Cahaya senter penjaga itu menyapu ruangan dengan perlahan, semakin mendekati tempat mereka bersembunyi. Vivi merasakan tangannya mulai berkeringat dingin. Dia menunduk sedikit, memastikan dirinya benar-benar tersembunyi. Juned, di sisi lain, tetap tenang meski waspada, pandangannya fokus pada setiap gerakan penjaga itu.Tiba-tiba, sebuah tikus besar melintas di depan penjaga, tepat di bawah cahaya senternya. Tikus itu berlari menuju tumpukan barang di sudut ruangan, membuat suara berisik kecil saat melompat ke atas kardus. Penjaga itu menghela napas keras.“Hanya tikus,” gumamnya sambil mematikan senternya dan berbalik meninggalkan gudang. Suara pintu yang tertutup perlahan terdengar, menandakan penjaga itu telah pergi.Namun, tepat saat tikus itu melintas dekat dengan tempat mereka bersembunyi, Vivi tanpa sadar menggeliat dan nyaris berteriak karena jijik. Mulutnya terbuka, siap mengeluarkan suara, namun dengan cepat Juned bereaksi.Dia meraih wajah Vivi dan menutup mulutnya dengan t
“Kita tetap pada rencana awal. Cari tahu keberadaan Lastri dan Novi. Tapi kita harus lebih hati-hati,” jawab Juned, suaranya masih penuh dengan tekad.Juned mengalihkan pandangannya dari dua pria itu dan memberi isyarat kepada Vivi untuk melanjutkan perjalanan mereka. Mereka menyelinap lebih jauh, melewati sisi rumah dengan lebih waspada dari sebelumnya. Juned dan Vivi melangkah dengan sangat hati-hati, menghindari suara apa pun yang dapat menarik perhatian. Namun, nasib tampaknya tidak berpihak pada mereka kali ini. Ketika mereka mencoba melangkah lebih jauh ke sudut rumah, salah satu dari dua pria yang dikenali Juned tiba-tiba menoleh dan melihat bayangan mereka.“Hei, siapa di sana?!” salah satu dari pria itu berteriak sambil menarik perhatian temannya.Juned segera menyadari bahaya yang mengancam. “Sial, kita ketahuan!” bisiknya sambil menarik tangan Vivi, mencoba menjauh dengan cepat dari pandangan mereka.“Berhenti di sana!” teriak pria itu, membuat para penjaga lainnya mulai b
“Sudah, jangan bicara dulu. Kita harus keluar dari sini,” potong Juned. Dia memeriksa tali yang mengikat tangan dan kaki mereka. Tali itu diikat sangat kencang, dan Juned menyadari dia membutuhkan sesuatu untuk memotongnya.Dia melihat sekeliling ruangan, matanya mencari benda tajam apa pun yang bisa digunakan. Di sudut ruangan, dia melihat pecahan kaca dari botol yang mungkin terjatuh sebelumnya. Dia mengambil pecahan kaca itu dengan hati-hati, lalu kembali ke Lastri dan Novi.“Ini mungkin akan sedikit sakit, tapi bertahanlah. Aku akan memotong tali ini,” katanya sambil mulai menggesekkan pecahan kaca itu ke tali yang mengikat tangan Lastri.“Juned... hati-hati... kalau mereka kembali, kita semua bisa celaka,” bisik Lastri dengan ketakutan.“Mereka sibuk di luar. Kekacauan tadi cukup membantu kita,” balas Juned dengan nada meyakinkan. “Percayalah, aku tidak akan membiarkan mereka menyentuh kalian lagi.”Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, tali di tangan Lastri akhir
