Di tengah tekanan di dalam ruangan, Juned terus melirik ke arah Vivi yang sedang di sandera oleh Sugeng di luar ruangan.Sugeng yang merasa di atas angin dengan gampangnya mengendurkan jeratannya terhadap Vivi. Dia mulai menurunkan pisau yang semula di tempelkan ke leher Vivi.Anton yang berdiri di depan Juned, tersenyum puas. "Bagaimana, Juned? Aku sudah memberimu waktu. Tanda tangani sekarang, atau..."Namun, sebelum Anton menyelesaikan ucapannya, Juned tiba-tiba menggerakkan tangannya dengan cepat, meraih dokumen yang ada di atas meja. Dalam satu gerakan tegas, dia merobek kertas itu menjadi dua bagian.“Apa yang kamu lakukan?!” Teriak Anton dengan penuh amarah, wajahnya memerah.Juned tak menjawabnya.Dengan kecepatan yang tak terduga, Juned melompat ke arah pintu, mengincar Sugeng yang masih memegang Vivi.“Apa?!” Sugeng terkejut tak sempat bereaksi melihat Juned yang tiba-tiba sudah ada di hadapannya.Juned langsung menghantam perut Sugeng dengan pukulan keras, membuat pria
Juned merasa kesakitan di bagian kepalanya, “Aduh, kenapa sakit sekali?” Juned meringis pelan sambil memegang kepalanya.Saat dia melihat telapak tangannya terdapat cairan merah segar yang tertinggal.“Kok tidak seperti sebelumnya, tiba-tiba tubuhku kesakitan.” Juned perlahan bangkit dan kembali berdiri sambil terus kebingungan. Juned menatap sebuah besi panjang yang ada di tangan salah satu anak buah Anton. Benar saja Juned merasa kesakitan, karena di salah satu ujung besi itu di ikat banyak sekali daun kelor.“Sial! Ternyata itu bisa membuatku merasa sakit.” Gumam Juned sambil bersiap untuk melawan.Juned kembali melawan semua anak buah Anton sendirian, sambil menahan sakit dia berusaha meloloskan diri dari rumah Anton.Hingga beberapa waktu, Ia berhasil menyusul Vivi, Lastri, dan Novi yang berlari melintasi kebun.“Vivi... Lastri... Novi....” teriakkan Juned memecah kesunyian di kebun itu.“Juned, kami di sini!” Sahut Vivi yang tak jauh dari tempat Juned berada.Juned lang
Pak Samijo melirik ke arah warga lain yang mulai mengangguk setuju, lalu kembali menatap Juned. "Kau sudah melihat sendiri, Anton itu bukan orang yang mudah dihadapi. Dia punya kuasa, uang, dan pengaruh. Kalau kau tetap di sini, dia tidak akan tinggal diam. Kau akan jadi sasaran utamanya."Juned mengepalkan tangan, merasa tak terima dengan saran itu. "Jadi aku harus lari dan meninggalkan semua ini? Membiarkan dia terus berbuat semaunya di desa ini?"Pak Samijo mendekat, menepuk bahu Juned dengan penuh pengertian. "Juned, ini bukan soal lari atau melawan. Ini soal keselamatanmu. Kalau kau terluka atau lebih buruk, siapa yang akan melindungi Lastri, Vivi, atau Novi? Kau harus berpikir jernih."Vivi yang berdiri di samping Juned tampak cemas, namun ia menunduk diam. Ia tahu kata-kata Pak Samijo ada benarnya, meskipun hatinya tidak ingin Juned pergi."Tapi, Pak," Juned bersikeras, "kalau aku pergi, siapa yang akan menghadapi Anton? Warga? Mereka jelas takut padanya."Pak Dirman, salah sat
