*Beberapa saat yang lalu*
Saat tubuhnya menabrak permukaan kolam, pandangan Nandia langsung buyar akibat pening yang menyerang. Dirinya berusaha untuk menggapai permukaan, tapi ketidakmampuannya untuk berenang membuatnya malah menelan air banyak dan berakhir kesulitan bernapas. Saat Nandia merasa pandangannya menggelap, tiba-tiba dia merasakan sebuah tangan yang menariknya ke atas. “Nandia!” Seseorang meneriakkan namanya dengan penuh kekhawatiran, tapi mata Nandia masih tertutup rapat akibat kesadarannya yang masih berada di ambang kegelapan. Samar, Nandia juga merasakan seseorang menyentuh bibirnya, menghembuskan napas bergantian dengan tangan yang menekan dadanya kuat berkali-kali–mencoba menyadarkannya. Sampai akhirnya… “Uhuk-uhuk.” Nandia terbatuk, mengeluarkan air dari paru-parunya. “Nandia!” panggil seseorang, membuat Nandia yang memiringkan tubuhnya setelah memuntahkan air mengangkat pandangan, melihat keberadaan Reihan yang tampak basah kuyup dan begitu khawatir. Ah … jadi Reihan yang menolongnya? Reihan memeluk Nandia erat. “Syukurlah …” ucap pria itu seraya menutup mata, tidak berkata banyak dan hanya mensyukuri kehangatan tubuh Nandia yang sempat terbujur kaku di sisi kolam renang. Menjauhkan tubuh Nandia, pria itu mengecek keadaan wanita tersebut dengan saksama, “Bagaimana keadaanmu? Ada yang sakit?” Nandia menggelengkan kepalanya dengan tubuh menggigil, membuat Reihan langsung melepaskan jasnya untuk menghangatkan tubuh Nandia. “Ya, kamu baik-baik saja sekarang. Aku ada di sini, oke?” ulang Reihan berkali-kali. Entah apa pria itu sedang meyakinkan Nandia atau dirinya sendiri …. Sementara itu, pandangan Nandia beralih ke belakang Reihan, tertancap tepat pada sosok Danu yang berada di sisi Diana. Hal itu membuat Nandia tertawa pahit dalam hati. Sungguh suami yang luar biasa. Istrinya hampir saja mati tenggelam, tapi pria itu lebih memilih menyelamatkan wanita lain dan menjaganya seperti permata. Mungkin, memang benar, di mata Danu … dirinya tidak lebih dibandingkan sebongkah batu tidak berharga. Usai memakaikan jaket kepada Nandia, Reihan pun menyadari arah pandang wanita tersebut. Pria itu bertanya, “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu dan Diana terjatuh ke kolam?” Dia terdiam sesaat, lalu mengambil satu kesimpulan yang berani, “Wanita itu mendorongmu?” Mata Nandia terpaku pada sosok Diana saat pertanyaan itu terlontar, dan wanita tersebut pun semakin mendekatkan diri ke dalam pelukan suaminya, seakan meminta perlindungan. Hal itu membuat Nandia mendengus dan menggelengkan kepala. “Antarkan aku pulang saja.” Reihan terdiam, merasa ada yang tidak beres. Akan tetapi, dia langsung mengangguk dan menggendong Nandia, sontak mengundang reaksi dari sejumlah pihak–termasuk di antaranya Danu, yang menampakkan wajah gelap. Nandia sendiri agak terkejut dengan perlakuan Reihan. Dia ingin meminta diturunkan, tapi hal tersebut jelas akan mempersulit posisi Reihan di depan publik. Toh, sudah terlanjur terlihat juga. Jadi, dia diam saja. Saat Reihan baru saja mengambil satu langkah untuk pergi, sebuah suara mendadak berseru, “Nandia!” Panggilan itu membuat Reihan dan Nandia menoleh. Itu Diana. “Aku tulus meminta maaf karena telah berdansa dengan Danu, tapi kenapa kau harus mendorongku