Galih berdiri di depan pintu apartemen Diana, mengetuk dengan tegas, tetapi tetap sopan. Di dalam, Diana memutar bola matanya kesal. “Siapa yang menggangguku?” gumamnya. Danu yang setengah sadar terbaring di sofa, terlihat lemah dan kehilangan kendali. Diana menatapnya dengan ekspresi kecewa, sadar momen yang ia rencanakan dengan sempurna kini berada di ambang kehancuran. “Siapa itu?” suara Danu terdengar serak, namun Diana mendekat, menyentuh bibir pria itu lembut dan berbisik, “Jangan pedulikan. Kita hanya perlu sedikit lebih lama.” Tapi ketukan semakin keras. Danu pun menyuruh Diana membuka pintu. Dengan wajah bersungut kesal, Diana pun bangkit dan melangkahkan kakinya untuk membuka pintu apartemennya. Saat pintu iy terbuka, muncul wajah seseorang yang sangat tak ingin Diana lihat. "Kamu!" --- Beberapa Jam Sebelumnya Di dalam mobil hitam yang berhenti di depan gedung apartemen, Galih melihat gelagat aneh dari bosnya. Danu tampak gelisah, menggigit bibir, sesekali memeg
Nandia menatap tubuh Danu yang terkulai di lantai dengan panik. Nafasnya terengah-engah, dan seluruh tubuhnya gemetar. “Danu! Bangun!” serunya, mengguncang bahu pria itu. Tapi Danu tak merespons, hanya terdengar helaan nafas lemah dari bibirnya yang pucat. “Astaga…” Nandia bergumam dengan cemas. Tanpa pikir panjang, dia memanggil Asih, asisten rumah tangga yang baru saja selesai membereskan dapur. “Asih, cepat bantu saya! Bawa dia ke kamar tamu!” perintah Nandia dengan suara mendesak. “Asih angguk cepat dan menghampiri. Bersama-sama, mereka mengangkat tubuh Danu dan membaringkannya di ranjang kamar tamu. Nandia menatap wajah Danu yang pucat dan keringat dingin yang mengucur deras dari dahinya. Ada sesuatu yang salah—sangat salah. --- Nandia segera meraih ponselnya dan menelepon dokter langganannya. “Dokter, saya butuh Anda datang sekarang. Ini darurat. Seorang teman pingsan tiba-tiba setelah terlihat terlalu bergairah.” Beberapa menit kemudian, suara bel rumah berbunyi. N
Nandia mengernyitkan dahinya saat membaca pesan dari Diana. Wanita itu pun memberikan handphone-nya pada Galih. “Galih, kamu lihat ini. Apa maksud Diana dengan mengirimiku pesan seperti ini?" tanyanya. Galih menatap sekilas pesan itu. Mulai mengerti dengan apa yang sedang dimainkan oleh Diana. “Nyonya, saya tidak tahu apa yang sedang direncanakan oleh Nona Diana. Hanya saja, saya sudah bisa membaca langkahnya. Cuma, saya tidak berani mengatakannya pada Tuan. Mungkin, Nyonya bisa mencegahnya-" Galih berhenti sejenak, tampak ragu untuk melanjutkan. Nandia mengerutkan kening, semakin penasaran. “Apa maksud kamu, Galih? Bicara yang jelas!” Galih menatap Nandia dengan penuh simpati, lalu duduk di kursi sampingnya. “Setelah Nyonya pergi, Tuan Danu sangat terpukul. Saya tidak pernah melihatnya begitu hancur sebelumnya. Awalnya dia mencoba kuat, tapi setelah beberapa bulan... dia mulai menjauh dari semua orang. Terutama Nyonya Lidia.Mereka sering kali bertengkar tiap kali bertemu. Nona Di
