Hari ini, para pelayan kediaman keluarga Hadiwijaya sibuk bekerja keras.
Danu Hadiwijaya, tuan mereka, akan segera pulang setelah melakukan perjalanan bisnis yang panjang. Di ruang tamu, duduk dengan anggun selagi menatap ponselnya, Nandia Amelia menunggu kedatangan sang suami dengan wajah sendu. “Nyonya, Tuan sudah datang,” ucap seorang pelayan, membuyarkan lamunan wanita itu. Langsung berdiri dari kursinya, Nandia berjalan menghampiri pintu utama. Dari sana, dia melihat sebuah mobil melesat masuk melewati gerbang, mengitari air mancur tengah taman, lalu berhenti tepat di tangga lobi kediaman. Saat pintu mobil mewah itu terbuka, seorang pria berkaki jenjang dan bertubuh dibalut jas hitam turun. Aura kekuasaan dan dominan menguar kuat dari dirinya. Itulah dia, Danu Hadiwijaya, pemimpin perusahaan XYZ yang sempat menjadi pria bujangan paling menggiurkan di negara tersebut. Dia juga suami Nandia. “Mas,” sapa Nandia seraya meraih tas kerja di tangan Danu. “Kau ingin makan dulu atau langsung man—” “Ganti pakaianmu dan tunggu di kamar,” potong pria itu dengan suara rendah sebelum langsung berjalan meninggalkannya ke lantai atas. Walau untuk sesaat ekspresi Nandia tampak terkejut, tapi hal itu hanya bertahan sekilas. Karena detik berikutnya, dengan tenang dia berkata kepada salah seorang pelayan, “Tuan lelah, bereskan saja makanan di meja makan dan hangatkan kalau dia memintanya nanti.” Usai menurunkan perintah itu, Nandia gegas melangkah ke lantai atas untuk masuk ke dalam kamarnya. Dia tahu betapa sang suami tak suka dibantah, jadi lebih baik tak banyak bertanya mengenai apa yang terjadi dan menurut saja. Setelah mengganti pakaian dan menunggu beberapa saat di kamarnya, tak berapa lama pintu terbuka dan Danu pun masuk ke dalam ruangan. Nandia melihat pria itu hanya mengenakan handuk yang terlilit di pinggang, mempertontonkan ototnya yang sempurna. Saat Nandia berniat untuk berdiri dan menghampiri, tak disangka Danu berjalan mendekat dan malah mendorongnya ke tempat tidur. Pria itu mulai menciumnya dengan buas, tak sedikit pun memberinya napas. Beberapa bulan dinas di luar kota sepertinya membuat Danu semakin bergairah, dan Nandia tak mampu mengimbangi. Aneh, biasanya Danu tidak seperti ini. Walau pria dingin ini memang hangat di atas ranjang, tapi … tidak pernah sepanas ini! “Mas …!” panggil Nandia dengan sedikit meringis, merasakan Danu menyatukan diri dengannya secara paksa. Namun, pria itu seakan tuli dan tidak peduli, menyebabkan air mata Nandia mengalir dalam saat Danu menghentakkan diri dalam. Berkali-kali mereka melakukannya, tapi hanya ketika pagi menyingsing, barulah Danu melepaskan Nandia. Saat Danu selesai membersihkan diri, ponselnya tiba-tiba berdering. Dia mengangkatnya. “Ada apa, Diana?” Diana, nama itu bagaikan belati yang menusuk hati Nandia. Bukan tanpa sebab, melainkan karena nama tersebut adalah nama teman masa kecil Danu sekaligus wanita yang sempat dijodohkan dengannya oleh sang ibu. Sayang, karena kehadiran Nandia, juga pernikahannya dengan Danu, perjodohan keduanya pun harus berakhir. Walau demikian, bahkan setelah Nandia telah menjadi istri Danu untuk tiga tahun lamanya, tak pernah pria itu memperlakukan dirinya selembut Diana. Seperti sekarang. “Aku mengerti. Aku akan segera ke sana. Tunggu.” Gegas mengenakan pakaiannya, Danu langsung berniat meninggalkan ruangan. “Mas mau ke mana?” tanya Nandia, yang telah mengenakan seluruh pakaiannya lagi. Menatap Nandia sekilas, Danu kembali mengalihkan pandangan ke jam tangannya. “Apa urusanmu?” Dijawab seperti itu, Nandia tersenyum