Nandia dibawa ke restoran milik Reihan yang elegan, namun terasa hangat dengan suasana tenang yang menenangkan hati. Nandia melirik sekeliling, mengagumi dekorasi modern dengan sentuhan minimalis yang tidak pernah dia bayangkan dari Reihan, seorang pria yang dulu hanya dianggap bagian dari kehidupan bisnis keluarga Hadiwijaya.“Jadi, kamu yang memiliki semua ini?” Nandia bertanya, berusaha memecah keheningan. Reihan hanya mengangguk singkat, menunjukkan betapa rendah hatinya dia meski usahanya sudah berkembang menjadi salah satu perusahaan F&B paling berpengaruh di dalam negeri.“Sejak kepergianmu, aku memutuskan untuk berhenti terlibat dalam bisnis keluarga,” Reihan menjelaskan, suaranya pelan namun jelas. Dia tidak berbicara panjang lebar seperti Danu atau Mike. Setiap kata yang keluar dari mulutnya seolah diperhitungkan, singkat namun penuh makna.Nandia menatapnya dengan rasa penasaran yang mulai tumbuh. “Kamu tidak terlihat terkejut melihatku.”Reihan menoleh padanya, ekspresinya
Di dalam rumah yang hening, Nandia mengamati Niel yang sudah terlelap di tempat tidurnya. Bocah kecil itu memeluk patung prajurit yang tadi dia dapatkan dari Reihan, senyuman kecil menghiasi wajahnya. Nandia menatap putranya dengan lembut, hatinya dipenuhi campuran rasa kasih sayang dan kecemasan. Bagaimanapun juga, Niel adalah dunianya, dan dia harus melindungi bocah itu dari apa pun.Setelah memastikan Niel benar-benar tidur, Nandia menyelimuti tubuh kecilnya, lalu meninggalkan kamar dengan hati-hati. Begitu dia menutup pintu, suara langkah kaki di ruang tamu membuatnya terhenti. Nandia mengerutkan kening. Siapa yang masih ada di sini pada jam selarut ini?Ketika dia sampai di ruang tamu, dia melihat Mike duduk di sofa, menunggunya. Wajahnya tampak serius, tidak seperti biasanya. Mike adalah sepupu jauhnya yang selalu bisa membuat suasana lebih ringan, tapi malam ini, ada sesuatu yang tampak berat di antara mereka."Mike?" Nandia memulai, berjalan mendekat. "Kau belum pulang?"M
Nandia menggandeng tangan Niel saat mereka tiba di sekolah. Senyum kecil menghiasi wajahnya melihat Niel bersemangat memasuki gerbang sekolah. Namun, ketika dia hendak berbalik untuk pulang, suara familiar mengusik ketenangannya."Nandia?" suara itu bergetar dengan kejutan yang tak tertutupi.Nandia menoleh, melihat sosok yang tak asing lagi—Lidia, ibu Danu, berdiri dengan seorang wanita tua di sampingnya. Mata Lidia terbelalak, tidak mempercayai penglihatannya. Wanita tua di sebelahnya tampak gelisah, menarik lengan Lidia untuk menarik perhatiannya."Astaga, bukankah itu Nandia? Bukankah dia... sudah tiada?" bisik wanita tua itu dengan ketakutan.Wajah Lidia berubah, dari kaget menjadi amarah membara. Dengan langkah cepat, dia mendekati Nandia, matanya menyala penuh kebencian."Jadi, kau ternyata hidup," Lidia menyemburkan kata-kata seperti racun. "Kau memalsukan kematianmu dan kabur, bukan? Hanya untuk melahirkan anak haram!"Nandia menatap Lidia dengan dingin, berusaha tetap tenang
