Area proyek menjadi tempat singgah Julio setelah mendapat informasi dari Jasmine tadi. Mata elang Julio menyapu setiap sudut tempat yang ada, berharap menemukan seorang pria yang wajahnya tidak familiar dengan ciri-ciri yang diberikan oleh Jasmine. "Cari seseorang, Nak?" tanya seorang pria. Julio langsung menoleh, hampir saja tersentak melihat pria berbadan lusuh penuh lumpur di belakangnya. Julio manggut-manggut ringan. Tersenyum seadanya. "Cari Pak Hang," kata Julio tak berbasa-basi."Oh, kamu anaknya Hang?" tanyanya. Julio terdiam sejenak. Ini sedikit canggung, pasalnya dia sendiri tidak yakin. Namun, apa boleh buat selain menganggukkan kepalanya? Dia tersenyum seadanya setelah itu."Hang ada di sana," katanya. "Kamu tinggal lurus aja, nanti ada pagar besi kecil kamu belok kanan, sepertinya dia beristirahat di bawah pohon."Julio tak berucap sepatah kata pun, hanya membungkukkan badannya ringan lalu pergi meninggalkannya. Dia hanya punya waktu beberapa menit sebelum harus kemb
Julio heran menatap tawa yang terdengar sekarang. Sepertinya pria ini memang sudah tidak waras. Keluar dari penjara selama bertahun-tahun mungkin membuat dirinya jadi seperti ini. "Kamu tidak percaya padaku sepertinya," kekeh Hang. "Kamu sudah tinggal lama bersama Julian, jadi wajar saja jika kamu lebih mempercayainya."Julio langsung menggelengkan kepalanya. "Aku tidak mempercayai siapa pun. Aku hanya mempercayai diriku sendiri dan pendirianku sendiri.""Aku akan percaya padamu jika kamu bisa memberikan aku bukti bahwa Julian lah yang mengambil diriku," kata Julio. "Juga, bagaimana bisa aku langsung percaya pada mantan narapidana?" Hang lagi-lagi tertawa mendengarnya. "Aku tidak bisa membuktikannya, karena kamu saja tidak percaya dengan ceritaku."Hang seakan pasrah dan tidak mau banyak bertingkah. "Kamu bisa mempercayaiku atau tidak. Itu semua terserah padamu dan aku tidak akan memaksa."Julio mendengus. "Katakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi dan di mana Ibu kandungku?" Juli
Julian keluar dari rumah Luce. Urusannya sudah selesai, kini saatnya kembali pada realita yang sesungguhnya bahwa dia dan Luce sudah tidak pantas berada dalam satu rumah seperti tadi. "Jika berselingkuh, lakukan dengan benar." Julian terkejut mendengar kalimat itu. Dia langsung menoleh ke arah sumber suara. Julio sudah berdiri di sisi ambang pintu gerbang rumah Luce. Julian memicingkan mata. "Kamu ngapain di sini?" tanya Julio berusaha untuk membuat topik pembicaraan baru. Tentu saja dia tidak mau membahas kedatangannya ke rumah mantan istrinya. "Bukankah seharusnya itu yang aku tanyakan sama Papa?" Julio tersenyum seringai. "Seharusnya Papa tidak ada di sini, selain ini adalah jam kerja ... ini juga rumahnya Mama Luce." Julian yang tidak bisa membohongi Julio lagi. Putranya ini sudah cukup dewasa untuk mendengar alasan yang tak masuk akal. "Papa ada urusan sebentar dengannya. Jadi Papa mampir ke sini, kebetulan sebelumnya Papa menemui klien yang tinggalnya tidak jauh dari sini
Kantor polisi setempat.Jenar mengikuti langkah kaki Jasmine. Sama sekali tidak ada suara semenjak Jasmine keluar dari kantor polisi. Sepertinya gadis itu sedang kalut di dalam hatinya."Tidak mau makan siang?" tanya Jenar, nada bicaranya sedikit tinggi karena posisi mereka yang sedikit jauh.Jasmine tak menggubris. Dia hanya terus melangkah menjauh dari Jenar."Jasmine!" Jenar meneriakinya. Langkah kaki dipercepat, dia meraih tangan Jasmine.Jenar berhasil menghentikan Jasmine. Dia memandang penampilannya. "Aku akan membantumu beralasan dari papamu jika kamu mau makan siang sekarang. Aku yakin kalau belum ada nasi yang masuk k