pahit. “Bukankah aku istrimu?” Detik itu, Danu membeku untuk sesaat, sebelum kemudian lanjut berusaha mengenakan jam tangannya. Selesai mengenakan jam tangan itu, Danu meraih jasnya, lalu membuka pintu. “Kamu akan menemui Diana?” Langkah Danu terhenti. Pria itu pun menghela napas, lalu berbalik dan menatap Nandia. “Uang bulanan bulan ini sudah kukirimkan. Gunakanlah sesukamu,” ucapnya. “Kalau misalkan kurang, cukup katakan langsung. Tidak perlu berbelit.” Mendengar balasan suaminya itu, ekspresi Nandia berubah diselimuti rasa tidak percaya. Apa ini masalah uang bulanan? Apa Danu mengira bahwa kali ini Nandia secara frontal mempertanyakan kepergiannya menemui Diana karena uang bulanan yang dikirimkan olehnya kurang? Apa pria itu menganggapnya sebagai pelacur yang sedang menuntut bayaran?! Karena tidak ada balasan dari Nandia, Danu yang kentara tidak lagi sabar menunggu pun berkata, “Aku pergi dulu. Kalau ada apa-apa, hubungi saja sekretaris—” “Mas, mari kita bercerai.”Sejenak, Danu terdiam membeku, sedikit terkejut dengan permintaan sang istri. Lelaki itu pun membalikkan badannya, menatap Nandia dengan tatapan menghunus tajam. “Apa katamu?” tanyanya dengan nada tidak percaya. “Bercerai?” Nandia berusaha menguatkan hatinya. Biasanya, kalau Danu sudah menatapnya seperti itu, dia akan menundukkan kepalanya karena takut pada lelaki itu. Namun, tidak sekarang. “Benar, aku ingin bercerai.”Danu mengerutkan keningnya. “Sandiwara macam apa lagi yang sedang kamu mainkan?”Sandiwara …Tuduhan itu bak belati yang mengiris hati Nandia tiap kali Danu menudingnya.“Aku lelah, Mas …” tutur Nandia jujur, mengabaikan tuduhan Danu perihal sandiwara. “Kalau memang tidak saling cinta dan hatimu ada pada wanita lain, maka untuk apa mempertahankan pernikahan ini?” Dia menatap Danu lurus.Mendengar ucapan itu keluar dari bibir Nandia, wajah Danu berubah semakin gelap. “Diana bukan ‘wanita lain’. Dia jauh lebih baik dari itu,” ucap pria itu, membuat hati Nandia bak ber
Saat Danu dan Nandia masuk ke dalam rumah mewah itu, semua orang langsung terdiam. Seolah mereka baru saja selesai menggunjingkan orang yang baru saja tiba.Begitu sampai di hadapan Lidia, ibunda Danu, Danu langsung memeluk ibunya itu dan berkata, “Selamat ulang tahun Ma. Semoga Mama sehat selalu dan diberi umur yang panjang,” ucap Danu sambil memeluk sang mama.“Oh ya ampun, Danu! Terima kasih, Sayang!” Wanita itu membalas pelukan sang putra hangat. “Mama pikir kamu tidak datang, Nak! Kenapa kamu lama sekali? Diana sudah menunggumu dari tadi, temuilah dia,” ucap Lidia sambil mengarahkan Danu ke arah seorang wanita cantik di ujung ruangan.Di saat itu, dari arah yang berlawanan, Nandia melihat wanita cantik dengan gaun merah menyala berjalan berlenggak lenggok mendekat ke arahnya. Dia adalah Diana.“Hai Danu, aku kangen banget sama kamu,” ucap wanita itu sambil memeluk dan mencium pipi Danu. Keduanya tampak seperti dua kekasih yang lama tak bertemu.Padahal, jelas-jelas mereka berdua
“R-Reihan!?” Nandia memanggil setengah berseru sebelum akhirnya menjauh dari pelukan pria itu.“Apa yang kamu lakukan di sini!?”Reihan Hadiwijaya, putra tunggal dari paman kedua Danu. Hal tersebut menjadikannya sepupu dari suami Nandia tersebut. Berbeda dari Danu yang memiliki sifat dingin dan dominan, Reihan adalah pria yang lembut dan hangat, dan dia adalah satu-satunya orang dari keluarga Hadiwijaya yang baik kepada Nandia.Mendengar pertanyaan Nandia yang aneh, Reihan tertawa. “Ini pesta ulang tahun bibiku. Tentu saja aku harus ada di sini,” jawab pria itu santai.“A-ah, benar juga ….” Nandia merasa bodoh menanyakan hal tersebut.Menatap Nandia dengan saksama, lalu melirik sekilas sosok Danu yang sedang bersama dengan Diana, Reihan berkata, “Bisa kulihat suamimu berulah lagi.”Pernyataan itu membuat Nandia tersentak, hanya untuk sesaat sebelum dia kemudian tersenyum tipis. “Dia hanya berbincang dengan kawan lama,” jawabnya.Reihan beralih menatap Nandia yang berusaha memaksakan s
