Rini meletakkan tehnya di meja lalu kembali ke dapur untuk membuat teh lagi buat Lilis. Sementara itu Juned kembali berbicara dengan Lilis sejenak.Setelah mengobrol sebentar dengan Lilis, Juned memutuskan untuk bangkit dari kursinya. “Aku keluar sebentar, mau ambil udara segar,” katanya dengan nada santai, meski dalam hatinya penuh kecemasan.Lilis menatapnya dengan curiga. “Udara segar? Kan masih gelap di luar, Juned. Kamu kenapa sih? Jujur aja, aku tahu kamu lagi kepikiran sesuatu.”Juned menghela napas panjang, mencoba tetap tenang. “Nggak apa-apa, Tante. Cuma butuh waktu buat mikir. Aku nggak tenang aja.”Rini yang sedang sibuk di dapur menoleh sebentar. "keluar di jam segini itu bagus, mas Juned. Udara pagi bagus buat pikiran," katanya dengan senyum tipis, tetapi tatapannya seperti mengamati Juned dengan saksama.Juned hanya mengangguk. Ia melangkah keluar ke halaman depan rumah, meninggalkan kedua perempuan itu di dalam. Tapi langkahnya hanya berhenti di dekat pohon mangga yan
Juned akhirnya menyerah pada permintaan Rini.“Baiklah mbak, saya akan memijatmu.” Kata Juned sedikit gugup melihat keindahan tubuh Rini. Meskipun sudah berumur 40 tahun ke atas namun badannya masih terlihat kencang bak seorang gadis. Dengan ragu, ia memulai memijat bahu wanita itu. Tubuhnya terasa tegang, bukan karena takut atau lelah, melainkan karena suasana yang terasa aneh. Rini duduk dengan santai di kursi panjang ruang praktik, sementara Juned berdiri di belakangnya, berusaha menjaga jarak."Ah, tanganmu ternyata kuat juga seperti yang dikatakan orang-orang, Mas Juned," kata Rini sambil tertawa kecil.Juned hanya mengangguk pelan, tidak tahu harus menjawab apa. "Ini cuma pijatan sederhana saja," katanya, suaranya terdengar canggung.Namun Rini tidak menghiraukannya. Ia malah menoleh sedikit ke arah Juned, senyum tipis di bibirnya. "Kamu tahu, Mas Juned, kamu ini benar-benar orang baik. Novi beruntung punya teman seperti
Juned langsung melonjak, menarik tubuhnya menjauh dari pelukan Rini. Wajahnya memucat, sementara Rini tampak lebih tenang, hanya tersenyum tipis seperti tidak terjadi apa-apa.“Tante Lilis... ini enggak seperti yang kamu pikirkan,” kata Juned tergagap, mencoba menjelaskan situasi yang tampak sangat salah itu. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.Namun, Lilis menatapnya dengan sorot mata penuh kekecewaan. “Enggak seperti yang kupikirkan? Katamu jangan percaya kepada siapa pun! Tapi kamu melakukan itu dengan Mbak Rini, di klinik ini!” suaranya meninggi, membuat Juned semakin panik.“Tante Lilis, tolong dengarkan aku dulu,” kata Juned mencoba menenangkan. “Ini hanya salah paham. Mbak Rini tadi Cuma—“Rini, yang tampak santai sejak tadi, akhirnya berbicara. "Mbak Lilis, tenang. Awalnya aku yang meminta Mas Juned memelukku. Aku sedang merasa sedih dan butuh pelukan. Itu saja. Tapi aku tergoda oleh kejantanan Mas Juned," katanya dengan nada lembut,