Restoran Jepang, Jakarta."Aku ke sini bukan ingin mengajak Papa makan siang, aku ingin mendengarkan penjelasan dari Papa." Julio memandang Julian tak henti. Pikirannya melayang, memaksa dirinya sendiri untuk mendesak Julian. Julio menghela napas. "Aku ada kelas setelah ini. Aku yakin Papa tidak setuju jika aku membolos," sambungnya. Julian malah tertawa kecil mendengar kalimat itu. Dia manggut-manggut ringan dan tersenyum melirik Julio. "Bukankah itu kebiasaanmu?""Kamu sudah sering membolos dan Papa tahu itu. Terakhir kali kamu bertengkar dengan temanmu, Papa biarkan kamu." Julian menukas. Dia kembali memasukkan satu gulung sushi ke dalam mulutnya. Julio mengerutkan kening. "Jenar mengatakan itu?""Panggil dia Mama," kata Julian ketus. "Meskipun usia kalian hampir sama, tetapi ingatlah kalau dia adalah mamamu. Dia istriku."Julio berdecak. "Jika tahu kalau Jenar adalah istrinya Papa, kenapa malah menemui Mama Luce?" tanya Julio. "Jenar pasti—"Kalimat Julio langsung terhenti kal
Jenar menyambut kepulangan Julian malam ini. Dia memandang suaminya dengan saksama, penampilannya sedikit kacau. Tidak seperti biasanya."Ada masalah di kantor, Mas?" tanya Jenar dengan hati+hati. Dia takut kalau malah menambah beban suaminya.Julian merebahkan diri di atas sofa, mengabaikan pertanyaan dari Jenar. Sepertinya permasalahan tidak bisa dibagikan dengan istrinya malam ini. Toh juga, Jenar hanya akan terbebani saja.Jenar memandang ke arahnya dengan senyuman. "Kamu bisa menceritakan apapun padaku jika memang kamu ingin bercerita. Kamu tidak perlu ragu."Julian memandang Jenar dengan sendu. Kelelahan membuatnya enggan untuk membuka mulutnya.
Pulang dari warung Jenar hampir masuk ke dalam rumah, tetapi suara seorang wanita menghentikan langkah kakinya. Jenar berbalik memandang siapa yang datang."Nyonya Luce?" Jenar mengerutkan kening. "Ada apa siang-siang datang ke sini?" tanyanya. Jenar sedikit bingung karena perempuan itu tak menjawab, tetapi dia tersenyum pada Jenar."Julia ada di kampusnya dan Jasmine ada di sekolahnya. Jean pulang satu jam lagi," kata Jenar menjelaskan. "Jika ke sini untuk melihat mereka, kamu seharusnya datang satu jam lagi."Luce terkekeh. "Kamu pikir aku sudah lupa dengan jam sekolah putra dan putriku sendiri?" tanyanya. "Tentu saja aku mengingat rutinitas mereka. Aku lebih lama tinggal bersama mereka ketimbang dirimu."Jenar langsung mengubah ekspresi wajahnya. Dia memendam kekesalan setelah mendengar kalimat itu. "Kalau begitu, kamu boleh pergi dari sini, Nyonya. Pak Julian juga sedang ada di kantornya. Hanya ada aku di rumah."Jenar hampir berpaling, tetapi tiba-tiba wanita itu menarik lengann
"Kepercayaan dirimu terlalu tinggi, Nyonya Luce." Jenar memberanikan dirinya untuk menyahut.Jenar tersenyum seringai. "Kepercayaan yang seperti itulah, yang nantinya malah menjadi bumerang untukmu sendiri."Luce tertawa ringan melihat perubahan ekspresi wajah Jenar. Luce bisa memaklumi jika jurnal tidak suka dirinya ada di depannya. Kata Jasmine, Jenar hanya sok kuat saja."Kamu tidak perlu menyembunyikan rasa takutmu, Jenar." Luce mendekatinya lagi. Dia mengusap pundak Jenar yang hanya setinggi telinganya saja.Orang lain yang memandang mereka, mungkin sepintas mengira mereka adalah ibu dan anak. Penampilan Luce mencerminkan wanita yang dewasa, sedangkan Jenar terlihat begitu muda dan segar.