“Apa?” Diana tampak terkejut.Nandia menggeser pandangannya ke arah Diana dan berucap dengan dingin, “Mau kalian tidur bersama atau tidak, itu bukan urusanku lagi. Kalau kamu memang begitu haus belaian seorang Danu Hadiwijaya, silakan saja ambil dia dariku.”Nandia bisa melihat jelas bagaimana ekspresi Diana sangat kaget mendengar kalimat yang dirinya ucapkan. Tentunya, tidak Diana sangka kalau Nandia bisa bersikap begitu tidak peduli terhadap hubungannya dengan Danu.Lagi pula, selama tiga tahun ini, setiap kali Diana berusaha menyakitinya, wanita itu selalu berhasil mendapatkan reaksi dari Nandia.Namun, tidak dengan sekarang. Nandia tidak ingin terlihat lemah–walau pada kenyataannya hatinya sedang berdarah.Tidak ingin isi hatinya terbongkar, Nandia pun gegas berkata, “Kalau tidak ada hal lain yang ingin kamu katakan, aku permisi.”Wanita itu pun berbalik, meninggalkan area kolam renang yang terasa sesak baginya.Namun, belum ada satu langkah Nandia ambil, sebuah tangan menariknya
*Beberapa saat yang lalu*Saat tubuhnya menabrak permukaan kolam, pandangan Nandia langsung buyar akibat pening yang menyerang. Dirinya berusaha untuk menggapai permukaan, tapi ketidakmampuannya untuk berenang membuatnya malah menelan air banyak dan berakhir kesulitan bernapas.Saat Nandia merasa pandangannya menggelap, tiba-tiba dia merasakan sebuah tangan yang menariknya ke atas. “Nandia!” Seseorang meneriakkan namanya dengan penuh kekhawatiran, tapi mata Nandia masih tertutup rapat akibat kesadarannya yang masih berada di ambang kegelapan.Samar, Nandia juga merasakan seseorang menyentuh bibirnya, menghembuskan napas bergantian dengan tangan yang menekan dadanya kuat berkali-kali–mencoba menyadarkannya.Sampai akhirnya…“Uhuk-uhuk.” Nandia terbatuk, mengeluarkan air dari paru-parunya. “Nandia!” panggil seseorang, membuat Nandia yang memiringkan tubuhnya setelah memuntahkan air mengangkat pandangan, melihat keberadaan Reihan yang tampak basah kuyup dan begitu khawatir.Ah … jadi R
PLAK!“Istri macam apa kamu sehingga berkata seperti itu mengenai suamimu sendiri!? Memang dasar menantu tidak berguna! Bisanya hanya membuat malu keluarga ini!”Tamparan yang begitu keras membuat semua orang terkesiap. Mereka menatap bagaimana Lidia yang dibutakan amarah baru saja menampar Nandia.“Nandia!”Reihan menangkap tubuh ringkih Nandia yang terhuyung mundur akibat tamparan keras Lidia. Pria itu ingin sekali mengatakan berbagai hal saat ini, tapi Nandia telah terlebih dahulu mencengkeram tangannya, sekali lagi menghentikannya untuk ikut campur.Dengan usaha tegar, Nandia menegapkan tubuhnya. Namun, sebelum dia bisa melakukan apa pun lagi, seseorang kembali berkata, “Minta maaf.” Nandia mengangkat pandangannya. Kali ini, ternyata yang berbicara adalah Danu.Wajah pria itu sangat dingin seiring dirinya menegaskan, “Berhenti mempermalukan dirimu sendiri dan selesaikan masalah ini dengan cepat, Nandia.” Danu mengulangi, “Minta maaflah kepada Diana!”Di saat kalimat ini terucap,
