Jenar menyambut kepulangan Julian malam ini. Dia memandang suaminya dengan saksama, penampilannya sedikit kacau. Tidak seperti biasanya."Ada masalah di kantor, Mas?" tanya Jenar dengan hati+hati. Dia takut kalau malah menambah beban suaminya.Julian merebahkan diri di atas sofa, mengabaikan pertanyaan dari Jenar. Sepertinya permasalahan tidak bisa dibagikan dengan istrinya malam ini. Toh juga, Jenar hanya akan terbebani saja.Jenar memandang ke arahnya dengan senyuman. "Kamu bisa menceritakan apapun padaku jika memang kamu ingin bercerita. Kamu tidak perlu ragu."Julian memandang Jenar dengan sendu. Kelelahan membuatnya enggan untuk membuka mulutnya.
Pulang dari warung Jenar hampir masuk ke dalam rumah, tetapi suara seorang wanita menghentikan langkah kakinya. Jenar berbalik memandang siapa yang datang."Nyonya Luce?" Jenar mengerutkan kening. "Ada apa siang-siang datang ke sini?" tanyanya. Jenar sedikit bingung karena perempuan itu tak menjawab, tetapi dia tersenyum pada Jenar."Julia ada di kampusnya dan Jasmine ada di sekolahnya. Jean pulang satu jam lagi," kata Jenar menjelaskan. "Jika ke sini untuk melihat mereka, kamu seharusnya datang satu jam lagi."Luce terkekeh. "Kamu pikir aku sudah lupa dengan jam sekolah putra dan putriku sendiri?" tanyanya. "Tentu saja aku mengingat rutinitas mereka. Aku lebih lama tinggal bersama mereka ketimbang dirimu."Jenar langsung mengubah ekspresi wajahnya. Dia memendam kekesalan setelah mendengar kalimat itu. "Kalau begitu, kamu boleh pergi dari sini, Nyonya. Pak Julian juga sedang ada di kantornya. Hanya ada aku di rumah."Jenar hampir berpaling, tetapi tiba-tiba wanita itu menarik lengann
"Kepercayaan dirimu terlalu tinggi, Nyonya Luce." Jenar memberanikan dirinya untuk menyahut.Jenar tersenyum seringai. "Kepercayaan yang seperti itulah, yang nantinya malah menjadi bumerang untukmu sendiri."Luce tertawa ringan melihat perubahan ekspresi wajah Jenar. Luce bisa memaklumi jika jurnal tidak suka dirinya ada di depannya. Kata Jasmine, Jenar hanya sok kuat saja."Kamu tidak perlu menyembunyikan rasa takutmu, Jenar." Luce mendekatinya lagi. Dia mengusap pundak Jenar yang hanya setinggi telinganya saja.Orang lain yang memandang mereka, mungkin sepintas mengira mereka adalah ibu dan anak. Penampilan Luce mencerminkan wanita yang dewasa, sedangkan Jenar terlihat begitu muda dan segar.
