Danu memandang layar laptopnya dengan ekspresi dingin. Beberapa berkas yang telah dikumpulkan Galih sekarang terbuka di hadapannya, menampilkan seluruh bukti kelicikan James dalam beberapa transaksi bisnis terakhir. Mulai dari penggelapan aset hingga pemanipulasian kontrak kerja sama dengan berbagai perusahaan. Danu menggertakkan giginya, amarah semakin membara dalam hatinya. "Ini lebih buruk dari yang kuduga. Lelaki licik itu ternyata tidak lebih dari seorang pecundang. Aku tidak akan membiarkan kamu mengalahkanku, apalagi menghancurkan Nandia!" gumamnya. Dengan segera, Danu meraih ponselnya dan mengetik pesan singkat kepada Nandia, memintanya untuk bertemu. Sudah saatnya Nandia tahu dengan siapa dia berurusan. Meski perasaan terhadap Nandia bercampur antara kesal dan kecewa, dia tidak ingin perempuan itu terjebak lebih dalam dalam permainan kotor James. --- Beberapa jam kemudian, Nandia tiba di kafe tempat mereka berjanji bertemu. Wajahnya terlihat penuh pertanyaan, namun Da
Nandia, jika Danu tak bisa melihat betapa berharganya dirimu, biarkan aku yang menunjukkannya. Karena, sungguh, kau lebih indah dari sekadar kenangan atau penyesalan." Mata mereka bertemu. Ada magnet tak terlihat di antara keduanya, membuat Nandia sulit berpikir jernih. "Percayalah, di sisiku, kau bukan hanya mitra bisnis," tambah James, kali ini suaranya sangat lembut. "Kau akan jadi ratu—ratu dari setiap mimpi dan ambisi yang bisa kita capai bersama." Nandia ingin menolak. Ingin mengatakan bahwa semua ini hanyalah permainan kata-kata. Tapi di bawah tatapan tajam dan senyum menawan James, semua pertahanan terasa rapuh. James menyentuh tangannya sekali lagi, kali ini lebih lama. "Jadi, bagaimana?" tanyanya pelan namun pasti. "Izinkan aku menjadi alasan senyummu, Nandia." Nandia menggigit bibirnya. "Apa kau yakin ini pilihan tepat, James? Situasinya tidak mudah, apalagi, aku memutuskan kerjasama dengan Danu karenamu..." James menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya tak lepas dari
Danu berdiri di depan pintu apartemen Diana, berusaha menenangkan dirinya. Pikirannya masih berkecamuk setelah pesan dari Nandia. Dia hampir membalas pesan itu ketika telepon dari Lidia datang, meminta dia memenuhi undangan Diana malam ini. “Dengarkan aku, Danu. Diana punya pengaruh besar dalam dunia bisnis. Jangan tolak. Aku tahu kamu sibuk, tapi sekali ini saja, anggap saja sebagai kerja sama,” Lidia memperingatkannya dengan nada tegas.Danu menghela napas panjang dan mengetuk pintu. Tak lama kemudian, pintu terbuka, menampilkan Diana dalam balutan gaun merah panjang tanpa lengan, dengan belahan bawah hingga paha dan potongan dada yang rendah. Tak lupa senyum tipisnya yang menggoda."Masuklah, Danu," Diana mempersilakan dengan suara lembut, tapi mata birunya menyiratkan sesuatu yang lebih.Danu memasuki apartemen mewah itu dengan langkah kaku. Diana memperhatikan gerak-geriknya, seperti seekor kucing yang bermain dengan mangsanya. "Kamu datang tepat waktu," katanya sambil menutup pi