Nandia berjalan keluar dari ruang dokter dengan wajah cemas. Kabar tentang kondisi Danu memang mengejutkan, tapi dia memutuskan untuk tidak larut dalam emosi. Saat dia kembali menuju kamar rawat Danu, langkahnya terhenti begitu melihat sosok Diana berdiri di depan pintu kamar dengan senyum sinis yang membuat emosinya kembali naik. "Ah, Nandia... Kamu sudah di sini rupanya. Terima kasih ya, sudah merawat tunanganku," sapa Diana dengan nada manis, tapi penuh ejekan. Nandia menatap tajam. “Apa yang kamu lakukan di sini, Diana?” Diana melangkah maju, wajahnya dipenuhi kesombongan seolah-olah dia istri sah Danu. “Tentu saja aku datang untuk menjemput Danu. Bagaimanapun, aku ini tunangannya.” Kalimat itu membuat dia tak sanggup lagi menahan emosinya. Namun, dia berusaha untuk meredamnya. Dia harus bisa bermain licik sama seperti halnya Diana. “Danu masih butuh perawatan. Dia nggak bisa pergi dari rumah sakit sekarang.” Diana tertawa kecil. “Oh? Kamu masih peduli, ya? Aneh sekali,
Nandia berdiri di samping ranjang Danu, mencoba meredakan emosi yang memenuhi relung hatinya. Pesan singkat dari Diana masih menghantui pikirannya. Apa lagi rencana licik wanita itu? Nandia tahu, Diana bukan tipe orang yang mundur begitu saja. Di sisi lain, melihat Danu yang terbaring lemah membuat hatinya merasa tak tega. Apa pun kesalahannya di masa lalu, Danu tidak pantas diperdaya oleh wanita licik seperti Diana. Danu menarik napas dalam, lalu menatap Nandia dengan senyum lemah. “Aku nggak nyangka kamu masih di sini,” ucapnya pelan, suaranya serak namun terdengar penuh harap. Nandia tersenyum tipis, meski hatinya dag dig dug tak karuan. “Aku cuma memastikan kamu baik-baik saja.” Danu memiringkan kepalanya, mempelajari wajah Nandia. “Benarkah cuma itu? Atau sebenarnya kamu masih peduli sama aku?” Nandia memutar bola matanya malas. Bukan pertanyaan itu yang ingin dia dengar sekarang, meski dia tahu, Danu memiliki hak untuk bertanya. Bagaimanapun, mereka pernah menjalani hidup be
Nandia berdiri di lobi rumah sakit dengan gelisah. Kakinya mengetuk lantai marmer tanpa henti, sementara matanya tak lepas dari pintu keluar. Sopir yang dia suruh untuk menjemputnya tak kunjung datang. Apalagi, Diana kembali mengirim pesan bahwa wanita itu duduk di sebelah Niel yang tengah menggambar. Nandia pun semakin panik "Kamu dimana, Pak? Kenapa tak datang-datang? Apa sesuatu terjadi padamu?" Napas Nandia terasa semakin berat. Dia menggigit bibirnya keras-keras, berusaha menahan air mata dan rasa takut yang mulai menyesakkan dada. Pikirannya tak tenang membayangkan apa yang dilakukan Diana pada, Niel putranya? Namun, di tengah kepanikannya, seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Nandia pun menoleh dan melihat Rehan—sepupu Danu yang selalu ada di saat dia membutuhkan pertolongan. Sedetik kemudian, Nandia merasa lega. “Nandia? Kamu kenapa di sini? Kamu baik-baik saja?” tanya Rehan dengan raut wajah khawatir. Tanpa pikir panjang, Nandia meraih lengan Rehan. “Rehan, tolong
Hari ini, media diramaikan oleh beredarnya foto-foto Diana yang sedang merawat Danu di rumah sakit. Disana juga ada beberapa wartawan yang sedang mewawancarai mereka."Nona, Anda sangat telaten merawat Tuan danu," puji salah satu wartawan."Tentu saja, aku ini tunangan yang baik. Yang selalu menemani Danu dalam suka dan duka. Tidak seperti mantan istrinya, yang justru pergi meninggalkannya tanpa alasan yang jelas," kata Diana yamg berniat menyindir Nandia."Bukankah istri Tuan Danu dulu meninggal dunia karena kecelakaan?" wartawan itu membalasnya.Diana ingin membantah. Namun, suara tegas Danu menghentikannya. "Istri saya tidak pernah meninggalkan saya. Dia memang meninggal karena kecelakaan saat akan pergi menemui saya di kantor."Diana ingin protes, tapi mata tajam Danu membuat wanita itu pun mengurungkan niatnya. Sepertinya, strateginya kali ini dengan mengundang wartawan sangat tepat. Dengan begini, dunia tahu. Bahwa dialah pendamping setia Danu, bukan Nandia. Nandia sendiri tak