Lastri mengangguk pelan. "Aku nggak tahu harus bagaimana, Jun. Aku merasa nggak ada lagi yang bisa kita percaya."Lilis menggelengkan kepala, masih sulit menerima kenyataan ini. "Pak Samijo... selama ini dia yang selalu kelihatan mendukung kita. Tapi ternyata dia justru bermain di belakang kita."Juned berdiri dari kursinya, berjalan mondar-mandir sambil berpikir keras. "Ini berarti kita nggak bisa lagi mengandalkan siapa pun di kampung ini. Kalau Pak RT saja sudah berpihak ke Anton, berarti situasi kita jauh lebih buruk daripada yang kita kira."Lastri menatap Juned dengan penuh rasa takut. "Jun, aku takut Anton akan melakukan sesuatu yang lebih buruk. Saat di telepon, Pak RT bilang Anton nggak akan menyerah sampai dia mendapatkan apa yang dia mau."Juned menatap Lastri dengan penuh kekhawatiran. “Lastri, kamu bilang tadi dengar percakapan itu di rumah Pak Samijo? Lalu bagaimana dengan Vivi dan Novi? Mereka masih ada di sana?” tanyanya de
Lastri langsung berdiri dan dengan cepat menuju kamar Lilis. Lilis terlihat khawatir, namun Juned menenangkannya dengan isyarat agar tetap tenang. Juned mengambil napas dalam-dalam, mencoba mengatur ekspresi wajahnya agar tidak terlihat gugup.Ketukan keras di pintu terdengar, diikuti oleh suara Pak Samijo yang berat. “Juned, buka pintunya! Ini aku, Pak Samijo!”Juned berjalan ke pintu dan membukanya perlahan, berusaha memasang wajah bingung. “Pak RT? Ada apa kok datang kemari? Bagaimana keadaan mereka di rumah bapak?” tanyanya, seolah tidak mengetahui apa pun.Pak Samijo masuk tanpa diundang, wajahnya terlihat tegang. Ia menatap Juned dengan tajam sebelum berbicara. “Juned, aku harus kasih tahu kamu sesuatu. Vivi, Novi, dan Lastri yang bersembunyi di rumahku tadi... mereka ditangkap lagi oleh anak buah Anton.”Juned pura-pura terkejut, memasang wajah panik. “Apa? Ditangkap? Bagaimana bisa, Pak? Bukannya mereka aman di rumah Pak RT?”Pak Samijo menghela napa
“Lastri, maukah kamu menjadi pacarku?” Tiba-tiba Juned berdiri menghadang perjalanan Sulastri dan kedua temannya. “Minggir kamu, dasar pria lemah,” ujar Sulastri dengan kasar kepada Juned. “Kamu itu tidak cocok ya bersanding dengan Lastri.” Celetuk salah satu teman Sulastri yang berdiri di sampingnya. Juned hanya tertunduk lesu sambil menggenggam seikat bunga mawar, mendengarkan cemoohan yang menyakiti hatinya. Juned sangat menyukai Sulastri yang merupakan anak Juragan Pasir di desa itu. Meski berkali kali cinta Juned ditolak. Sulastri membalas cinta Juned dengan cemoohan dan hinaan belaka. “Hei, Juned. Kamu itu harusnya berkaca dulu. Kamu itu siapa? Berani beraninya mendekati Sulastri.” Ujar teman Sulastri yang lain, sambil mendorong Juned. Juned terjengkang ke belakang, disambut tawa yang menggema ketiga gadis itu. “Hahaha, lihat dia teman-teman. Baru didorong begitu aja sudah jatuh.” Ucap Sulastri tertawa lepas. Kaos yang dipakai Juned kotor terkena tanah, dia
Juned berdiri dalam keadaan yang berbeda, setelah berada di ambang antara hidup dan mati akibat memakan Jamur yang hanya tumbuh 1000 tahun sekali. Beberapa luka yang di derita sebelumnya menghilang seketika. “Wah, kok aneh. Lukaku sembuh tak berbekas.” Juned merasa takjub dengan apa yang terjadi pada tubuhnya. Sudah semalaman Juned tidur di dalam hutan, lukanya juga telah sembuh. Juned juga menyadari bahwa ada beberapa perubahan, seperti mentalnya yang kini kembali pulih. Juned bergegas kembali ke rumah, dia takut jika Tante Lilis khawatir karena semalaman dia tak pulang. Ketika dalam perjalanan pulang, Juned melewati sungai yang airnya masih bersih di kampungnya. Juned berniat membasuh mukanya di sana agar terlihat lebih segar. Karena airnya yang bersih, sungai itu sering digunakan warga kampung untuk beraktivitas, mulai dari mandi sampai mencuci baju. Saat berada di tepi sungai dan hendak menciduk air. Juned melepas kaos dan celana jeans milikinya menyisakan celana kolor pe