Galih berdiri di depan pintu apartemen Diana, mengetuk dengan tegas, tetapi tetap sopan. Di dalam, Diana memutar bola matanya kesal. “Siapa yang menggangguku?” gumamnya. Danu yang setengah sadar terbaring di sofa, terlihat lemah dan kehilangan kendali. Diana menatapnya dengan ekspresi kecewa, sadar momen yang ia rencanakan dengan sempurna kini berada di ambang kehancuran. “Siapa itu?” suara Danu terdengar serak, namun Diana mendekat, menyentuh bibir pria itu lembut dan berbisik, “Jangan pedulikan. Kita hanya perlu sedikit lebih lama.” Tapi ketukan semakin keras. Danu pun menyuruh Diana membuka pintu. Dengan wajah bersungut kesal, Diana pun bangkit dan melangkahkan kakinya untuk membuka pintu apartemennya. Saat pintu iy terbuka, muncul wajah seseorang yang sangat tak ingin Diana lihat. "Kamu!" --- Beberapa Jam Sebelumnya Di dalam mobil hitam yang berhenti di depan gedung apartemen, Galih melihat gelagat aneh dari bosnya. Danu tampak gelisah, menggigit bibir, sesekali memeg
Nandia menatap tubuh Danu yang terkulai di lantai dengan panik. Nafasnya terengah-engah, dan seluruh tubuhnya gemetar. “Danu! Bangun!” serunya, mengguncang bahu pria itu. Tapi Danu tak merespons, hanya terdengar helaan nafas lemah dari bibirnya yang pucat. “Astaga…” Nandia bergumam dengan cemas. Tanpa pikir panjang, dia memanggil Asih, asisten rumah tangga yang baru saja selesai membereskan dapur. “Asih, cepat bantu saya! Bawa dia ke kamar tamu!” perintah Nandia dengan suara mendesak. “Asih angguk cepat dan menghampiri. Bersama-sama, mereka mengangkat tubuh Danu dan membaringkannya di ranjang kamar tamu. Nandia menatap wajah Danu yang pucat dan keringat dingin yang mengucur deras dari dahinya. Ada sesuatu yang salah—sangat salah. --- Nandia segera meraih ponselnya dan menelepon dokter langganannya. “Dokter, saya butuh Anda datang sekarang. Ini darurat. Seorang teman pingsan tiba-tiba setelah terlihat terlalu bergairah.” Beberapa menit kemudian, suara bel rumah berbunyi. N
Nandia mengernyitkan dahinya saat membaca pesan dari Diana. Wanita itu pun memberikan handphone-nya pada Galih. “Galih, kamu lihat ini. Apa maksud Diana dengan mengirimiku pesan seperti ini?" tanyanya. Galih menatap sekilas pesan itu. Mulai mengerti dengan apa yang sedang dimainkan oleh Diana. “Nyonya, saya tidak tahu apa yang sedang direncanakan oleh Nona Diana. Hanya saja, saya sudah bisa membaca langkahnya. Cuma, saya tidak berani mengatakannya pada Tuan. Mungkin, Nyonya bisa mencegahnya-" Galih berhenti sejenak, tampak ragu untuk melanjutkan. Nandia mengerutkan kening, semakin penasaran. “Apa maksud kamu, Galih? Bicara yang jelas!” Galih menatap Nandia dengan penuh simpati, lalu duduk di kursi sampingnya. “Setelah Nyonya pergi, Tuan Danu sangat terpukul. Saya tidak pernah melihatnya begitu hancur sebelumnya. Awalnya dia mencoba kuat, tapi setelah beberapa bulan... dia mulai menjauh dari semua orang. Terutama Nyonya Lidia.Mereka sering kali bertengkar tiap kali bertemu. Nona Di
Nandia berjalan keluar dari ruang dokter dengan wajah cemas. Kabar tentang kondisi Danu memang mengejutkan, tapi dia memutuskan untuk tidak larut dalam emosi. Saat dia kembali menuju kamar rawat Danu, langkahnya terhenti begitu melihat sosok Diana berdiri di depan pintu kamar dengan senyum sinis yang membuat emosinya kembali naik. "Ah, Nandia... Kamu sudah di sini rupanya. Terima kasih ya, sudah merawat tunanganku," sapa Diana dengan nada manis, tapi penuh ejekan. Nandia menatap tajam. “Apa yang kamu lakukan di sini, Diana?” Diana melangkah maju, wajahnya dipenuhi kesombongan seolah-olah dia istri sah Danu. “Tentu saja aku datang untuk menjemput Danu. Bagaimanapun, aku ini tunangannya.” Kalimat itu membuat dia tak sanggup lagi menahan emosinya. Namun, dia berusaha untuk meredamnya. Dia harus bisa bermain licik sama seperti halnya Diana. “Danu masih butuh perawatan. Dia nggak bisa pergi dari rumah sakit sekarang.” Diana tertawa kecil. “Oh? Kamu masih peduli, ya? Aneh sekali,