"Maaf Galih, aku tidak bisa."Nandia pun pergi meninggalkan kafe itu. Hatinya sudah mantap untuk memutuskan hubungan apapun dengan Danu. Entah itu masalah pekerjaan atau yang lainnya.Luka yang ditorehkan oleh Danu di masa lalu masih membekas di hatinya. Apalagi, saat ini, Danu telah bertunangan dengan Diana.Semua ini membuat hubungan mereka semakin sulit.Meskipun Danu berjanji akan memutuskan pertunangannya dengan Diana. Namun tidak semudah itu, publik sudah mengetahui Diana adalah tunangan Danu. Dan dia akan menjadi pihak yang disalahkan jika dia memaksakan hubungan ini."Jadi, dia menolak?" tanya Danu saat Galih kembali dengan wajah lesu."Maaf, Tuan. Saya tak bisa membujuk Nyonya," sesal Galih sambil menundukkan kepalanya.Danu pun akhirnya pulang ke rumahnya. Dia langsung masuk ke kamar dan merebahkan tubuhnya di ranjang. Dia pandangi ponsel yang sedari tadi menghitam. Berharap ada pesan dari Nandia yang mengatakan kalau dia berubah pikiran. Namun, hingga pagi menjelang, tak sat
Berita perceraian Danu dan Nandia telah sampai ke telinga Reihan. Meski perceraian mereka tidak diketahui oleh media. Namun, salah satu anak buah Reihan ada yang mengetahuinya. Dan dia pun memberitahukan pada Reihan tentang hal ini.Senyum pun terbit di bibir lelaki tampan itu. Dia akan kembali mendekati Nandia melalui Niel. Karena kunci Nandia ada pada kebahagiaan Niel. Dan dia telah memiliki rencana untuk mewujudkan impiannya."Niel, sabtu besok, Om Reihan akan mengajak Niel berkuda. Nanti akan Om belikan Niel sepatu boots baru dan juga topi untuk kita pakai saat berkuda." Niel yang memang sangat menyukai petualangan bersorak sorai. "Horee, aku akan pergi berkuda!" serunya. Hampir setiap hari, Niel melihat kalender karena tak sabar menunggu hari sabtu. --- Sabtu telah tiba. Pagi itu, suasana rumah Nandia terasa lebih hidup dari biasanya. Niel, bocah kecil itu berlari-lari kecil di halaman dengan sepatu boots yang baru dibelikan oleh Reihan. "Asyik, sebentar lagi, kita akan ber
"Aku tidak akan membiarkan semua ini berakhir, Nandia!" gumam Danu saat akan memasuki ruangan sidang. Lelaki itu sudah kembali pada sifat awalnya, dingin dan tak tersentuh. Dia melihat, Nandia duduk di salah satu kursi panjang, mengenakan blazer krem yang membuatnya terlihat lebih segar. Di depannya, Danu duduk dengan ekspresi dingin khas seorang Danu Adiwijaya. Hakim mediasi, seorang wanita berusia 50-an dengan kacamata bundar, memandang pasangan itu dengan tatapan tenang tapi tegas. "Tuan dan Nyonya Adiwijaya, ini adalah sesi terakhir mediasi. Saya berharap kita bisa mencapai kesepakatan hari ini." Nandia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara. "Yang Mulia, saya sudah memikirkan semua ini. Saya ingin berpisah." Danu menyilangkan tangannya, menatap Nandia tanpa ekspresi. "Saya tidak setuju dengan perceraian ini." Hakim mengangkat alisnya. "Tuan Danu, apa alasan Anda menolak perceraian?" Danu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. "Saya ingin men