Nandia berdiri tegak meski hatinya bergejolak, berusaha tetap tenang di tengah tatapan penuh kebencian dari ibu Danu. Udara di sekitar mereka terasa menegang saat Ibu Danu menatap dekan sekolah dengan wajah penuh kemarahan."Atas dasar apa saya yang diusir, bukan dia?" Ibu Danu berkata dengan nada tinggi, membuat beberapa orang di sekitar menoleh penasaran. "Wanita ini yang menyulut masalah, bukan saya!"Pak Dekan, dengan sikap tenang namun penuh wibawa, menjawab, "Yang memancing keributan di sini jelas Anda, Bu Danu. Apa yang Anda lakukan sudah tertangkap media." Dia melirik sekilas ke beberapa ponsel yang sejak tadi merekam kejadian tersebut. "Dan di depan anak-anak kecil, Anda harusnya merasa malu atas sikap Anda. Sekolah ini adalah tempat belajar, bukan tempat menyelesaikan masalah pribadi dengan cara seperti ini."Ibu Danu tertegun, lalu menyeringai penuh kepahitan. "Dan Anda berpikir bisa mengusir saya? Sekolah ini tidak ada hubungannya dengan wanita ini. Atas dasar apa Nandia p
Danu berdiri mematung, menatap punggung kecil Niel yang semakin menjauh. Jantungnya berdebar, dan perasaan yang sulit diuraikan memenuhi dadanya. Anak itu… tatapan polosnya, suara lembutnya, ucapan terima kasih yang sederhana namun menghujam. Sesuatu di dalam dirinya bergetar.Dia merasa seolah baru saja bertemu dengan bagian dari hidupnya yang hilang, bagian yang tak pernah dia ketahui ada, namun kini tiba-tiba hadir di depan matanya."Ibu… aku sudah selesai," suara Niel terdengar dari kejauhan, ketika dia meraih tangan Nandia dengan erat.Nandia menatap putranya dengan penuh cinta, namun ada rasa cemas yang menghantui di balik senyumnya. Dia tahu Danu memperhatikan mereka—dia bisa merasakannya meskipun tidak menoleh. Setelah semua yang terjadi, Nandia tidak ingin membuka luka lama atau memperburuk situasi. Dia hanya ingin melindungi Niel dan menjaga jarak dari keluarga Hadiwijaya.Tapi detik itu juga, dia sadar bahwa garis pertempuran baru telah terbuka.“Nandia…” Suara berat Danu a
Setelah pertemuan itu, pikiran Nandia penuh dengan bayangan Danu. Meskipun, dia berusaha untuk menjalani kehidupannya dengan normal. Rasa takut, marah, dan penyesalan menggerogoti hatinya. Dia tahu, ancaman Danu bukan sekadar kata-kata kosong. Jika dia benar-benar bertekad, Nandia tak yakin bisa terus menyembunyikan identitas Niel. Tapi, demi putranya, Niel, apapun akan Nandia lakukan untuk melindunginya. Dulu, Danu sudah membuat hidupnya hancur, tetapi sekarang, Nandia tidak akan membiarkan Danu mengulanginya kembali Hari-hari berikutnya, Nandia selalu was-was. Setiap kali saat dia menjemput dan mengantar putranya. Dia selalu menengok ke kanan dan ke kiri memastikan bahwa tidak ada Danu, ataupun keluarga Danu lainnya. Sementara itu, Danu tak tinggal diam. Dia mulai mencari tahu, bertanya ke orang-orang terdekatnya dan mencari informasi tentang Nandia. Semakin dalam dia menggali, semakin banyak potongan-potongan fakta yang mulai mengarah pada satu kesimpulan yang tak bisa dia abaik
Di rumah keluarga Hadiwijaya, Lidia duduk di ruang tamu sambil memutar cangkir teh di tangannya. Ekspresinya keras, penuh dengan tekad. Di hadapannya, Diana duduk dengan tubuh yang sedikit tegang, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut ibu Danu. Lidia sudah lama menaruh harapan besar pada Diana. Wanita itu adalah pilihan yang tepat untuk Danu—lemah lembut, penurut, dan setia. Namun, kenyataan bahwa putranya masih enggan mengambil langkah untuk menikahi Diana membuat Lidia semakin frustrasi."Diana," Lidia memulai dengan suara dingin namun tegas. "Aku sudah cukup sabar menunggu. Kamu juga sudah banyak berkorban untuk keluarga ini, terutama untuk Danu. Sekarang, saatnya kamu bertindak lebih agresif."Diana menelan ludah, merasa beban berat menimpa bahunya. "Tapi, Tante, aku—""Aku tidak mau mendengar alasan lagi," potong Lidia dengan nada memaksa. "Danu terlalu sibuk dengan urusannya, tapi aku yakin dia masih ada perasaan untukmu. Kamu harus lebih pintar memainkan peranmu. Dat
