Hari ini, para pelayan kediaman keluarga Hadiwijaya sibuk bekerja keras.
Danu Hadiwijaya, tuan mereka, akan segera pulang setelah melakukan perjalanan bisnis yang panjang. Di ruang tamu, duduk dengan anggun selagi menatap ponselnya, Nandia Amelia menunggu kedatangan sang suami dengan wajah sendu. “Nyonya, Tuan sudah datang,” ucap seorang pelayan, membuyarkan lamunan wanita itu. Langsung berdiri dari kursinya, Nandia berjalan menghampiri pintu utama. Dari sana, dia melihat sebuah mobil melesat masuk melewati gerbang, mengitari air mancur tengah taman, lalu berhenti tepat di tangga lobi kediaman. Saat pintu mobil mewah itu terbuka, seorang pria berkaki jenjang dan bertubuh dibalut jas hitam turun. Aura kekuasaan dan dominan menguar kuat dari dirinya. Itulah dia, Danu Hadiwijaya, pemimpin perusahaan XYZ yang sempat menjadi pria bujangan paling menggiurkan di negara tersebut. Dia juga suami Nandia. “Mas,” sapa Nandia seraya meraih tas kerja di tangan Danu. “Kau ingin makan dulu atau langsung man—” “Ganti pakaianmu dan tunggu di kamar,” potong pria itu dengan suara rendah sebelum langsung berjalan meninggalkannya ke lantai atas. Walau untuk sesaat ekspresi Nandia tampak terkejut, tapi hal itu hanya bertahan sekilas. Karena detik berikutnya, dengan tenang dia berkata kepada salah seorang pelayan, “Tuan lelah, bereskan saja makanan di meja makan dan hangatkan kalau dia memintanya nanti.” Usai menurunkan perintah itu, Nandia gegas melangkah ke lantai atas untuk masuk ke dalam kamarnya. Dia tahu betapa sang suami tak suka dibantah, jadi lebih baik tak banyak bertanya mengenai apa yang terjadi dan menurut saja. Setelah mengganti pakaian dan menunggu beberapa saat di kamarnya, tak berapa lama pintu terbuka dan Danu pun masuk ke dalam ruangan. Nandia melihat pria itu hanya mengenakan handuk yang terlilit di pinggang, mempertontonkan ototnya yang sempurna. Saat Nandia berniat untuk berdiri dan menghampiri, tak disangka Danu berjalan mendekat dan malah mendorongnya ke tempat tidur. Pria itu mulai menciumnya dengan buas, tak sedikit pun memberinya napas. Beberapa bulan dinas di luar kota sepertinya membuat Danu semakin bergairah, dan Nandia tak mampu mengimbangi. Aneh, biasanya Danu tidak seperti ini. Walau pria dingin ini memang hangat di atas ranjang, tapi … tidak pernah sepanas ini! “Mas …!” panggil Nandia dengan sedikit meringis, merasakan Danu menyatukan diri dengannya secara paksa. Namun, pria itu seakan tuli dan tidak peduli, menyebabkan air mata Nandia mengalir dalam saat Danu menghentakkan diri dalam. Berkali-kali mereka melakukannya, tapi hanya ketika pagi menyingsing, barulah Danu melepaskan Nandia. Saat Danu selesai membersihkan diri, ponselnya tiba-tiba berdering. Dia mengangkatnya. “Ada apa, Diana?” Diana, nama itu bagaikan belati yang menusuk hati Nandia. Bukan tanpa sebab, melainkan karena nama tersebut adalah nama teman masa kecil Danu sekaligus wanita yang sempat dijodohkan dengannya oleh sang ibu. Sayang, karena kehadiran Nandia, juga pernikahannya dengan Danu, perjodohan keduanya pun harus berakhir. Walau demikian, bahkan setelah Nandia telah menjadi istri Danu untuk tiga tahun lamanya, tak pernah pria itu memperlakukan dirinya selembut Diana. Seperti sekarang. “Aku mengerti. Aku akan segera ke sana. Tunggu.” Gegas mengenakan pakaiannya, Danu langsung berniat meninggalkan ruangan. “Mas mau ke mana?” tanya Nandia, yang telah mengenakan seluruh pakaiannya lagi. Menatap Nandia sekilas, Danu kembali mengalihkan pandangan ke jam tangannya. “Apa urusanmu?” Dijawab seperti itu, Nandia tersenyum pahit. “Bukankah aku istrimu?” Detik itu, Danu membeku untuk sesaat, sebelum kemudian lanjut berusaha mengenakan jam tangannya. Selesai