Di taman "Hampir setengah, kenapa Niel belum kembali juga ya?" Gumam Nandia saat melihat jam yang melingkar di tangannya. Wanita itu mendadak gelisah. Ia mengangkat wajah dari bukunya dan tidak melihat Niel di tempat biasa. Matanya mulai mencari-cari, tetapi hanya ada anak-anak lain yang bermain. “Niel!” panggil Nandia, bangkit dari bangku dan berjalan mengitari taman. Mencari di setiap sudut, tempat Niel bermain tadi, tetapi tidak menemukan putranya. Jantungnya berdetak kencang, panik mulai merayap di dadanya. Nandia menghampiri security yang tadi memanggil putranya. "Maaf, Pak, apa tadi melihat anak saya? Yang Bapak panggil tadi, dia pakai kaos biru?" Security itu terdiam sejenak. "Tadi, dia mengantri es krim disini, Nyonya. Saya tidak tahu lagi karena saya memeriksa di bagian sana karena ada anak yang menangis mencari ibunya, Maaf.” Nandia pun kembali mencari, bahkan bertanya pada penjaga taman, tetapi tidak ada yang tahu. Segala kejadian buruk mulai memenuhi pikirannya. Hat
"Pergi, Danu dan jangan pernah kembali lagi."Danu pun keluar dari rumah Kakek Anggar dengan langkah gontai. Sebelum masuk ke dalam mobil, dia pandangi rumah Kakek Anggara. Dia merasa frustasi, karena gagal meyakinkan Kakek Anggara. Lalu, bagaimana cara dia bisa mendapatkan Nandia kembali?Danu pun duduk di dalam mobilnya. Lelaki itu merogoh sakunya, mengambil ponsel untuk menghubungi Galih, sang asisten. "Galih, aku butuh bantuanmu," kata Danu dengan nada serius. “Ada apa, Tuan?” suara Galih terdengar tegas di seberang telepon. “Aku ingin kau melacak keberadaan Nandia dan Niel. Mereka mungkin ada di suatu tempat yang dilindungi oleh Kakek Anggara. Temukan mereka secepatnya. Aku tidak peduli bagaimanapun caranya, yang jelas, kamu harus bisa menemukan mereka." “Baik, Tuan. Tapi ini mungkin butuh waktu agak lama. Kakek Anggara punya jaringan yang luas dan orang-orangnya pasti menjaga mereka dengan ketat.” “Tidak masalah, Galih. Yang penting kamu bisa menemukan mereka. Aku memiliki
"Galih untuk sementara, kamu handel urusan kantor. Aku harus bisa menyelesaikan masalahku dengan Nandia." Pesan untuk Galih saat lelaki itu akan berangkat ke rumah kakek Anggara. Dia harus bisa meyakinkan lelaki tua itu. Jika ingin rumah tangganya bersama Nandia terus bersama.Hujan yang mengguyur bumi tak menyurutkan niat Danu untuk pergi ke rumah kakek mertuanya. Sesampainya di depan gerbang rumah kakek Anggara, security masih tidak mau membukakan pagar rumah itu, meskipun Danu telah membunyikan klakson berkali-kali. Karena bising dengan suara klakson, akhirnya security itu pun keluar."Maaf, Tuan. Bukankah sudah saya bilang kemarin, Anda tidak boleh masuk," ujar satpam itu dengan nada tegas."Tolong, beri saya kesempatan. Saya harus bicara dengan Kakek Anggara," pinta Danu, suaranya melemah karena kelelahan dan frustasi.Satpam itu hanya menatapnya dingin, tetap bergeming di tempatnya. Danu menghela napas panjang, lalu menatap pria itu. "Pak, tolonglah, bukakan pintunya. Saya haru
"Kalau kamu memang masih mencintainya, kenapa kamu ingin kita kembali, Danu?" Pagi itu, setelah menyaksikan pemandangan di bandara yang menyesakkan dadanya, Nandia akhirnya membuat keputusan besar. Dia mengambil barang-barang yang penting untuk dia dan juga Niel. Dia tak butuh lagi penjelasan dari Danu. Apa yang dia lihat di bandara tadi baginya sudah membuat dirinya mengerti bahwa Danu memang tidak bisa meninggalkan Diana. Setelah memastikan semua keperluan Niel sudah siap, Nandia menatap layar ponselnya. Foto Danu bersama Diana yang dia ambil di bandara tadi sudah siap dia kirimkan. Tangannya gemetar saat mengetik pesan. "Jadi, kamu meninggalkanku sendirian di hutan karena ini? Keterlaluan kamu, Danu! Apa arti semua ini kalau kamu masih saja tidak bisa lepas dari Diana. Kamu tunggu saja surat cerai dariku!" Nandia pun segera mengirimkan pesan. Dia tahu Danu belum sempat melihatnya. Suaminya mungkin masih sibuk bersama Diana. Dengan napas berat, Nandia memandangi rumah yang
