Pintu vila terbuka dengan keras, membuyarkan ketegangan di dalam ruangan. Lidia, ibu Danu, berdiri di ambang pintu dengan wajah murka. Tatapannya tajam, seakan siap mengoyak siapa pun yang berani menyakiti reputasi keluarganya. la langsung melangkah cepat ke arah Nandia, tanpa memberi kesempatan untuk bicara. Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Nandia, membuat wajahnya menoleh ke samping. Udara di ruangan seketika terasa lebih dingin. Nandia terhuyung tapi tetap berdiri tegak, menahan sakit dan amarah yang bergejolak di dalam dadanya. "Kenapa kamu tidak bisa melepaskan putraku?" seru Lidia dengan suara bergetar oleh amarah. "Dia sudah bertunangan! Harusnya kamu sadar diri. Kamu bukan siapa-siapa lagi di keluarga ini!" Nandia menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan tangis yang hendak pecah. Namun sebelum ia bisa menjawab, suara lembut tapi tegas terdengar dari sudut ruangan. "Nyonya, hentikan!" seru Niel, bocah kecill itu tak lagi mampu menahan kemarahannya. Dengan cepat, bocah it
Diana melangkah memasuki rumah mewah Lidia dengan wajah muram. Dalam benaknya, rencananya harus berjalan sempurna. Membuat Lidia marah dan bertindak impulsif adalah tujuan utamanya. Di ruang tamu, Lidia, ibu Danu, sedang duduk sambil menikmati teh sore. Tangannya memegang majalah fashion. Tanpa basa-basi, Diana duduk di hadapan Lidia. "Tante ...." Diana merengek membuat Lidia mendongakkan kepalanya dengan alis terangkat. Diana mendesah panjang, berpura-pura menahan tangis. Perlahan, dia menyibak rambut di sebelah kiri wajahnya, memperlihatkan pipi yang memar kebiruan. Lidia terkejut, ekspresinya berubah dari serius menjadi ngeri dan geram. “Astaga! Diana, kamu kenapa? Apa yang terjadi dengan wajahmu?” serunya, mencondongkan tubuh ke depan untuk melihat wajah Diana lebih dekat. Diana menunduk, suaranya terdengar tersendat, seolah benar-benar hancur. "Ini, Tante... Ini perbuatan Danu." “Apa?!” Lidia bangkit dari kursinya, matanya membelalak tak percaya. Dia mengenal Danu de
Di Rumah Sakit Semalaman, Danu tak bisa memejamkan mata. Hingga keesokan paginya, Danu terbangun dengan kepala yang berdenyut nyeri. Setelah kemarin malam tak berhasil membujuk Nandia. Namun, hari ini, Danu sudah memutuskan untuk kembali mengejar Nandia kembali. Dengan langkah mantap, Danu berangkat menuju rumah sakit lagi. Dia tidak peduli jika nanti Nandia akan mengusirnya atau memarahinya. Yang jelas, dia akan berusaha menebusnya. Semua dia lakukan demi Niel dan juga Nandia. Saat Danu tiba di rumah sakit dan membuka pintu kamar inap, Nandia sedang berbicara pelan dengan Niel yang mulai terbangun. Mata bocah itu masih berat, tapi ia masih bisa tersenyum. “Sayang, kamu lapar?” tanya Nandia lembut sambil membelai rambut anaknya. Niel mengangguk kecil. “Iya, Mama.” "Aku akan minta perawat bawa makanan, ya? Tunggu sebentar," kata Nandia sambil berdiri. Namun, begitu dia berbalik dan melihat Danu berdiri di pintu, senyumnya langsung memudar. “Kenapa kamu masih di sini?” nad
