Nandia berdiri tegak meski hatinya bergejolak, berusaha tetap tenang di tengah tatapan penuh kebencian dari ibu Danu. Udara di sekitar mereka terasa menegang saat Ibu Danu menatap dekan sekolah dengan wajah penuh kemarahan."Atas dasar apa saya yang diusir, bukan dia?" Ibu Danu berkata dengan nada tinggi, membuat beberapa orang di sekitar menoleh penasaran. "Wanita ini yang menyulut masalah, bukan saya!"Pak Dekan, dengan sikap tenang namun penuh wibawa, menjawab, "Yang memancing keributan di sini jelas Anda, Bu Danu. Apa yang Anda lakukan sudah tertangkap media." Dia melirik sekilas ke beberapa ponsel yang sejak tadi merekam kejadian tersebut. "Dan di depan anak-anak kecil, Anda harusnya merasa malu atas sikap Anda. Sekolah ini adalah tempat belajar, bukan tempat menyelesaikan masalah pribadi dengan cara seperti ini."Ibu Danu tertegun, lalu menyeringai penuh kepahitan. "Dan Anda berpikir bisa mengusir saya? Sekolah ini tidak ada hubungannya dengan wanita ini. Atas dasar apa Nandia p
Danu berdiri mematung, menatap punggung kecil Niel yang semakin menjauh. Jantungnya berdebar, dan perasaan yang sulit diuraikan memenuhi dadanya. Anak itu… tatapan polosnya, suara lembutnya, ucapan terima kasih yang sederhana namun menghujam. Sesuatu di dalam dirinya bergetar.Dia merasa seolah baru saja bertemu dengan bagian dari hidupnya yang hilang, bagian yang tak pernah dia ketahui ada, namun kini tiba-tiba hadir di depan matanya."Ibu… aku sudah selesai," suara Niel terdengar dari kejauhan, ketika dia meraih tangan Nandia dengan erat.Nandia menatap putranya dengan penuh cinta, namun ada rasa cemas yang menghantui di balik senyumnya. Dia tahu Danu memperhatikan mereka—dia bisa merasakannya meskipun tidak menoleh. Setelah semua yang terjadi, Nandia tidak ingin membuka luka lama atau memperburuk situasi. Dia hanya ingin melindungi Niel dan menjaga jarak dari keluarga Hadiwijaya.Tapi detik itu juga, dia sadar bahwa garis pertempuran baru telah terbuka.“Nandia…” Suara berat Danu a
Setelah pertemuan itu, pikiran Nandia penuh dengan bayangan Danu. Meskipun, dia berusaha untuk menjalani kehidupannya dengan normal. Rasa takut, marah, dan penyesalan menggerogoti hatinya. Dia tahu, ancaman Danu bukan sekadar kata-kata kosong. Jika dia benar-benar bertekad, Nandia tak yakin bisa terus menyembunyikan identitas Niel. Tapi, demi putranya, Niel, apapun akan Nandia lakukan untuk melindunginya. Dulu, Danu sudah membuat hidupnya hancur, tetapi sekarang, Nandia tidak akan membiarkan Danu mengulanginya kembali Hari-hari berikutnya, Nandia selalu was-was. Setiap kali saat dia menjemput dan mengantar putranya. Dia selalu menengok ke kanan dan ke kiri memastikan bahwa tidak ada Danu, ataupun keluarga Danu lainnya. Sementara itu, Danu tak tinggal diam. Dia mulai mencari tahu, bertanya ke orang-orang terdekatnya dan mencari informasi tentang Nandia. Semakin dalam dia menggali, semakin banyak potongan-potongan fakta yang mulai mengarah pada satu kesimpulan yang tak bisa dia abaik