Jasmine duduk di depan Julio. Ini seperti momen langka mengingat mereka sudah jarang sekali duduk bersama. Bukan tanpa alasan Julio mengajak Jenar kemari setelah menjemputnya pulang sekolah. Alasannya hanya ingin mampir untuk makan. "Ada yang ingin aku tanyakan sama kamu, Jasmine." Julio menyela aktivitas Jasmine. "Ini tentang Papa dan Mama.""Mama yang mana?" Jasmine menyunggingkan senyum bersama dengan kalimatnya. "Kita punya dua mama jangan lupa itu."Julio terdiam sejenak. Jasmine benar, tetapi dia bersikap aneh kali ini. "Mama Luce," sambung Julio. "Ada satu pertanyaan yang mengganjal di kepalaku sejak tadi. Sebenarnya aku ingin menanyakannya langsung pada Mama Luce, tetapi aku rasa dia tidak akan menjawab dengan jujur."Jasmine menghentikan makannya. Fokus pandangan menatap ke arah Julio. "Emangnya apa yang ingin kamu tanyakan?""Kamu tahu sesuatu tentang mereka?" tanya Julio hati-hati. Jasmine terdiam sejenak. Dia berusaha memahami pertanyaan dari kakak tirinya itu. Ingin me
"Pak Julian, ada yang ingin menemui Bapak." Julian mempersilahkan tamunya masuk ke dalam ruang kerjanya, meskipun hari menjelang sore. Seharusnya tidak ada tamu lagi yang datang untuk menemui dirinya.Luce adalah tamunya sore ini. "Luce?" Julian menyambutnya dengan senyuman. "Ada apa datang kemari?" tanya Julian. Dia tidak jadi bergegas pergi, Julian kembali meletakkan jasnya di atas meja. Luce duduk di atas sofa sambil merapikan posisinya. "Memangnya aku tidak boleh datang ke sini?" tanyanya. "Aku kira hubungan kita jauh lebih akrab setelah apa yang kita lalui beberapa hari belakangan."Julian manggut-manggut. "Tentu saja. Aku sedang mencoba akrab denganmu, Luce." Luce tersenyum padanya. "Aku kebetulan lewat sini. Dan aku membelikan kopi untukmu. Aku pikir kamu lembur hari ini, jadi aku membawanya ke sini," kata Luce. Dia mendorong cup kopi yang ada di atas meja.Julian berjalan mendekat dan duduk di depannya. Aroma Torabika menari-nari di dalam lubang hidungnya, Luce masih ingat
Setelah berhasil menidurkan Jean, Jenar keluar dari ruang kamar. Matanya melirik jam dinding yang hampir menunjuk ke angka sebelas malam. Namun, tidak ada satupun orang yang diharapkan datang pulang ke rumah. "Ke mana mereka pergi?" gumam Jenar. Dia merogoh ponsel dalam jaket yang dikenakannya. Orang pertama yang ingin dia hubungi adalah suaminya. Julian tidak memberi kabar pada dirinya, jika memang ingin lembur di kantor. Dia juga tidak pernah pulang terlambat selarut ini sebelumnya. Kekhawatiran menumpuk di dalam hatinya.Baru saja Jenar ingin menyambungkan panggilan, suara pintu dibuka mengambil fokus Jenar. Jasmine datang menatap dirinya dengan terkejut. "Ke--kenapa?" gumam Jenar sembari menutup pintu. "Kamu mengejutkan diriku dengan berdiri di tengah kegelapan begitu."Jasmine mendekati Jenar begitu juga dengan sebaliknya. Mereka bertemu di tengah-tengah. "Kamu mau mengadukan aku sama Papa kalau aku baru pulang?" tanya Jasmine. "Kak Julio juga akan kena marah," ucapnya. "Dia