"Jenguk nggak ya?" Lidia mondar-mandir di ruang tamu rumahnya, hatinya tidak tenang. Semenjak Niel dibawa ke rumah sakit beberapa hari lalu, perasaan bersalah terus menghantuinya. Saat itu, dia sedang emosi hingga tanpa sadar menyakiti cucunya hingga harus dibawa ke rumah sakit. Untungnya, Danu bilang, Niel tidak apa-apa. Hari itu, saat mendengar dari Danu bahwa Niel sudah pulang, dan sekarang ada di rumah sang putra membuat rasa rindu dan cemasnya kian tak terbendung lagi. "Aku harus melihatnya." Setelah memastikan Nandia sudah pergi, Lidia pun memutuskan untuk mendatangi rumah sang putra. Dia tak ingin Nandia berada di sana ketika dia datang, karena gengsi masih menjadi tembok besar antara dirinya dan Nandia. Dengan cepat, Lidia menyiapkan tas berisi berbagai makanan kesukaan anak-anak. Coklat, susu, permen, biskuit—semua ia beli dengan harapan Niel akan menyukainya dan memaafkannya. Setidaknya, dia bisa menebus kesalahannya lewat hadiah ini. --- Sesampainya di rumah Danu, Lid
“Apa yang Anda lakukan di sini?” tanya Nandia dengan nada dingin, tatapannya tajam seperti belati. Lidia merasa canggung saat berhadapan dengan Nandia. Wajah Lidia berubah seketika. Senyum yang tadi ceria kini lenyap, digantikan ekspresi datar dan angkuh. “Aku hanya melihat Niel sebentar,” jawabnya singkat, suaranya terdengar kaku. Niel, yang tadi tertawa bahagia, kini bingung melihat perubahan mendadak pada Omanya. Ingin bertanya, tapi tak berani. Bocah kecil itu hanya berani bertanya dalam hatinya. “Oma... kenapa ngomongnya kayak gitu?” Lidia menunduk sejenak, lalu berdiri. “Oma harus pulang sekarang,” katanya cepat, tanpa menatap Nandia lagi. Gengsi jika Nandia mengetahui dia merasa bersalah pada Niel “Kenapa Oma pergi?” tanya Niel dengan nada kecewa. “Tadi Oma baik sama Niel…” Nandia, yang sudah berusaha menahan emosinya, akhirnya tak bisa lagi. Dia meletakkan kantong belanja di atas meja dengan keras dan menatap Lidia dengan penuh amarah. Ingin mengumpat, tapi Lidia keb
"Diana bagaimana ini? Aku tadi mendorong anak itu hingga kepalanya terluka. Apa yang harus aku lakukan? Danu pasti marah padaku kalau sampai terjadi apa-apa pada anak itu." curhat Lidia pada Diana, calon menantunya. Diana tampak berpikir, ini adalah kesempatan emas bagi Lidia untuk bisa mengambil hati Danu lewat Niel. Jika Danu melihat ibunya sangat menyayangi Niel, tentu lelaki itu akan menuruti apapun perintah ibunya, termasuk segera menikahkan dia dengan Danu. "Tante, momen ini bisa Tante manfaatkan dengan berpura-pura baik pada Niel. Buat seolah Tante menyesal dengan apa yang telah Tante lakukan. Buat Danu percaya, kalau Tante sangat menyayangi Niel. Dengan begitu, hubungan Tante dan juga Danu akan membaik. Kalau sudah begitu, Danu pasti akan menuruti semua omongan Tante," nasehat Diana kala itu. Lidia terdiam. Apa yang Diana katakan memang benar. Namun, meskipun Diana tidak berkata seperti itu, Lidia memang ingin menjenguk bocah itu. Dia merasa bersalah karena telah memperl
