Lilis akhirnya berdiri, mengambil selimut dari kamar, lalu meletakkannya di atas tubuh Juned. "Istirahatlah, Juned. Kalau kamu terus begini, tubuhmu akan tumbang," ucap Lilis lembut.Juned hanya mengangguk pelan tanpa membuka matanya.Beberapa saat kemudian, suara napas Juned mulai teratur. Ia tertidur dengan tenang di atas sofa, sementara Lilis duduk di kursi di dekatnya, menjaga malam yang sunyi.Dalam pikiran Lilis masih terbayang saat Rini memberikan pelayanan ekstra kepada Juned. Hingga tanpa sadar kembali Lilis menggerayangi tubuhnya sendiri.“Sshh...” Lilis mengeluarkan desahan yang membuat dadanya mulai berdebar kencang.Perlahan, ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan debaran di dadanya. Perasaan yang selama ini ia simpan semakin sulit untuk ditahan.Dengan hati-hati, Lilis mendekatkan tubuhnya ke Juned. Ia menyelimuti dirinya sendiri dengan selimut yang sama, lalu meraih tubuh Juned dan memeluknya erat. "Juned...," bisiknya pelan, suaranya bergetar, "Kamu tahu nggak
“Aku serius, Juned,” jawab Lilis tanpa ragu. “Aku ingin kita memulai hidup baru. Aku ingin kita membangun keluarga kita sendiri, jauh dari semua kekacauan ini. Aku ingin memiliki seorang anak darimu”Juned tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya memeluk Lilis lebih erat dan mengecup bibir tantenya dengan ganas. Hal itu menunjukkan Juned tak menolak permintaan Lilis. Akhirnya suara benturan paha mereka yang saling beradu kembali memecah keheningan malam untuk yang kedua kalinya.Saat Juned dan Lilis tenggelam dalam lautan birahi, mereka tak menyadari bahwa ada sepasang mata yang tengah mengamati.Ya benar saja, Lastri yang sebelumnya berada di kamar tidak bisa tidur karena mendengar suara-suara yang di keluarkan oleh Lilis maupun Juned. Sehingga dia mencoba mengintip pemandangan yang tak terduga dari celah pintu.“Hmmppff” Lastri membungkam mulutnya dengan tangan kanan, mencoba menahan suaranya sendiri.Awalnya, Lastri merasa tak habis pikir saat melihat seorang tante dan keponakann
Juned yang tanpa menggubris bisik-bisik Lilis dan Lastri terus menikmati sarapannya Tiba-tiba Juned meletakkan sendoknya dengan cepat. Ekspresinya berubah serius, seolah mengingat sesuatu yang penting.“Astaga, aku lupa!” serunya sambil menepuk dahinya.Lilis yang duduk di sebelahnya menoleh dengan heran. “Lupa apa, Juned? Ada apa?”Juned berdiri dan segera meraih ponselnya yang tergeletak di meja. Ia memeriksa sesuatu di layar dengan tergesa-gesa. Matanya menatap layar ponsel itu sejenak sebelum ia menghela napas panjang.“Aku ada janji,” katanya singkat sambil mulai menghabiskan sisa makanannya dengan cepat.“Janji sama siapa?” tanya Lilis penasaran, nada suaranya sedikit curiga.Juned hanya menggeleng, tidak memberikan jawaban yang jelas. “Nanti aku jelasin, Tante. Ini penting banget. Aku harus pergi sekarang,” ucapnya sambil meneguk segelas air dan meraih jaket yang tergantung di dekat pintu.Lastri, menatap Juned dengan sedikit ragu. “Hati-hati di jalan, Jun,” katanya pelan.June