ke air?” Pertanyaan itu sontak menciptakan keributan di tengah pesta yang telah kacau tersebut. Orang-orang yang sudah berspekulasi, semakin ribut akibat ucapan Diana yang mengundang sindiran. Jadi, kekacauan ini terjadi akibat kecemburuan Nandia! “Tutup mulutmu,” geram Reihan dengan wajah tidak bersahabat, membuat Diana tersentak. “Aku tahu jelas Nandia orang yang seperti apa, dan dia tidak mungkin melakukan hal tersebut!” Mata Diana membulat, terlihat akan menangis seiring dirinya menampakkan wajah memelas. “Kau menuduhku berbohong, Rei?” Reihan menggertakkan gigi. “Aku–” Nandia mengangkat tangannya, menghentikan Reihan untuk terlibat semakin dalam. Bagaimanapun, ini adalah masalah yang terjadi karena hubungan pribadinya dengan Diana, dan Reihan tidak seharusnya dirugikan dengan terlibat hal semacam ini. “Turunkan aku,” pinta Nandia. Awalnya, Reihan sempat ingin menolak. Akan tetapi, tekad di mata Nandia, juga sifat keras wanita itu membuat pria tersebut akhirnya menurut. Setelah memijakkan kaki di lantai dingin, Nandia menatap lurus ke arah Diana yang sekarang berhadap-hadapan dengannya. “Kau dan aku sangat jelas kejadian yang sebenarnya terjadi seperti apa, Diana. Oleh karena itu, mari kita berterus-terang saja tanpa sandiwara,” ucap Nandia. “Apa sebenarnya yang kamu inginkan?” tanya Nandia secara terus-terang, tidak lagi peduli dengan pandangan orang-orang kepadanya. “Aku ingin tahu kenapa kamu tega mendorongku? Apa ini karena Danu menemaniku tadi malam di rumahku? Padahal, kamu tahu jelas kami tidak mungkin berbuat apa-apa, kenapa kamu harus cemburu dan memperlakukanku seperti ini?” ucap Diana dengan suara cukup keras sehingga terdengar oleh semua tamu yang hadir. Mendengar itu, Lidia segera berdiri dan menatap menantunya dengan tatapan tajam dan penuh kemarahan. “Nandia, apakah benar apa yang dikatakan Diana? Kau mendorongnya hanya karena cemburu?” Nandia merasa ingin tertawa. Bukankah tadi Diana mengatakan ini mengenai masalah berdansa dengan Danu? Kenapa jadi mengungkit masalah tadi malam? Pembahasan masalah yang tidak konsisten ini saja sudah sangat aneh! Apa orang-orang ini begitu buta dan bias sehingga tidak bisa menyadari siapa yang sedang berusaha memanipulasi keadaan? Dengan lelah, Nandia menjawab, “Aku tidak melakukan apa pun, jadi aku tidak perlu menjelaskan apa-apa. Mengenai kecemburuan yang Diana ungkit, bukankah sudah kukatakan sebelumnya dengan sangat jelas?” Di saat ini, Nandia menatap Danu lurus. “Aku tidak peduli mengenai apa yang suamiku ingin lakukan di luar sana, dan dengan wanita mana dia habiskan malamnya.” Wanita itu berucap datar seraya menegaskan, “Lagi pula, dia bukan tanggung jawabku.”PLAK!“Istri macam apa kamu sehingga berkata seperti itu mengenai suamimu sendiri!? Memang dasar menantu tidak berguna! Bisanya hanya membuat malu keluarga ini!”Tamparan yang begitu keras membuat semua orang terkesiap. Mereka menatap bagaimana Lidia yang dibutakan amarah baru saja menampar Nandia.“Nandia!”Reihan menangkap tubuh ringkih Nandia yang terhuyung mundur akibat tamparan keras Lidia. Pria itu ingin sekali mengatakan berbagai hal saat ini, tapi Nandia telah terlebih dahulu mencengkeram tangannya, sekali lagi menghentikannya untuk ikut campur.Dengan usaha tegar, Nandia menegapkan tubuhnya. Namun, sebelum dia bisa melakukan apa pun lagi, seseorang kembali berkata, “Minta maaf.” Nandia mengangkat pandangannya. Kali ini, ternyata yang berbicara adalah Danu.Wajah pria itu sangat dingin seiring dirinya menegaskan, “Berhenti mempermalukan dirimu sendiri dan selesaikan masalah ini dengan cepat, Nandia.” Danu mengulangi, “Minta maaflah kepada Diana!”Di saat kalimat ini terucap,