mengenakan jam tangan itu, Danu meraih jasnya, lalu membuka pintu. “Kamu akan menemui Diana?” Langkah Danu terhenti. Pria itu pun menghela napas, lalu berbalik dan menatap Nandia. “Uang bulanan bulan ini sudah kukirimkan. Gunakanlah sesukamu,” ucapnya. “Kalau misalkan kurang, cukup katakan langsung. Tidak perlu berbelit.” Mendengar balasan suaminya itu, ekspresi Nandia berubah diselimuti rasa tidak percaya. Apa ini masalah uang bulanan? Apa Danu mengira bahwa kali ini Nandia secara frontal mempertanyakan kepergiannya menemui Diana karena uang bulanan yang dikirimkan olehnya kurang? Apa pria itu menganggapnya sebagai pelacur yang sedang menuntut bayaran?! Karena tidak ada balasan dari Nandia, Danu yang kentara tidak lagi sabar menunggu pun berkata, “Aku pergi dulu. Kalau ada apa-apa, hubungi saja sekretaris—” “Mas, mari kita bercerai.”Sejenak, Danu terdiam membeku, sedikit terkejut dengan permintaan sang istri. Lelaki itu pun membalikkan badannya, menatap Nandia dengan tatapan menghunus tajam. “Apa katamu?” tanyanya dengan nada tidak percaya. “Bercerai?” Nandia berusaha menguatkan hatinya. Biasanya, kalau Danu sudah menatapnya seperti itu, dia akan menundukkan kepalanya karena takut pada lelaki itu. Namun, tidak sekarang. “Benar, aku ingin bercerai.”Danu mengerutkan keningnya. “Sandiwara macam apa lagi yang sedang kamu mainkan?”Sandiwara …Tuduhan itu bak belati yang mengiris hati Nandia tiap kali Danu menudingnya.“Aku lelah, Mas …” tutur Nandia jujur, mengabaikan tuduhan Danu perihal sandiwara. “Kalau memang tidak saling cinta dan hatimu ada pada wanita lain, maka untuk apa mempertahankan pernikahan ini?” Dia menatap Danu lurus.Mendengar ucapan itu keluar dari bibir Nandia, wajah Danu berubah semakin gelap. “Diana bukan ‘wanita lain’. Dia jauh lebih baik dari itu,” ucap pria itu, membuat hati Nandia bak ber
Saat Danu dan Nandia masuk ke dalam rumah mewah itu, semua orang langsung terdiam. Seolah mereka baru saja selesai menggunjingkan orang yang baru saja tiba.Begitu sampai di hadapan Lidia, ibunda Danu, Danu langsung memeluk ibunya itu dan berkata, “Selamat ulang tahun Ma. Semoga Mama sehat selalu dan diberi umur yang panjang,” ucap Danu sambil memeluk sang mama.“Oh ya ampun, Danu! Terima kasih, Sayang!” Wanita itu membalas pelukan sang putra hangat. “Mama pikir kamu tidak datang, Nak! Kenapa kamu lama sekali? Diana sudah menunggumu dari tadi, temuilah dia,” ucap Lidia sambil mengarahkan Danu ke arah seorang wanita cantik di ujung ruangan.Di saat itu, dari arah yang berlawanan, Nandia melihat wanita cantik dengan gaun merah menyala berjalan berlenggak lenggok mendekat ke arahnya. Dia adalah Diana.“Hai Danu, aku kangen banget sama kamu,” ucap wanita itu sambil memeluk dan mencium pipi Danu. Keduanya tampak seperti dua kekasih yang lama tak bertemu.Padahal, jelas-jelas mereka berdua
“R-Reihan!?” Nandia memanggil setengah berseru sebelum akhirnya menjauh dari pelukan pria itu.“Apa yang kamu lakukan di sini!?”Reihan Hadiwijaya, putra tunggal dari paman kedua Danu. Hal tersebut menjadikannya sepupu dari suami Nandia tersebut. Berbeda dari Danu yang memiliki sifat dingin dan dominan, Reihan adalah pria yang lembut dan hangat, dan dia adalah satu-satunya orang dari keluarga Hadiwijaya yang baik kepada Nandia.Mendengar pertanyaan Nandia yang aneh, Reihan tertawa. “Ini pesta ulang tahun bibiku. Tentu saja aku harus ada di sini,” jawab pria itu santai.“A-ah, benar juga ….” Nandia merasa bodoh menanyakan hal tersebut.Menatap Nandia dengan saksama, lalu melirik sekilas sosok Danu yang sedang bersama dengan Diana, Reihan berkata, “Bisa kulihat suamimu berulah lagi.”Pernyataan itu membuat Nandia tersentak, hanya untuk sesaat sebelum dia kemudian tersenyum tipis. “Dia hanya berbincang dengan kawan lama,” jawabnya.Reihan beralih menatap Nandia yang berusaha memaksakan s