"Mereka pasti sedang bersama di suatu tempat, dan kita sama-sama tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan." Jasmine tersenyum puas setelah mengatakannya. Kata demi kata yang terlontar benar-benar mau jadi senjata luar biasa untuk menyakiti hati Jenar malam ini.Jasmine mendekatinya. "Jadi lebih baik kamu tidur. Menunggu Papa pulang hari ini, sepertinya akan sia-sia saja.""Kamu yang seharusnya tidur dan berhenti untuk melantur." Jenar kokoh ingin membohongi dirinya sendiri. Tidak mau percaya apapun yang dikatakan oleh Jasmine."Cuci kakimu dan tanganmu. Jangan lupa menggosok gigi lalu pergi tidur jangan melakukan apapun lagi. Sebentar lagi tengah malam dan besok kamu harus bangun pagi."Jenar pergi setelah me
Julio tertawa kecil setelah melihat perubahan ekspresi wajah Jenar ditambah dengan nada bicaranya yang terdengar begitu sedih.Jenar langsung menoleh ke arahnya. "Kamu menertawai aku?" tanya Jenar sembari menunjuk dirinya sendiri."Aku rasa tidak ada yang lucu di sini, kenapa kamu malah tertawa?" tanyanya lagi. "Ada yang salah padaku?" Jenar mengimbuhkan.Julio menghela nafas. Tawanya tidak bertahan lama. "Hanya lucu saja melihat kamu duduk di sini dengan kekhawatiran.""Apanya yang lucu?" Jenar memprotes Julio. "Bagimu adalah hal yang lucu ketika seorang istri khawatir saat suaminya belum pulang dan tanpa kabar seperti ini?"Julio manggut-mangg
Dua cangkir teh menemani diamnya mereka. Jenar tiba-tiba ingin berbicara serius, padahal kedatangan Julio hanya ingin melihat putranya. "Aku membelikan mainan baru," kata Julio mencoba untuk menghilangkan rasa canggung itu. "Aku tahu kalau putra kita belum bisa bermain, aku hanya ingin membelikannya saja."Julio seakan takut penolakan dari Jenar. "Aku juga merindukan putraku. Aku kebetulan lewat sini, jadi aku langsung mampir," ucapnya lagi. Jenar tersenyum. "Kamu baru datang kemarin. Bagaimana bisa merindukannya secepat itu? Kamu baru pulang dari rumah ini kemarin malam, belum ada satu hari."Julio manggut-manggut. "Rasanya sudah lama sekali tidak melihatnya," celetuknya."Julio, aku ingin ....""Aku tahu kalau aku berlebihan." Julio tiba-tiba memotong kalimat Jenar. "Aku tahu kalau tidak seharusnya aku datang setiap hari dan memberikan itu semua."Julio menghela napas. "Namun, seberapa kuat kamu menolak, itu tetap putraku.""Aku tetap punya hak untuk datang dan melihatnya. Member
Luce's N Property, Jakarta.Jenar duduk sembari memandang keadaan sekitarnya. Suasana begitu asing ketika dia memutuskan untuk masuk ke dalam tempat ini. "Jadi, kamu datang untuk apa?" Luce menyambutnya dengan sedikit aneh, tatapan mata tidak suka melihat Jenar datang tiba-tiba. "Kebetulan aku sibuk hari ini."Jenar tersenyum seadanya. Kepalanya manggut-manggut ringan. "Maaf, karena aku mengganggumu hari ini, Nyonya Luce.""Jadi?" Luce mendesak Jenar untuk segera berbicara. Jujur saja, dia juga penasaran.Jenar menundukkan pandangan mata. Keraguan menyerbu dirinya. Sekarang, Jenar menyesali keputusannya datang kemari tanpa keyakinan dalam hatinya. "Kenapa malah diam?" Luce memecah keheningan. "Sudah aku bilang kalau aku sibuk hari ini. Jika kamu memang tidak ....""Ini tentang Julio." Jenar memberanikan diri untuk menatap Luce. "Sudah sejak beberapa hari yang lalu ketika dia memutuskan untuk pulang ke Indonesia."Luce mengangguk sekali. "Lantas?""Aku yang menyuruhnya untuk pulang k
