*Beberapa saat yang lalu*
Saat tubuhnya menabrak permukaan kolam, pandangan Nandia langsung buyar akibat pening yang menyerang. Dirinya berusaha untuk menggapai permukaan, tapi ketidakmampuannya untuk berenang membuatnya malah menelan air banyak dan berakhir kesulitan bernapas. Saat Nandia merasa pandangannya menggelap, tiba-tiba dia merasakan sebuah tangan yang menariknya ke atas. “Nandia!” Seseorang meneriakkan namanya dengan penuh kekhawatiran, tapi mata Nandia masih tertutup rapat akibat kesadarannya yang masih berada di ambang kegelapan. Samar, Nandia juga merasakan seseorang menyentuh bibirnya, menghembuskan napas bergantian dengan tangan yang menekan dadanya kuat berkali-kali–mencoba menyadarkannya. Sampai akhirnya… “Uhuk-uhuk.” Nandia terbatuk, mengeluarkan air dari paru-parunya. “Nandia!” panggil seseorang, membuat Nandia yang memiringkan tubuhnya setelah memuntahkan air mengangkat pandangan, melihat keberadaan Reihan yang tampak basah kuyup dan begitu khawatir. Ah … jadi Reihan yang menolongnya? Reihan memeluk Nandia erat. “Syukurlah …” ucap pria itu seraya menutup mata, tidak berkata banyak dan hanya mensyukuri kehangatan tubuh Nandia yang sempat terbujur kaku di sisi kolam renang. Menjauhkan tubuh Nandia, pria itu mengecek keadaan wanita tersebut dengan saksama, “Bagaimana keadaanmu? Ada yang sakit?” Nandia menggelengkan kepalanya dengan tubuh menggigil, membuat Reihan langsung melepaskan jasnya untuk menghangatkan tubuh Nandia. “Ya, kamu baik-baik saja sekarang. Aku ada di sini, oke?” ulang Reihan berkali-kali. Entah apa pria itu sedang meyakinkan Nandia atau dirinya sendiri …. Sementara itu, pandangan Nandia beralih ke belakang Reihan, tertancap tepat pada sosok Danu yang berada di sisi Diana. Hal itu membuat Nandia tertawa pahit dalam hati. Sungguh suami yang luar biasa. Istrinya hampir saja mati tenggelam, tapi pria itu lebih memilih menyelamatkan wanita lain dan menjaganya seperti permata. Mungkin, memang benar, di mata Danu … dirinya tidak lebih dibandingkan sebongkah batu tidak berharga. Usai memakaikan jaket kepada Nandia, Reihan pun menyadari arah pandang wanita tersebut. Pria itu bertanya, “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu dan Diana terjatuh ke kolam?” Dia terdiam sesaat, lalu mengambil satu kesimpulan yang berani, “Wanita itu mendorongmu?” Mata Nandia terpaku pada sosok Diana saat pertanyaan itu terlontar, dan wanita tersebut pun semakin mendekatkan diri ke dalam pelukan suaminya, seakan meminta perlindungan. Hal itu membuat Nandia mendengus dan menggelengkan kepala. “Antarkan aku pulang saja.” Reihan terdiam, merasa ada yang tidak beres. Akan tetapi, dia langsung mengangguk dan menggendong Nandia, sontak mengundang reaksi dari sejumlah pihak–termasuk di antaranya Danu, yang menampakkan wajah gelap. Nandia sendiri agak terkejut dengan perlakuan Reihan. Dia ingin meminta diturunkan, tapi hal tersebut jelas akan mempersulit posisi Reihan di depan publik. Toh, sudah terlanjur terlihat juga. Jadi, dia diam saja. Saat Reihan baru saja mengambil satu langkah untuk pergi, sebuah suara mendadak berseru, “Nandia!” Panggilan itu membuat Reihan dan Nandia menoleh. Itu Diana. “Aku tulus meminta maaf karena telah berdansa dengan Danu, tapi kenapa kau harus mendorongku