Dua cangkir teh menemani diamnya mereka. Jenar tiba-tiba ingin berbicara serius, padahal kedatangan Julio hanya ingin melihat putranya. "Aku membelikan mainan baru," kata Julio mencoba untuk menghilangkan rasa canggung itu. "Aku tahu kalau putra kita belum bisa bermain, aku hanya ingin membelikannya saja."Julio seakan takut penolakan dari Jenar. "Aku juga merindukan putraku. Aku kebetulan lewat sini, jadi aku langsung mampir," ucapnya lagi. Jenar tersenyum. "Kamu baru datang kemarin. Bagaimana bisa merindukannya secepat itu? Kamu baru pulang dari rumah ini kemarin malam, belum ada satu hari."Julio manggut-manggut. "Rasanya sudah lama sekali tidak melihatnya," celetuknya."Julio, aku ingin ....""Aku tahu kalau aku berlebihan." Julio tiba-tiba memotong kalimat Jenar. "Aku tahu kalau tidak seharusnya aku datang setiap hari dan memberikan itu semua."Julio menghela napas. "Namun, seberapa kuat kamu menolak, itu tetap putraku.""Aku tetap punya hak untuk datang dan melihatnya. Member
Luce's N Property, Jakarta.Jenar duduk sembari memandang keadaan sekitarnya. Suasana begitu asing ketika dia memutuskan untuk masuk ke dalam tempat ini. "Jadi, kamu datang untuk apa?" Luce menyambutnya dengan sedikit aneh, tatapan mata tidak suka melihat Jenar datang tiba-tiba. "Kebetulan aku sibuk hari ini."Jenar tersenyum seadanya. Kepalanya manggut-manggut ringan. "Maaf, karena aku mengganggumu hari ini, Nyonya Luce.""Jadi?" Luce mendesak Jenar untuk segera berbicara. Jujur saja, dia juga penasaran.Jenar menundukkan pandangan mata. Keraguan menyerbu dirinya. Sekarang, Jenar menyesali keputusannya datang kemari tanpa keyakinan dalam hatinya. "Kenapa malah diam?" Luce memecah keheningan. "Sudah aku bilang kalau aku sibuk hari ini. Jika kamu memang tidak ....""Ini tentang Julio." Jenar memberanikan diri untuk menatap Luce. "Sudah sejak beberapa hari yang lalu ketika dia memutuskan untuk pulang ke Indonesia."Luce mengangguk sekali. "Lantas?""Aku yang menyuruhnya untuk pulang k
Jenar dikejutkan dengan kedatangan Jasmine pagi ini. Gadis itu membawa setumpuk buku yang tebal dan terlihat begitu berat. Jasmine meletakkannya di atas meja, lalu tersenyum pada Jenar."Kamu bisa membaca ini." Jasmine duduk di tengah sofa. Memberi perintah Jenar untuk duduk bersamanya.Jenar hendak pergi, sebenarnya. Sayang sekali, gadis ini membuatnya tertahan. Dia harus menunda kepergiannya, mungkin untuk beberapa menit hingga jam ke depan."Ayo duduk." Jasmine memberi perintah lagi sembari mengetuk meja di depannya. "Aku yakin ini akan menjawab keraguanmu."Jenar memandangnya tak mengerti. Namun, dia tidak punya pilihan lain untuk menurutinya. Jenar terpaksa duduk dan meladeni Jasmine hari ini. "Apa yang kamu maksudkan?" Jenar membuka salah satu buku di depannya. Alangkah terkejutnya Jenar, ketika dia melihat biodata Julio yang membuka halaman pertama. Jenar memandang Jasmine lagi. "Apa-apaan ini?" tanyanya. "Kenapa kamu memberi buku seperti ini padaku?""Bukan hanya satu, di ba
