sembuhkan dulu ketika sedang sakit dan tersesat di desanya.Sementara itu, Marina melangkah anggun ke tengah panggung, mengambil mikrofon, dan menyapa para tamu dengan suara yang lembut namun penuh wibawa. “Selamat malam semuanya. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk hadir di acara ini. Saya merasa sangat beruntung bisa menjadi bagian dari reuni ini.”Juned masih belum bisa mengalihkan pandangannya. Kenangan tentang Marina melintas di pikirannya—bagaimana dia menolong wanita itu dengan telapak tangan sakti yang ia dapatkan setelah memakan jamur ajaib. Saat itu, Marina hampir kehilangan harapan, dan ia berhasil menyembuhkannya.Setelah sambutan selesai, acara kembali dipenuhi dengan obrolan dan tawa. Namun, Juned tak lagi bisa fokus. Ia hanya duduk diam sambil
“Aneh... kenapa dia begitu menarik sekarang?” Gumam Juned dalam hatinya.Juned menatap Tania beberapa detik lebih lama, seolah mencoba membaca pikirannya. Tapi tak ada yang bisa dia tangkap dari ekspresi wanita itu selain ketegasan yang membuatnya semakin penasaran.Tanpa berkata apa-apa lagi, Juned berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Tania sendirian dalam lamunannya. Tania menghela napas panjang, menatap punggung Juned yang semakin menjauh.Angin berembus pelan, membuat helaian rambut Tania sedikit berantakan. Dia menggigit bibir, mencoba menyingkirkan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di hatinya.“Kenapa aku harus peduli?” pikirnya dalam hati.Tapi bayangan Juned yang berjalan pergi tetap melekat dalam benaknya, membuatnya tak bisa benar-benar mengabaikan perasaan yang baru saja muncul itu.“Apa kamu masih akan melamun terus, kak?”Suara Alisa sedikit mengejutkan Tania yang sempat terbuai dalam lamunan.“Kamu mau ke mana, Alisa?” Tanya Tania sesaat setelah menoleh ke a
Alisa menepuk bahu Juned dengan penuh semangat. “Mas, kenapa nggak mulai pijat lagi aja? Ini kan keahlian Mas Juned. Daripada bingung mau ngapain, kan lebih baik buka pijat lagi di kehidupan baru ini?”Juned terdiam, tampak mempertimbangkan saran itu. “Aku memang suka memijat, dan itu satu-satunya yang paling aku kuasai...”Namun, sebelum Juned bisa melanjutkan kata-katanya, Tania langsung menyela dengan nada datar, “Menurutku nggak perlu.”Alisa menoleh cepat ke arah kakaknya, matanya menyipit curiga. “Lho, kenapa, Kak? Bukannya itu hal yang bagus?”Tania tetap berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang. “Aku Cuma mikir... mungkin Juned bisa mencoba hal lain. Nggak harus balik ke dunia pijat.”Alisa tersenyum licik, seperti baru saja menemukan sesuatu yang menarik. “Atau... Kakak sebenarnya nggak mau Mas Juned mijat orang lain?”Tania langsung merasakan wajahnya memanas, tapi dia tetap berusaha bersikap biasa saja. “Bukan itu alasannya.”Namun, Alisa tak begitu saja percaya. Dia bersa