ke air?” Pertanyaan itu sontak menciptakan keributan di tengah pesta yang telah kacau tersebut. Orang-orang yang sudah berspekulasi, semakin ribut akibat ucapan Diana yang mengundang sindiran. Jadi, kekacauan ini terjadi akibat kecemburuan Nandia! “Tutup mulutmu,” geram Reihan dengan wajah tidak bersahabat, membuat Diana tersentak. “Aku tahu jelas Nandia orang yang seperti apa, dan dia tidak mungkin melakukan hal tersebut!” Mata Diana membulat, terlihat akan menangis seiring dirinya menampakkan wajah memelas. “Kau menuduhku berbohong, Rei?” Reihan menggertakkan gigi. “Aku–” Nandia mengangkat tangannya, menghentikan Reihan untuk terlibat semakin dalam. Bagaimanapun, ini adalah masalah yang terjadi karena hubungan pribadinya dengan Diana, dan Reihan tidak seharusnya dirugikan dengan terlibat hal semacam ini. “Turunkan aku,” pinta Nandia. Awalnya, Reihan sempat ingin menolak. Akan tetapi, tekad di mata Nandia, juga sifat keras wanita itu membuat pria tersebut akhirnya menurut. Setelah memijakkan kaki di lantai dingin, Nandia menatap lurus ke arah Diana yang sekarang berhadap-hadapan dengannya. “Kau dan aku sangat jelas kejadian yang sebenarnya terjadi seperti apa, Diana. Oleh karena itu, mari kita berterus-terang saja tanpa sandiwara,” ucap Nandia. “Apa sebenarnya yang kamu inginkan?” tanya Nandia secara terus-terang, tidak lagi peduli dengan pandangan orang-orang kepadanya. “Aku ingin tahu kenapa kamu tega mendorongku? Apa ini karena Danu menemaniku tadi malam di rumahku? Padahal, kamu tahu jelas kami tidak mungkin berbuat apa-apa, kenapa kamu harus cemburu dan memperlakukanku seperti ini?” ucap Diana dengan suara cukup keras sehingga terdengar oleh semua tamu yang hadir. Mendengar itu, Lidia segera berdiri dan menatap menantunya dengan tatapan tajam dan penuh kemarahan. “Nandia, apakah benar apa yang dikatakan Diana? Kau mendorongnya hanya karena cemburu?” Nandia merasa ingin tertawa. Bukankah tadi Diana mengatakan ini mengenai masalah berdansa dengan Danu? Kenapa jadi mengungkit masalah tadi malam? Pembahasan masalah yang tidak konsisten ini saja sudah sangat aneh! Apa orang-orang ini begitu buta dan bias sehingga tidak bisa menyadari siapa yang sedang berusaha memanipulasi keadaan? Dengan lelah, Nandia menjawab, “Aku tidak melakukan apa pun, jadi aku tidak perlu menjelaskan apa-apa. Mengenai kecemburuan yang Diana ungkit, bukankah sudah kukatakan sebelumnya dengan sangat jelas?” Di saat ini, Nandia menatap Danu lurus. “Aku tidak peduli mengenai apa yang suamiku ingin lakukan di luar sana, dan dengan wanita mana dia habiskan malamnya.” Wanita itu berucap datar seraya menegaskan, “Lagi pula, dia bukan tanggung jawabku.”PLAK!“Istri macam apa kamu sehingga berkata seperti itu mengenai suamimu sendiri!? Memang dasar menantu tidak berguna! Bisanya hanya membuat malu keluarga ini!”Tamparan yang begitu keras membuat semua orang terkesiap. Mereka menatap bagaimana Lidia yang dibutakan amarah baru saja menampar Nandia.“Nandia!”Reihan menangkap tubuh ringkih Nandia yang terhuyung mundur akibat tamparan keras Lidia. Pria itu ingin sekali mengatakan berbagai hal saat ini, tapi Nandia telah terlebih dahulu mencengkeram tangannya, sekali lagi menghentikannya untuk ikut campur.Dengan usaha tegar, Nandia menegapkan tubuhnya. Namun, sebelum dia bisa melakukan apa pun lagi, seseorang kembali berkata, “Minta maaf.” Nandia mengangkat pandangannya. Kali ini, ternyata yang berbicara adalah Danu.Wajah pria itu sangat dingin seiring dirinya menegaskan, “Berhenti mempermalukan dirimu sendiri dan selesaikan masalah ini dengan cepat, Nandia.” Danu mengulangi, “Minta maaflah kepada Diana!”Di saat kalimat ini terucap,