“Apa?” Diana tampak terkejut.Nandia menggeser pandangannya ke arah Diana dan berucap dengan dingin, “Mau kalian tidur bersama atau tidak, itu bukan urusanku lagi. Kalau kamu memang begitu haus belaian seorang Danu Hadiwijaya, silakan saja ambil dia dariku.”Nandia bisa melihat jelas bagaimana ekspresi Diana sangat kaget mendengar kalimat yang dirinya ucapkan. Tentunya, tidak Diana sangka kalau Nandia bisa bersikap begitu tidak peduli terhadap hubungannya dengan Danu.Lagi pula, selama tiga tahun ini, setiap kali Diana berusaha menyakitinya, wanita itu selalu berhasil mendapatkan reaksi dari Nandia.Namun, tidak dengan sekarang. Nandia tidak ingin terlihat lemah–walau pada kenyataannya hatinya sedang berdarah.Tidak ingin isi hatinya terbongkar, Nandia pun gegas berkata, “Kalau tidak ada hal lain yang ingin kamu katakan, aku permisi.”Wanita itu pun berbalik, meninggalkan area kolam renang yang terasa sesak baginya.Namun, belum ada satu langkah Nandia ambil, sebuah tangan menariknya
*Beberapa saat yang lalu*Saat tubuhnya menabrak permukaan kolam, pandangan Nandia langsung buyar akibat pening yang menyerang. Dirinya berusaha untuk menggapai permukaan, tapi ketidakmampuannya untuk berenang membuatnya malah menelan air banyak dan berakhir kesulitan bernapas.Saat Nandia merasa pandangannya menggelap, tiba-tiba dia merasakan sebuah tangan yang menariknya ke atas. “Nandia!” Seseorang meneriakkan namanya dengan penuh kekhawatiran, tapi mata Nandia masih tertutup rapat akibat kesadarannya yang masih berada di ambang kegelapan.Samar, Nandia juga merasakan seseorang menyentuh bibirnya, menghembuskan napas bergantian dengan tangan yang menekan dadanya kuat berkali-kali–mencoba menyadarkannya.Sampai akhirnya…“Uhuk-uhuk.” Nandia terbatuk, mengeluarkan air dari paru-parunya. “Nandia!” panggil seseorang, membuat Nandia yang memiringkan tubuhnya setelah memuntahkan air mengangkat pandangan, melihat keberadaan Reihan yang tampak basah kuyup dan begitu khawatir.Ah … jadi R
PLAK!“Istri macam apa kamu sehingga berkata seperti itu mengenai suamimu sendiri!? Memang dasar menantu tidak berguna! Bisanya hanya membuat malu keluarga ini!”Tamparan yang begitu keras membuat semua orang terkesiap. Mereka menatap bagaimana Lidia yang dibutakan amarah baru saja menampar Nandia.“Nandia!”Reihan menangkap tubuh ringkih Nandia yang terhuyung mundur akibat tamparan keras Lidia. Pria itu ingin sekali mengatakan berbagai hal saat ini, tapi Nandia telah terlebih dahulu mencengkeram tangannya, sekali lagi menghentikannya untuk ikut campur.Dengan usaha tegar, Nandia menegapkan tubuhnya. Namun, sebelum dia bisa melakukan apa pun lagi, seseorang kembali berkata, “Minta maaf.” Nandia mengangkat pandangannya. Kali ini, ternyata yang berbicara adalah Danu.Wajah pria itu sangat dingin seiring dirinya menegaskan, “Berhenti mempermalukan dirimu sendiri dan selesaikan masalah ini dengan cepat, Nandia.” Danu mengulangi, “Minta maaflah kepada Diana!”Di saat kalimat ini terucap,
“Nandia!”Teriakan Danu menggelegar di seisi kediamannya, membuat sejumlah pelayan tampak ketakutan melihat sang majikan merangsek beberapa kamar kediaman seperti orang gila.Ini adalah kali pertama, seorang Danu Hadiwijaya yang terkenal dingin dan tenang menampakkan wajah panik dan frustrasi seperti ini. Dan semua … diakibatkan sang istri, Nandia, yang menghilang tanpa jejak sama sekali.Danu berpindah dari kamar utama, kamar tamu, kamar pelayan, tapi semua kosong. Tidak ada sang istri di sana.“Kamu di mana Nandia!”Danu pun akhirnya keluar dari kamar dan mencari istrinya ke seluruh penjuru ruangan yang ada di rumah ini. Bahkan tempat Nandia biasa menghabiskan waktu pun dia datangi. Namun sang istri tak ada dimanapun.Danu tiba-tiba merasa ketakutan. Dia pun berteriak memanggil asisten rumah tangganya. Berharap mereka tahu di mana sang istri berada. “Resta!!”Dengan langkah tergopoh-gopoh, Resta, seorang perempuan paruh baya yang merupakan kepala pelayan di kediaman itu, menghadap