“Nandia!”Teriakan Danu menggelegar di seisi kediamannya, membuat sejumlah pelayan tampak ketakutan melihat sang majikan merangsek beberapa kamar kediaman seperti orang gila.Ini adalah kali pertama, seorang Danu Hadiwijaya yang terkenal dingin dan tenang menampakkan wajah panik dan frustrasi seperti ini. Dan semua … diakibatkan sang istri, Nandia, yang menghilang tanpa jejak sama sekali.Danu berpindah dari kamar utama, kamar tamu, kamar pelayan, tapi semua kosong. Tidak ada sang istri di sana.“Kamu di mana Nandia!”Danu pun akhirnya keluar dari kamar dan mencari istrinya ke seluruh penjuru ruangan yang ada di rumah ini. Bahkan tempat Nandia biasa menghabiskan waktu pun dia datangi. Namun sang istri tak ada dimanapun.Danu tiba-tiba merasa ketakutan. Dia pun berteriak memanggil asisten rumah tangganya. Berharap mereka tahu di mana sang istri berada. “Resta!!”Dengan langkah tergopoh-gopoh, Resta, seorang perempuan paruh baya yang merupakan kepala pelayan di kediaman itu, menghadap
Menatap dua manik Danu yang memancarkan amarah, Reihan mendengus. “Setelah dia pergi, kamu baru ingat kalau dia istrimu? Kenapa tadi kamu malah membuang lebih banyak waktu mengkhawatirkan wanita lain yang bukan siapa-siapa untukmu? Aku sampai mengira Dianalah istrimu.”“Kamu–!”“Danu, sebenarnya … kenapa kamu menikahi Nandia?”Pertanyaan Reihan membuat Danu terdiam. “Apa kamu bahkan mencintainya?” Lidah Danu terasa kelu, dan wajahnya menampakkan ekspresi kebingungan.Cinta …? Danu tidak pernah mengerti hal tersebut.Sedari kecil, hidup Danu sudah diatur oleh keluarganya. Dia tumbuh besar sebagai pewaris sang ayah, dan pasangan hidupnya sudah ditetapkan oleh sang ibu.Semuanya sempurna, sampai akhirnya … dia bertemu dengan Nandia.Awalnya, wanita itu melamar sebagai sekretaris Danu. Dengan penampilan anggun, pembawaan tenang, dan juga kinerja yang cekatan, patut diakui bahwa Nandia adalah satu-satunya sekretaris yang Danu sukai. Pria itu bahkan tidak segan membawa Nandia ke berbagai
Detik pertanyaan itu diajukan, wajah Nandia memucat. Dan wajah wanita itu adalah jawaban bagi sang kakek.Anggara menghela napas berat dan berkata, “Kau … ingin memberitahukan hal ini kepada pria itu?”Menggertakkan gigi dan mengepalkan tangan, Nandia langsung menjawab, “Tidak. Tidak akan pernah.” Dia mengelus perutnya yang masih rata dan menjawab, “Kalau aku memang hamil dan sedang mengandung, maka anak ini adalah anakku seorang dan sama sekali tidak ada hubungan dengan pria itu!”*Empat tahun kemudian*Di sebuah bandara internasional, seorang wanita cantik berjalan anggun dengan menggandeng anak laki-laki yang tampan. Matanya coklat mewarisi gen sang ayah. Hampir setiap orang yang berjalan menatap ke arahnya. Mereka terkagum dengan kecantikan dan ketampanan bocah imut itu. Daniel Anggara Pratama, bocah tampan berusia 3 tahun itu tiba-tiba saja melepaskan pegangan tangannya dari sang mama kemudian berlari.Wanita cantik itu pun kaget kemudian mengejar sang putra. Karena tidak berha