“Nandia!”Teriakan Danu menggelegar di seisi kediamannya, membuat sejumlah pelayan tampak ketakutan melihat sang majikan merangsek beberapa kamar kediaman seperti orang gila.Ini adalah kali pertama, seorang Danu Hadiwijaya yang terkenal dingin dan tenang menampakkan wajah panik dan frustrasi seperti ini. Dan semua … diakibatkan sang istri, Nandia, yang menghilang tanpa jejak sama sekali.Danu berpindah dari kamar utama, kamar tamu, kamar pelayan, tapi semua kosong. Tidak ada sang istri di sana.“Kamu di mana Nandia!”Danu pun akhirnya keluar dari kamar dan mencari istrinya ke seluruh penjuru ruangan yang ada di rumah ini. Bahkan tempat Nandia biasa menghabiskan waktu pun dia datangi. Namun sang istri tak ada dimanapun.Danu tiba-tiba merasa ketakutan. Dia pun berteriak memanggil asisten rumah tangganya. Berharap mereka tahu di mana sang istri berada. “Resta!!”Dengan langkah tergopoh-gopoh, Resta, seorang perempuan paruh baya yang merupakan kepala pelayan di kediaman itu, menghadap
Menatap dua manik Danu yang memancarkan amarah, Reihan mendengus. “Setelah dia pergi, kamu baru ingat kalau dia istrimu? Kenapa tadi kamu malah membuang lebih banyak waktu mengkhawatirkan wanita lain yang bukan siapa-siapa untukmu? Aku sampai mengira Dianalah istrimu.”“Kamu–!”“Danu, sebenarnya … kenapa kamu menikahi Nandia?”Pertanyaan Reihan membuat Danu terdiam. “Apa kamu bahkan mencintainya?” Lidah Danu terasa kelu, dan wajahnya menampakkan ekspresi kebingungan.Cinta …? Danu tidak pernah mengerti hal tersebut.Sedari kecil, hidup Danu sudah diatur oleh keluarganya. Dia tumbuh besar sebagai pewaris sang ayah, dan pasangan hidupnya sudah ditetapkan oleh sang ibu.Semuanya sempurna, sampai akhirnya … dia bertemu dengan Nandia.Awalnya, wanita itu melamar sebagai sekretaris Danu. Dengan penampilan anggun, pembawaan tenang, dan juga kinerja yang cekatan, patut diakui bahwa Nandia adalah satu-satunya sekretaris yang Danu sukai. Pria itu bahkan tidak segan membawa Nandia ke berbagai
Detik pertanyaan itu diajukan, wajah Nandia memucat. Dan wajah wanita itu adalah jawaban bagi sang kakek.Anggara menghela napas berat dan berkata, “Kau … ingin memberitahukan hal ini kepada pria itu?”Menggertakkan gigi dan mengepalkan tangan, Nandia langsung menjawab, “Tidak. Tidak akan pernah.” Dia mengelus perutnya yang masih rata dan menjawab, “Kalau aku memang hamil dan sedang mengandung, maka anak ini adalah anakku seorang dan sama sekali tidak ada hubungan dengan pria itu!”*Empat tahun kemudian*Di sebuah bandara internasional, seorang wanita cantik berjalan anggun dengan menggandeng anak laki-laki yang tampan. Matanya coklat mewarisi gen sang ayah. Hampir setiap orang yang berjalan menatap ke arahnya. Mereka terkagum dengan kecantikan dan ketampanan bocah imut itu. Daniel Anggara Pratama, bocah tampan berusia 3 tahun itu tiba-tiba saja melepaskan pegangan tangannya dari sang mama kemudian berlari.Wanita cantik itu pun kaget kemudian mengejar sang putra. Karena tidak berha