Alisa menyilangkan tangan di dadanya dan tersenyum kecil. “Akhirnya kamu mulai berpikir lebih jernih.”Tania yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Juned, kamu tidak harus memaksakan diri untuk mencari orang yang tidak menginginkanmu.”Juned menoleh ke arah Tania, memperhatikan wajahnya dengan lebih saksama. Ada sesuatu di dalam tatapan Tania yang belum pernah ia perhatikan sebelumnya—sebuah kehangatan yang selama ini mungkin ia abaikan.“Jadi... apa yang harus kulakukan sekarang?” tanyanya pelan.Alisa tertawa kecil dan menepuk bahu Juned. “Itu pilihanmu, Mas. Tapi kalau kamu tanya aku... aku akan bilang tetaplah di sini. Jangan ke mana-mana. Ada seseorang yang lebih pantas untuk kamu hargai di rumah ini.”Juned kembali menatap Tania, dan kali ini, hatinya mulai mempertimbangkan sesuatu yang selama ini tidak pernah ia pikirkan.Juned mengalihkan pandangannya menatap Alisa dengan raut bingung. “Kenapa kamu bisa tahu semua tentang aku? Bahkan hal-hal yang aku sendiri baru sada
Mereka bertiga duduk di ruang tengah, dengan secangkir teh di depan masing-masing.Juned mengerutkan kening, mencoba menggali ingatan terakhir yang masih terasa kabur di kepalanya. Seolah ada sesuatu yang penting, sesuatu yang begitu emosional, namun belum sepenuhnya jelas.Perlahan, bayangan tentang seseorang muncul di benaknya. “Apa benar kalau tante Lilis sudah meninggal?”Tania menganggukkan kepalanya perlahan. “Hal itulah yang membuatmu menjadi depresi, Juned.”Juned terdiam, napasnya sedikit berat. Ia mulai mengingat saat terakhir bersama Lilis, dan bagaimana wanita itu menghilang dari hidupnya. “Mas Juned harus merelakan apa yang sudah terjadi.” Sahut Alisa dengan serius.Tiba-tiba, amarah menyala di matanya. Rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal. “Anton...” gumamnya pelan, namun penuh kebencian.Tania dan Alisa yang sedari tadi memperhatikan perubahan ekspresi Juned saling bertukar pandang.“Apa kamu akan kembali membalas dendam kepada Anton?” tanya Tania dengan nad
“Ju... Juned?” Tania berbisik, masih belum bisa memproses apa yang baru saja terjadi.Juned perlahan menarik diri, matanya yang sebelumnya kosong kini tampak lebih hidup. Ada kebingungan di wajahnya, tetapi juga ketenangan yang sebelumnya tidak ada.“Bukankah kamu... Tania?” tanya Juned dengan suara lembut, seperti seorang anak kecil yang baru saja bangun dari tidur panjang.Tania terdiam, hatinya mencelos. Ini pertama kalinya setelah sekian lama Juned berbicara dengan nada normal—bukan gumaman tak jelas atau ocehan seperti orang kehilangan akal.“Apa kau sudah mengingatku?” Tania sedikit tersenyum lega.Juned mengerjapkan matanya beberapa kali, seolah baru menyadari sesuatu. Tatapannya menyapu tubuh Tania yang masih mengenakan handuk, lalu ia tersenyum lembut."Oh, Kenapa kamu hanya memakai handuk?" katanya santai. "Biasanya wanita yang hanya memakai handuk ingin aku untuk menidurinya. Apa kamu juga mau, Tania?"Tania membeku. Jantungnya kembali berdegup kencang, bukan hanya karen
Tania keluar dari kamar mandi dengan handuk yang masih melilit tubuhnya. Rambutnya yang basah meneteskan air ke lantai saat dia berjalan ke ruang tamu. Namun langkahnya terhenti ketika melihat pemandangan yang mengejutkan—Alisa sedang duduk sangat dekat dengan Juned, wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter.“Hei! Apa yang kamu lakukan?!” suara Tania meninggi, membuat Alisa langsung menoleh dengan ekspresi terkejut.Alisa mengerjapkan mata, seolah baru saja kembali dari dunia lain. Dia masih bisa merasakan ingatan Juned yang mengalir dalam kepalanya, tetapi kini perhatian Tania sepenuhnya tertuju padanya.“Jangan bilang kamu mau ciuman sama Juned?!” lanjut Tania dengan nada curiga.Alisa terdiam sejenak sebelum akhirnya tertawa kecil. “Kakak ini mikirnya aneh-aneh saja.” Dia berdiri dan mengibaskan tangannya di udara. “Aku Cuma... ya, mencoba sesuatu.”Tania menatap adiknya dengan tajam. “Mencoba sesuatu apa?”Alisa menatap kakaknya dengan penuh kesabaran. "Kak, serius deh. Ak