Pagi ini, Danu keluar dari mobil mewahnya. Setelah melepaskan kacamata hitamnya, dia berjalan dengan langkah tegap. Jas biru yang dia kenakan menambah kesan betapa gagah dan tampannya lelaki itu. Sayangnya, hatinya dingin tak tersentuh. Para karyawan menunduk memberi hormat sang atasan saat lelaki itu lewat. Danu hanya mengangguk tanpa ada senyum yang menghiasi wajahnya.Resepsionis yang tadi menyapanya pun menyenggol lengan rekan kerjanya.“Eh, kamu lihat nggak, semenjak Tuan Danu menjadi duda, kenapa aura ketampanannya semakin bertambah? Duh, seandainya, aku bisa memilikinya,” kata Sila, resepsionis tadi.“Nggak usah mimpi jadi istri Bos! Gimana kamu bisa menaklukkan beruang kutub yang dinginnya melebihi es. Apalagi semenjak istrinya meninggal. Semakin galak saja dia,” sahut karyawati yang lain.“Bener juga, wanita sekelas Diana saja tidak bisa membuat Bos kita bertekuk lutut. Apalagi kita,” balas Sila.“Tapi anehnya, semasa Bos masih bersama Ibu Nandia, mereka terlihat seperti pas
Nandia baru saja keluar dari Anggara Corp. Dia sudah terlambat untuk menghadiri pertemuan dengan kliennya. Meeting tadi menyita banyak waktu karena ada sedikit masalah. Matahari sudah berada di atas kepala. Nandia berjalan dengan cepat, sambil menutupi kepalanya dengan tangan. Akan tetapi, sebelum dia masuk ke dalam mobil. Suara berat nan tegas membuat dia menoleh ke belakang. “Nandia!” Lelaki tampan dengan rambut pirang bermata biru setengah berlari mengejarnya sambil menggendong bocah tampan berusia tiga tahun. Senyum terpancar di wajahnya saat dia melihat sosok Nandia. Sementara bocah kecil itu mengulurkan tangannya disertai rengekan kecil. “Mike? Kenapa?” tanya Nandia terkejut. “Pangeran kecilmu mencari maminya, dan sekarang, dia bilang ingin ikut denganmu!” ujarnya sambil menyodorkan bocah tampan itu. Hubungan Mike dan Nandia sangat dekat sejak Nandia tinggal di rumahnya saat wanita itu melarikan diri dari Danu. Mike adalah anak dari kakak ibunya yang menikah dengan orang bu
Tubuh Nandia mendadak beku, terpaku dengan tatapan tajam Danu yang tak pernah dia bayangkan akan dia temui lagi. Pria itu tidak hanya hadir di sini secara fisik, tetapi membawa bersamanya segala beban masa lalu yang selama ini berusaha Nandia lupakan. Danu melangkah maju dengan langkah berat. “Sudah kuduga, kau belum mati…” suaranya rendah, namun menggema dalam hati Nandia. Nandia merasakan tenggorokannya kering. Seluruh tubuhnya menegang mendengar ucapan pria itu. Ada nada kelegaan di suara Danu yang menimbulkan perasaan tidak nyaman di hatinya, tapi kemudian wajah Danu berubah. Kegelapan muncul di matanya. Amarah yang sudah lama tersimpan kini meluap. “Kenapa?” Danu mendekat, dan Nandia mundur. “Kenapa kau memalsukan kematianmu?” Cengkeramannya mencengkeram pundak Nandia dengan kasar, seakan dia takut wanita itu akan menghilang lagi. Nandia menatapnya dengan mata membara, merasakan sakit di pundaknya. “Maaf, Tuan Hadiwijaya. Saya tidak mengerti apa yang Anda bicarakan,” suaranya