Di rumah keluarga Hadiwijaya, Lidia duduk di ruang tamu sambil memutar cangkir teh di tangannya. Ekspresinya keras, penuh dengan tekad. Di hadapannya, Diana duduk dengan tubuh yang sedikit tegang, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut ibu Danu. Lidia sudah lama menaruh harapan besar pada Diana. Wanita itu adalah pilihan yang tepat untuk Danu—lemah lembut, penurut, dan setia. Namun, kenyataan bahwa putranya masih enggan mengambil langkah untuk menikahi Diana membuat Lidia semakin frustrasi."Diana," Lidia memulai dengan suara dingin namun tegas. "Aku sudah cukup sabar menunggu. Kamu juga sudah banyak berkorban untuk keluarga ini, terutama untuk Danu. Sekarang, saatnya kamu bertindak lebih agresif."Diana menelan ludah, merasa beban berat menimpa bahunya. "Tapi, Tante, aku—""Aku tidak mau mendengar alasan lagi," potong Lidia dengan nada memaksa. "Danu terlalu sibuk dengan urusannya, tapi aku yakin dia masih ada perasaan untukmu. Kamu harus lebih pintar memainkan peranmu. Dat
Danu memandang layar ponselnya dengan raut wajah tegang. “Ini tentang perusahaan, ada masalah besar!” kata Galih, nada suaranya penuh kecemasan.Diana melangkah mendekat, mencoba memahami situasinya. "Danu, apa yang terjadi? Apa ada yang salah dengan perusahaan?"Namun, Danu tidak menanggapi. Dengan gerakan cepat, dia merogoh kunci mobil dari saku celananya dan berjalan keluar ruangan tanpa sepatah kata lagi. Diana mencoba mengejar, tapi langkah Danu sudah terlalu jauh. Melihat Danu telah pergi, Nandia pun akhirnya mengajak Niel kembali pulang. Bocah kecil itu menurut saja dengan apa yang disuruh oleh sang mama. Di dalam mobil, Nandia memejamkan matanya, berusaha mencari banyak stok kesabaran. Karena setelah ini, dia akan menghadapi kemarahan Danu akibat perbuatannya.---Danu memacu mobilnya menuju kantor dengan pikiran carut marut. Mendengar apa yang diucapkan Galih tadi, membuat dia sampai meninggalkan Diana begitu saja. Dia yakin, wanita itu sekarang pasti marah dan mengadu pada
Danu duduk di kursi kantor dengan tangan mengusap wajah, pikirannya masih tak tenang. Nama James terus berputar di kepalanya. Danu tidak pernah takut jika James menyerobot bisnisnya, tapi Nandia. Tidak! Dia tidak bisa menyerahkan Nandia begitu saja pada lelaki sekelas James. Sedari tadi, Danu memutar otaknya agar bisa menyaingi permainan licik James. Dering ponsel memecah keheningan di ruangan Danu. Tanpa ragu, dia mengangkatnya, berharap ada kabar baik dari Galih. Namun, suara asistennya justru membawa kabar yang semakin membakar amarahnya. "Tuan, saya sudah mendapat sedikit info, tapi ini belum sepenuhnya terverifikasi," suara Galih terdengar hati-hati di seberang. "Teruskan," desak Danu, nadanya tajam. "Nandia membatalkan kerja sama karena James menawarkan keuntungan yang lebih besar dari kita. Selain itu..." Galih terdiam, seolah ragu untuk melanjutkan. "Selain itu apa?" Danu mengepalkan tangannya, perasaannya mulai tidak enak. "James sepertinya juga menyukai Nandia, Tuan. D
Danu memandang layar laptopnya dengan ekspresi dingin. Beberapa berkas yang telah dikumpulkan Galih sekarang terbuka di hadapannya, menampilkan seluruh bukti kelicikan James dalam beberapa transaksi bisnis terakhir. Mulai dari penggelapan aset hingga pemanipulasian kontrak kerja sama dengan berbagai perusahaan. Danu menggertakkan giginya, amarah semakin membara dalam hatinya. "Ini lebih buruk dari yang kuduga. Lelaki licik itu ternyata tidak lebih dari seorang pecundang. Aku tidak akan membiarkan kamu mengalahkanku, apalagi menghancurkan Nandia!" gumamnya. Dengan segera, Danu meraih ponselnya dan mengetik pesan singkat kepada Nandia, memintanya untuk bertemu. Sudah saatnya Nandia tahu dengan siapa dia berurusan. Meski perasaan terhadap Nandia bercampur antara kesal dan kecewa, dia tidak ingin perempuan itu terjebak lebih dalam dalam permainan kotor James. --- Beberapa jam kemudian, Nandia tiba di kafe tempat mereka berjanji bertemu. Wajahnya terlihat penuh pertanyaan, namun Da