Danu memandang layar ponselnya dengan raut wajah tegang. “Ini tentang perusahaan, ada masalah besar!” kata Galih, nada suaranya penuh kecemasan.Diana melangkah mendekat, mencoba memahami situasinya. "Danu, apa yang terjadi? Apa ada yang salah dengan perusahaan?"Namun, Danu tidak menanggapi. Dengan gerakan cepat, dia merogoh kunci mobil dari saku celananya dan berjalan keluar ruangan tanpa sepatah kata lagi. Diana mencoba mengejar, tapi langkah Danu sudah terlalu jauh. Melihat Danu telah pergi, Nandia pun akhirnya mengajak Niel kembali pulang. Bocah kecil itu menurut saja dengan apa yang disuruh oleh sang mama. Di dalam mobil, Nandia memejamkan matanya, berusaha mencari banyak stok kesabaran. Karena setelah ini, dia akan menghadapi kemarahan Danu akibat perbuatannya.---Danu memacu mobilnya menuju kantor dengan pikiran carut marut. Mendengar apa yang diucapkan Galih tadi, membuat dia sampai meninggalkan Diana begitu saja. Dia yakin, wanita itu sekarang pasti marah dan mengadu pada
Berita perceraian Danu dan Nandia telah sampai ke telinga Reihan. Meski perceraian mereka tidak diketahui oleh media. Namun, salah satu anak buah Reihan ada yang mengetahuinya. Dan dia pun memberitahukan pada Reihan tentang hal ini.Senyum pun terbit di bibir lelaki tampan itu. Dia akan kembali mendekati Nandia melalui Niel. Karena kunci Nandia ada pada kebahagiaan Niel. Dan dia telah memiliki rencana untuk mewujudkan impiannya."Niel, sabtu besok, Om Reihan akan mengajak Niel berkuda. Nanti akan Om belikan Niel sepatu boots baru dan juga topi untuk kita pakai saat berkuda." Niel yang memang sangat menyukai petualangan bersorak sorai. "Horee, aku akan pergi berkuda!" serunya. Hampir setiap hari, Niel melihat kalender karena tak sabar menunggu hari sabtu. --- Sabtu telah tiba. Pagi itu, suasana rumah Nandia terasa lebih hidup dari biasanya. Niel, bocah kecil itu berlari-lari kecil di halaman dengan sepatu boots yang baru dibelikan oleh Reihan. "Asyik, sebentar lagi, kita akan ber
"Aku tidak akan membiarkan semua ini berakhir, Nandia!" gumam Danu saat akan memasuki ruangan sidang. Lelaki itu sudah kembali pada sifat awalnya, dingin dan tak tersentuh. Dia melihat, Nandia duduk di salah satu kursi panjang, mengenakan blazer krem yang membuatnya terlihat lebih segar. Di depannya, Danu duduk dengan ekspresi dingin khas seorang Danu Adiwijaya. Hakim mediasi, seorang wanita berusia 50-an dengan kacamata bundar, memandang pasangan itu dengan tatapan tenang tapi tegas. "Tuan dan Nyonya Adiwijaya, ini adalah sesi terakhir mediasi. Saya berharap kita bisa mencapai kesepakatan hari ini." Nandia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara. "Yang Mulia, saya sudah memikirkan semua ini. Saya ingin berpisah." Danu menyilangkan tangannya, menatap Nandia tanpa ekspresi. "Saya tidak setuju dengan perceraian ini." Hakim mengangkat alisnya. "Tuan Danu, apa alasan Anda menolak perceraian?" Danu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. "Saya ingin men