PLAK! Sebuah tamparan keras melayang ke pipi Danu Hadiwijaya, Menghentikan apa yang telah dilakukan Danu siang itu. Ia menatap Nandia dengan raut wajah terkejut, tak percaya bahwa Nandia kini telah berubah, dulu, dia adalah wanita yang lemah lembut. Namun kini, dia menjadi wanita yang kuat tanpa mudah ditindas oleh siapapun. Nandia menatap nyalang Danu. Emosi yang sudah diubun-ubun kini keluar sudah. "Empat tahun lalu, kamu, menganggapku sebagai wanita murahan hanya karena menjebakmu! Dan sekarang, setelah semua yang terjadi, kamu masih menganggapku sebagai jalang yang tak punya harga diri?" Danu terdiam, tubuhnya mendadak beku, tak sanggup berkata apa-apa. Suaranya lenyap di antara kesedihan dan keterkejutan. Namun, Nandia tak selesai. Ia menahan air mata yang jatuh di pipinya dan berkata dengan getir, "Ketika teman masa kecilmu yang berusaha menjebakmu, kau malah menuduhku haus akan harta! Dan saat ibumu memaksaku menceraikanmu di depan keluargamu, kau malah sibuk dengan wanita
Enam bulan kemudian ..."Mas, sepertinya, aku akan melahirkan," teriak Nandia saat Danu akan memulai kegiatan panasnya."Sayang, kamu jangan bercanda. Aku belum mulai nih," keluh Danu saat lelaki itu mencumbu istrinya.Nandia mendorong tubuh sang suami. "Mas, aku beneran. Ketubanku sudah pecah!""Apa!"Danu pun segera memakaikan pakaian di tubuh sang istri. Setelah itu memakai pakaiannya sendiri. Dia lalu menggendong sang istri kemudian berteriak pada sopir untuk menyiapkan mobilnya.Mobil pun segera melaju ke rumah sakit tempat Nandia periksa kandungan. Danu sudah menelepon pihak rumah sakit agar dokter kandungan Nandia sudah stand by disana saat mereka tiba di rumah sakit.Tak lama kemudian, Danu sudah sampai di rumah sakit. Nandia langsung dibawa ke ruang bersalin. Danu pun mengikutinya dari belakang.Danu ingin masuk ke dalam, tapi dilarang oleh perawat. Ternyata, air ketuban Nandia telah habis. Akan sangat menyakitkan jika Nandia memaksa melahirkan secara normal.Dengan terpaks
“Reihan, Tasya tidak akan melarikan diri. Jadi, kamu jangan gugup seperti itu,” ujar Danu yang bermaksud menghibur sepupunya.Reihan hanya tersenyum kecut melihat candaan Danu yang sama sekali nggak lucu itu."Kamu nggak usah menasehatiku! Kamu nggak tahu bagaimana rasanya menikah. Ohh iya, aku lupa, kamu dulu menikahi Nandia dengan terpaksa ya, jadi tidak merasa gugup sama sekali, yang ada, kamu malah kesel karena menikah dengannya." Reihan membalasnya dengan sindiran membuat Danu langsung memukul saudara sepupunya dengan tongkat penyanggah kakinya.Kedua saudara sepupu itu memang seperti tom and jerry jika bertemu. Meskipun, jauh di dalam lubuk hati, mereka saling menyayangi. Buktinya, meski keadaannya belum sehat, danu memaksakan hadir di pernikahan saudara sepupunya.Bukannya mengaduh kesakitan, Reihan justru tertawa kecil, sambil menggelengkan kepala. “Aku hanya bercanda. Meski aku belum mencintai Tasya, tapi aku ingin memastikan semuanya sempurna untuknya.” “Percayalah, Tasya h