Juned menatap Vivi dengan tenang. “Aku akan menjaga klinikku agar Anton dan anak buahnya tidak berani macam-macam.”“Baiklah Jun, kamu bisa pulang hari ini. Urusan mereka biar saya yang menjaganya.” Sahut Pak Samijo sambil menepuk pundak Juned yang terlihat lunglai.Juned berjalan perlahan menuju rumahnya dengan pikiran tentang apa yang akan ia lakukan dalam tiga hari ke depan terus menghantui langkahnya. Saat ia tiba di depan rumah, pintu sudah terbuka sebelum ia sempat mengetuk. Di sana, Lilis, tantenya, berdiri dengan ekspresi lega namun cemas.“Juned, kamu akhirnya pulang,” ucap Lilis sambil memegang pintu. “Masuklah, ada yang ingin bicara denganmu.”Belum sempat Juned menjawab, dari ruang tengah terdengar suara Mbak Rini, ibu Novi, yang langsung menghampirinya dengan wajah tegang.“Juned! Kamu tahu di mana Novi sekarang? Bagaimana keadaannya? Apa dia baik-baik saja?” Rini memberondong Juned dengan banyak pertanyaan, matanya penuh kekhawatiran.Juned terdiam sejenak, berusaha me
Juned melihat Rini sedang mengenakan bra dan celana dalam sedang rebahan di kasur sambil memegang ponselnya.“Apa yang Mbak Rini lakukan?” Gumam Juned penasaran.Rini sedang melakukan panggilan Video kepada seseorang yang Juned pun tak bisa mengetahuinya.“Ingat ya, kalau semuanya sudah berhasil. Aku mau rumah di kota.” Kata Rini yang tengah asyik mengobrol dengan seseorang di ujung panggilan video.Juned merasa ada sesuatu yang sesak tapi bukan di dadanya saat terus melihat Rini dari lubang kecil di pintu kamar.“Itu sih gampang. Setelah bisnis baruku berdiri, semuanya akan dapat keuntungan yang sangat besar.” Suara seseorang di telepon Rini terdengar oleh Juned.Rini tiba-tiba membuka bra yang menutupi tubuhnya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya masih memegang ponsel.Juned yang mulai terhanyut dalam situasi merasakan sesuatu yang nikmat sambil mencoba memahami apa yang sedang terjadi di balik pintu kamar Rini. Tiba-tiba dia merasa sebuah tepukan mendarat di pund
“Apaan sih, Tante? Pertanyaannya terlalu begitu.” Celetuk Juned menutupi rasa canggungnya.Lilis justru tertawa cekikikan melihat muka Juned yang berubah merah seperti tomat segar.“Sudahlah Juned, aku tahu keponakan tante sekarang mudah bergairah saat dengan wanita.” Bisik Lilis memelankan suaranya agar tak terdengar Rini yang sedang berada di dapur.“Jangan memancing terus, Tante.” Juned menunduk mencoba menyembunyikan rasa malu.Lilis menyandarkan tubuhnya ke sofa, menghela nafas panjang. “Ahhhh, aku jadi iri sama Lastri dan Vivi yang sudah merasakan kejantananmu.” Gerutu Lilis terdengar begitu samar di telinga Juned.“Kenapa Tante?” Tanya Juned mencoba memastikan perkataan Lilis.Lilis hanya menggelengkan kepalanya sambil memaksakan senyum untuk menutupinyaBelum sempat Lilis menjawab Rini keluar dari dapur sambil membawa nampan. Di atasnya, semangkuk sayur daun kelor masih mengepul hangat. Aroma rempah dan gurihnya semerbak memenuhi ruangan. Di sebelah sayur itu, ada beb
“Lastri, maukah kamu menjadi pacarku?” Tiba-tiba Juned berdiri menghadang perjalanan Sulastri dan kedua temannya. “Minggir kamu, dasar pria lemah,” ujar Sulastri dengan kasar kepada Juned. “Kamu itu tidak cocok ya bersanding dengan Lastri.” Celetuk salah satu teman Sulastri yang berdiri di sampingnya. Juned hanya tertunduk lesu sambil menggenggam seikat bunga mawar, mendengarkan cemoohan yang menyakiti hatinya. Juned sangat menyukai Sulastri yang merupakan anak Juragan Pasir di desa itu. Meski berkali kali cinta Juned ditolak. Sulastri membalas cinta Juned dengan cemoohan dan hinaan belaka. “Hei, Juned. Kamu itu harusnya berkaca dulu. Kamu itu siapa? Berani beraninya mendekati Sulastri.” Ujar teman Sulastri yang lain, sambil mendorong Juned. Juned terjengkang ke belakang, disambut tawa yang menggema ketiga gadis itu. “Hahaha, lihat dia teman-teman. Baru didorong begitu aja sudah jatuh.” Ucap Sulastri tertawa lepas. Kaos yang dipakai Juned kotor terkena tanah, dia