Juned dan Vivi masih dalam posisi yang sama, kepala Vivi yang bersandar di pundak Juned, sedangkan Juned masih membelai lembut rambut Vivi. Pria itu semakin berani dengan merangkul kan tangannya ke pundak Vivi, merasakan kulitnya yang halus nan lembut. Vivi menumpahkan semua kesedihannya untuk beberapa saat kala itu. Hingga akhirnya dia tersadar dan tubuhnya menjauh dari pelukan Juned. “Maaf, jadi terbawa suasana.” Ujar Vivi dengan lirih, menunjukkan mukanya yang memerah menahan malu. Juned merasa canggung dengan yang baru saja terjadi, “iya enggak apa-apa.” Juned berusaha mengatur nafas dan birahinya yang sudah naik dengan membetulkan posisi duduknya. Sampai akhirnya desakkan yang ada di dalam celananya mulai mengendur. “Kenapa sih, Vi? Kamu masih terus bertahan dengan laki-laki seperti Anton.” Tanya Juned untuk mengalihkan perhatian. “Aku enggak bisa melakukan itu, Jun. Pernikahanku dengan Mas Anton dulu karena kondisi terpaksa.” Jawab Vivi dengan lirih, menundukkan waj
Lastri langsung berdiri dan dengan cepat menuju kamar Lilis. Lilis terlihat khawatir, namun Juned menenangkannya dengan isyarat agar tetap tenang. Juned mengambil napas dalam-dalam, mencoba mengatur ekspresi wajahnya agar tidak terlihat gugup.Ketukan keras di pintu terdengar, diikuti oleh suara Pak Samijo yang berat. “Juned, buka pintunya! Ini aku, Pak Samijo!”Juned berjalan ke pintu dan membukanya perlahan, berusaha memasang wajah bingung. “Pak RT? Ada apa kok datang kemari? Bagaimana keadaan mereka di rumah bapak?” tanyanya, seolah tidak mengetahui apa pun.Pak Samijo masuk tanpa diundang, wajahnya terlihat tegang. Ia menatap Juned dengan tajam sebelum berbicara. “Juned, aku harus kasih tahu kamu sesuatu. Vivi, Novi, dan Lastri yang bersembunyi di rumahku tadi... mereka ditangkap lagi oleh anak buah Anton.”Juned pura-pura terkejut, memasang wajah panik. “Apa? Ditangkap? Bagaimana bisa, Pak? Bukannya mereka aman di rumah Pak RT?”Pak Samijo menghela napa
Lastri mengangguk pelan. "Aku nggak tahu harus bagaimana, Jun. Aku merasa nggak ada lagi yang bisa kita percaya."Lilis menggelengkan kepala, masih sulit menerima kenyataan ini. "Pak Samijo... selama ini dia yang selalu kelihatan mendukung kita. Tapi ternyata dia justru bermain di belakang kita."Juned berdiri dari kursinya, berjalan mondar-mandir sambil berpikir keras. "Ini berarti kita nggak bisa lagi mengandalkan siapa pun di kampung ini. Kalau Pak RT saja sudah berpihak ke Anton, berarti situasi kita jauh lebih buruk daripada yang kita kira."Lastri menatap Juned dengan penuh rasa takut. "Jun, aku takut Anton akan melakukan sesuatu yang lebih buruk. Saat di telepon, Pak RT bilang Anton nggak akan menyerah sampai dia mendapatkan apa yang dia mau."Juned menatap Lastri dengan penuh kekhawatiran. “Lastri, kamu bilang tadi dengar percakapan itu di rumah Pak Samijo? Lalu bagaimana dengan Vivi dan Novi? Mereka masih ada di sana?” tanyanya de