“Aku menyerah. Tapi biarkan mereka bertiga pergi dari sini dan jangan menyakiti mereka.” Kata Juned dengan suara berat.Anton tersenyum lebar, kemenangan terpancar di wajahnya. “Pintar sekali. Aku tahu kamu akan mengambil keputusan yang benar.” Dia melambaikan tangan pada Sugeng, memberi isyarat untuk tetap menahan Vivi tetap di tempat.“Bagus sekali, Juned,” lanjut Anton, melangkah mendekat ke arahnya. “Tapi aku belum selesai denganmu. Kamu pikir aku akan membiarkanmu pergi begitu saja setelah semua ini?”Juned menatapnya tajam, tanpa rasa takut. “Katakan apa yang kamu inginkan. Tapi jangan sentuh mereka lagi.”Anton berhenti beberapa langkah di depan Juned, menatapnya dengan tatapan penuh kepuasan. “Oh, kita akan membicarakan itu nanti. Tapi untuk sekarang, kamu harus ikut denganku.”Sugeng menarik Vivi keluar dari ruangan, sementara Anton menyuruh beberapa anak buahnya untuk menjaga Lastri dan Novi.Juned berjalan mengikuti Anton menuju ruang kerja di bagian dalam rumah itu. Pintu
Di tengah tekanan di dalam ruangan, Juned terus melirik ke arah Vivi yang sedang di sandera oleh Sugeng di luar ruangan.Sugeng yang merasa di atas angin dengan gampangnya mengendurkan jeratannya terhadap Vivi. Dia mulai menurunkan pisau yang semula di tempelkan ke leher Vivi.Anton yang berdiri di depan Juned, tersenyum puas. "Bagaimana, Juned? Aku sudah memberimu waktu. Tanda tangani sekarang, atau..."Namun, sebelum Anton menyelesaikan ucapannya, Juned tiba-tiba menggerakkan tangannya dengan cepat, meraih dokumen yang ada di atas meja. Dalam satu gerakan tegas, dia merobek kertas itu menjadi dua bagian.“Apa yang kamu lakukan?!” Teriak Anton dengan penuh amarah, wajahnya memerah.Juned tak menjawabnya.Dengan kecepatan yang tak terduga, Juned melompat ke arah pintu, mengincar Sugeng yang masih memegang Vivi.“Apa?!” Sugeng terkejut tak sempat bereaksi melihat Juned yang tiba-tiba sudah ada di hadapannya.Juned langsung menghantam perut Sugeng dengan pukulan keras, membuat pria
Juned merasa kesakitan di bagian kepalanya, “Aduh, kenapa sakit sekali?” Juned meringis pelan sambil memegang kepalanya.Saat dia melihat telapak tangannya terdapat cairan merah segar yang tertinggal.“Kok tidak seperti sebelumnya, tiba-tiba tubuhku kesakitan.” Juned perlahan bangkit dan kembali berdiri sambil terus kebingungan. Juned menatap sebuah besi panjang yang ada di tangan salah satu anak buah Anton. Benar saja Juned merasa kesakitan, karena di salah satu ujung besi itu di ikat banyak sekali daun kelor.“Sial! Ternyata itu bisa membuatku merasa sakit.” Gumam Juned sambil bersiap untuk melawan.Juned kembali melawan semua anak buah Anton sendirian, sambil menahan sakit dia berusaha meloloskan diri dari rumah Anton.Hingga beberapa waktu, Ia berhasil menyusul Vivi, Lastri, dan Novi yang berlari melintasi kebun.“Vivi... Lastri... Novi....” teriakkan Juned memecah kesunyian di kebun itu.“Juned, kami di sini!” Sahut Vivi yang tak jauh dari tempat Juned berada.Juned lang
Pak Samijo melirik ke arah warga lain yang mulai mengangguk setuju, lalu kembali menatap Juned. "Kau sudah melihat sendiri, Anton itu bukan orang yang mudah dihadapi. Dia punya kuasa, uang, dan pengaruh. Kalau kau tetap di sini, dia tidak akan tinggal diam. Kau akan jadi sasaran utamanya."Juned mengepalkan tangan, merasa tak terima dengan saran itu. "Jadi aku harus lari dan meninggalkan semua ini? Membiarkan dia terus berbuat semaunya di desa ini?"Pak Samijo mendekat, menepuk bahu Juned dengan penuh pengertian. "Juned, ini bukan soal lari atau melawan. Ini soal keselamatanmu. Kalau kau terluka atau lebih buruk, siapa yang akan melindungi Lastri, Vivi, atau Novi? Kau harus berpikir jernih."Vivi yang berdiri di samping Juned tampak cemas, namun ia menunduk diam. Ia tahu kata-kata Pak Samijo ada benarnya, meskipun hatinya tidak ingin Juned pergi."Tapi, Pak," Juned bersikeras, "kalau aku pergi, siapa yang akan menghadapi Anton? Warga? Mereka jelas takut padanya."Pak Dirman, salah sat