Jenar dikejutkan dengan kedatangan Jasmine pagi ini. Gadis itu membawa setumpuk buku yang tebal dan terlihat begitu berat. Jasmine meletakkannya di atas meja, lalu tersenyum pada Jenar."Kamu bisa membaca ini." Jasmine duduk di tengah sofa. Memberi perintah Jenar untuk duduk bersamanya.Jenar hendak pergi, sebenarnya. Sayang sekali, gadis ini membuatnya tertahan. Dia harus menunda kepergiannya, mungkin untuk beberapa menit hingga jam ke depan."Ayo duduk." Jasmine memberi perintah lagi sembari mengetuk meja di depannya. "Aku yakin ini akan menjawab keraguanmu."Jenar memandangnya tak mengerti. Namun, dia tidak punya pilihan lain untuk menurutinya. Jenar terpaksa duduk dan meladeni Jasmine hari ini. "Apa yang kamu maksudkan?" Jenar membuka salah satu buku di depannya. Alangkah terkejutnya Jenar, ketika dia melihat biodata Julio yang membuka halaman pertama. Jenar memandang Jasmine lagi. "Apa-apaan ini?" tanyanya. "Kenapa kamu memberi buku seperti ini padaku?""Bukan hanya satu, di ba
Jenar ingin sekali mengusirnya, tetapi dia tidak tega melakukan itu. Bukan soal Julio, tetapi bagaimana perasaan putranya? "Dia tampan sekali," gumam Julio sembari mengusap lembut pipi putranya dengan ujung jarinya. "Dia mirip denganmu."Jenar hanya berdiri di ambang pintu. Kepalanya sesekali menunduk, padahal dia tidak salah apapun. "Sudah memberi nama?" tanyanya. Julio menoleh ke arah Jenar. Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu nama yang bagus untuk dia."Julio terkekeh. "Lalu selama ini kamu memanggilnya bagaimana?"Jenar lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Sekarang dia tidak berucap sepatah kata pun. Julio menatap putranya lagi. "Bolehkah aku yang memberi nama? Aku sudah memikirkannya sejak turun dari pesawat.""Perjalanan kemari aku menyusun nama panjang untuknya," kata Julio lagi. Keduanya saling memandang.Jenar manggut-manggut. "Itu adalah putramu juga.""Bayu Kalandra Joe." Julian menoleh pada Jenar lagi. "Kita bisa memanggilnya Bayu."Jenar langsung mengembangkan
Hari demi hari berlalu begitu saja. Jenar hanya berharap keadaan jauh lebih baik. Dia hanya ingin membesarkan putranya tanpa harus memberi penderitaan pada bayi kecil tak bersalah itu. "Jenar!" Jasmine memanggilnya. Jenar yang hendak masuk ke dalam rumah, harus kembali terhenti. Dia menyambut kedatangan Jasmine dengan senyuman."Baru pulang sekolah?" Jenar menatap penampilan gadis itu. Seragam sekolah masih rapi membungkus tubuhnya. Jasmine menganggukkan kepala. "Begitulah." Sekarang dia lebih lunak pada Jenar. Toh juga tidak ada yang perlu ditutupi, dia mulai mengakui segalanya. "Aku tadi lewat toko kue, aku beli satu buat kamu." Jasmine menyodorkan kue dalam kantung plastik hitam. "Kamu suka keju kan?"Jenar mengembangkan senyum di atas bibirnya. "Makasih banyak.""Kalau kamu belum makan siang, kamu bisa makan di sini dulu." Jenar menawarkan. "Aku buat ayam tepung."Jasmine menganggukkan kepala. "Bolehkah?" "Tentu saja. Kamu boleh menghabiskan semuanya." Jenar tertawa kecil semb
"Aku tidak bisa menemui Julio." Jenar menundukkan pandangan mata. Rasa bersalah masih menguasai dirinya acap kali melihat Julian. Julian tersenyum dan menyeruput teh yang dibuatkan Jenar untuknya. Kepalanya mengangguk, bukan berarti dia menyetujui kalimat Jenar. Julian hanya berusaha memahami perasaannya. "Lebih tepatnya kamu tidak mau, kan?" tanya Julian. "Benar kata Jasmine, ternyata kamu berusaha kabur dari kesalahanmu."Jenar tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu dari mulut Julian. Julian meletakkan cangkir teh di atas meja. "Katanya kamu mau pergi keluar Jakarta. Kamu tidak akan kembali dan kamu meminta Jasmine untuk membantu kepergianmu secara diam-diam."Jenar tidak bisa menjawab. Dia mengaku salah."Apa yang kamu inginkan dari keputusan itu?" tanya Julian. "Kamu menginginkan ketenangan?"Jenar menggelengkan kepalanya tak yakin. "Jangan-jangan kamu berpikir, kalau kamu akan terbebas dari dosa jika pergi dari Jakarta," kekeh Julian pelan. "Aku pikir kamu tidak s