Juned berdiri dalam keadaan yang berbeda, setelah berada di ambang antara hidup dan mati akibat memakan Jamur yang hanya tumbuh 1000 tahun sekali. Beberapa luka yang di derita sebelumnya menghilang seketika. “Wah, kok aneh. Lukaku sembuh tak berbekas.” Juned merasa takjub dengan apa yang terjadi pada tubuhnya. Sudah semalaman Juned tidur di dalam hutan, lukanya juga telah sembuh. Juned juga menyadari bahwa ada beberapa perubahan, seperti mentalnya yang kini kembali pulih. Juned bergegas kembali ke rumah, dia takut jika Tante Lilis khawatir karena semalaman dia tak pulang. Ketika dalam perjalanan pulang, Juned melewati sungai yang airnya masih bersih di kampungnya. Juned berniat membasuh mukanya di sana agar terlihat lebih segar. Karena airnya yang bersih, sungai itu sering digunakan warga kampung untuk beraktivitas, mulai dari mandi sampai mencuci baju. Saat berada di tepi sungai dan hendak menciduk air. Juned melepas kaos dan celana jeans milikinya menyisakan celana kolor pe
“Apaan sih, Tante? Pertanyaannya terlalu begitu.” Celetuk Juned menutupi rasa canggungnya.Lilis justru tertawa cekikikan melihat muka Juned yang berubah merah seperti tomat segar.“Sudahlah Juned, aku tahu keponakan tante sekarang mudah bergairah saat dengan wanita.” Bisik Lilis memelankan suaranya agar tak terdengar Rini yang sedang berada di dapur.“Jangan memancing terus, Tante.” Juned menunduk mencoba menyembunyikan rasa malu.Lilis menyandarkan tubuhnya ke sofa, menghela nafas panjang. “Ahhhh, aku jadi iri sama Lastri dan Vivi yang sudah merasakan kejantananmu.” Gerutu Lilis terdengar begitu samar di telinga Juned.“Kenapa Tante?” Tanya Juned mencoba memastikan perkataan Lilis.Lilis hanya menggelengkan kepalanya sambil memaksakan senyum untuk menutupinyaBelum sempat Lilis menjawab Rini keluar dari dapur sambil membawa nampan. Di atasnya, semangkuk sayur daun kelor masih mengepul hangat. Aroma rempah dan gurihnya semerbak memenuhi ruangan. Di sebelah sayur itu, ada beb
Juned melihat Rini sedang mengenakan bra dan celana dalam sedang rebahan di kasur sambil memegang ponselnya.“Apa yang Mbak Rini lakukan?” Gumam Juned penasaran.Rini sedang melakukan panggilan Video kepada seseorang yang Juned pun tak bisa mengetahuinya.“Ingat ya, kalau semuanya sudah berhasil. Aku mau rumah di kota.” Kata Rini yang tengah asyik mengobrol dengan seseorang di ujung panggilan video.Juned merasa ada sesuatu yang sesak tapi bukan di dadanya saat terus melihat Rini dari lubang kecil di pintu kamar.“Itu sih gampang. Setelah bisnis baruku berdiri, semuanya akan dapat keuntungan yang sangat besar.” Suara seseorang di telepon Rini terdengar oleh Juned.Rini tiba-tiba membuka bra yang menutupi tubuhnya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya masih memegang ponsel.Juned yang mulai terhanyut dalam situasi merasakan sesuatu yang nikmat sambil mencoba memahami apa yang sedang terjadi di balik pintu kamar Rini. Tiba-tiba dia merasa sebuah tepukan mendarat di pund