Juned menatap Vivi dengan tenang. “Aku akan menjaga klinikku agar Anton dan anak buahnya tidak berani macam-macam.”“Baiklah Jun, kamu bisa pulang hari ini. Urusan mereka biar saya yang menjaganya.” Sahut Pak Samijo sambil menepuk pundak Juned yang terlihat lunglai.Juned berjalan perlahan menuju rumahnya dengan pikiran tentang apa yang akan ia lakukan dalam tiga hari ke depan terus menghantui langkahnya. Saat ia tiba di depan rumah, pintu sudah terbuka sebelum ia sempat mengetuk. Di sana, Lilis, tantenya, berdiri dengan ekspresi lega namun cemas.“Juned, kamu akhirnya pulang,” ucap Lilis sambil memegang pintu. “Masuklah, ada yang ingin bicara denganmu.”Belum sempat Juned menjawab, dari ruang tengah terdengar suara Mbak Rini, ibu Novi, yang langsung menghampirinya dengan wajah tegang.“Juned! Kamu tahu di mana Novi sekarang? Bagaimana keadaannya? Apa dia baik-baik saja?” Rini memberondong Juned dengan banyak pertanyaan, matanya penuh kekhawatiran.Juned terdiam sejenak, berusaha me
Wajah pucatnya muncul di ambang pintu rumah, matanya membulat.Juned yang sudah setengah telanjang sedang ditindih Bu Ratna yang masih mengenakan blus sutra terbuka.“Kalian...?” Rizka berbisik, suaranya getir.Juned hanya membeku, mulutnya terbuka tapi tak bersuara mampu mengeluarkan suara. Dia melihat Rizka mundur selangkah demi selangkah dengan wajah syok.“Mbak Riz, tunggu—” Juned akhirnya bersuara. Tapi Rizka sudah menghilang dari arah pintu depan, meninggalkan kekecewaan yang menggantung di udara. Bu Ratna beralih dari atas tubuh Juned, wajahnya berkerut dalam ekspresi jengah yang tertahan. “Mengganggu saja.” desisnya, kuku-kuku merahnya mencengkeram lengan Juned dengan lemah. Juned bangkit dari sofa itu, tubuhnya masih membara antara rasa malu dan dorongan untuk mengejar. “Aku harus—”“Tidak, sayang.” Bu Ratna menahan lengannya dengan gerakan cepat, suaranya mendesis seperti ular yang terganggu. “Kau pikir boleh begitu saja meninggalkanku dalam keadaan seperti ini?”J
Di dapur, Juned menuangkan air mineral ke gelas dengan tangan gemetar. Sebagian tumpah membasahi kaosnya yang sudah kotor oleh keringat dan debu jalanan. “Bodoh. Kenapa aku sebodoh ini!” Gelas dilemparkannya ke wastafel hingga pecah berkeping-keping. Pecahan kaca itu berserakan seperti keadaan pikirannya sekarang—berantakan, tajam, dan berbahaya untuk disentuh. Dia berdiri lama di depan jendela, menatap halaman kosong yang diterpa matahari siang. Seekor kucing liar melintas dengan santai, tak peduli pada drama manusia di balik kaca itu.Suara ketukan pintu yang bersemangat memecah kesunyian rumah Juned. “Permisi! Mas Juned” suara lantang Bu Ratna terdengar dari luar. Juned mengerang, baru teringat janji temu yang seharusnya dilakukannya pagi ini. Dengan wajah masih memerah, ia membuka pintu. “Maaf Bu, hari ini saya terpaksa membatalkan—” “Lho? Tapi saya sudah datang jauh-jauh ke sini!” Bu Ratna langsung melangkah masuk tanpa diminta, tas mewah kecil menggantung di lenga