Di taman "Hampir setengah, kenapa Niel belum kembali juga ya?" Gumam Nandia saat melihat jam yang melingkar di tangannya. Wanita itu mendadak gelisah. Ia mengangkat wajah dari bukunya dan tidak melihat Niel di tempat biasa. Matanya mulai mencari-cari, tetapi hanya ada anak-anak lain yang bermain. “Niel!” panggil Nandia, bangkit dari bangku dan berjalan mengitari taman. Mencari di setiap sudut, tempat Niel bermain tadi, tetapi tidak menemukan putranya. Jantungnya berdetak kencang, panik mulai merayap di dadanya. Nandia menghampiri security yang tadi memanggil putranya. "Maaf, Pak, apa tadi melihat anak saya? Yang Bapak panggil tadi, dia pakai kaos biru?" Security itu terdiam sejenak. "Tadi, dia mengantri es krim disini, Nyonya. Saya tidak tahu lagi karena saya memeriksa di bagian sana karena ada anak yang menangis mencari ibunya, Maaf.” Nandia pun kembali mencari, bahkan bertanya pada penjaga taman, tetapi tidak ada yang tahu. Segala kejadian buruk mulai memenuhi pikirannya. Hat
"Pergi, Danu dan jangan pernah kembali lagi."Danu pun keluar dari rumah Kakek Anggar dengan langkah gontai. Sebelum masuk ke dalam mobil, dia pandangi rumah Kakek Anggara. Dia merasa frustasi, karena gagal meyakinkan Kakek Anggara. Lalu, bagaimana cara dia bisa mendapatkan Nandia kembali?Danu pun duduk di dalam mobilnya. Lelaki itu merogoh sakunya, mengambil ponsel untuk menghubungi Galih, sang asisten. "Galih, aku butuh bantuanmu," kata Danu dengan nada serius. “Ada apa, Tuan?” suara Galih terdengar tegas di seberang telepon. “Aku ingin kau melacak keberadaan Nandia dan Niel. Mereka mungkin ada di suatu tempat yang dilindungi oleh Kakek Anggara. Temukan mereka secepatnya. Aku tidak peduli bagaimanapun caranya, yang jelas, kamu harus bisa menemukan mereka." “Baik, Tuan. Tapi ini mungkin butuh waktu agak lama. Kakek Anggara punya jaringan yang luas dan orang-orangnya pasti menjaga mereka dengan ketat.” “Tidak masalah, Galih. Yang penting kamu bisa menemukan mereka. Aku memiliki
"Galih untuk sementara, kamu handel urusan kantor. Aku harus bisa menyelesaikan masalahku dengan Nandia." Pesan untuk Galih saat lelaki itu akan berangkat ke rumah kakek Anggara. Dia harus bisa meyakinkan lelaki tua itu. Jika ingin rumah tangganya bersama Nandia terus bersama.Hujan yang mengguyur bumi tak menyurutkan niat Danu untuk pergi ke rumah kakek mertuanya. Sesampainya di depan gerbang rumah kakek Anggara, security masih tidak mau membukakan pagar rumah itu, meskipun Danu telah membunyikan klakson berkali-kali. Karena bising dengan suara klakson, akhirnya security itu pun keluar."Maaf, Tuan. Bukankah sudah saya bilang kemarin, Anda tidak boleh masuk," ujar satpam itu dengan nada tegas."Tolong, beri saya kesempatan. Saya harus bicara dengan Kakek Anggara," pinta Danu, suaranya melemah karena kelelahan dan frustasi.Satpam itu hanya menatapnya dingin, tetap bergeming di tempatnya. Danu menghela napas panjang, lalu menatap pria itu. "Pak, tolonglah, bukakan pintunya. Saya haru
"Kalau kamu memang masih mencintainya, kenapa kamu ingin kita kembali, Danu?" Pagi itu, setelah menyaksikan pemandangan di bandara yang menyesakkan dadanya, Nandia akhirnya membuat keputusan besar. Dia mengambil barang-barang yang penting untuk dia dan juga Niel. Dia tak butuh lagi penjelasan dari Danu. Apa yang dia lihat di bandara tadi baginya sudah membuat dirinya mengerti bahwa Danu memang tidak bisa meninggalkan Diana. Setelah memastikan semua keperluan Niel sudah siap, Nandia menatap layar ponselnya. Foto Danu bersama Diana yang dia ambil di bandara tadi sudah siap dia kirimkan. Tangannya gemetar saat mengetik pesan. "Jadi, kamu meninggalkanku sendirian di hutan karena ini? Keterlaluan kamu, Danu! Apa arti semua ini kalau kamu masih saja tidak bisa lepas dari Diana. Kamu tunggu saja surat cerai dariku!" Nandia pun segera mengirimkan pesan. Dia tahu Danu belum sempat melihatnya. Suaminya mungkin masih sibuk bersama Diana. Dengan napas berat, Nandia memandangi rumah yang