Juned menatap Vivi dengan tenang. “Aku akan menjaga klinikku agar Anton dan anak buahnya tidak berani macam-macam.”“Baiklah Jun, kamu bisa pulang hari ini. Urusan mereka biar saya yang menjaganya.” Sahut Pak Samijo sambil menepuk pundak Juned yang terlihat lunglai.Juned berjalan perlahan menuju rumahnya dengan pikiran tentang apa yang akan ia lakukan dalam tiga hari ke depan terus menghantui langkahnya. Saat ia tiba di depan rumah, pintu sudah terbuka sebelum ia sempat mengetuk. Di sana, Lilis, tantenya, berdiri dengan ekspresi lega namun cemas.“Juned, kamu akhirnya pulang,” ucap Lilis sambil memegang pintu. “Masuklah, ada yang ingin bicara denganmu.”Belum sempat Juned menjawab, dari ruang tengah terdengar suara Mbak Rini, ibu Novi, yang langsung menghampirinya dengan wajah tegang.“Juned! Kamu tahu di mana Novi sekarang? Bagaimana keadaannya? Apa dia baik-baik saja?” Rini memberondong Juned dengan banyak pertanyaan, matanya penuh kekhawatiran.Juned terdiam sejenak, berusaha me
Pak Samijo melirik ke arah warga lain yang mulai mengangguk setuju, lalu kembali menatap Juned. "Kau sudah melihat sendiri, Anton itu bukan orang yang mudah dihadapi. Dia punya kuasa, uang, dan pengaruh. Kalau kau tetap di sini, dia tidak akan tinggal diam. Kau akan jadi sasaran utamanya."Juned mengepalkan tangan, merasa tak terima dengan saran itu. "Jadi aku harus lari dan meninggalkan semua ini? Membiarkan dia terus berbuat semaunya di desa ini?"Pak Samijo mendekat, menepuk bahu Juned dengan penuh pengertian. "Juned, ini bukan soal lari atau melawan. Ini soal keselamatanmu. Kalau kau terluka atau lebih buruk, siapa yang akan melindungi Lastri, Vivi, atau Novi? Kau harus berpikir jernih."Vivi yang berdiri di samping Juned tampak cemas, namun ia menunduk diam. Ia tahu kata-kata Pak Samijo ada benarnya, meskipun hatinya tidak ingin Juned pergi."Tapi, Pak," Juned bersikeras, "kalau aku pergi, siapa yang akan menghadapi Anton? Warga? Mereka jelas takut padanya."Pak Dirman, salah sat
Juned merasa kesakitan di bagian kepalanya, “Aduh, kenapa sakit sekali?” Juned meringis pelan sambil memegang kepalanya.Saat dia melihat telapak tangannya terdapat cairan merah segar yang tertinggal.“Kok tidak seperti sebelumnya, tiba-tiba tubuhku kesakitan.” Juned perlahan bangkit dan kembali berdiri sambil terus kebingungan. Juned menatap sebuah besi panjang yang ada di tangan salah satu anak buah Anton. Benar saja Juned merasa kesakitan, karena di salah satu ujung besi itu di ikat banyak sekali daun kelor.“Sial! Ternyata itu bisa membuatku merasa sakit.” Gumam Juned sambil bersiap untuk melawan.Juned kembali melawan semua anak buah Anton sendirian, sambil menahan sakit dia berusaha meloloskan diri dari rumah Anton.Hingga beberapa waktu, Ia berhasil menyusul Vivi, Lastri, dan Novi yang berlari melintasi kebun.“Vivi... Lastri... Novi....” teriakkan Juned memecah kesunyian di kebun itu.“Juned, kami di sini!” Sahut Vivi yang tak jauh dari tempat Juned berada.Juned lang
Di tengah tekanan di dalam ruangan, Juned terus melirik ke arah Vivi yang sedang di sandera oleh Sugeng di luar ruangan.Sugeng yang merasa di atas angin dengan gampangnya mengendurkan jeratannya terhadap Vivi. Dia mulai menurunkan pisau yang semula di tempelkan ke leher Vivi.Anton yang berdiri di depan Juned, tersenyum puas. "Bagaimana, Juned? Aku sudah memberimu waktu. Tanda tangani sekarang, atau..."Namun, sebelum Anton menyelesaikan ucapannya, Juned tiba-tiba menggerakkan tangannya dengan cepat, meraih dokumen yang ada di atas meja. Dalam satu gerakan tegas, dia merobek kertas itu menjadi dua bagian.“Apa yang kamu lakukan?!” Teriak Anton dengan penuh amarah, wajahnya memerah.Juned tak menjawabnya.Dengan kecepatan yang tak terduga, Juned melompat ke arah pintu, mengincar Sugeng yang masih memegang Vivi.“Apa?!” Sugeng terkejut tak sempat bereaksi melihat Juned yang tiba-tiba sudah ada di hadapannya.Juned langsung menghantam perut Sugeng dengan pukulan keras, membuat pria