Saat pelayan datang membawa menu, Rini dengan santai memesan kopi dan roti panggang. “Mas mau pesan apa?” tanyanya sambil menatap Juned.“Apa aja deh yang ringan,” jawab Juned singkat.Setelah pelayan pergi, Rini menopang dagunya dengan tangan dan menatap Juned dengan tatapan penuh arti. “Nanti saat di acara kamu harus menuruti semua kemauanku, apapun itu kamu jangan menolak sedikitpun.”Juned mengangguk pelan. “Baiklah, asalkan jangan meminta yang aneh. Aku juga masih belum tahu dengan rencanamu untuk melawan Anton.”Rini tersenyum kecil. “Kamu gak perlu khawatir, dengan bantuan dari kawanku kita bisa membalikkan keadaan.”Belum sempat Juned membalas ucapan Rini, seorang pelayan kembali menghampiri meja mereka sambil membawa hidangan yang telah dipesan.“Silahkan mas, mbak.” Kata pelayan saat meletakkan hidangan di atas meja lalu pergi meninggalkan mereka.Setelah pelayan itu pergi Juned terus menatap makanan yang tersaji di atas meja. “Apa kamu yakin temanmu itu bisa membantu?” ta
Suhu tubuh Juned yang mulai naik akibat luapan hasrat yang kian memuncak hanya bisa pasrah. Sementara itu Rini masih membelai tubuh Juned dan terus mencium leher Juned.Saat tangan Rini hendak membuka kancing celana Juned tiba-tiba terdengar suara orang yang memanggil.“Apa ada orang di dalam?”Mereka berdua langsung tersentak ketika mendengar ada orang yang sedang menunggu di luar.Rini akhirnya melepaskan pelukannya, tapi sebelum melangkah mundur, Rini berbisik di telinga Juned. “Pakai pakaian itu, aku tunggu di luar. Orang itu benar-benar bikin kecewa, ya.”Rini keluar dari ruang ganti sambil tersenyum puas, meninggalkan Juned yang masih terpaku di tempatnya. Dengan gemetar, Juned mencoba menguasai dirinya sebelum melanjutkan untuk mengenakan pakaian yang telah dipilih Rini. “Loh ini kan kamar ganti pria? Kenapa kamu di sini?” terdengar suara seorang pria yang sepertinya menegur Rini.Juned mencoba mengabaikan suara itu dan sesegera mungkin mengganti baju. Ketika dia keluar
Juned memandang Rini yang sudah tampil anggun dengan gaun yang terlihat pas dengannya meski usianya sudah kepala empat. “Aku nggak tahu, Mbak Rin. Kayaknya aku bakal kelihatan aneh di sini.”Rini menepuk bahu Juned dengan lembut. “Kamu nggak perlu khawatir. Kamu terlihat keren. Lagipula, kamu cuma perlu berpura-pura jadi pasanganku hari ini.”Juned menghela napas panjang dan membuka pintu mobil. “Baiklah, aku ikut. Tapi aku masih nggak ngerti kenapa aku harus ada di sini.”Mereka berdua masuk ke dalam lobi hotel yang luas dan penuh dengan dekorasi elegan. Suara musik lembut mengalun di latar belakang. Beberapa orang melirik mereka saat mereka berjalan melewati kerumunan, tapi Rini tampak tidak terpengaruh.Saat mereka sampai di aula tempat acara berlangsung, Rini melingkarkan lengannya di lengan Juned, membuat pria itu sedikit kaku.“Santai saja,” bisik Rini sambil tersenyum. “Kamu Cuma perlu bersikap seperti pasangan romantis yang bahagia.”Juned mencoba tersenyum, meskipun dalam hat
“Kamu kenal dia?” tanya Rini.Juned tidak menjawab, matanya tetap terpaku pada Marina, wanita yang ternyata adalah penyelenggara acara tersebut. Ia tak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan Marina, wanita yang pernah ia sembuhkan dulu ketika sedang sakit dan tersesat di desanya.Sementara itu, Marina melangkah anggun ke tengah panggung, mengambil mikrofon, dan menyapa para tamu dengan suara yang lembut namun penuh wibawa. “Selamat malam semuanya. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk hadir di acara ini. Saya merasa sangat beruntung bisa menjadi bagian dari reuni ini.”Juned masih belum bisa mengalihkan pandangannya. Kenangan tentang Marina melintas di pikirannya—bagaimana dia menolong wanita itu dengan telapak tangan sakti yang ia dapatkan setelah memakan jamur ajaib. Saat itu, Marina hampir kehilangan harapan, dan ia berhasil menyembuhkannya.Setelah sambutan selesai, acara kembali dipenuhi dengan obrolan dan tawa. Namun, Juned tak lagi bisa fokus. Ia hanya duduk diam sambil
