Nandia berdiri mematung di depan Danu. Tatapan pria itu dingin namun penuh hasrat, seolah apa yang ada di kepalanya sudah tidak bisa ditunda lagi. Nandia merasa terjebak, dan dia tahu, dia sudah tidak bisa lagi menghindar. “Danu, aku sudah bilang. Aku nggak mau terlibat denganmu lagi.” Nandia melangkah mundur, menjauh dari pria itu. Danu tetap menatapnya, tenang tapi berbahaya. “Kamu bisa bilang begitu sekarang, tapi aku tahu kamu nggak akan sanggup meninggalkan aku selamanya.” “Jangan sok tahu!” sergah Nandia. “Kita sudah selesai. Kamu sudah bertunangan dengan Diana, dan aku nggak mau jadi orang ketiga dalam hubungan kalian.” Danu tersenyum tipis, nyaris seperti seringai. “Kata siapa kamu orang ketiga. Sampai saat ini, kamu masih istriku. Karena belum pernah sekalipun aku menjatuhkan talak padamu. Kalau nafkah lahir, kamu lihat saja tabunganmu. Setiap bulan, aku selalu mentransfer uang dengan jumlah yang sama ketika kamu masih menjadi istriku. JAdi, tidak ada alasan hakim men
Beberapa Hari Sebelumnya Media mulai mencium aroma keretakan dalam hubungan Diana dan Danu. Rumor yang tersebar di kalangan media bahwa hubungan keduanya tidak lagi harmonis. Beberapa kali Diana terlihat sendirian menghadiri acara-acara penting, tanpa ada Danu di sisinya. Desas-desus tentang perselingkuhan mulai beredar, saat seseorang mengunggah foto Danu yang diantar ke rumah sakit oleh wanita lain, dan itu bukan Diana. --- Di salah satu kantor majalah Style, seorang wartawan perempuan bernama Tika berbicara dengan atasannya. “Bos, kalau kita jadi media pertama yang dapat konfirmasi tentang masalah ini, tentu ini bisa mendongkrak popularitas majalah kita.” Atasannya mengangguk sambil menyesap kopinya. “Diana dan Danu itu pasangan selebriti kelas atas. Kalau ada skandal di antara mereka, ini akan jadi headline besar.” --- Sementara itu, di rumahnya, Diana memandang telepon genggamnya dengan tatapan dingin. Berita perselingkuhan Danu telah viral di media."Kurang ajar! Siapa y
Diana akhirnya pergi bersama para wartawan, meninggalkan Danu yang masih disana dengan pikiran yang berkecamuk. Sebenarnya, telepon penting itu hanyalah alasan Galih untuk mengusir Diana dan para wartawan dari sini. Dan sekarang, saatnya menjalankan rencana selanjutnya. --- Saat makan siang, Danu memarkirkan mobil SUV hitamnya di depan sekolah Niel. Kemeja biru mudanya terlihat rapi, wajahnya tenang tanpa ekspresi. Teguh dan Iwan, dua petugas keamanan sekolah, berdiri di pintu gerbang, wajah mereka menyiratkan kewaspadaan. “Selamat siang, Pak Danu,” sapa Teguh dengan sopan namun hati-hati. Kedua security itu mengenal Danu karena lelaki itu adalah donatur tetap di sekolah ini. “Ada keperluan apa, Pak?” Danu menampilkan senyum tipis, seolah ingin memberi kesan ramah. “Saya diutus Ibu Nandia. Saya mau jemput Niel.” Iwan dan Teguh bertukar pandang, ragu. “Kami belum menerima pemberitahuan apapun dari Ibu Nandia,” ujar Iwan, mencoba sopan. Danu menghela napas pendek, seolah sudah mem