"Mike, kamu datang?" tanya Nandia yang kaget saat melihat Mike tiba-tiba berdiri di depan ruangan Danu. Lelaki itu memancarkan senyum manis menatap wanita yang hingga saat ini menempati tahta tertinggi di hatinya. "Aku ingin melihatmu Nandia. Sudah lama kamu tidak ke kantor, sekaligus, membawa file yang harus kamu tandatangani, dan ... aku ingin bicara serius denganmu." "Sebentar ya Mike, aku masih harus membersihkan bekas mandi Danu dulu. Danu tidak nyaman jika dimandikan oleh perawat" Mike berdiri memandangi Nandia yang sedang membawa air bekas mandi Danu ke kamar mandi . Hatinya terasa berat, tapi ia tahu bahwa sudah tidak ada lagi kesempatan baginya. Dan sekarang, saatnya dia harus pergi. Danu memerhatikan Mike dari sudut matanya, merasa ada sesuatu yang ingin disampaikan pria itu. Namun, sebelum ia sempat bertanya, Nandia berbalik dan menghampiri Mike. “Mike, ada yang ingin kamu bicarakan?” tanya Nandia, tersenyum lembut. Mike mengangguk, lalu memberi isyarat agar mer
Nandia masih gemetar setelah insiden mengerikan itu. Dia duduk di sofa kecil di sudut ruangan, ditemani Galih dan Kakek Anggara. Meski tubuhnya lelah, pikirannya terus berpacu. Tatapan penuh kekhawatiran menghiasi wajahnya saat memandangi Danu yang masih terbaring lemah di ranjang dengan alat-alat medis yang membantu kehidupannya. “Jadi, pria itu mengincar Danu?” tanya Kakek Anggara dengan suara berat, matanya menatap tajam ke arah Galih. “Ini jelas bukan kebetulan.” Galih, yang sejak tadi tampak gelisah, mengangguk pelan. “Betul, Kek. Dia bukan orang biasa. Dari identitas yang kami dapat, dia bernama Reno, mantan kekasih Diana. Ini bukan pertama kalinya dia berurusan dengan hal-hal berbahaya.” Mendengar itu, Nandia langsung menatap Galih dengan mata melebar. “Mantan kekasih Diana? Jadi... ini semua ada hubungannya dengan Diana? Tapi, dia sudah dipenjara. Bagaimana mungkin?” Galih menghela napas berat. “Kita belum tahu sejauh apa keterlibatan Diana. Tapi dari pengakuan sementa
“Aku akan sembuh… demi kamu… demi anak-anak kita…” Nandia mengangguk penuh keyakinan. Dalam hatinya, ia tahu bahwa perjuangan mereka belum selesai, tetapi dengan kehadiran Danu di sisinya, ia merasa mampu menghadapi segalanya. --- Di luar kamar, suara malam perlahan mereda. Namun, di dalam ruang VVIP itu, cinta dan harapan kembali tumbuh. Nandia menggenggam tangan Danu erat, bersumpah dalam hatinya untuk melindungi keluarga kecil mereka dengan segenap tenaga. Di sisi lain, Lidia tersenyum sambil memandangi mereka dari kejauhan, yakin bahwa mukjizat ini adalah awal dari lembaran baru untuk mereka semua. Nandia kembali duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Danu yang masih lemah. Rasa syukur yang sempat membanjiri hatinya kini bercampur dengan kecemasan, terutama setelah mendengar bisikan samar Danu sebelum tak sadarkan diri lagi. Namun, ia mencoba menenangkan dirinya. Beberapa saat kemudian, pintu kamar VVIP itu terbuka perlahan. Seorang pria berpakaian putih lengkap denga
"Danu, kamu harus bangun Danu! Aku mencintaimu!" Tubuh Nandia bergetar hebat saat ia memeluk Danu, mencoba membangunkan suaminya yang tak lagi memberikan respons. Air matanya membasahi baju rumah sakit Danu yang terasa dingin. Monitor jantung di samping tempat tidur masih menunjukkan garis lurus yang menandakan Danu telah pergi untuk selamanya. “Danu, bangun! Aku butuh kamu… Niel butuh kamu…dan anak yang aku kandung ini juga butuh kamu,” isaknya putus asa. Tangannya yang gemetar terus mengguncang tubuh Danu, berharap ada keajaiban dan sang suami bangun kembali. Namun, tubuh itu tetap tak bergerak. Di sudut ruangan, Niel masih berdiri kaku, matanya terus menatap tubuh ayahnya. Lidia, yang berada di sampingnya, hanya bisa memeluk cucunya erat, berusaha memberikan ketenangan meski hatinya juga remuk redam. “Papa nggak akan bangun lagi ya, Oma?” bisik Niel dengan suara kecil, penuh ketakutan. Lidia mengusap kepala Niel, berusaha menahan tangis. “Kita berdoa saja ya, Sayang. H