Marina kembali menghampiri Juned dan Rini dengan langkah anggun. Senyumnya tetap lembut, namun kali ini ada kesan serius di wajahnya. Sebelum Marina sempat berbicara, Rini dengan cepat melangkah maju, mencoba mengambil kesempatan untuk berbicara lebih dulu.“Marina,” kata Rini dengan nada memohon, “bolehkah aku meminta bantuanmu? Ini soal sesuatu yang sangat penting.”Marina menatap Rini dengan penuh perhatian, kemudian pandangannya beralih ke Juned. Melihat ketegangan di wajah keduanya, ia menyadari bahwa situasinya tidak biasa. Tanpa bertanya lebih lanjut, ia mengangguk. “Baiklah. Mari kita bicara di tempat yang lebih tenang.”Marina berbalik dan memimpin jalan, melewati lorong-lorong hotel yang megah. Juned dan Rini mengikutinya dengan langkah penuh kewaspadaan. Setelah beberapa menit berjalan, Marina membuka sebuah pintu yang mengarah ke sebuah ruangan pribadi.Ruangan itu berukuran sedang, dengan sofa empuk dan meja kecil di tengahnya. Dekorasinya minimalis namun elegan, mencermi
Setelah Marina pergi, Juned baru saja ingin duduk dan menikmati suasana rumah barunya ketika tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Ia membuka pintu, dan di sana berdiri dua orang wanita dengan senyuman ramah. Salah satu dari mereka menyapa, “Selamat siang, Pak Juned. Kami orang suruhan Bu Marina. Nama saya Siti, dan ini teman saya, Ratih. Kami ditugaskan untuk membantu pekerjaan di rumah ini.”Juned mengernyit sejenak, merasa sedikit bingung. “Membantu pekerjaan? Maksudnya seperti asisten rumah tangga?”Siti mengangguk. “Iya, Pak. Bu Marina bilang Bapak akan membutuhkan bantuan untuk menjaga kebersihan rumah dan mungkin memasak.”Ratih menambahkan, “Kami sudah bekerja lama dengan Bu Marina, jadi Bapak tidak perlu khawatir. Kami di sini untuk memastikan rumah ini tetap nyaman untuk Bapak.”Juned mengangguk, mencoba mencerna semuanya. “Baiklah, kalau begitu silakan masuk. Mari kita bicara di ruang tamu.”Keduanya masuk dengan sopan dan duduk di sofa. Juned pun mulai mengajukan beberapa
Saat Juned tiba di ruang makan, Marina sudah menunggunya di sana dengan senyum tenangnya. Di atas meja sudah tersedia berbagai hidangan sarapan lengkap. Namun suasana tampak agak tegang, terutama dengan ekspresi Marina yang sedikit berbeda dari biasanya.“Selamat pagi, Juned. Duduklah,” kata Marina sambil menunjuk kursi di depannya.Juned mengangguk dan duduk, mulai menikmati sarapannya.“Juned, kamu itu selalu kebiasaan tidur di sofa padahal Marina sudah menyiapkan kamar untukmu hehehe.” Celetuk Lastri sambil tertawa cekikan.“Juned selalu seperti itu sejak dulu, Lastri. Asalkan sudah mengantuk, dia bisa tidur walaupun dalam keadaan berdiri.” Sahut Lilis.Ucapan Lilis membuat tawa semua orang menggema di ruangan itu. Kecuali Juned yang hanya bisa menunduk menahan malu.Pagi itu, kehangatan menyelimuti ruang makan di rumah Marina. Lilis, Lastri, Vivi, Rini, dan Novi berkumpul di sekitar meja makan, menikmati sarapan terakhir mereka bersama Juned sebelum berpindah ke rumah baru mas