Jenar ingin sekali mengusirnya, tetapi dia tidak tega melakukan itu. Bukan soal Julio, tetapi bagaimana perasaan putranya? "Dia tampan sekali," gumam Julio sembari mengusap lembut pipi putranya dengan ujung jarinya. "Dia mirip denganmu."Jenar hanya berdiri di ambang pintu. Kepalanya sesekali menunduk, padahal dia tidak salah apapun. "Sudah memberi nama?" tanyanya. Julio menoleh ke arah Jenar. Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu nama yang bagus untuk dia."Julio terkekeh. "Lalu selama ini kamu memanggilnya bagaimana?"Jenar lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Sekarang dia tidak berucap sepatah kata pun. Julio menatap putranya lagi. "Bolehkah aku yang memberi nama? Aku sudah memikirkannya sejak turun dari pesawat.""Perjalanan kemari aku menyusun nama panjang untuknya," kata Julio lagi. Keduanya saling memandang.Jenar manggut-manggut. "Itu adalah putramu juga.""Bayu Kalandra Joe." Julian menoleh pada Jenar lagi. "Kita bisa memanggilnya Bayu."Jenar langsung mengembangkan
Hari demi hari berlalu begitu saja. Jenar hanya berharap keadaan jauh lebih baik. Dia hanya ingin membesarkan putranya tanpa harus memberi penderitaan pada bayi kecil tak bersalah itu. "Jenar!" Jasmine memanggilnya. Jenar yang hendak masuk ke dalam rumah, harus kembali terhenti. Dia menyambut kedatangan Jasmine dengan senyuman."Baru pulang sekolah?" Jenar menatap penampilan gadis itu. Seragam sekolah masih rapi membungkus tubuhnya. Jasmine menganggukkan kepala. "Begitulah." Sekarang dia lebih lunak pada Jenar. Toh juga tidak ada yang perlu ditutupi, dia mulai mengakui segalanya. "Aku tadi lewat toko kue, aku beli satu buat kamu." Jasmine menyodorkan kue dalam kantung plastik hitam. "Kamu suka keju kan?"Jenar mengembangkan senyum di atas bibirnya. "Makasih banyak.""Kalau kamu belum makan siang, kamu bisa makan di sini dulu." Jenar menawarkan. "Aku buat ayam tepung."Jasmine menganggukkan kepala. "Bolehkah?" "Tentu saja. Kamu boleh menghabiskan semuanya." Jenar tertawa kecil semb
"Aku tidak bisa menemui Julio." Jenar menundukkan pandangan mata. Rasa bersalah masih menguasai dirinya acap kali melihat Julian. Julian tersenyum dan menyeruput teh yang dibuatkan Jenar untuknya. Kepalanya mengangguk, bukan berarti dia menyetujui kalimat Jenar. Julian hanya berusaha memahami perasaannya. "Lebih tepatnya kamu tidak mau, kan?" tanya Julian. "Benar kata Jasmine, ternyata kamu berusaha kabur dari kesalahanmu."Jenar tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu dari mulut Julian. Julian meletakkan cangkir teh di atas meja. "Katanya kamu mau pergi keluar Jakarta. Kamu tidak akan kembali dan kamu meminta Jasmine untuk membantu kepergianmu secara diam-diam."Jenar tidak bisa menjawab. Dia mengaku salah."Apa yang kamu inginkan dari keputusan itu?" tanya Julian. "Kamu menginginkan ketenangan?"Jenar menggelengkan kepalanya tak yakin. "Jangan-jangan kamu berpikir, kalau kamu akan terbebas dari dosa jika pergi dari Jakarta," kekeh Julian pelan. "Aku pikir kamu tidak s