Menatap dua manik Danu yang memancarkan amarah, Reihan mendengus. “Setelah dia pergi, kamu baru ingat kalau dia istrimu? Kenapa tadi kamu malah membuang lebih banyak waktu mengkhawatirkan wanita lain yang bukan siapa-siapa untukmu? Aku sampai mengira Dianalah istrimu.”“Kamu–!”“Danu, sebenarnya … kenapa kamu menikahi Nandia?”Pertanyaan Reihan membuat Danu terdiam. “Apa kamu bahkan mencintainya?” Lidah Danu terasa kelu, dan wajahnya menampakkan ekspresi kebingungan.Cinta …? Danu tidak pernah mengerti hal tersebut.Sedari kecil, hidup Danu sudah diatur oleh keluarganya. Dia tumbuh besar sebagai pewaris sang ayah, dan pasangan hidupnya sudah ditetapkan oleh sang ibu.Semuanya sempurna, sampai akhirnya … dia bertemu dengan Nandia.Awalnya, wanita itu melamar sebagai sekretaris Danu. Dengan penampilan anggun, pembawaan tenang, dan juga kinerja yang cekatan, patut diakui bahwa Nandia adalah satu-satunya sekretaris yang Danu sukai. Pria itu bahkan tidak segan membawa Nandia ke berbagai
Diana sedang duduk di ruang tamunya, memandang layar laptop dengan senyum puas. Berbagai hujatan dilayangkan netizen pada Danu. Sementara dia, justru dibela dan dikasihani karena dianggap sebagai korban. "Bagus, semua berjalan sesuai rencana. Sebentar lagi, kamu akan tamat, Danu." Namun, senyum di wajahnya lenyap ketika berita baru muncul di layar. Sebuah artikel dari media ternama mengungkap fakta bahwa Diana telah bekerja sama dengan seorang wartawan bayaran untuk menyebarkan berita bohong tentang Danu. Bukti transfer uang dan percakapan antara Diana dan wartawan tersebut diunggah oleh pihak Danu, membuat publik kini menyerang Diana balik. Diana menutup laptopnya dengan kasar dan berdiri, mondar-mandir dengan gelisah. Dia meraih ponselnya dan menghubungi wartawan yang selama ini menjadi rekannya. “Kenapa kau bisa membiarkan semua ini bocor?” sergah Diana tanpa basa-basi begitu panggilan tersambung. “Aku tidak tahu, Bu Diana! Mereka punya akses ke rekaman percakapan kita da
Nandia menatap layar ponselnya, melihat dokumen gugatan cerai yang baru saja ia kirimkan ke pengadilan. Kali ini, ia tidak akan mundur. "Kamu pikir, kamu bisa mengikatku selamanya, Danu? Akan aku tunjukkan aku pun bisa melakukan apa yang aku mau. Kamu tidak akan bisa mengontrolku lagi," gumam Nandia. ---Di sisi lain, di kantor Danu, Galih masuk tergesa-gesa membawa kabar yang tak kalah mengejutkan."Tuan Danu," panggil Galih dengan nada cemas.Danu yang sedang berdiri di depan jendela besar hanya meliriknya sekilas. "Apa lagi sekarang?"Galih tampak ragu sejenak, tetapi akhirnya berbicara, "Nyonya Nandia... dia baru saja mengajukan gugatan cerai, Tuan."Danu tidak segera merespons. Ia hanya memutar tubuhnya perlahan, ekspresinya tetap tenang. "Gugatan cerai?" ulangnya, seolah kata-kata itu tidak memiliki bobot sama sekali."Ya, Pak. Saya baru mendapat informasi dari salah satu teman saya yang bekerja di pengadilan. Gugatan itu sudah resmi masuk," jelas Galih, mencoba membaca reaksi