Nandia berdiri di samping ranjang Danu, mencoba meredakan emosi yang memenuhi relung hatinya. Pesan singkat dari Diana masih menghantui pikirannya. Apa lagi rencana licik wanita itu? Nandia tahu, Diana bukan tipe orang yang mundur begitu saja. Di sisi lain, melihat Danu yang terbaring lemah membuat hatinya merasa tak tega. Apa pun kesalahannya di masa lalu, Danu tidak pantas diperdaya oleh wanita licik seperti Diana. Danu menarik napas dalam, lalu menatap Nandia dengan senyum lemah. “Aku nggak nyangka kamu masih di sini,” ucapnya pelan, suaranya serak namun terdengar penuh harap. Nandia tersenyum tipis, meski hatinya dag dig dug tak karuan. “Aku cuma memastikan kamu baik-baik saja.” Danu memiringkan kepalanya, mempelajari wajah Nandia. “Benarkah cuma itu? Atau sebenarnya kamu masih peduli sama aku?” Nandia memutar bola matanya malas. Bukan pertanyaan itu yang ingin dia dengar sekarang, meski dia tahu, Danu memiliki hak untuk bertanya. Bagaimanapun, mereka pernah menjalani hidup be
Enam bulan kemudian ..."Mas, sepertinya, aku akan melahirkan," teriak Nandia saat Danu akan memulai kegiatan panasnya."Sayang, kamu jangan bercanda. Aku belum mulai nih," keluh Danu saat lelaki itu mencumbu istrinya.Nandia mendorong tubuh sang suami. "Mas, aku beneran. Ketubanku sudah pecah!""Apa!"Danu pun segera memakaikan pakaian di tubuh sang istri. Setelah itu memakai pakaiannya sendiri. Dia lalu menggendong sang istri kemudian berteriak pada sopir untuk menyiapkan mobilnya.Mobil pun segera melaju ke rumah sakit tempat Nandia periksa kandungan. Danu sudah menelepon pihak rumah sakit agar dokter kandungan Nandia sudah stand by disana saat mereka tiba di rumah sakit.Tak lama kemudian, Danu sudah sampai di rumah sakit. Nandia langsung dibawa ke ruang bersalin. Danu pun mengikutinya dari belakang.Danu ingin masuk ke dalam, tapi dilarang oleh perawat. Ternyata, air ketuban Nandia telah habis. Akan sangat menyakitkan jika Nandia memaksa melahirkan secara normal.Dengan terpaks
“Reihan, Tasya tidak akan melarikan diri. Jadi, kamu jangan gugup seperti itu,” ujar Danu yang bermaksud menghibur sepupunya.Reihan hanya tersenyum kecut melihat candaan Danu yang sama sekali nggak lucu itu."Kamu nggak usah menasehatiku! Kamu nggak tahu bagaimana rasanya menikah. Ohh iya, aku lupa, kamu dulu menikahi Nandia dengan terpaksa ya, jadi tidak merasa gugup sama sekali, yang ada, kamu malah kesel karena menikah dengannya." Reihan membalasnya dengan sindiran membuat Danu langsung memukul saudara sepupunya dengan tongkat penyanggah kakinya.Kedua saudara sepupu itu memang seperti tom and jerry jika bertemu. Meskipun, jauh di dalam lubuk hati, mereka saling menyayangi. Buktinya, meski keadaannya belum sehat, danu memaksakan hadir di pernikahan saudara sepupunya.Bukannya mengaduh kesakitan, Reihan justru tertawa kecil, sambil menggelengkan kepala. “Aku hanya bercanda. Meski aku belum mencintai Tasya, tapi aku ingin memastikan semuanya sempurna untuknya.” “Percayalah, Tasya h