Di ruang perawatan VVIP, suasana penuh keheningan yang menyayat hati. Monitor jantung Danu berbunyi lemah, menunjukkan garis naik turun yang semakin lambat. Nandia duduk di sisi tempat tidur, menggenggam tangan suaminya yang dingin. Air matanya tak pernah berhenti mengalir sejak Danu mengalami penurunan tadi. Meski kondisinya masih lemah. Dia tak ingin kehilangan momen bersama suaminya. Di sudut ruangan, Niel berdiri dekat Lidia, wanita paruh baya itu benar-benar sudah berubah. Sedari kemarin, dia merawat Nandia hingga kondisinya membaik. Wajah Lidia pun terlihat cemas, sementara tangannya memegang bahu Niel yang gemetar. “Nandia, kamu harus makan sesuatu. Kamu nggak bisa terus seperti ini,” ujar Lidia pelan, mencoba membujuk menantunya. Namun, Nandia menggeleng dengan lemah. “Aku nggak bisa, Ma. Aku nggak akan meninggalkan Danu, walaupun hanya sedetik.” Lidia menghela napas panjang. "Nandia, kamu harus makan, demi bayi yang ada dalam kandunganmu. Dia butuh asupan makanan untu
Di Rumah Sakit Saat ambulan tiba di rumah sakit, dokter langsung membawa Danu ke ruang operasi. Karena saat berada di dalam ambulan, dokter jaga sudah memeriksa keadaan Danu. Nandia mengikuti brankar Danu dari belakang sambil menggendong Niel. Meski bocah itu tak mau digendong, tetapi Nandia tak tega. Apalagi, saat melihat luka di leher dan juga di pipi sang putra. Meskipun sudah diobati saat di ambulan tadi, tetap saja, Nandia merasa bersalah karena tidak mampu melindungi putranya. Pintu ruang operasi tertutup rapat, di atasnya lampu merah menyala, menandakan operasi Danu sedang berlangsung. Waktu terasa berjalan begitu lambat. “Mama, apa Papa akan baik-baik saja?” tanya Niel, suaranya serak. Nandia mengelus kepala putranya dengan lembut, meski hatinya penuh kecemasan. “Papa kamu kuat, Niel. Dia pasti akan bertahan.” Niel hanya menganggukkan kepalanya. Matanya terus menatap pintu ruangan operasi. Rasa khawatir pada sang ayah begitu besar. Beberapa saat kemudian, dokter
Wajah Danu tetap datar, meskipun di dalam hatinya ingin rasanya dia menghancurkan pintu itu. "Tunggu aba-abaku," katanya dingin. Namun, di dalam gudang, Andra mulai merasa ada yang aneh. "Hei, kau dengar sesuatu?" tanyanya pada salah satu pria. "Apa maksudmu?" Andra melangkah ke arah pintu, mencoba memastikan, tetapi saat itu juga Danu memberi isyarat. "Sekarang!" Pintu gudang diterjang oleh salah satu anak buahnya, dan kelompok itu langsung menyerbu masuk. Tembakan peringatan dilepaskan ke udara, membuat semua orang di dalam panik. "Andra!" suara Danu menggema di ruangan itu. "berani kau menyentuh anakku, dan aku akan memastikan kau tak punya tempat untuk bersembunyi." Andra tertegun, tetapi ia segera mengambil pistol dari pinggangnya. "Berhenti di situ, Danu, atau anakmu akan meninggal!" ancamnya, mengarahkan pistol ke kepala Niel. Niel menatap Danu dengan tenang, seolah tahu bahwa ayahnya tak akan kalah dalam situasi ini. "Lepaskan dia," ucap Danu, suaranya rendah