Nandia, jika Danu tak bisa melihat betapa berharganya dirimu, biarkan aku yang menunjukkannya. Karena, sungguh, kau lebih indah dari sekadar kenangan atau penyesalan." Mata mereka bertemu. Ada magnet tak terlihat di antara keduanya, membuat Nandia sulit berpikir jernih. "Percayalah, di sisiku, kau bukan hanya mitra bisnis," tambah James, kali ini suaranya sangat lembut. "Kau akan jadi ratu—ratu dari setiap mimpi dan ambisi yang bisa kita capai bersama." Nandia ingin menolak. Ingin mengatakan bahwa semua ini hanyalah permainan kata-kata. Tapi di bawah tatapan tajam dan senyum menawan James, semua pertahanan terasa rapuh. James menyentuh tangannya sekali lagi, kali ini lebih lama. "Jadi, bagaimana?" tanyanya pelan namun pasti. "Izinkan aku menjadi alasan senyummu, Nandia." Nandia menggigit bibirnya. "Apa kau yakin ini pilihan tepat, James? Situasinya tidak mudah, apalagi, aku memutuskan kerjasama dengan Danu karenamu..." James menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya tak lepas dari
Enam bulan kemudian ..."Mas, sepertinya, aku akan melahirkan," teriak Nandia saat Danu akan memulai kegiatan panasnya."Sayang, kamu jangan bercanda. Aku belum mulai nih," keluh Danu saat lelaki itu mencumbu istrinya.Nandia mendorong tubuh sang suami. "Mas, aku beneran. Ketubanku sudah pecah!""Apa!"Danu pun segera memakaikan pakaian di tubuh sang istri. Setelah itu memakai pakaiannya sendiri. Dia lalu menggendong sang istri kemudian berteriak pada sopir untuk menyiapkan mobilnya.Mobil pun segera melaju ke rumah sakit tempat Nandia periksa kandungan. Danu sudah menelepon pihak rumah sakit agar dokter kandungan Nandia sudah stand by disana saat mereka tiba di rumah sakit.Tak lama kemudian, Danu sudah sampai di rumah sakit. Nandia langsung dibawa ke ruang bersalin. Danu pun mengikutinya dari belakang.Danu ingin masuk ke dalam, tapi dilarang oleh perawat. Ternyata, air ketuban Nandia telah habis. Akan sangat menyakitkan jika Nandia memaksa melahirkan secara normal.Dengan terpaks
“Reihan, Tasya tidak akan melarikan diri. Jadi, kamu jangan gugup seperti itu,” ujar Danu yang bermaksud menghibur sepupunya.Reihan hanya tersenyum kecut melihat candaan Danu yang sama sekali nggak lucu itu."Kamu nggak usah menasehatiku! Kamu nggak tahu bagaimana rasanya menikah. Ohh iya, aku lupa, kamu dulu menikahi Nandia dengan terpaksa ya, jadi tidak merasa gugup sama sekali, yang ada, kamu malah kesel karena menikah dengannya." Reihan membalasnya dengan sindiran membuat Danu langsung memukul saudara sepupunya dengan tongkat penyanggah kakinya.Kedua saudara sepupu itu memang seperti tom and jerry jika bertemu. Meskipun, jauh di dalam lubuk hati, mereka saling menyayangi. Buktinya, meski keadaannya belum sehat, danu memaksakan hadir di pernikahan saudara sepupunya.Bukannya mengaduh kesakitan, Reihan justru tertawa kecil, sambil menggelengkan kepala. “Aku hanya bercanda. Meski aku belum mencintai Tasya, tapi aku ingin memastikan semuanya sempurna untuknya.” “Percayalah, Tasya h