Juned langsung melonjak, menarik tubuhnya menjauh dari pelukan Rini. Wajahnya memucat, sementara Rini tampak lebih tenang, hanya tersenyum tipis seperti tidak terjadi apa-apa.“Tante Lilis... ini enggak seperti yang kamu pikirkan,” kata Juned tergagap, mencoba menjelaskan situasi yang tampak sangat salah itu. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.Namun, Lilis menatapnya dengan sorot mata penuh kekecewaan. “Enggak seperti yang kupikirkan? Katamu jangan percaya kepada siapa pun! Tapi kamu melakukan itu dengan Mbak Rini, di klinik ini!” suaranya meninggi, membuat Juned semakin panik.“Tante Lilis, tolong dengarkan aku dulu,” kata Juned mencoba menenangkan. “Ini hanya salah paham. Mbak Rini tadi Cuma—“Rini, yang tampak santai sejak tadi, akhirnya berbicara. "Mbak Lilis, tenang. Awalnya aku yang meminta Mas Juned memelukku. Aku sedang merasa sedih dan butuh pelukan. Itu saja. Tapi aku tergoda oleh kejantanan Mas Juned," katanya dengan nada lembut,
Juned akhirnya menyerah pada permintaan Rini.“Baiklah mbak, saya akan memijatmu.” Kata Juned sedikit gugup melihat keindahan tubuh Rini. Meskipun sudah berumur 40 tahun ke atas namun badannya masih terlihat kencang bak seorang gadis. Dengan ragu, ia memulai memijat bahu wanita itu. Tubuhnya terasa tegang, bukan karena takut atau lelah, melainkan karena suasana yang terasa aneh. Rini duduk dengan santai di kursi panjang ruang praktik, sementara Juned berdiri di belakangnya, berusaha menjaga jarak."Ah, tanganmu ternyata kuat juga seperti yang dikatakan orang-orang, Mas Juned," kata Rini sambil tertawa kecil.Juned hanya mengangguk pelan, tidak tahu harus menjawab apa. "Ini cuma pijatan sederhana saja," katanya, suaranya terdengar canggung.Namun Rini tidak menghiraukannya. Ia malah menoleh sedikit ke arah Juned, senyum tipis di bibirnya. "Kamu tahu, Mas Juned, kamu ini benar-benar orang baik. Novi beruntung punya teman seperti
Rini meletakkan tehnya di meja lalu kembali ke dapur untuk membuat teh lagi buat Lilis. Sementara itu Juned kembali berbicara dengan Lilis sejenak.Setelah mengobrol sebentar dengan Lilis, Juned memutuskan untuk bangkit dari kursinya. “Aku keluar sebentar, mau ambil udara segar,” katanya dengan nada santai, meski dalam hatinya penuh kecemasan.Lilis menatapnya dengan curiga. “Udara segar? Kan masih gelap di luar, Juned. Kamu kenapa sih? Jujur aja, aku tahu kamu lagi kepikiran sesuatu.”Juned menghela napas panjang, mencoba tetap tenang. “Nggak apa-apa, Tante. Cuma butuh waktu buat mikir. Aku nggak tenang aja.”Rini yang sedang sibuk di dapur menoleh sebentar. "keluar di jam segini itu bagus, mas Juned. Udara pagi bagus buat pikiran," katanya dengan senyum tipis, tetapi tatapannya seperti mengamati Juned dengan saksama.Juned hanya mengangguk. Ia melangkah keluar ke halaman depan rumah, meninggalkan kedua perempuan itu di dalam. Tapi langkahnya hanya berhenti di dekat pohon mangga yan
“Apaan sih, Tante? Pertanyaannya terlalu begitu.” Celetuk Juned menutupi rasa canggungnya.Lilis justru tertawa cekikikan melihat muka Juned yang berubah merah seperti tomat segar.“Sudahlah Juned, aku tahu keponakan tante sekarang mudah bergairah saat dengan wanita.” Bisik Lilis memelankan suaranya agar tak terdengar Rini yang sedang berada di dapur.“Jangan memancing terus, Tante.” Juned menunduk mencoba menyembunyikan rasa malu.Lilis menyandarkan tubuhnya ke sofa, menghela nafas panjang. “Ahhhh, aku jadi iri sama Lastri dan Vivi yang sudah merasakan kejantananmu.” Gerutu Lilis terdengar begitu samar di telinga Juned.“Kenapa Tante?” Tanya Juned mencoba memastikan perkataan Lilis.Lilis hanya menggelengkan kepalanya sambil memaksakan senyum untuk menutupinyaBelum sempat Lilis menjawab Rini keluar dari dapur sambil membawa nampan. Di atasnya, semangkuk sayur daun kelor masih mengepul hangat. Aroma rempah dan gurihnya semerbak memenuhi ruangan. Di sebelah sayur itu, ada beb