"Mike, kamu datang?" tanya Nandia yang kaget saat melihat Mike tiba-tiba berdiri di depan ruangan Danu. Lelaki itu memancarkan senyum manis menatap wanita yang hingga saat ini menempati tahta tertinggi di hatinya. "Aku ingin melihatmu Nandia. Sudah lama kamu tidak ke kantor, sekaligus, membawa file yang harus kamu tandatangani, dan ... aku ingin bicara serius denganmu." "Sebentar ya Mike, aku masih harus membersihkan bekas mandi Danu dulu. Danu tidak nyaman jika dimandikan oleh perawat" Mike berdiri memandangi Nandia yang sedang membawa air bekas mandi Danu ke kamar mandi . Hatinya terasa berat, tapi ia tahu bahwa sudah tidak ada lagi kesempatan baginya. Dan sekarang, saatnya dia harus pergi. Danu memerhatikan Mike dari sudut matanya, merasa ada sesuatu yang ingin disampaikan pria itu. Namun, sebelum ia sempat bertanya, Nandia berbalik dan menghampiri Mike. “Mike, ada yang ingin kamu bicarakan?” tanya Nandia, tersenyum lembut. Mike mengangguk, lalu memberi isyarat agar mer
Nandia masih gemetar setelah insiden mengerikan itu. Dia duduk di sofa kecil di sudut ruangan, ditemani Galih dan Kakek Anggara. Meski tubuhnya lelah, pikirannya terus berpacu. Tatapan penuh kekhawatiran menghiasi wajahnya saat memandangi Danu yang masih terbaring lemah di ranjang dengan alat-alat medis yang membantu kehidupannya. “Jadi, pria itu mengincar Danu?” tanya Kakek Anggara dengan suara berat, matanya menatap tajam ke arah Galih. “Ini jelas bukan kebetulan.” Galih, yang sejak tadi tampak gelisah, mengangguk pelan. “Betul, Kek. Dia bukan orang biasa. Dari identitas yang kami dapat, dia bernama Reno, mantan kekasih Diana. Ini bukan pertama kalinya dia berurusan dengan hal-hal berbahaya.” Mendengar itu, Nandia langsung menatap Galih dengan mata melebar. “Mantan kekasih Diana? Jadi... ini semua ada hubungannya dengan Diana? Tapi, dia sudah dipenjara. Bagaimana mungkin?” Galih menghela napas berat. “Kita belum tahu sejauh apa keterlibatan Diana. Tapi dari pengakuan sementa
“Aku akan sembuh… demi kamu… demi anak-anak kita…” Nandia mengangguk penuh keyakinan. Dalam hatinya, ia tahu bahwa perjuangan mereka belum selesai, tetapi dengan kehadiran Danu di sisinya, ia merasa mampu menghadapi segalanya. --- Di luar kamar, suara malam perlahan mereda. Namun, di dalam ruang VVIP itu, cinta dan harapan kembali tumbuh. Nandia menggenggam tangan Danu erat, bersumpah dalam hatinya untuk melindungi keluarga kecil mereka dengan segenap tenaga. Di sisi lain, Lidia tersenyum sambil memandangi mereka dari kejauhan, yakin bahwa mukjizat ini adalah awal dari lembaran baru untuk mereka semua. Nandia kembali duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Danu yang masih lemah. Rasa syukur yang sempat membanjiri hatinya kini bercampur dengan kecemasan, terutama setelah mendengar bisikan samar Danu sebelum tak sadarkan diri lagi. Namun, ia mencoba menenangkan dirinya. Beberapa saat kemudian, pintu kamar VVIP itu terbuka perlahan. Seorang pria berpakaian putih lengkap denga
"Danu, kamu harus bangun Danu! Aku mencintaimu!" Tubuh Nandia bergetar hebat saat ia memeluk Danu, mencoba membangunkan suaminya yang tak lagi memberikan respons. Air matanya membasahi baju rumah sakit Danu yang terasa dingin. Monitor jantung di samping tempat tidur masih menunjukkan garis lurus yang menandakan Danu telah pergi untuk selamanya. “Danu, bangun! Aku butuh kamu… Niel butuh kamu…dan anak yang aku kandung ini juga butuh kamu,” isaknya putus asa. Tangannya yang gemetar terus mengguncang tubuh Danu, berharap ada keajaiban dan sang suami bangun kembali. Namun, tubuh itu tetap tak bergerak. Di sudut ruangan, Niel masih berdiri kaku, matanya terus menatap tubuh ayahnya. Lidia, yang berada di sampingnya, hanya bisa memeluk cucunya erat, berusaha memberikan ketenangan meski hatinya juga remuk redam. “Papa nggak akan bangun lagi ya, Oma?” bisik Niel dengan suara kecil, penuh ketakutan. Lidia mengusap kepala Niel, berusaha menahan tangis. “Kita berdoa saja ya, Sayang. H