Di ujung ruangan, berdiri Bu Ningsih dengan wajah pucat. Rambutnya masih acak-acakan bekas tidur, mata bengkaknya melebar dalam kejutan. “I-Ibu...” Rizka tersedak, tangan gemetar merapikan baju. Bu Ningsih melotot seolah matanya hendak melompat dari tempatnya. Matanya yang penuh darah tertancap pada Juned. “Kau... di sini?!”Juned merasa dunia berputar. “Bu Ningsih?!”Bu Ningsih menatap Juned dengan mata menyipit penuh kecurigaan. “Juned? Apa yang kau lakukan di rumah menantuku?!” Suaranya meninggi, tangan gemetar menunjuk ke arah mereka. Rizka langsung bereaksi. “Dia... dia memaksaku, Bu!” teriaknya tiba-tiba, air mata mulai mengalir deras. “Aku sedang sendirian di rumah, lalu dia masuk paksa bilang mau minum!”Juned terkesiap. ‘Apa? Tidak—” “Diam!” Bu Ningsih menghardik, wajahnya merah padam. “Aku tahu sejak dulu kau tukang pijat nakal! Sekarang berani-beraninya mengganggu menantuku?!” Rizka memanfaatkan situasi, menyembunyikan wajah di tangan sambil terisak. “Aku takut s
Rizka menoleh, matanya berbinar aneh. “Aku merasa... hidup lagi.”** Juned menghela napas panjang mendengar jawaban Rizka. Dia menyeruput kopi hitam dengan santai. “Ngomong-ngomong... Apa ibu mertuamu tidak mencarimu jika kamu terlalu lama keluar dari rumah?”Rizka mengangkat bahu dengan santai, jari-jarinya memainkan ujung baju sutra yang masih dikenakannya. “Ibu mertuaku masih terlelap di kamarnya,” ujarnya sambil mencondongkan badan ke depan. “Dia baru pulang subuh tadi dari rumah temannya.”Juned mengerutkan kening, tiba-tiba merasakan kegelisahan. “Mbak Rizka, mungkin lebih baik kau pulang sekarang,” ucapnya, suara rendah namun tegas. Rizka terkejut, senyum liciknya pudar. “Kenapa tiba-tiba? Tadi kau baik-baik saja—” “Aku hanya khawatir,” Juned menyela sambil berdiri. “Ibu mertuamu bisa saja terbangun lebih awal.”Rizka berdiri diam sejenak, wajahnya yang semula memerah perlahan kembali tenang. “Kau benar,” ujarnya dengan suara lembut sambil menghela napas. “Ini memang ter
“Tidak ada,” Rizka menggeleng, tapi senyumnya tetap tergantung di bibir. “Hanya berpikir... pagi ini terasa berbeda.”Juned mengangguk, memahami tanpa perlu penjelasan lebih. Dia melangkah menuju ke dapur.–––Ketika Juned sedang menuangkan air mendidih ke dalam cangkir. Suara langkah ringan membuatnya menoleh—Rizka berdiri di ambang pintu, mengenakan baju tidur sutra Tania yang menggoda. “Aku pinjam ini,” ucap Rizka sambil memegang ujung baju yang nyaris transparan. “Kebetulan pas di ukuranku.”Juned menelan ludah. Baju warna merah delima itu memang selalu membuat Tania terlihat memesona, tapi di tubuh Rizka—dengan lekuk gunung yang jelas terlihat dan panjang kakinya yang ramping—pakaian itu berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih menggoda. “Kau... kau terlihat—”“Berbeda?” Rizka menyelesaikan kalimatnya sambil berjalan mendekat, jari-jarinya membelai pinggiran baju. “Aku jarang pakai baju seperti ini. Suamiku lebih suka aku berjilbab rapi di rumah.” Juned mengalihkan pandanga
Dalam heningnya kamar yang hanya diterangi cahaya temaram, Rizka tiba-tiba membalikkan tubuhnya. Matanya yang berkaca-kaca menatap Juned dengan intens, bibirnya yang merah bergetar saat mengucapkan kata-kata yang mengubah segalanya. “Aku tidak tahan lagi, Mas Juned...”Dengan gerakan penuh keyakinan, jari-jarinya yang gemetar menyentuh pinggulnya sendiri, perlahan menurunkan pakaian dalam renda yang menjadi penghalang terakhir. Kain itu meluncur ke lantai tanpa suara, mengungkapkan keindahan yang selama ini tersembunyi. Juned menelan ludah, darahnya berdesir deras. “Mbak Rizka... kamu...” protesnya lemah, tapi matanya tak mampu berpaling dari pesona di hadapannya. Rizka menyentuh wajah Juned, pandangannya berapi-api. “Aku sudah memikirkannya sejak sesi pertama...” Udara di antara mereka terasa bergetar. Juned merasakan setiap helaan nafas Rizka yang hangat di kulitnya, mencium aroma tubuhnya yang bercampur minyak pijat – manis dan menggoda. “Kau yakin?” tanyanya terakhir kali