“Nandia!”Teriakan Danu menggelegar di seisi kediamannya, membuat sejumlah pelayan tampak ketakutan melihat sang majikan merangsek beberapa kamar kediaman seperti orang gila.Ini adalah kali pertama, seorang Danu Hadiwijaya yang terkenal dingin dan tenang menampakkan wajah panik dan frustrasi seperti ini. Dan semua … diakibatkan sang istri, Nandia, yang menghilang tanpa jejak sama sekali.Danu berpindah dari kamar utama, kamar tamu, kamar pelayan, tapi semua kosong. Tidak ada sang istri di sana.“Kamu di mana Nandia!”Danu pun akhirnya keluar dari kamar dan mencari istrinya ke seluruh penjuru ruangan yang ada di rumah ini. Bahkan tempat Nandia biasa menghabiskan waktu pun dia datangi. Namun sang istri tak ada dimanapun.Danu tiba-tiba merasa ketakutan. Dia pun berteriak memanggil asisten rumah tangganya. Berharap mereka tahu di mana sang istri berada. “Resta!!”Dengan langkah tergopoh-gopoh, Resta, seorang perempuan paruh baya yang merupakan kepala pelayan di kediaman itu, menghadap
Menatap dua manik Danu yang memancarkan amarah, Reihan mendengus. “Setelah dia pergi, kamu baru ingat kalau dia istrimu? Kenapa tadi kamu malah membuang lebih banyak waktu mengkhawatirkan wanita lain yang bukan siapa-siapa untukmu? Aku sampai mengira Dianalah istrimu.”“Kamu–!”“Danu, sebenarnya … kenapa kamu menikahi Nandia?”Pertanyaan Reihan membuat Danu terdiam. “Apa kamu bahkan mencintainya?” Lidah Danu terasa kelu, dan wajahnya menampakkan ekspresi kebingungan.Cinta …? Danu tidak pernah mengerti hal tersebut.Sedari kecil, hidup Danu sudah diatur oleh keluarganya. Dia tumbuh besar sebagai pewaris sang ayah, dan pasangan hidupnya sudah ditetapkan oleh sang ibu.Semuanya sempurna, sampai akhirnya … dia bertemu dengan Nandia.Awalnya, wanita itu melamar sebagai sekretaris Danu. Dengan penampilan anggun, pembawaan tenang, dan juga kinerja yang cekatan, patut diakui bahwa Nandia adalah satu-satunya sekretaris yang Danu sukai. Pria itu bahkan tidak segan membawa Nandia ke berbagai
Enam bulan kemudian ..."Mas, sepertinya, aku akan melahirkan," teriak Nandia saat Danu akan memulai kegiatan panasnya."Sayang, kamu jangan bercanda. Aku belum mulai nih," keluh Danu saat lelaki itu mencumbu istrinya.Nandia mendorong tubuh sang suami. "Mas, aku beneran. Ketubanku sudah pecah!""Apa!"Danu pun segera memakaikan pakaian di tubuh sang istri. Setelah itu memakai pakaiannya sendiri. Dia lalu menggendong sang istri kemudian berteriak pada sopir untuk menyiapkan mobilnya.Mobil pun segera melaju ke rumah sakit tempat Nandia periksa kandungan. Danu sudah menelepon pihak rumah sakit agar dokter kandungan Nandia sudah stand by disana saat mereka tiba di rumah sakit.Tak lama kemudian, Danu sudah sampai di rumah sakit. Nandia langsung dibawa ke ruang bersalin. Danu pun mengikutinya dari belakang.Danu ingin masuk ke dalam, tapi dilarang oleh perawat. Ternyata, air ketuban Nandia telah habis. Akan sangat menyakitkan jika Nandia memaksa melahirkan secara normal.Dengan terpaks
“Reihan, Tasya tidak akan melarikan diri. Jadi, kamu jangan gugup seperti itu,” ujar Danu yang bermaksud menghibur sepupunya.Reihan hanya tersenyum kecut melihat candaan Danu yang sama sekali nggak lucu itu."Kamu nggak usah menasehatiku! Kamu nggak tahu bagaimana rasanya menikah. Ohh iya, aku lupa, kamu dulu menikahi Nandia dengan terpaksa ya, jadi tidak merasa gugup sama sekali, yang ada, kamu malah kesel karena menikah dengannya." Reihan membalasnya dengan sindiran membuat Danu langsung memukul saudara sepupunya dengan tongkat penyanggah kakinya.Kedua saudara sepupu itu memang seperti tom and jerry jika bertemu. Meskipun, jauh di dalam lubuk hati, mereka saling menyayangi. Buktinya, meski keadaannya belum sehat, danu memaksakan hadir di pernikahan saudara sepupunya.Bukannya mengaduh kesakitan, Reihan justru tertawa kecil, sambil menggelengkan kepala. “Aku hanya bercanda. Meski aku belum mencintai Tasya, tapi aku ingin memastikan semuanya sempurna untuknya.” “Percayalah, Tasya h