Setelah mendapat telepon dari sang istri tadi, Danu memutuskan untuk tidak lagi memarahi Galih. Lagipula, hasilnya cukup memuaskan. Lelaki itu kemudian menghubungi sang asisten. "Galih," panggil Danu. "Iya, Tuan," jawab Galih hati-hati. Danu menghela napas panjang. "Sebenarnya, aku marah karena kamu menggunakan uang perusahaan tanpa seizinku. Namun, aku tahu kamu melakukan ini juga karena permintaanku. Jadi, kamu kumaafkan. Tapi lain kali, aku akan menghukum mu." Galih langsung merasa lega. "Terima kasih, Tuan. Saya hanya ingin membantu." "Tapi lain kali, konsultasikan dulu denganku sebelum membuat keputusan seperti itu, mengerti?" tambah Danu tegas. "Baik, Tuan. Saya tidak akan mengulanginya lagi," jawab Galih dengan penuh penyesalan. "Sekarang, fokuslah pada pekerjaan awalmu," kata Danu sebelum menutup panggilannya --- Hampir satu minggu Danu berada di negara N. Dia sudah sangat merindukan Niel dan Nandia, istrinya. Ingin rasanya dia menyuruh Galih menggantikannya
"Galih! Kaamuu!!!" Seandainya saat ini Galih ada di depannya, sudah dia geplak kepala lelaki itu. Berani-beraninya dia memakai uang perusahaan. Meskipun, itu adalah untuk menyenangkan hati istrinya, tindakan Galih tidak bisa dibenarkan. Namun sayangnya, mereka berada di negara yang berbeda. Danu tidak mungkin bisa memberinya hukuman. Akan tetapi, tak bisa Danu pungkiri, bahwa berita Nandia telah mau memaafkannya dan menerima hadiahnya sangat menyenangkan hatinya. Setidaknya, satu masalah sudah selesai, tinggal menyelesaikan masalah Diana. Telepon Danu berdering. Nama Nandia muncul di layar, membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Dia segera mengangkatnya, mencoba berbicara dengan nada santai meskipun masih kesal dengan Galih. "Halo, sayang," sapanya, suaranya terdengar hangat. "Terima kasih untuk mobilnya," jawab Nandia tanpa basa-basi, meskipun nada suaranya terdengar lebih lembut dari sebelumnya. "Aku tahu kamu berusaha keras membuatku memaafkanmu." Danu tersenyum tipis, m
Di kantor Danu, suasana terlihat seperti biasa, dengan para karyawan sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Namun, Galih, tangan kanan Danu, justru tampak gelisah. Dia mondar-mandir di ruangan pribadinya, menggigit kuku sambil berpikir keras. "Galih, kamu kenapa?" tanya seorang rekan kerja, Bram, yang kebetulan masuk ke ruangannya. Galih mendesah panjang. "Danu nyuruh aku cari cara biar istrinya nggak marah lagi. Aku udah coba macem-macem, tapi Nyonya Nandia tetap aja dingin kayak es." Bram terkekeh. "Ya ampun, bos besar nyuruh kamu yang ngurusin masalah rumah tangganya? Berat juga tugasmu." "Berat banget!" Galih menjawab frustasi. "Makanya, aku mau tanya. Kamu pernah nggak bikin istri kamu marah? Trus, gimana cara kamu membujuknya?" Bram berpikir sejenak sebelum menjawab, "Kalau istri gue sih gampang, cukup kasih bunga sama cokelat. Tapi kan setiap wanita beda-beda." "Ya itu dia masalahnya!" Galih hampir berteriak. "Nyonya Nandia tuh nggak gampang luluh. Udah aku kasih bunga, ma