Pagi ini, Danu keluar dari mobil mewahnya. Setelah melepaskan kacamata hitamnya, dia berjalan dengan langkah tegap. Jas biru yang dia kenakan menambah kesan betapa gagah dan tampannya lelaki itu. Sayangnya, hatinya dingin tak tersentuh. Para karyawan menunduk memberi hormat sang atasan saat lelaki itu lewat. Danu hanya mengangguk tanpa ada senyum yang menghiasi wajahnya.Resepsionis yang tadi menyapanya pun menyenggol lengan rekan kerjanya.“Eh, kamu lihat nggak, semenjak Tuan Danu menjadi duda, kenapa aura ketampanannya semakin bertambah? Duh, seandainya, aku bisa memilikinya,” kata Sila, resepsionis tadi.“Nggak usah mimpi jadi istri Bos! Gimana kamu bisa menaklukkan beruang kutub yang dinginnya melebihi es. Apalagi semenjak istrinya meninggal. Semakin galak saja dia,” sahut karyawati yang lain.“Bener juga, wanita sekelas Diana saja tidak bisa membuat Bos kita bertekuk lutut. Apalagi kita,” balas Sila.“Tapi anehnya, semasa Bos masih bersama Ibu Nandia, mereka terlihat seperti pas
Nandia baru saja keluar dari Anggara Corp. Dia sudah terlambat untuk menghadiri pertemuan dengan kliennya. Meeting tadi menyita banyak waktu karena ada sedikit masalah. Matahari sudah berada di atas kepala. Nandia berjalan dengan cepat, sambil menutupi kepalanya dengan tangan. Akan tetapi, sebelum dia masuk ke dalam mobil. Suara berat nan tegas membuat dia menoleh ke belakang. “Nandia!” Lelaki tampan dengan rambut pirang bermata biru setengah berlari mengejarnya sambil menggendong bocah tampan berusia tiga tahun. Senyum terpancar di wajahnya saat dia melihat sosok Nandia. Sementara bocah kecil itu mengulurkan tangannya disertai rengekan kecil. “Mike? Kenapa?” tanya Nandia terkejut. “Pangeran kecilmu mencari maminya, dan sekarang, dia bilang ingin ikut denganmu!” ujarnya sambil menyodorkan bocah tampan itu. Hubungan Mike dan Nandia sangat dekat sejak Nandia tinggal di rumahnya saat wanita itu melarikan diri dari Danu. Mike adalah anak dari kakak ibunya yang menikah dengan orang bu
Tubuh Nandia mendadak beku, terpaku dengan tatapan tajam Danu yang tak pernah dia bayangkan akan dia temui lagi. Pria itu tidak hanya hadir di sini secara fisik, tetapi membawa bersamanya segala beban masa lalu yang selama ini berusaha Nandia lupakan. Danu melangkah maju dengan langkah berat. “Sudah kuduga, kau belum mati…” suaranya rendah, namun menggema dalam hati Nandia. Nandia merasakan tenggorokannya kering. Seluruh tubuhnya menegang mendengar ucapan pria itu. Ada nada kelegaan di suara Danu yang menimbulkan perasaan tidak nyaman di hatinya, tapi kemudian wajah Danu berubah. Kegelapan muncul di matanya. Amarah yang sudah lama tersimpan kini meluap. “Kenapa?” Danu mendekat, dan Nandia mundur. “Kenapa kau memalsukan kematianmu?” Cengkeramannya mencengkeram pundak Nandia dengan kasar, seakan dia takut wanita itu akan menghilang lagi. Nandia menatapnya dengan mata membara, merasakan sakit di pundaknya. “Maaf, Tuan Hadiwijaya. Saya tidak mengerti apa yang Anda bicarakan,” suaranya