“Masalah ini harus selesai dengan cepat,” gumam Danu, matanya masih terpaku pada dokumen yang baru saja dikirim oleh tim hukumnya. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Galih, asistennya, melangkah masuk dengan ekspresi gelisah. "Tuan, kami sudah menemukan siapa yang membocorkan foto dan pesan-pesan itu. Diana bekerja sama dengan seorang wartawan." Danu meletakkan dokumen di mejanya dengan gerakan perlahan, nyaris dingin. "Diana, wanita itu, tidak ada habisnya mengganggu hidupku," ujarnya, suaranya rendah tetapi penuh ancaman. "Dia benar-benar ingin bermain api." "Tapi, Pak, bukti yang dia tunjukkan cukup kuat untuk membuat publik percaya—" "Galih," potong Danu dengan tajam. "Aku tidak butuh pendapat tentang seberapa kuat bukti itu. Aku hanya ingin tahu, apa yang sudah kau siapkan untuk membungkamnya?" Galih menelan ludah, jelas merasa tertekan. "Tim hukum sedang menyusun tanggapan resmi, Pak. Tapi jika ini terus berlanjut, mungkin akan berdampak pada reputasi Anda—" "Reputasi
"Tuan, Anda harus segera melihat berita ini." Galih masuk tanpa mengetuk pintu dengan wajah cemas. "Ada apa Galih?" Tanya Danu bingung. Galih tidak menjawab, dia hanya memberikan handphone-nya pada sang majikan. Danu mengerutkan keningnya dan mengambil ponsel itu. Di layar terlihat berita yang sedang viral di hampir semua media sosial. Sebuah unggahan dari akun anonim menuduh bahwa Diana, seorang wanita muda, sedang hamil anak seorang CEO terkenal yang menolak bertanggung jawab. Meski nama Danu tidak disebutkan secara langsung, deskripsi dalam berita itu jelas mengarah padanya. Apalagi, dibawah berita itu ada foto-foto Danu saat mereka baru saja tiba di bandara beberapa bulan yang lalu. “Ini hanya lelucon, kan?” gumam Danu, wajahnya berubah dingin. Galih menggeleng. “Berita ini sudah menyebar luas, Pak. Bahkan beberapa rekan bisnis sudah menanyakannya. Mereka ingin tahu apakah ini benar.” Danu menaruh ponsel itu di meja dengan sedikit kekuatan, membuat suara berdenting yang
"Haah, lelahnya!" Keluh Danu saat mengendurkan dasinya. Beberapa hari ini, Danu terpaksa menginap di rumah sakit karena menemani Diana. Tadi pagi, wanita itu sudah pulang ke rumah. Jadi dia bisa tidur tenang malam ini. Dia sudah berjanji, tidak akan lagi mau peduli dengan urusan Diana. Gara-gara Diana, hubungannya dengan Nandia jadi berantakan sekarang. Saat Danu akan memejamkan mata, ponselnya berdering, nama Tante Lestari muncul di layar. Ia memandang layar itu beberapa detik sebelum akhirnya mengangkat dengan nada datar. “Ya, Tante?” “Danu,” suara Tante Lestari terdengar gelisah. “Tante perlu bicara denganmu. Ini soal Diana. Kamu bisa datang sekarang?” “Apa yang sebenarnya ingin Tante bicarakan?” tanyanya, nada suaranya lebih dingin dari biasanya. “Ini tidak bisa dibicarakan lewat telepon. Tolong, Danu. Ini penting.” Danu diam sejenak, mempertimbangkan. Namun, tidak ingin membiarkan situasi ini berlarut-larut, ia akhirnya menjawab, “Baik Tante, saya akan ke sana. Ini terakhi
Suara dering ponselnya membuyarkan lamunan Danu tentang Nandia dan Mike. Karena malas mengangkat, Danu pun mengabaikannya. Lelaki itu kembali menatap pemandangan kota Jakarta di sore hari. Namun, sepertinya, penelepon itu tak patah semangat, ponsel Danu kembali berdering. Danu pun melirik nama yang muncul di layar. Tante Lestari, Mama Nandia tertera disana. Danu mengerutkan dahinya. "Ada apa Mama Diana meneleponku?" Danu menghela napas sebelum mengangkat telepon. “Halo, Tante.” “Danu,” suara Tante Lestari terdengar gemetar. “Diana... dia—dia mencoba bunuh diri.” Danu terdiam. Ia merasa kesal, tetapi juga tak bisa mengabaikan kekhawatiran dalam suara perempuan yang sudah seperti ibu angkatnya itu. “Danu, aku mohon. Dia butuh kamu. Dia tidak akan mau bicara dengan siapa pun kecuali kamu. Bisakah kamu menjenguknya?” pinta Tante Lestari dengan nada memelas. “Tante maaf, saya sedang banyak pekerjaan yang tidak bisa saya tinggal,” jawab Danu, mencoba menghindar. “Tolong, Danu.