Juned melihat Rini sedang mengenakan bra dan celana dalam sedang rebahan di kasur sambil memegang ponselnya.“Apa yang Mbak Rini lakukan?” Gumam Juned penasaran.Rini sedang melakukan panggilan Video kepada seseorang yang Juned pun tak bisa mengetahuinya.“Ingat ya, kalau semuanya sudah berhasil. Aku mau rumah di kota.” Kata Rini yang tengah asyik mengobrol dengan seseorang di ujung panggilan video.Juned merasa ada sesuatu yang sesak tapi bukan di dadanya saat terus melihat Rini dari lubang kecil di pintu kamar.“Itu sih gampang. Setelah bisnis baruku berdiri, semuanya akan dapat keuntungan yang sangat besar.” Suara seseorang di telepon Rini terdengar oleh Juned.Rini tiba-tiba membuka bra yang menutupi tubuhnya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya masih memegang ponsel.Juned yang mulai terhanyut dalam situasi merasakan sesuatu yang nikmat sambil mencoba memahami apa yang sedang terjadi di balik pintu kamar Rini. Tiba-tiba dia merasa sebuah tepukan mendarat di pund
Juned menatap Vivi dengan tenang. “Aku akan menjaga klinikku agar Anton dan anak buahnya tidak berani macam-macam.”“Baiklah Jun, kamu bisa pulang hari ini. Urusan mereka biar saya yang menjaganya.” Sahut Pak Samijo sambil menepuk pundak Juned yang terlihat lunglai.Juned berjalan perlahan menuju rumahnya dengan pikiran tentang apa yang akan ia lakukan dalam tiga hari ke depan terus menghantui langkahnya. Saat ia tiba di depan rumah, pintu sudah terbuka sebelum ia sempat mengetuk. Di sana, Lilis, tantenya, berdiri dengan ekspresi lega namun cemas.“Juned, kamu akhirnya pulang,” ucap Lilis sambil memegang pintu. “Masuklah, ada yang ingin bicara denganmu.”Belum sempat Juned menjawab, dari ruang tengah terdengar suara Mbak Rini, ibu Novi, yang langsung menghampirinya dengan wajah tegang.“Juned! Kamu tahu di mana Novi sekarang? Bagaimana keadaannya? Apa dia baik-baik saja?” Rini memberondong Juned dengan banyak pertanyaan, matanya penuh kekhawatiran.Juned terdiam sejenak, berusaha me
Pak Samijo melirik ke arah warga lain yang mulai mengangguk setuju, lalu kembali menatap Juned. "Kau sudah melihat sendiri, Anton itu bukan orang yang mudah dihadapi. Dia punya kuasa, uang, dan pengaruh. Kalau kau tetap di sini, dia tidak akan tinggal diam. Kau akan jadi sasaran utamanya."Juned mengepalkan tangan, merasa tak terima dengan saran itu. "Jadi aku harus lari dan meninggalkan semua ini? Membiarkan dia terus berbuat semaunya di desa ini?"Pak Samijo mendekat, menepuk bahu Juned dengan penuh pengertian. "Juned, ini bukan soal lari atau melawan. Ini soal keselamatanmu. Kalau kau terluka atau lebih buruk, siapa yang akan melindungi Lastri, Vivi, atau Novi? Kau harus berpikir jernih."Vivi yang berdiri di samping Juned tampak cemas, namun ia menunduk diam. Ia tahu kata-kata Pak Samijo ada benarnya, meskipun hatinya tidak ingin Juned pergi."Tapi, Pak," Juned bersikeras, "kalau aku pergi, siapa yang akan menghadapi Anton? Warga? Mereka jelas takut padanya."Pak Dirman, salah sat