"Mike, kamu datang?" tanya Nandia yang kaget saat melihat Mike tiba-tiba berdiri di depan ruangan Danu. Lelaki itu memancarkan senyum manis menatap wanita yang hingga saat ini menempati tahta tertinggi di hatinya. "Aku ingin melihatmu Nandia. Sudah lama kamu tidak ke kantor, sekaligus, membawa file yang harus kamu tandatangani, dan ... aku ingin bicara serius denganmu." "Sebentar ya Mike, aku masih harus membersihkan bekas mandi Danu dulu. Danu tidak nyaman jika dimandikan oleh perawat" Mike berdiri memandangi Nandia yang sedang membawa air bekas mandi Danu ke kamar mandi . Hatinya terasa berat, tapi ia tahu bahwa sudah tidak ada lagi kesempatan baginya. Dan sekarang, saatnya dia harus pergi. Danu memerhatikan Mike dari sudut matanya, merasa ada sesuatu yang ingin disampaikan pria itu. Namun, sebelum ia sempat bertanya, Nandia berbalik dan menghampiri Mike. “Mike, ada yang ingin kamu bicarakan?” tanya Nandia, tersenyum lembut. Mike mengangguk, lalu memberi isyarat agar mer
Nandia masih gemetar setelah insiden mengerikan itu. Dia duduk di sofa kecil di sudut ruangan, ditemani Galih dan Kakek Anggara. Meski tubuhnya lelah, pikirannya terus berpacu. Tatapan penuh kekhawatiran menghiasi wajahnya saat memandangi Danu yang masih terbaring lemah di ranjang dengan alat-alat medis yang membantu kehidupannya. “Jadi, pria itu mengincar Danu?” tanya Kakek Anggara dengan suara berat, matanya menatap tajam ke arah Galih. “Ini jelas bukan kebetulan.” Galih, yang sejak tadi tampak gelisah, mengangguk pelan. “Betul, Kek. Dia bukan orang biasa. Dari identitas yang kami dapat, dia bernama Reno, mantan kekasih Diana. Ini bukan pertama kalinya dia berurusan dengan hal-hal berbahaya.” Mendengar itu, Nandia langsung menatap Galih dengan mata melebar. “Mantan kekasih Diana? Jadi... ini semua ada hubungannya dengan Diana? Tapi, dia sudah dipenjara. Bagaimana mungkin?” Galih menghela napas berat. “Kita belum tahu sejauh apa keterlibatan Diana. Tapi dari pengakuan sementa
“Aku akan sembuh… demi kamu… demi anak-anak kita…” Nandia mengangguk penuh keyakinan. Dalam hatinya, ia tahu bahwa perjuangan mereka belum selesai, tetapi dengan kehadiran Danu di sisinya, ia merasa mampu menghadapi segalanya. --- Di luar kamar, suara malam perlahan mereda. Namun, di dalam ruang VVIP itu, cinta dan harapan kembali tumbuh. Nandia menggenggam tangan Danu erat, bersumpah dalam hatinya untuk melindungi keluarga kecil mereka dengan segenap tenaga. Di sisi lain, Lidia tersenyum sambil memandangi mereka dari kejauhan, yakin bahwa mukjizat ini adalah awal dari lembaran baru untuk mereka semua. Nandia kembali duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Danu yang masih lemah. Rasa syukur yang sempat membanjiri hatinya kini bercampur dengan kecemasan, terutama setelah mendengar bisikan samar Danu sebelum tak sadarkan diri lagi. Namun, ia mencoba menenangkan dirinya. Beberapa saat kemudian, pintu kamar VVIP itu terbuka perlahan. Seorang pria berpakaian putih lengkap denga
"Danu, kamu harus bangun Danu! Aku mencintaimu!" Tubuh Nandia bergetar hebat saat ia memeluk Danu, mencoba membangunkan suaminya yang tak lagi memberikan respons. Air matanya membasahi baju rumah sakit Danu yang terasa dingin. Monitor jantung di samping tempat tidur masih menunjukkan garis lurus yang menandakan Danu telah pergi untuk selamanya. “Danu, bangun! Aku butuh kamu… Niel butuh kamu…dan anak yang aku kandung ini juga butuh kamu,” isaknya putus asa. Tangannya yang gemetar terus mengguncang tubuh Danu, berharap ada keajaiban dan sang suami bangun kembali. Namun, tubuh itu tetap tak bergerak. Di sudut ruangan, Niel masih berdiri kaku, matanya terus menatap tubuh ayahnya. Lidia, yang berada di sampingnya, hanya bisa memeluk cucunya erat, berusaha memberikan ketenangan meski hatinya juga remuk redam. “Papa nggak akan bangun lagi ya, Oma?” bisik Niel dengan suara kecil, penuh ketakutan. Lidia mengusap kepala Niel, berusaha menahan tangis. “Kita berdoa saja ya, Sayang. H