Setelah mendapat telepon dari sang istri tadi, Danu memutuskan untuk tidak lagi memarahi Galih. Lagipula, hasilnya cukup memuaskan. Lelaki itu kemudian menghubungi sang asisten. "Galih," panggil Danu. "Iya, Tuan," jawab Galih hati-hati. Danu menghela napas panjang. "Sebenarnya, aku marah karena kamu menggunakan uang perusahaan tanpa seizinku. Namun, aku tahu kamu melakukan ini juga karena permintaanku. Jadi, kamu kumaafkan. Tapi lain kali, aku akan menghukum mu." Galih langsung merasa lega. "Terima kasih, Tuan. Saya hanya ingin membantu." "Tapi lain kali, konsultasikan dulu denganku sebelum membuat keputusan seperti itu, mengerti?" tambah Danu tegas. "Baik, Tuan. Saya tidak akan mengulanginya lagi," jawab Galih dengan penuh penyesalan. "Sekarang, fokuslah pada pekerjaan awalmu," kata Danu sebelum menutup panggilannya --- Hampir satu minggu Danu berada di negara N. Dia sudah sangat merindukan Niel dan Nandia, istrinya. Ingin rasanya dia menyuruh Galih menggantikannya
"Galih! Kaamuu!!!" Seandainya saat ini Galih ada di depannya, sudah dia geplak kepala lelaki itu. Berani-beraninya dia memakai uang perusahaan. Meskipun, itu adalah untuk menyenangkan hati istrinya, tindakan Galih tidak bisa dibenarkan. Namun sayangnya, mereka berada di negara yang berbeda. Danu tidak mungkin bisa memberinya hukuman. Akan tetapi, tak bisa Danu pungkiri, bahwa berita Nandia telah mau memaafkannya dan menerima hadiahnya sangat menyenangkan hatinya. Setidaknya, satu masalah sudah selesai, tinggal menyelesaikan masalah Diana. Telepon Danu berdering. Nama Nandia muncul di layar, membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Dia segera mengangkatnya, mencoba berbicara dengan nada santai meskipun masih kesal dengan Galih. "Halo, sayang," sapanya, suaranya terdengar hangat. "Terima kasih untuk mobilnya," jawab Nandia tanpa basa-basi, meskipun nada suaranya terdengar lebih lembut dari sebelumnya. "Aku tahu kamu berusaha keras membuatku memaafkanmu." Danu tersenyum tipis, m
Di kantor Danu, suasana terlihat seperti biasa, dengan para karyawan sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Namun, Galih, tangan kanan Danu, justru tampak gelisah. Dia mondar-mandir di ruangan pribadinya, menggigit kuku sambil berpikir keras. "Galih, kamu kenapa?" tanya seorang rekan kerja, Bram, yang kebetulan masuk ke ruangannya. Galih mendesah panjang. "Danu nyuruh aku cari cara biar istrinya nggak marah lagi. Aku udah coba macem-macem, tapi Nyonya Nandia tetap aja dingin kayak es." Bram terkekeh. "Ya ampun, bos besar nyuruh kamu yang ngurusin masalah rumah tangganya? Berat juga tugasmu." "Berat banget!" Galih menjawab frustasi. "Makanya, aku mau tanya. Kamu pernah nggak bikin istri kamu marah? Trus, gimana cara kamu membujuknya?" Bram berpikir sejenak sebelum menjawab, "Kalau istri gue sih gampang, cukup kasih bunga sama cokelat. Tapi kan setiap wanita beda-beda." "Ya itu dia masalahnya!" Galih hampir berteriak. "Nyonya Nandia tuh nggak gampang luluh. Udah aku kasih bunga, ma