Nandia menarik napas dalam-dalam, menahan luapan emosi di dadanya saat melihat Danu duduk tenang di sofa sambil memangku Niel yang tengah asyik bermain lego. Hatinya berkecamuk antara marah, takut, dan bingung. Ia tahu lelaki di depannya ini bisa melakukan apapun agar keinginannya tercapai. Ia menyeka air mata yang menetes di pipinya dan duduk di hadapan Danu, mencoba meredam amarahnya. “Apa maumu sebenarnya, Danu?” tanyanya, suaranya lirih tapi tegas. Danu menatapnya dengan ekspresi datar. Namun, sebuah senyum tipis muncul, membuat jantung Nandia berdegup tak karuan. “Aku ingin kita bersama lagi. Seperti dulu,” ucapnya tenang, seolah permintaan itu adalah hal yang wajar. Nandia mengepalkan tangan, merasakan kuku-kukunya menancap ke kulit telapak tangannya. Ia berusaha mengontrol diri agar tidak meledak. “Apa kamu sudah gila?” serunya, matanya membara. “Kamu sudah bertunangan dengan Diana! Bahkan seluruh dunia tahu tentang pertunangan kalian. Dan sekarang kamu minta kita rujuk begi
Pintu vila terbuka dengan keras, membuyarkan ketegangan di dalam ruangan. Lidia, ibu Danu, berdiri di ambang pintu dengan wajah murka. Tatapannya tajam, seakan siap mengoyak siapa pun yang berani menyakiti reputasi keluarganya. la langsung melangkah cepat ke arah Nandia, tanpa memberi kesempatan untuk bicara. Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Nandia, membuat wajahnya menoleh ke samping. Udara di ruangan seketika terasa lebih dingin. Nandia terhuyung tapi tetap berdiri tegak, menahan sakit dan amarah yang bergejolak di dalam dadanya. "Kenapa kamu tidak bisa melepaskan putraku?" seru Lidia dengan suara bergetar oleh amarah. "Dia sudah bertunangan! Harusnya kamu sadar diri. Kamu bukan siapa-siapa lagi di keluarga ini!" Nandia menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan tangis yang hendak pecah. Namun sebelum ia bisa menjawab, suara lembut tapi tegas terdengar dari sudut ruangan. "Nyonya, hentikan!" seru Niel, bocah kecill itu tak lagi mampu menahan kemarahannya. Dengan cepat, bocah it
Diana melangkah memasuki rumah mewah Lidia dengan wajah muram. Dalam benaknya, rencananya harus berjalan sempurna. Membuat Lidia marah dan bertindak impulsif adalah tujuan utamanya. Di ruang tamu, Lidia, ibu Danu, sedang duduk sambil menikmati teh sore. Tangannya memegang majalah fashion. Tanpa basa-basi, Diana duduk di hadapan Lidia. "Tante ...." Diana merengek membuat Lidia mendongakkan kepalanya dengan alis terangkat. Diana mendesah panjang, berpura-pura menahan tangis. Perlahan, dia menyibak rambut di sebelah kiri wajahnya, memperlihatkan pipi yang memar kebiruan. Lidia terkejut, ekspresinya berubah dari serius menjadi ngeri dan geram. “Astaga! Diana, kamu kenapa? Apa yang terjadi dengan wajahmu?” serunya, mencondongkan tubuh ke depan untuk melihat wajah Diana lebih dekat. Diana menunduk, suaranya terdengar tersendat, seolah benar-benar hancur. "Ini, Tante... Ini perbuatan Danu." “Apa?!” Lidia bangkit dari kursinya, matanya membelalak tak percaya. Dia mengenal Danu de
Di Rumah Sakit Semalaman, Danu tak bisa memejamkan mata. Hingga keesokan paginya, Danu terbangun dengan kepala yang berdenyut nyeri. Setelah kemarin malam tak berhasil membujuk Nandia. Namun, hari ini, Danu sudah memutuskan untuk kembali mengejar Nandia kembali. Dengan langkah mantap, Danu berangkat menuju rumah sakit lagi. Dia tidak peduli jika nanti Nandia akan mengusirnya atau memarahinya. Yang jelas, dia akan berusaha menebusnya. Semua dia lakukan demi Niel dan juga Nandia. Saat Danu tiba di rumah sakit dan membuka pintu kamar inap, Nandia sedang berbicara pelan dengan Niel yang mulai terbangun. Mata bocah itu masih berat, tapi ia masih bisa tersenyum. “Sayang, kamu lapar?” tanya Nandia lembut sambil membelai rambut anaknya. Niel mengangguk kecil. “Iya, Mama.” "Aku akan minta perawat bawa makanan, ya? Tunggu sebentar," kata Nandia sambil berdiri. Namun, begitu dia berbalik dan melihat Danu berdiri di pintu, senyumnya langsung memudar. “Kenapa kamu masih di sini?” nad