Tania yang sudah memegang gagang pintu tiba-tiba terhenti saat mendengar ucapan Alisa. Matanya membelalak seketika, dan dia menoleh dengan ekspresi setengah terkejut, setengah kesal.“Al, kamu ngomong apa sih?” tanyanya dengan nada tajam.Alisa hanya tersenyum jahil dan berjalan mendekat dengan santai. “Ya, aku Cuma ngomong kenyataan aja, Kak. Aku lihat Kakak masih ragu tidur sama Mas Juned, kan? Kenapa gak menikah aja sekalian? Biar kakak bebas melakukannya dan tidak ada ketakutan jika Mas Juned direbut orang lain.”Tania mendengus, jelas-jelas merasa terganggu dengan godaan adiknya. “Al, denger ya. Aku bukan takut Juned direbut siapa-siapa. Aku cuma gak mau melakukannya jika dia dalam kondisi kayak gini.”“Hmmm… kalau gitu, Kakak pasti juga gak keberatan kalau ada wanita lain yang mau melakukannya sama Mas Juned, ya?” Alisa melipat tangan di dadanya, matanya menatap Tania penuh tantangan.Tania membuka mulut, ingin membantah, tapi tiba-tiba terdiam. Ada sesuatu di dalam dadanya yan
Namun, tepat sebelum bibirnya menyentuh wajah Juned, suara keras terdengar dari belakang.“EHEM!! Kakak ngapain?!”Tania tersentak kaget dan langsung menjauh dari Juned, wajahnya memerah seketika. Ia menoleh dan melihat Alisa berdiri di ambang pintu dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu, tangannya menyilang di dada.“J-Jangan ngagetin gitu dong!” Tania berusaha menutupi rasa malunya.Alisa menaikkan alis, lalu tersenyum penuh arti. “Aku sih gak masalah kalau kakak mau nyium Mas Juned, tapi kok gak bilang-bilang? Kan bisa aku rekam buat kenang-kenangan!” godanya sambil terkikik.Tania menghela napas panjang, lalu berdiri dan berjalan menjauh dari Juned. “Aku gak ngapa-ngapain, Alisa! Sudahlah, kita harus siap-siap buat sarapan.”Tania berjalan menuju dapur dengan langkah cepat, berusaha mengalihkan pikirannya dari kejadian barusan. Ia membuka lemari dapur dan mengambil beberapa bungkus mi instan.“Mau rasa apa, Al?” tanyanya tanpa menoleh.“Yang pedas dong, Kak!” sahut Alisa sambil du
“Aku tidak yakin…” ujar Tania ragu.Alisa tersenyum jahil, lalu dengan nada menggoda, ia berkata, "Saat tadi aku melihat ingatan Mas Juned, tidak ada wanita yang menolak kejantanannya. Sepertinya Aku juga tidak menolak, kok."Tania langsung menatap tajam adiknya. "Jangan macam-macam, Alisa!"Alisa terkikik. "Ya sudah, kalau Kakak masih ragu, nggak usah dipaksa. Tapi ingat, kalau Mas Juned tetap seperti ini, itu artinya Kakak sendiri yang menyerah tanpa mencoba semuanya."Tania menggigit bibirnya. Dia tidak suka kalah, terutama dalam sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaannya sebagai polisi dan antiquary.Tania menghela napas panjang sebelum akhirnya menatap adiknya dengan tegas.“Sudah malam, Alisa. Lebih baik kamu tidur,” ujarnya.Alisa masih duduk di sofa ruang tengah dengan wajah penuh rasa ingin tahu, seolah ingin melihat bagaimana kelanjutan rencana kakaknya. “Aku masih penasaran, Kak,” kata Alisa sambil tersenyum jahil. “Tapi baiklah, aku tidur dulu.”Tania melipat tangan di