"Aku sudah memeriksa tempat ini. Lokasinya di pinggir jalan besar, mudah diakses, dan sudah memiliki izin usaha. Aku yakin ini akan cocok untuk klinik pijatmu."Juned menatap foto-foto itu dengan mata berbinar, namun juga ada keraguan yang muncul. "Marina, ini terlihat... sangat bagus. Tapi apakah aku bisa mengelola tempat seperti ini?"Marina menatapnya tajam namun penuh kepercayaan. "Juned, aku tidak memilih tempat ini tanpa alasan. Kamu punya kemampuan, dan aku percaya kamu bisa mengelolanya. Selain itu, aku akan membantumu di awal. Kamu hanya perlu fokus pada apa yang kamu kuasai, yaitu memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan."Juned terdiam, merenungkan kata-kata Marina. Tempat itu terlihat seperti impian, sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan bisa ia miliki. "Tapi, Marina, ini pasti sangat mahal. Aku..."Marina mengangkat tangan, menghentikan Juned sebelum ia melanjutkan. "Biarkan itu urusanku. Anggap saja ini adalah bentuk kepercayaanku padamu. Yang perlu kamu lakukan
Marina membuka pembicaraan dengan nada tenang tetapi tegas. “Aku sudah memutuskan sesuatu untuk kalian semua. Aku ingin kalian mulai hidup baru tanpa harus takut atau khawatir tentang masa lalu. Untuk itu, aku telah menyediakan rumah untuk kalian masing-masing.”Semua orang yang mendengarnya tampak terkejut. Lilis, yang duduk paling dekat dengan Juned, langsung bertanya, “Rumah? Maksudmu Marina, kita akan tinggal di kota ini?”Marina tersenyum. “Iya. Aku sudah membeli beberapa rumah sederhana di satu kompleks perumahan. Juned, Rini, Lastri, Vivi, dan kamu, Lilis, masing-masing akan mendapatkan satu rumah dariku.”Lilis tampak tidak puas mendengar itu. “Tunggu dulu! Berarti aku tidak akan tinggal bersama keponakanku, Juned. Padahal Kami selalu hidup bersama. Kenapa kamu tak berikan satu saja untukku dan Juned, aku bisa merawatnya seperti biasanya.”Marina menggeleng lembut tetapi tetap tegas. "Aku tahu kamu peduli pada Juned, Lilis. Tapi aku ingin kalian berdua mulai hidup mandiri. J
Marina membuka semua busana Juned dengan cepat. Mereka tenggelam bersama di ranjang hotel yang empuk, menikmati setiap hembusan nafas yang saling berebut di antara bibir."Juned," kata Marina tiba-tiba sambil melepaskan ciumannya di bibir pria itu. "Aku punya tawaran untukmu."Juned menatap Marina, terlihat ragu-ragu. "Apa itu, Marina?"Marina menatap pria itu dalam-dalam, senyumnya samar namun tajam. "Aku ingin kamu tinggal di kota ini. Lupakan rumahmu di desa, lupakan semua yang pernah terjadi dengan Anton. Mulailah hidup baru di sini bersamaku."Juned mengernyit, merasa bingung dengan maksud ucapan Marina. "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti."Marina menarik napas panjang sebelum melanjutkan. "Jadilah laki-laki simpananku, Juned! Aku akan memberimu kekayaan, kenyamanan, dan keamanan. Semua yang kamu butuhkan. Kamu hanya perlu ada untukku."Ucapan itu membuat Juned terdiam. Dia tidak tahu harus berkata apa. Tawaran Ma
Pria itu tampak sedikit bingung dengan pertanyaan itu. “Perwakilan dari Anton Perkasa memang sudah tiba pagi ini, lebih awal dari jadwal semula. Dan mereka langsung diterima oleh Ibu Ratna.”Mendengar penjelasan itu, wajah Marina berubah. Sorot matanya menunjukkan sesuatu yang mencurigakan. Sementara Juned, yang berdiri di sampingnya, hanya bisa mengerutkan dahi, tak sepenuhnya memahami situasi.Tepat saat itu, Marina dan Juned melihat Ibu Ratna keluar dari ruangannya, berjalan menuju pintu utama bersama seorang pria muda. Pria itu mengenakan setelan jas hitam yang sempurna, rambutnya tersisir rapi, dengan senyum penuh percaya diri. Sosoknya begitu kharismatik, membuat siapa pun yang melihatnya langsung terkesan.Marina memperhatikan pria itu dengan penuh perhatian. Sesaat kemudian, dia berbisik kepada Juned, “Itu perwakilan dari Anton Perkasa. Tapi... sesuatu tidak beres di sini.”“Apa maksudmu?” tanya Juned bingung.“Seharusny