PLAK! Sebuah tamparan keras melayang ke pipi Danu Hadiwijaya, Menghentikan apa yang telah dilakukan Danu siang itu. Ia menatap Nandia dengan raut wajah terkejut, tak percaya bahwa Nandia kini telah berubah, dulu, dia adalah wanita yang lemah lembut. Namun kini, dia menjadi wanita yang kuat tanpa mudah ditindas oleh siapapun. Nandia menatap nyalang Danu. Emosi yang sudah diubun-ubun kini keluar sudah. "Empat tahun lalu, kamu, menganggapku sebagai wanita murahan hanya karena menjebakmu! Dan sekarang, setelah semua yang terjadi, kamu masih menganggapku sebagai jalang yang tak punya harga diri?" Danu terdiam, tubuhnya mendadak beku, tak sanggup berkata apa-apa. Suaranya lenyap di antara kesedihan dan keterkejutan. Namun, Nandia tak selesai. Ia menahan air mata yang jatuh di pipinya dan berkata dengan getir, "Ketika teman masa kecilmu yang berusaha menjebakmu, kau malah menuduhku haus akan harta! Dan saat ibumu memaksaku menceraikanmu di depan keluargamu, kau malah sibuk dengan wanita
Berita perceraian Danu dan Nandia telah sampai ke telinga Reihan. Meski perceraian mereka tidak diketahui oleh media. Namun, salah satu anak buah Reihan ada yang mengetahuinya. Dan dia pun memberitahukan pada Reihan tentang hal ini.Senyum pun terbit di bibir lelaki tampan itu. Dia akan kembali mendekati Nandia melalui Niel. Karena kunci Nandia ada pada kebahagiaan Niel. Dan dia telah memiliki rencana untuk mewujudkan impiannya."Niel, sabtu besok, Om Reihan akan mengajak Niel berkuda. Nanti akan Om belikan Niel sepatu boots baru dan juga topi untuk kita pakai saat berkuda." Niel yang memang sangat menyukai petualangan bersorak sorai. "Horee, aku akan pergi berkuda!" serunya. Hampir setiap hari, Niel melihat kalender karena tak sabar menunggu hari sabtu. --- Sabtu telah tiba. Pagi itu, suasana rumah Nandia terasa lebih hidup dari biasanya. Niel, bocah kecil itu berlari-lari kecil di halaman dengan sepatu boots yang baru dibelikan oleh Reihan. "Asyik, sebentar lagi, kita akan ber
"Aku tidak akan membiarkan semua ini berakhir, Nandia!" gumam Danu saat akan memasuki ruangan sidang. Lelaki itu sudah kembali pada sifat awalnya, dingin dan tak tersentuh. Dia melihat, Nandia duduk di salah satu kursi panjang, mengenakan blazer krem yang membuatnya terlihat lebih segar. Di depannya, Danu duduk dengan ekspresi dingin khas seorang Danu Adiwijaya. Hakim mediasi, seorang wanita berusia 50-an dengan kacamata bundar, memandang pasangan itu dengan tatapan tenang tapi tegas. "Tuan dan Nyonya Adiwijaya, ini adalah sesi terakhir mediasi. Saya berharap kita bisa mencapai kesepakatan hari ini." Nandia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara. "Yang Mulia, saya sudah memikirkan semua ini. Saya ingin berpisah." Danu menyilangkan tangannya, menatap Nandia tanpa ekspresi. "Saya tidak setuju dengan perceraian ini." Hakim mengangkat alisnya. "Tuan Danu, apa alasan Anda menolak perceraian?" Danu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. "Saya ingin men