"Mike, kamu datang?" tanya Nandia yang kaget saat melihat Mike tiba-tiba berdiri di depan ruangan Danu. Lelaki itu memancarkan senyum manis menatap wanita yang hingga saat ini menempati tahta tertinggi di hatinya. "Aku ingin melihatmu Nandia. Sudah lama kamu tidak ke kantor, sekaligus, membawa file yang harus kamu tandatangani, dan ... aku ingin bicara serius denganmu." "Sebentar ya Mike, aku masih harus membersihkan bekas mandi Danu dulu. Danu tidak nyaman jika dimandikan oleh perawat" Mike berdiri memandangi Nandia yang sedang membawa air bekas mandi Danu ke kamar mandi . Hatinya terasa berat, tapi ia tahu bahwa sudah tidak ada lagi kesempatan baginya. Dan sekarang, saatnya dia harus pergi. Danu memerhatikan Mike dari sudut matanya, merasa ada sesuatu yang ingin disampaikan pria itu. Namun, sebelum ia sempat bertanya, Nandia berbalik dan menghampiri Mike. “Mike, ada yang ingin kamu bicarakan?” tanya Nandia, tersenyum lembut. Mike mengangguk, lalu memberi isyarat agar mer
Nandia masih gemetar setelah insiden mengerikan itu. Dia duduk di sofa kecil di sudut ruangan, ditemani Galih dan Kakek Anggara. Meski tubuhnya lelah, pikirannya terus berpacu. Tatapan penuh kekhawatiran menghiasi wajahnya saat memandangi Danu yang masih terbaring lemah di ranjang dengan alat-alat medis yang membantu kehidupannya. “Jadi, pria itu mengincar Danu?” tanya Kakek Anggara dengan suara berat, matanya menatap tajam ke arah Galih. “Ini jelas bukan kebetulan.” Galih, yang sejak tadi tampak gelisah, mengangguk pelan. “Betul, Kek. Dia bukan orang biasa. Dari identitas yang kami dapat, dia bernama Reno, mantan kekasih Diana. Ini bukan pertama kalinya dia berurusan dengan hal-hal berbahaya.” Mendengar itu, Nandia langsung menatap Galih dengan mata melebar. “Mantan kekasih Diana? Jadi... ini semua ada hubungannya dengan Diana? Tapi, dia sudah dipenjara. Bagaimana mungkin?” Galih menghela napas berat. “Kita belum tahu sejauh apa keterlibatan Diana. Tapi dari pengakuan sementa
“Aku akan sembuh… demi kamu… demi anak-anak kita…” Nandia mengangguk penuh keyakinan. Dalam hatinya, ia tahu bahwa perjuangan mereka belum selesai, tetapi dengan kehadiran Danu di sisinya, ia merasa mampu menghadapi segalanya. --- Di luar kamar, suara malam perlahan mereda. Namun, di dalam ruang VVIP itu, cinta dan harapan kembali tumbuh. Nandia menggenggam tangan Danu erat, bersumpah dalam hatinya untuk melindungi keluarga kecil mereka dengan segenap tenaga. Di sisi lain, Lidia tersenyum sambil memandangi mereka dari kejauhan, yakin bahwa mukjizat ini adalah awal dari lembaran baru untuk mereka semua. Nandia kembali duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Danu yang masih lemah. Rasa syukur yang sempat membanjiri hatinya kini bercampur dengan kecemasan, terutama setelah mendengar bisikan samar Danu sebelum tak sadarkan diri lagi. Namun, ia mencoba menenangkan dirinya. Beberapa saat kemudian, pintu kamar VVIP itu terbuka perlahan. Seorang pria berpakaian putih lengkap denga