"Jenguk nggak ya?" Lidia mondar-mandir di ruang tamu rumahnya, hatinya tidak tenang. Semenjak Niel dibawa ke rumah sakit beberapa hari lalu, perasaan bersalah terus menghantuinya. Saat itu, dia sedang emosi hingga tanpa sadar menyakiti cucunya hingga harus dibawa ke rumah sakit. Untungnya, Danu bilang, Niel tidak apa-apa. Hari itu, saat mendengar dari Danu bahwa Niel sudah pulang, dan sekarang ada di rumah sang putra membuat rasa rindu dan cemasnya kian tak terbendung lagi. "Aku harus melihatnya." Setelah memastikan Nandia sudah pergi, Lidia pun memutuskan untuk mendatangi rumah sang putra. Dia tak ingin Nandia berada di sana ketika dia datang, karena gengsi masih menjadi tembok besar antara dirinya dan Nandia. Dengan cepat, Lidia menyiapkan tas berisi berbagai makanan kesukaan anak-anak. Coklat, susu, permen, biskuit—semua ia beli dengan harapan Niel akan menyukainya dan memaafkannya. Setidaknya, dia bisa menebus kesalahannya lewat hadiah ini. --- Sesampainya di rumah Danu, Lid
Enam bulan kemudian ..."Mas, sepertinya, aku akan melahirkan," teriak Nandia saat Danu akan memulai kegiatan panasnya."Sayang, kamu jangan bercanda. Aku belum mulai nih," keluh Danu saat lelaki itu mencumbu istrinya.Nandia mendorong tubuh sang suami. "Mas, aku beneran. Ketubanku sudah pecah!""Apa!"Danu pun segera memakaikan pakaian di tubuh sang istri. Setelah itu memakai pakaiannya sendiri. Dia lalu menggendong sang istri kemudian berteriak pada sopir untuk menyiapkan mobilnya.Mobil pun segera melaju ke rumah sakit tempat Nandia periksa kandungan. Danu sudah menelepon pihak rumah sakit agar dokter kandungan Nandia sudah stand by disana saat mereka tiba di rumah sakit.Tak lama kemudian, Danu sudah sampai di rumah sakit. Nandia langsung dibawa ke ruang bersalin. Danu pun mengikutinya dari belakang.Danu ingin masuk ke dalam, tapi dilarang oleh perawat. Ternyata, air ketuban Nandia telah habis. Akan sangat menyakitkan jika Nandia memaksa melahirkan secara normal.Dengan terpaks
“Reihan, Tasya tidak akan melarikan diri. Jadi, kamu jangan gugup seperti itu,” ujar Danu yang bermaksud menghibur sepupunya.Reihan hanya tersenyum kecut melihat candaan Danu yang sama sekali nggak lucu itu."Kamu nggak usah menasehatiku! Kamu nggak tahu bagaimana rasanya menikah. Ohh iya, aku lupa, kamu dulu menikahi Nandia dengan terpaksa ya, jadi tidak merasa gugup sama sekali, yang ada, kamu malah kesel karena menikah dengannya." Reihan membalasnya dengan sindiran membuat Danu langsung memukul saudara sepupunya dengan tongkat penyanggah kakinya.Kedua saudara sepupu itu memang seperti tom and jerry jika bertemu. Meskipun, jauh di dalam lubuk hati, mereka saling menyayangi. Buktinya, meski keadaannya belum sehat, danu memaksakan hadir di pernikahan saudara sepupunya.Bukannya mengaduh kesakitan, Reihan justru tertawa kecil, sambil menggelengkan kepala. “Aku hanya bercanda. Meski aku belum mencintai Tasya, tapi aku ingin memastikan semuanya sempurna untuknya.” “Percayalah, Tasya h