Di ruang perawatan VVIP, suasana penuh keheningan yang menyayat hati. Monitor jantung Danu berbunyi lemah, menunjukkan garis naik turun yang semakin lambat. Nandia duduk di sisi tempat tidur, menggenggam tangan suaminya yang dingin. Air matanya tak pernah berhenti mengalir sejak Danu mengalami penurunan tadi. Meski kondisinya masih lemah. Dia tak ingin kehilangan momen bersama suaminya. Di sudut ruangan, Niel berdiri dekat Lidia, wanita paruh baya itu benar-benar sudah berubah. Sedari kemarin, dia merawat Nandia hingga kondisinya membaik. Wajah Lidia pun terlihat cemas, sementara tangannya memegang bahu Niel yang gemetar. “Nandia, kamu harus makan sesuatu. Kamu nggak bisa terus seperti ini,” ujar Lidia pelan, mencoba membujuk menantunya. Namun, Nandia menggeleng dengan lemah. “Aku nggak bisa, Ma. Aku nggak akan meninggalkan Danu, walaupun hanya sedetik.” Lidia menghela napas panjang. "Nandia, kamu harus makan, demi bayi yang ada dalam kandunganmu. Dia butuh asupan makanan untu
Di Rumah Sakit Saat ambulan tiba di rumah sakit, dokter langsung membawa Danu ke ruang operasi. Karena saat berada di dalam ambulan, dokter jaga sudah memeriksa keadaan Danu. Nandia mengikuti brankar Danu dari belakang sambil menggendong Niel. Meski bocah itu tak mau digendong, tetapi Nandia tak tega. Apalagi, saat melihat luka di leher dan juga di pipi sang putra. Meskipun sudah diobati saat di ambulan tadi, tetap saja, Nandia merasa bersalah karena tidak mampu melindungi putranya. Pintu ruang operasi tertutup rapat, di atasnya lampu merah menyala, menandakan operasi Danu sedang berlangsung. Waktu terasa berjalan begitu lambat. “Mama, apa Papa akan baik-baik saja?” tanya Niel, suaranya serak. Nandia mengelus kepala putranya dengan lembut, meski hatinya penuh kecemasan. “Papa kamu kuat, Niel. Dia pasti akan bertahan.” Niel hanya menganggukkan kepalanya. Matanya terus menatap pintu ruangan operasi. Rasa khawatir pada sang ayah begitu besar. Beberapa saat kemudian, dokter
Wajah Danu tetap datar, meskipun di dalam hatinya ingin rasanya dia menghancurkan pintu itu. "Tunggu aba-abaku," katanya dingin. Namun, di dalam gudang, Andra mulai merasa ada yang aneh. "Hei, kau dengar sesuatu?" tanyanya pada salah satu pria. "Apa maksudmu?" Andra melangkah ke arah pintu, mencoba memastikan, tetapi saat itu juga Danu memberi isyarat. "Sekarang!" Pintu gudang diterjang oleh salah satu anak buahnya, dan kelompok itu langsung menyerbu masuk. Tembakan peringatan dilepaskan ke udara, membuat semua orang di dalam panik. "Andra!" suara Danu menggema di ruangan itu. "berani kau menyentuh anakku, dan aku akan memastikan kau tak punya tempat untuk bersembunyi." Andra tertegun, tetapi ia segera mengambil pistol dari pinggangnya. "Berhenti di situ, Danu, atau anakmu akan meninggal!" ancamnya, mengarahkan pistol ke kepala Niel. Niel menatap Danu dengan tenang, seolah tahu bahwa ayahnya tak akan kalah dalam situasi ini. "Lepaskan dia," ucap Danu, suaranya rendah