Di ruang perawatan VVIP, suasana penuh keheningan yang menyayat hati. Monitor jantung Danu berbunyi lemah, menunjukkan garis naik turun yang semakin lambat. Nandia duduk di sisi tempat tidur, menggenggam tangan suaminya yang dingin. Air matanya tak pernah berhenti mengalir sejak Danu mengalami penurunan tadi. Meski kondisinya masih lemah. Dia tak ingin kehilangan momen bersama suaminya. Di sudut ruangan, Niel berdiri dekat Lidia, wanita paruh baya itu benar-benar sudah berubah. Sedari kemarin, dia merawat Nandia hingga kondisinya membaik. Wajah Lidia pun terlihat cemas, sementara tangannya memegang bahu Niel yang gemetar. “Nandia, kamu harus makan sesuatu. Kamu nggak bisa terus seperti ini,” ujar Lidia pelan, mencoba membujuk menantunya. Namun, Nandia menggeleng dengan lemah. “Aku nggak bisa, Ma. Aku nggak akan meninggalkan Danu, walaupun hanya sedetik.” Lidia menghela napas panjang. "Nandia, kamu harus makan, demi bayi yang ada dalam kandunganmu. Dia butuh asupan makanan untu
Di Rumah Sakit Saat ambulan tiba di rumah sakit, dokter langsung membawa Danu ke ruang operasi. Karena saat berada di dalam ambulan, dokter jaga sudah memeriksa keadaan Danu. Nandia mengikuti brankar Danu dari belakang sambil menggendong Niel. Meski bocah itu tak mau digendong, tetapi Nandia tak tega. Apalagi, saat melihat luka di leher dan juga di pipi sang putra. Meskipun sudah diobati saat di ambulan tadi, tetap saja, Nandia merasa bersalah karena tidak mampu melindungi putranya. Pintu ruang operasi tertutup rapat, di atasnya lampu merah menyala, menandakan operasi Danu sedang berlangsung. Waktu terasa berjalan begitu lambat. “Mama, apa Papa akan baik-baik saja?” tanya Niel, suaranya serak. Nandia mengelus kepala putranya dengan lembut, meski hatinya penuh kecemasan. “Papa kamu kuat, Niel. Dia pasti akan bertahan.” Niel hanya menganggukkan kepalanya. Matanya terus menatap pintu ruangan operasi. Rasa khawatir pada sang ayah begitu besar. Beberapa saat kemudian, dokter
Wajah Danu tetap datar, meskipun di dalam hatinya ingin rasanya dia menghancurkan pintu itu. "Tunggu aba-abaku," katanya dingin. Namun, di dalam gudang, Andra mulai merasa ada yang aneh. "Hei, kau dengar sesuatu?" tanyanya pada salah satu pria. "Apa maksudmu?" Andra melangkah ke arah pintu, mencoba memastikan, tetapi saat itu juga Danu memberi isyarat. "Sekarang!" Pintu gudang diterjang oleh salah satu anak buahnya, dan kelompok itu langsung menyerbu masuk. Tembakan peringatan dilepaskan ke udara, membuat semua orang di dalam panik. "Andra!" suara Danu menggema di ruangan itu. "berani kau menyentuh anakku, dan aku akan memastikan kau tak punya tempat untuk bersembunyi." Andra tertegun, tetapi ia segera mengambil pistol dari pinggangnya. "Berhenti di situ, Danu, atau anakmu akan meninggal!" ancamnya, mengarahkan pistol ke kepala Niel. Niel menatap Danu dengan tenang, seolah tahu bahwa ayahnya tak akan kalah dalam situasi ini. "Lepaskan dia," ucap Danu, suaranya rendah