"Mike, kamu datang?" tanya Nandia yang kaget saat melihat Mike tiba-tiba berdiri di depan ruangan Danu. Lelaki itu memancarkan senyum manis menatap wanita yang hingga saat ini menempati tahta tertinggi di hatinya. "Aku ingin melihatmu Nandia. Sudah lama kamu tidak ke kantor, sekaligus, membawa file yang harus kamu tandatangani, dan ... aku ingin bicara serius denganmu." "Sebentar ya Mike, aku masih harus membersihkan bekas mandi Danu dulu. Danu tidak nyaman jika dimandikan oleh perawat" Mike berdiri memandangi Nandia yang sedang membawa air bekas mandi Danu ke kamar mandi . Hatinya terasa berat, tapi ia tahu bahwa sudah tidak ada lagi kesempatan baginya. Dan sekarang, saatnya dia harus pergi. Danu memerhatikan Mike dari sudut matanya, merasa ada sesuatu yang ingin disampaikan pria itu. Namun, sebelum ia sempat bertanya, Nandia berbalik dan menghampiri Mike. “Mike, ada yang ingin kamu bicarakan?” tanya Nandia, tersenyum lembut. Mike mengangguk, lalu memberi isyarat agar mer
Nandia masih gemetar setelah insiden mengerikan itu. Dia duduk di sofa kecil di sudut ruangan, ditemani Galih dan Kakek Anggara. Meski tubuhnya lelah, pikirannya terus berpacu. Tatapan penuh kekhawatiran menghiasi wajahnya saat memandangi Danu yang masih terbaring lemah di ranjang dengan alat-alat medis yang membantu kehidupannya. “Jadi, pria itu mengincar Danu?” tanya Kakek Anggara dengan suara berat, matanya menatap tajam ke arah Galih. “Ini jelas bukan kebetulan.” Galih, yang sejak tadi tampak gelisah, mengangguk pelan. “Betul, Kek. Dia bukan orang biasa. Dari identitas yang kami dapat, dia bernama Reno, mantan kekasih Diana. Ini bukan pertama kalinya dia berurusan dengan hal-hal berbahaya.” Mendengar itu, Nandia langsung menatap Galih dengan mata melebar. “Mantan kekasih Diana? Jadi... ini semua ada hubungannya dengan Diana? Tapi, dia sudah dipenjara. Bagaimana mungkin?” Galih menghela napas berat. “Kita belum tahu sejauh apa keterlibatan Diana. Tapi dari pengakuan sementa
“Aku akan sembuh… demi kamu… demi anak-anak kita…” Nandia mengangguk penuh keyakinan. Dalam hatinya, ia tahu bahwa perjuangan mereka belum selesai, tetapi dengan kehadiran Danu di sisinya, ia merasa mampu menghadapi segalanya. --- Di luar kamar, suara malam perlahan mereda. Namun, di dalam ruang VVIP itu, cinta dan harapan kembali tumbuh. Nandia menggenggam tangan Danu erat, bersumpah dalam hatinya untuk melindungi keluarga kecil mereka dengan segenap tenaga. Di sisi lain, Lidia tersenyum sambil memandangi mereka dari kejauhan, yakin bahwa mukjizat ini adalah awal dari lembaran baru untuk mereka semua. Nandia kembali duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Danu yang masih lemah. Rasa syukur yang sempat membanjiri hatinya kini bercampur dengan kecemasan, terutama setelah mendengar bisikan samar Danu sebelum tak sadarkan diri lagi. Namun, ia mencoba menenangkan dirinya. Beberapa saat kemudian, pintu kamar VVIP itu terbuka perlahan. Seorang pria berpakaian putih lengkap denga
"Danu, kamu harus bangun Danu! Aku mencintaimu!" Tubuh Nandia bergetar hebat saat ia memeluk Danu, mencoba membangunkan suaminya yang tak lagi memberikan respons. Air matanya membasahi baju rumah sakit Danu yang terasa dingin. Monitor jantung di samping tempat tidur masih menunjukkan garis lurus yang menandakan Danu telah pergi untuk selamanya. “Danu, bangun! Aku butuh kamu… Niel butuh kamu…dan anak yang aku kandung ini juga butuh kamu,” isaknya putus asa. Tangannya yang gemetar terus mengguncang tubuh Danu, berharap ada keajaiban dan sang suami bangun kembali. Namun, tubuh itu tetap tak bergerak. Di sudut ruangan, Niel masih berdiri kaku, matanya terus menatap tubuh ayahnya. Lidia, yang berada di sampingnya, hanya bisa memeluk cucunya erat, berusaha memberikan ketenangan meski hatinya juga remuk redam. “Papa nggak akan bangun lagi ya, Oma?” bisik Niel dengan suara kecil, penuh ketakutan. Lidia mengusap kepala Niel, berusaha menahan tangis. “Kita berdoa saja ya, Sayang. H