"Danu, kamu harus bangun Danu! Aku mencintaimu!" Tubuh Nandia bergetar hebat saat ia memeluk Danu, mencoba membangunkan suaminya yang tak lagi memberikan respons. Air matanya membasahi baju rumah sakit Danu yang terasa dingin. Monitor jantung di samping tempat tidur masih menunjukkan garis lurus yang menandakan Danu telah pergi untuk selamanya. “Danu, bangun! Aku butuh kamu… Niel butuh kamu…dan anak yang aku kandung ini juga butuh kamu,” isaknya putus asa. Tangannya yang gemetar terus mengguncang tubuh Danu, berharap ada keajaiban dan sang suami bangun kembali. Namun, tubuh itu tetap tak bergerak. Di sudut ruangan, Niel masih berdiri kaku, matanya terus menatap tubuh ayahnya. Lidia, yang berada di sampingnya, hanya bisa memeluk cucunya erat, berusaha memberikan ketenangan meski hatinya juga remuk redam. “Papa nggak akan bangun lagi ya, Oma?” bisik Niel dengan suara kecil, penuh ketakutan. Lidia mengusap kepala Niel, berusaha menahan tangis. “Kita berdoa saja ya, Sayang. H
Di ruang perawatan VVIP, suasana penuh keheningan yang menyayat hati. Monitor jantung Danu berbunyi lemah, menunjukkan garis naik turun yang semakin lambat. Nandia duduk di sisi tempat tidur, menggenggam tangan suaminya yang dingin. Air matanya tak pernah berhenti mengalir sejak Danu mengalami penurunan tadi. Meski kondisinya masih lemah. Dia tak ingin kehilangan momen bersama suaminya. Di sudut ruangan, Niel berdiri dekat Lidia, wanita paruh baya itu benar-benar sudah berubah. Sedari kemarin, dia merawat Nandia hingga kondisinya membaik. Wajah Lidia pun terlihat cemas, sementara tangannya memegang bahu Niel yang gemetar. “Nandia, kamu harus makan sesuatu. Kamu nggak bisa terus seperti ini,” ujar Lidia pelan, mencoba membujuk menantunya. Namun, Nandia menggeleng dengan lemah. “Aku nggak bisa, Ma. Aku nggak akan meninggalkan Danu, walaupun hanya sedetik.” Lidia menghela napas panjang. "Nandia, kamu harus makan, demi bayi yang ada dalam kandunganmu. Dia butuh asupan makanan untu
Di Rumah Sakit Saat ambulan tiba di rumah sakit, dokter langsung membawa Danu ke ruang operasi. Karena saat berada di dalam ambulan, dokter jaga sudah memeriksa keadaan Danu. Nandia mengikuti brankar Danu dari belakang sambil menggendong Niel. Meski bocah itu tak mau digendong, tetapi Nandia tak tega. Apalagi, saat melihat luka di leher dan juga di pipi sang putra. Meskipun sudah diobati saat di ambulan tadi, tetap saja, Nandia merasa bersalah karena tidak mampu melindungi putranya. Pintu ruang operasi tertutup rapat, di atasnya lampu merah menyala, menandakan operasi Danu sedang berlangsung. Waktu terasa berjalan begitu lambat. “Mama, apa Papa akan baik-baik saja?” tanya Niel, suaranya serak. Nandia mengelus kepala putranya dengan lembut, meski hatinya penuh kecemasan. “Papa kamu kuat, Niel. Dia pasti akan bertahan.” Niel hanya menganggukkan kepalanya. Matanya terus menatap pintu ruangan operasi. Rasa khawatir pada sang ayah begitu besar. Beberapa saat kemudian, dokter
Wajah Danu tetap datar, meskipun di dalam hatinya ingin rasanya dia menghancurkan pintu itu. "Tunggu aba-abaku," katanya dingin. Namun, di dalam gudang, Andra mulai merasa ada yang aneh. "Hei, kau dengar sesuatu?" tanyanya pada salah satu pria. "Apa maksudmu?" Andra melangkah ke arah pintu, mencoba memastikan, tetapi saat itu juga Danu memberi isyarat. "Sekarang!" Pintu gudang diterjang oleh salah satu anak buahnya, dan kelompok itu langsung menyerbu masuk. Tembakan peringatan dilepaskan ke udara, membuat semua orang di dalam panik. "Andra!" suara Danu menggema di ruangan itu. "berani kau menyentuh anakku, dan aku akan memastikan kau tak punya tempat untuk bersembunyi." Andra tertegun, tetapi ia segera mengambil pistol dari pinggangnya. "Berhenti di situ, Danu, atau anakmu akan meninggal!" ancamnya, mengarahkan pistol ke kepala Niel. Niel menatap Danu dengan tenang, seolah tahu bahwa ayahnya tak akan kalah dalam situasi ini. "Lepaskan dia," ucap Danu, suaranya rendah