Beberapa hari kemudian. Jenar meletakkan tas jinjing di atas meja, sedangkan Sarah sibuk menurunkan barang-barang dari taksi yang mengantar mereka pulang ke rumah. Jenar lega, akhirnya dia kembali mencium aroma rumah. Suasana rumah sakit benar-benar membosankan untuk dirinya."Aku harus kembali kerja setelah makan siang," ucap Sarah. "Aku sudah libur beberapa hari untuk menunggu kamu di rumah sakit. Aku tidak bisa libur lagi."Jenar menganggukkan kepalanya paham. "Maaf, karena aku jadi merepotkan kamu."Jenar menggelengkan kepalanya. "Kamu seharusnya bisa fokus pada pekerjaan kamu.""Tidak masalah." Sarah meliriknya. "Aku juga tidak akan bisa fokus kerja kalau meninggalkan kamu sendirian.""Sekarang aku jadi bisa lebih fokus, kamu sudah pulang." Sarah menutup kalimatnya. Dia menata barang-barang itu di sudut ruangan.Jenar tersenyum manis. "Makasih, Sar." "Sama-sama." Sarah menyelesaikan aktivitasnya. Dia berjalan mendekati Jenar. Jari jemarinya mengusap wajah tampan bayi di atas g
Rumah sakit persalinan, Jakarta.Tidak ada yang berani berbicara. Sarah melirik Jenar sesekali, kembali menunduk dan bermain dengan jari jemarinya. Helaan napas sesekali terdengar begitu berat dan penuh beban. Kenyatannya, tidak ada yang berani menghadapi keadaan yang ada. "Haruskah aku mengabari Julio?" Sarah memberanikan diri. Pandangan matanya tak lepas dari Jenar. "Aku akan ....""Bisakah besok kita pulang ke rumah?" Jenar memotongnya kalimat Sarah. Membalas tatapan temannya itu dengan sendu. "Aku ingin pulang."Sarah meraih tangan Jenar. "Jika karena biaya, kamu tidak perlu khawatir. Pak Julian memasukkan semua tagihan atas nama perusahaannya.""Dia memang pria yang bisa diandalkan." Sarah tersenyum mantap sembari mengacungkan jempolnya. Semangatnya seakan diisi ulang. Jenar memandangnya dengan begitu iba. Seakan mengetahui maksud dari perubahan raut wajah temannya, Sarah langsung menurunkan jempolnya."Sorry," gumam Sarah. Jenar menghela napas panjang. "Aku berpikir untuk kem
Malam, kediaman Julian. Jasmine melirik Julian yang baru saja turun dari lantai atas. Pakaiannya sudah diganti dengan kaos seadanya dipadukan celana panjang kain berwarna cokelat muda. "Papa nggak menunggu Jenar di rumah sakit?" Jasmine bertanya, menyela dengan memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Julian menarik kursi di depan Jasmine. "Kamu makan jam segini, tidak takut gendut?" kekehnya. "Umumnya gadis seusia kamu menjaga pola makan di jam begini."Pria itu menatap piring yang penuh dengan nasi. "Sepertinya kamu lain.""Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan," jawab Jasmine. Dipandanginya Julian dengan saksama. "Papa hanya akan mengalihkan pembicaraan jika tidak suka dengan topiknya."Julian hanya tersenyum miring, sembari mengambil nasi di depannya."Aku kira Papa peduli dengannya." Jasmine berucap lagi. "Papa bahkan berlari dari luar kota kembali ke Jakarta, setelah mendengar Jenar melahirkan hari ini."Julian manggut-manggut. "Memang. Momen melahirkan hanya sekali kan?