Di ruang perawatan VVIP, suasana penuh keheningan yang menyayat hati. Monitor jantung Danu berbunyi lemah, menunjukkan garis naik turun yang semakin lambat. Nandia duduk di sisi tempat tidur, menggenggam tangan suaminya yang dingin. Air matanya tak pernah berhenti mengalir sejak Danu mengalami penurunan tadi. Meski kondisinya masih lemah. Dia tak ingin kehilangan momen bersama suaminya. Di sudut ruangan, Niel berdiri dekat Lidia, wanita paruh baya itu benar-benar sudah berubah. Sedari kemarin, dia merawat Nandia hingga kondisinya membaik. Wajah Lidia pun terlihat cemas, sementara tangannya memegang bahu Niel yang gemetar. “Nandia, kamu harus makan sesuatu. Kamu nggak bisa terus seperti ini,” ujar Lidia pelan, mencoba membujuk menantunya. Namun, Nandia menggeleng dengan lemah. “Aku nggak bisa, Ma. Aku nggak akan meninggalkan Danu, walaupun hanya sedetik.” Lidia menghela napas panjang. "Nandia, kamu harus makan, demi bayi yang ada dalam kandunganmu. Dia butuh asupan makanan untu
Di Rumah Sakit Saat ambulan tiba di rumah sakit, dokter langsung membawa Danu ke ruang operasi. Karena saat berada di dalam ambulan, dokter jaga sudah memeriksa keadaan Danu. Nandia mengikuti brankar Danu dari belakang sambil menggendong Niel. Meski bocah itu tak mau digendong, tetapi Nandia tak tega. Apalagi, saat melihat luka di leher dan juga di pipi sang putra. Meskipun sudah diobati saat di ambulan tadi, tetap saja, Nandia merasa bersalah karena tidak mampu melindungi putranya. Pintu ruang operasi tertutup rapat, di atasnya lampu merah menyala, menandakan operasi Danu sedang berlangsung. Waktu terasa berjalan begitu lambat. “Mama, apa Papa akan baik-baik saja?” tanya Niel, suaranya serak. Nandia mengelus kepala putranya dengan lembut, meski hatinya penuh kecemasan. “Papa kamu kuat, Niel. Dia pasti akan bertahan.” Niel hanya menganggukkan kepalanya. Matanya terus menatap pintu ruangan operasi. Rasa khawatir pada sang ayah begitu besar. Beberapa saat kemudian, dokter
Wajah Danu tetap datar, meskipun di dalam hatinya ingin rasanya dia menghancurkan pintu itu. "Tunggu aba-abaku," katanya dingin. Namun, di dalam gudang, Andra mulai merasa ada yang aneh. "Hei, kau dengar sesuatu?" tanyanya pada salah satu pria. "Apa maksudmu?" Andra melangkah ke arah pintu, mencoba memastikan, tetapi saat itu juga Danu memberi isyarat. "Sekarang!" Pintu gudang diterjang oleh salah satu anak buahnya, dan kelompok itu langsung menyerbu masuk. Tembakan peringatan dilepaskan ke udara, membuat semua orang di dalam panik. "Andra!" suara Danu menggema di ruangan itu. "berani kau menyentuh anakku, dan aku akan memastikan kau tak punya tempat untuk bersembunyi." Andra tertegun, tetapi ia segera mengambil pistol dari pinggangnya. "Berhenti di situ, Danu, atau anakmu akan meninggal!" ancamnya, mengarahkan pistol ke kepala Niel. Niel menatap Danu dengan tenang, seolah tahu bahwa ayahnya tak akan kalah dalam situasi ini. "Lepaskan dia," ucap Danu, suaranya rendah