Di taman "Hampir setengah, kenapa Niel belum kembali juga ya?" Gumam Nandia saat melihat jam yang melingkar di tangannya. Wanita itu mendadak gelisah. Ia mengangkat wajah dari bukunya dan tidak melihat Niel di tempat biasa. Matanya mulai mencari-cari, tetapi hanya ada anak-anak lain yang bermain. “Niel!” panggil Nandia, bangkit dari bangku dan berjalan mengitari taman. Mencari di setiap sudut, tempat Niel bermain tadi, tetapi tidak menemukan putranya. Jantungnya berdetak kencang, panik mulai merayap di dadanya. Nandia menghampiri security yang tadi memanggil putranya. "Maaf, Pak, apa tadi melihat anak saya? Yang Bapak panggil tadi, dia pakai kaos biru?" Security itu terdiam sejenak. "Tadi, dia mengantri es krim disini, Nyonya. Saya tidak tahu lagi karena saya memeriksa di bagian sana karena ada anak yang menangis mencari ibunya, Maaf.” Nandia pun kembali mencari, bahkan bertanya pada penjaga taman, tetapi tidak ada yang tahu. Segala kejadian buruk mulai memenuhi pikirannya. Hat
"Pergi, Danu dan jangan pernah kembali lagi."Danu pun keluar dari rumah Kakek Anggar dengan langkah gontai. Sebelum masuk ke dalam mobil, dia pandangi rumah Kakek Anggara. Dia merasa frustasi, karena gagal meyakinkan Kakek Anggara. Lalu, bagaimana cara dia bisa mendapatkan Nandia kembali?Danu pun duduk di dalam mobilnya. Lelaki itu merogoh sakunya, mengambil ponsel untuk menghubungi Galih, sang asisten. "Galih, aku butuh bantuanmu," kata Danu dengan nada serius. “Ada apa, Tuan?” suara Galih terdengar tegas di seberang telepon. “Aku ingin kau melacak keberadaan Nandia dan Niel. Mereka mungkin ada di suatu tempat yang dilindungi oleh Kakek Anggara. Temukan mereka secepatnya. Aku tidak peduli bagaimanapun caranya, yang jelas, kamu harus bisa menemukan mereka." “Baik, Tuan. Tapi ini mungkin butuh waktu agak lama. Kakek Anggara punya jaringan yang luas dan orang-orangnya pasti menjaga mereka dengan ketat.” “Tidak masalah, Galih. Yang penting kamu bisa menemukan mereka. Aku memiliki
"Galih untuk sementara, kamu handel urusan kantor. Aku harus bisa menyelesaikan masalahku dengan Nandia." Pesan untuk Galih saat lelaki itu akan berangkat ke rumah kakek Anggara. Dia harus bisa meyakinkan lelaki tua itu. Jika ingin rumah tangganya bersama Nandia terus bersama.Hujan yang mengguyur bumi tak menyurutkan niat Danu untuk pergi ke rumah kakek mertuanya. Sesampainya di depan gerbang rumah kakek Anggara, security masih tidak mau membukakan pagar rumah itu, meskipun Danu telah membunyikan klakson berkali-kali. Karena bising dengan suara klakson, akhirnya security itu pun keluar."Maaf, Tuan. Bukankah sudah saya bilang kemarin, Anda tidak boleh masuk," ujar satpam itu dengan nada tegas."Tolong, beri saya kesempatan. Saya harus bicara dengan Kakek Anggara," pinta Danu, suaranya melemah karena kelelahan dan frustasi.Satpam itu hanya menatapnya dingin, tetap bergeming di tempatnya. Danu menghela napas panjang, lalu menatap pria itu. "Pak, tolonglah, bukakan pintunya. Saya haru
"Kalau kamu memang masih mencintainya, kenapa kamu ingin kita kembali, Danu?" Pagi itu, setelah menyaksikan pemandangan di bandara yang menyesakkan dadanya, Nandia akhirnya membuat keputusan besar. Dia mengambil barang-barang yang penting untuk dia dan juga Niel. Dia tak butuh lagi penjelasan dari Danu. Apa yang dia lihat di bandara tadi baginya sudah membuat dirinya mengerti bahwa Danu memang tidak bisa meninggalkan Diana. Setelah memastikan semua keperluan Niel sudah siap, Nandia menatap layar ponselnya. Foto Danu bersama Diana yang dia ambil di bandara tadi sudah siap dia kirimkan. Tangannya gemetar saat mengetik pesan. "Jadi, kamu meninggalkanku sendirian di hutan karena ini? Keterlaluan kamu, Danu! Apa arti semua ini kalau kamu masih saja tidak bisa lepas dari Diana. Kamu tunggu saja surat cerai dariku!" Nandia pun segera mengirimkan pesan. Dia tahu Danu belum sempat melihatnya. Suaminya mungkin masih sibuk bersama Diana. Dengan napas berat, Nandia memandangi rumah yang