Beberapa hari kemudian. Jenar meletakkan tas jinjing di atas meja, sedangkan Sarah sibuk menurunkan barang-barang dari taksi yang mengantar mereka pulang ke rumah. Jenar lega, akhirnya dia kembali mencium aroma rumah. Suasana rumah sakit benar-benar membosankan untuk dirinya."Aku harus kembali kerja setelah makan siang," ucap Sarah. "Aku sudah libur beberapa hari untuk menunggu kamu di rumah sakit. Aku tidak bisa libur lagi."Jenar menganggukkan kepalanya paham. "Maaf, karena aku jadi merepotkan kamu."Jenar menggelengkan kepalanya. "Kamu seharusnya bisa fokus pada pekerjaan kamu.""Tidak masalah." Sarah meliriknya. "Aku juga tidak akan bisa fokus kerja kalau meninggalkan kamu sendirian.""Sekarang aku jadi bisa lebih fokus, kamu sudah pulang." Sarah menutup kalimatnya. Dia menata barang-barang itu di sudut ruangan.Jenar tersenyum manis. "Makasih, Sar." "Sama-sama." Sarah menyelesaikan aktivitasnya. Dia berjalan mendekati Jenar. Jari jemarinya mengusap wajah tampan bayi di atas g
Rumah sakit persalinan, Jakarta.Tidak ada yang berani berbicara. Sarah melirik Jenar sesekali, kembali menunduk dan bermain dengan jari jemarinya. Helaan napas sesekali terdengar begitu berat dan penuh beban. Kenyatannya, tidak ada yang berani menghadapi keadaan yang ada. "Haruskah aku mengabari Julio?" Sarah memberanikan diri. Pandangan matanya tak lepas dari Jenar. "Aku akan ....""Bisakah besok kita pulang ke rumah?" Jenar memotongnya kalimat Sarah. Membalas tatapan temannya itu dengan sendu. "Aku ingin pulang."Sarah meraih tangan Jenar. "Jika karena biaya, kamu tidak perlu khawatir. Pak Julian memasukkan semua tagihan atas nama perusahaannya.""Dia memang pria yang bisa diandalkan." Sarah tersenyum mantap sembari mengacungkan jempolnya. Semangatnya seakan diisi ulang. Jenar memandangnya dengan begitu iba. Seakan mengetahui maksud dari perubahan raut wajah temannya, Sarah langsung menurunkan jempolnya."Sorry," gumam Sarah. Jenar menghela napas panjang. "Aku berpikir untuk kem
Malam, kediaman Julian. Jasmine melirik Julian yang baru saja turun dari lantai atas. Pakaiannya sudah diganti dengan kaos seadanya dipadukan celana panjang kain berwarna cokelat muda. "Papa nggak menunggu Jenar di rumah sakit?" Jasmine bertanya, menyela dengan memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Julian menarik kursi di depan Jasmine. "Kamu makan jam segini, tidak takut gendut?" kekehnya. "Umumnya gadis seusia kamu menjaga pola makan di jam begini."Pria itu menatap piring yang penuh dengan nasi. "Sepertinya kamu lain.""Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan," jawab Jasmine. Dipandanginya Julian dengan saksama. "Papa hanya akan mengalihkan pembicaraan jika tidak suka dengan topiknya."Julian hanya tersenyum miring, sembari mengambil nasi di depannya."Aku kira Papa peduli dengannya." Jasmine berucap lagi. "Papa bahkan berlari dari luar kota kembali ke Jakarta, setelah mendengar Jenar melahirkan hari ini."Julian manggut-manggut. "Memang. Momen melahirkan hanya sekali kan?