“Aku menyerah. Tapi biarkan mereka bertiga pergi dari sini dan jangan menyakiti mereka.” Kata Juned dengan suara berat.Anton tersenyum lebar, kemenangan terpancar di wajahnya. “Pintar sekali. Aku tahu kamu akan mengambil keputusan yang benar.” Dia melambaikan tangan pada Sugeng, memberi isyarat untuk tetap menahan Vivi tetap di tempat.“Bagus sekali, Juned,” lanjut Anton, melangkah mendekat ke arahnya. “Tapi aku belum selesai denganmu. Kamu pikir aku akan membiarkanmu pergi begitu saja setelah semua ini?”Juned menatapnya tajam, tanpa rasa takut. “Katakan apa yang kamu inginkan. Tapi jangan sentuh mereka lagi.”Anton berhenti beberapa langkah di depan Juned, menatapnya dengan tatapan penuh kepuasan. “Oh, kita akan membicarakan itu nanti. Tapi untuk sekarang, kamu harus ikut denganku.”Sugeng menarik Vivi keluar dari ruangan, sementara Anton menyuruh beberapa anak buahnya untuk menjaga Lastri dan Novi.Juned berjalan mengikuti Anton menuju ruang kerja di bagian dalam rumah itu. Pintu
“Sudah, jangan bicara dulu. Kita harus keluar dari sini,” potong Juned. Dia memeriksa tali yang mengikat tangan dan kaki mereka. Tali itu diikat sangat kencang, dan Juned menyadari dia membutuhkan sesuatu untuk memotongnya.Dia melihat sekeliling ruangan, matanya mencari benda tajam apa pun yang bisa digunakan. Di sudut ruangan, dia melihat pecahan kaca dari botol yang mungkin terjatuh sebelumnya. Dia mengambil pecahan kaca itu dengan hati-hati, lalu kembali ke Lastri dan Novi.“Ini mungkin akan sedikit sakit, tapi bertahanlah. Aku akan memotong tali ini,” katanya sambil mulai menggesekkan pecahan kaca itu ke tali yang mengikat tangan Lastri.“Juned... hati-hati... kalau mereka kembali, kita semua bisa celaka,” bisik Lastri dengan ketakutan.“Mereka sibuk di luar. Kekacauan tadi cukup membantu kita,” balas Juned dengan nada meyakinkan. “Percayalah, aku tidak akan membiarkan mereka menyentuh kalian lagi.”Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, tali di tangan Lastri akhir
“Kita tetap pada rencana awal. Cari tahu keberadaan Lastri dan Novi. Tapi kita harus lebih hati-hati,” jawab Juned, suaranya masih penuh dengan tekad.Juned mengalihkan pandangannya dari dua pria itu dan memberi isyarat kepada Vivi untuk melanjutkan perjalanan mereka. Mereka menyelinap lebih jauh, melewati sisi rumah dengan lebih waspada dari sebelumnya. Juned dan Vivi melangkah dengan sangat hati-hati, menghindari suara apa pun yang dapat menarik perhatian. Namun, nasib tampaknya tidak berpihak pada mereka kali ini. Ketika mereka mencoba melangkah lebih jauh ke sudut rumah, salah satu dari dua pria yang dikenali Juned tiba-tiba menoleh dan melihat bayangan mereka.“Hei, siapa di sana?!” salah satu dari pria itu berteriak sambil menarik perhatian temannya.Juned segera menyadari bahaya yang mengancam. “Sial, kita ketahuan!” bisiknya sambil menarik tangan Vivi, mencoba menjauh dengan cepat dari pandangan mereka.“Berhenti di sana!” teriak pria itu, membuat para penjaga lainnya mulai b