Setelah mendapat telepon dari sang istri tadi, Danu memutuskan untuk tidak lagi memarahi Galih. Lagipula, hasilnya cukup memuaskan. Lelaki itu kemudian menghubungi sang asisten. "Galih," panggil Danu. "Iya, Tuan," jawab Galih hati-hati. Danu menghela napas panjang. "Sebenarnya, aku marah karena kamu menggunakan uang perusahaan tanpa seizinku. Namun, aku tahu kamu melakukan ini juga karena permintaanku. Jadi, kamu kumaafkan. Tapi lain kali, aku akan menghukum mu." Galih langsung merasa lega. "Terima kasih, Tuan. Saya hanya ingin membantu." "Tapi lain kali, konsultasikan dulu denganku sebelum membuat keputusan seperti itu, mengerti?" tambah Danu tegas. "Baik, Tuan. Saya tidak akan mengulanginya lagi," jawab Galih dengan penuh penyesalan. "Sekarang, fokuslah pada pekerjaan awalmu," kata Danu sebelum menutup panggilannya --- Hampir satu minggu Danu berada di negara N. Dia sudah sangat merindukan Niel dan Nandia, istrinya. Ingin rasanya dia menyuruh Galih menggantikannya
"Galih! Kaamuu!!!" Seandainya saat ini Galih ada di depannya, sudah dia geplak kepala lelaki itu. Berani-beraninya dia memakai uang perusahaan. Meskipun, itu adalah untuk menyenangkan hati istrinya, tindakan Galih tidak bisa dibenarkan. Namun sayangnya, mereka berada di negara yang berbeda. Danu tidak mungkin bisa memberinya hukuman. Akan tetapi, tak bisa Danu pungkiri, bahwa berita Nandia telah mau memaafkannya dan menerima hadiahnya sangat menyenangkan hatinya. Setidaknya, satu masalah sudah selesai, tinggal menyelesaikan masalah Diana. Telepon Danu berdering. Nama Nandia muncul di layar, membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Dia segera mengangkatnya, mencoba berbicara dengan nada santai meskipun masih kesal dengan Galih. "Halo, sayang," sapanya, suaranya terdengar hangat. "Terima kasih untuk mobilnya," jawab Nandia tanpa basa-basi, meskipun nada suaranya terdengar lebih lembut dari sebelumnya. "Aku tahu kamu berusaha keras membuatku memaafkanmu." Danu tersenyum tipis, m
Di kantor Danu, suasana terlihat seperti biasa, dengan para karyawan sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Namun, Galih, tangan kanan Danu, justru tampak gelisah. Dia mondar-mandir di ruangan pribadinya, menggigit kuku sambil berpikir keras. "Galih, kamu kenapa?" tanya seorang rekan kerja, Bram, yang kebetulan masuk ke ruangannya. Galih mendesah panjang. "Danu nyuruh aku cari cara biar istrinya nggak marah lagi. Aku udah coba macem-macem, tapi Nyonya Nandia tetap aja dingin kayak es." Bram terkekeh. "Ya ampun, bos besar nyuruh kamu yang ngurusin masalah rumah tangganya? Berat juga tugasmu." "Berat banget!" Galih menjawab frustasi. "Makanya, aku mau tanya. Kamu pernah nggak bikin istri kamu marah? Trus, gimana cara kamu membujuknya?" Bram berpikir sejenak sebelum menjawab, "Kalau istri gue sih gampang, cukup kasih bunga sama cokelat. Tapi kan setiap wanita beda-beda." "Ya itu dia masalahnya!" Galih hampir berteriak. "Nyonya Nandia tuh nggak gampang luluh. Udah aku kasih bunga, ma