"Papa darimana?" tanya Niel saat bocah itu terbangun dan mencari sang ayah. Niel memang telah kembali sabtu sore, tapi minggu paginya, dia meminta Nandia kembali mengantarkannya ke rumah Danu dengan alasan ingin kembali berkuda. Niel bahkan membawa beberapa baju dan peralatan sekolahnya karena dia ingin menginap di rumah Danu sampai hari senin. Dia ingin seperti temannya yang diantarkan oleh ayahnya ke sekolah. --- Danu bernapas lega karena dia telah kembali tepat saat Niel baru terjaga, jadi bocah itu tidak tahu kalau dia meninggalkan dia sebentar tadi. Danu mengusap kepala Niel. "Papa baru selesai mengerjakan laporan, kenapa kamu terbangun?" tanya Danu menutupi kebohongannya.Bocah kecil itu memperlihatkan giginya yang putih. "Niel pengen buang air tadi, terus mencari Papa," jawabnya."Ya sudah, ayo kita tidur kembali," ajaknya. Amarahnya masih belum juga reda sejak dia meninggalkan rumah Nandia tadi. Ia kesal karena melihat kedekatan Nandia dengan pria lain. Ego dalam diri
Malam telah larut, tapi Danu masih terjaga di ruang kerjanya. Kepalanya bersandar di kursi besar, matanya menatap kosong ke langit-langit. Pikirannya berputar-putar, mengulang lagi dan lagi hal yang sama. Reihan dan sekarang Mike. Dua pria berbeda, tapi tujuannya satu: Nandia."Kenapa banyak sekali lelaki yang mendekatinya?" Danu mengepalkan tangannya. Berusaha meredam emosi setelah melihat foto yang dikirimkan oleh anak buahnya tadi. Sebagai seorang CEO, ia terbiasa mendapatkan apa yang ia inginkan tanpa harus bersusah payah. Tapi kali ini berbeda. Hatinya bergemuruh saat memikirkan kemungkinan terburuk: Nandia memilih meninggalkannya dan bersama pria lain. Bukan hanya egonya yang akan hancur, tapi juga perasaannya. Danu menghela napas panjang. Ia tidak bisa menyerah. Dia lalu mengambil kunci mobilnya dan pergi ke rumah Nandia, meski dia tahu, waktu sudah hampir tengah malam. --- Suara bel pintu membuyarkan lamunan Nandia. Wanita itu mengernyitkan dahinya. "Siapa yang bertamu te
"Hah! Tidak ada Niel, rumah jadi sepi. Kakek kalau sudah malam begini, pasti sudah tidur," gumam Nandia yang saat ini tengah duduk di sofa ruang tamu rumahnya.Tangannya sibuk menggonta-ganti saluran televisi mencari film yang enak dilihat. Namun, meski pandangannya tertuju pada layar televisi, pikirannya melayang pada Niel yang sedang menghabiskan waktu bersama danu. Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan membaca buku, namun gagal. Setiap halaman yang dibacanya terasa hampa, pikirannya terus kembali pada Niel. Mungkin aku terlalu bergantung pada anakku, pikirnya sambil menghela napas panjang. Saat ia memutuskan untuk beristirahat lebih awal malam itu, suara bel pintu membuatnya terkejut. Siapa yang datang malam-malam begini? Dengan rasa penasaran, ia membuka pintu dan menemukan Mike berdiri di sana. Mike, dengan penampilannya yang santai namun tetap tampan, mengenakan kemeja denim biru tua yang digulung hingga siku dan celana chinos. Senyum kecil terlukis di wajahnya. “Nand