Mata para wanita—Marina, Lilis, Lastri, Vivi, dan Rini—tertumbuk pada Juned. Mereka terdiam sejenak, lalu hampir serentak menunjukkan ekspresi kagum.“Ya ampun, Juned! Keponakanku Ganteng banget!” ujar Lilis dengan suara riang, tangannya menutup mulut seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Vivi mengangguk setuju. “Aku sampai nggak kenal tadi. Serius ini kamu Juned? Kayak model yang mau pergi ke gala dinner aja,” katanya sambil tersenyum lebar.Lastri menambahkan dengan nada menggoda. “Juned, kayaknya kalau ada perempuan yang lihat kamu kayak gini, mereka langsung naksir, deh.”Juned hanya tersenyum canggung, merasa sedikit kikuk dengan perhatian yang begitu besar dari mereka. “Ah, jangan bercanda kalian. Ini cuma karena pakaian yang terlihat bagus,” ucapnya merendah sambil menggaruk belakang kepalanya.Namun Marina, yang duduk di sofa dengan anggun, memberikan komentar yang berbeda. “Lihatlah, ini yang aku maksud. Penamp
Juned hanya bisa duduk terpaku, tidak ingin membuat situasi semakin buruk dengan bertindak kasar. Namun, sebelum Winda melanjutkan aksinya, tubuhnya tiba-tiba melemah, dan ia terjatuh ke samping, pingsan karena mabuk.Juned menghela napas lega, tapi matanya langsung tertuju pada Marina dan Tari yang kini juga tampak setengah sadar, mencoba bernyanyi dengan suara yang sudah tidak jelas. Tidak lama kemudian, satu per satu dari mereka mulai pingsan, termasuk Rini. Suasana yang tadi penuh dengan tawa dan nyanyian kini berubah menjadi hening.Melihat mereka semua terbaring di lantai dan sofa, Juned menyadari bahwa ia tidak bisa membiarkan mereka begitu saja. "Ya Allah, ini benar-benar malam yang melelahkan," gumamnya sambil mengusap wajahnya.Dengan hati-hati, Juned mulai memindahkan mereka satu per satu ke kamar Marina yang besar. Ia mengangkat Winda lebih dulu, lalu kembali ke ruangan karaoke untuk membawa Marina, Tari, dan akhirnya Rini. Setelah memast
Juned tersentak, tapi ia tetap tenang. "Tari, kamu mabuk. Lebih baik kamu duduk di sana dan istirahat.""Aku nggak mabuk," balas Tari sambil terkekeh, meskipun jelas dari gerak-geriknya bahwa ia mulai kehilangan kendali. Ia memiringkan tubuhnya, kini kepalanya bersandar di bahu Juned. "Kamu itu terlalu kaku. Nggak apa-apa, rileks sedikit. Kita ini cuma bersenang-senang."Juned menoleh ke Marina yang duduk di sisi lain ruangan, berharap mendapatkan bantuan. Namun Marina hanya mengangkat gelas anggurnya sambil tersenyum tenang, seolah-olah tidak ingin ikut campur. Winda dan Rini juga tampak terlalu sibuk dengan tawa mereka sendiri."Tari, aku serius," Juned berkata dengan nada lebih tegas, tapi tetap menjaga suaranya rendah agar tidak mengganggu suasana pesta. "Kamu perlu menjaga sikapmu. Aku hanya di sini untuk membantu, bukan untuk hal lain."Namun Tari justru memeluk Juned, membuatnya semakin sulit untuk melepaskan diri tanpa menimbulkan keributan. "Juned, kamu baik sekali. Kamu bahk