BAB 320Juned menyaksikan dengan nafas tertahan saat Rizka berdiri di hadapannya, jari-jarinya yang gemetar kini beralih ke resleting rok panjangnya. “Aku... aku tak terbiasa dilihat seperti itu oleh pria lain,” suara Rizka bergetar hampir berbisik karena suasana canggung. Dengan gerakan lambat, resleting itu merosot ke bawah, mengungkapkan kulit pucat di pinggulnya yang sempit. Rok panjang itu meluncur ke lantai dengan suara desiran halus, meninggalkan Rizka hanya dengan celana dalam renda warna krem yang sederhana namun menggoda. Juned tak bisa menahan diri untuk tidak mengagumi lekuk tubuh Rizka yang terungkap sepenuhnya – betisnya yang ramping namun berotot halus, pahanya yang padat namun lembut, dan pinggulnya yang bergerak dengan anggun setiap kali ia bernafas. “Apa ini... perlu,” Rizka menggerakkan tangan ke kancing kutangnya, wajahnya memerah tapi matanya tak melepaskan pandangan dari Juned. “Tidak perlu!” Juned buru-buru menyela, suaranya lebih keras dari yang ia ma
Rizka berdiri di ujung jalan, mengenakan jilbab krem yang menutupi rambutnya dengan rapi, dipadukan sweter tipis dan rok panjang yang sederhana namun elegan. Tangannya memegang erat tas kecil di depan tubuhnya, seperti sedang gugup. Juned menelan ludah. “Mbak Rizka? Ada... ada apa?” Perempuan itu melangkah mendekat, matanya menunduk. “Maaf mengganggu, Mas. Aku... aku perlu bicara.” Suaranya kecil, hampir seperti bisikan. Juned merasakan jantungnya berdegup kencang. “Sekarang? Mau bicara apa?”Rizka mengangguk, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke tanah. “Tentang... pijatan kemarin.”Udara di sekitar mereka tiba-tiba terasa lebih panas. Juned dengan cepat membuka pintu rumah. “Mari masuk. Kita tidak perlu berbicara di jalan.”Rizka melirik sekeliling, seolah memastikan tidak ada tetangga yang melihat, sebelum melangkah masuk dengan cepat.Juned menutup pintu rumah dengan perlahan, suara *klik* kunci yang mengunci dunia luar. Rizka berdiri di tengah ruang tamu, jari-jariny
“Aaaarrgggh...”Suara lenguhan panjang Bu Ningsih mengakhiri riuh pertemuan tubuh mereka—suara yang keluar dari kedalaman jiwa yang terluka, bukan sekadar kepuasan fisik. Dadanya naik turun tak beraturan, kulitnya yang berkeringat memantulkan cahaya lampu kamar yang redup.BrukJuned ambruk di sampingnya, nafasnya tersengal-sengal. Tubuhnya yang masih perkasa itu kini lemas, dipenuhi rasa bersalah yang tiba-tiba menyergap begitu nafsu itu reda. Matanya menatap langit-langit kamar hotel yang bernoda kuning, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. “Kita... kita seharusnya tidak melakukan ini, Bu.”Di sebelahnya, Bu Ningsih sudah tertidur dengan posisi yang tak lagi anggun—rambutnya yang biasanya rapi kini berantakan di atas bantal, bibirnya yang merah masih sedikit terbuka.Dengan gerakan pelan, Juned menyelimuti tubuh Bu Ningsih yang sudah tak berdaya itu. “Sekali lagi maafkan aku, Bu Ningsih.” Bisiknya pelan.Juned menutup mata, mencoba tidur hingga akhirnya tidur menyerga