Lidia mendengus sinis. “Kau peduli pada Niel, atau hanya pada egomu, Diana?” Pertanyaan itu membuat Diana terpaku di tempat. Rahangnya mengeras, dan dia menatap Lidia dengan marah. “Tante tahu betul bahwa aku mencintai anak itu! Aku melakukan semua ini untuk masa depannya!” “Tidak.” Lidia menggeleng pelan. “Kau melakukan ini karena kau ingin Danu kembali padamu. Kau pikir dengan mendapatkan Niel, kau bisa mengikat Danu?” Diana merasa seolah seluruh tubuhnya terbakar amarah. Dia mencengkeram lengan Lidia, matanya menyala penuh kebencian. “Jangan mencoba menilai apa yang ada di dalam hatiku, Tante Lidia! Tante tidak tahu apa-apa!” Lidia menatap tajam Diana. Baru kali ini dia tahu sifat asli Diana. Wanita itu bahkan tega menyakitinya saat ini.“Justru aku tahu terlalu banyak,” jawab Lidia datar. “Dan karena itulah aku tidak akan melanjutkan rencana ini.” Diana melepaskan cengkeramannya dengan kasar, berusaha menenangkan dirinya. “Tante-” ingin sekali dia mengumpatnya. Namun, seba
Hujan semakin deras ketika Diana tiba di depan gedung kantor Danu. Air mengalir deras di jalanan, membentuk genangan kecil di trotoar. Sesekali kilat menyambar, membuat langit malam tampak seolah retak. Diana memarkir mobilnya dan menarik napas panjang sebelum keluar. Kakinya terasa berat, seolah menolak untuk bergerak. Dia tahu apa yang akan terjadi. Danu pasti marah besar karena Lidia telah mengatakan rencananya pada lelaki itu. Namun, ada secercah harapan di hatinya: Jika Danu mau bertemu dengannya, berarti masih ada kesempatan baginya. Diana berusaha memasang wajah tenang saat berjalan melewati pintu kaca besar menuju lift. Pikirannya terus berputar—mencari-cari alasan dan cara untuk meyakinkan Danu. --- Di Dalam Ruang Kerja Danu Danu berdiri di depan jendela besar, menatap kota yang dibasahi hujan. Punggungnya tegap, kedua tangannya bersedekap. Dia tidak menoleh saat Diana masuk. Tapi, dia bisa merasakan wanita itu telah duduk di sofanya. “Danu...” Diana membuka perca
Berita perceraian Danu dan Nandia telah sampai ke telinga Reihan. Meski perceraian mereka tidak diketahui oleh media. Namun, salah satu anak buah Reihan ada yang mengetahuinya. Dan dia pun memberitahukan pada Reihan tentang hal ini.Senyum pun terbit di bibir lelaki tampan itu. Dia akan kembali mendekati Nandia melalui Niel. Karena kunci Nandia ada pada kebahagiaan Niel. Dan dia telah memiliki rencana untuk mewujudkan impiannya."Niel, sabtu besok, Om Reihan akan mengajak Niel berkuda. Nanti akan Om belikan Niel sepatu boots baru dan juga topi untuk kita pakai saat berkuda." Niel yang memang sangat menyukai petualangan bersorak sorai. "Horee, aku akan pergi berkuda!" serunya. Hampir setiap hari, Niel melihat kalender karena tak sabar menunggu hari sabtu. --- Sabtu telah tiba. Pagi itu, suasana rumah Nandia terasa lebih hidup dari biasanya. Niel, bocah kecil itu berlari-lari kecil di halaman dengan sepatu boots yang baru dibelikan oleh Reihan. "Asyik, sebentar lagi, kita akan ber
"Aku tidak akan membiarkan semua ini berakhir, Nandia!" gumam Danu saat akan memasuki ruangan sidang. Lelaki itu sudah kembali pada sifat awalnya, dingin dan tak tersentuh. Dia melihat, Nandia duduk di salah satu kursi panjang, mengenakan blazer krem yang membuatnya terlihat lebih segar. Di depannya, Danu duduk dengan ekspresi dingin khas seorang Danu Adiwijaya. Hakim mediasi, seorang wanita berusia 50-an dengan kacamata bundar, memandang pasangan itu dengan tatapan tenang tapi tegas. "Tuan dan Nyonya Adiwijaya, ini adalah sesi terakhir mediasi. Saya berharap kita bisa mencapai kesepakatan hari ini." Nandia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara. "Yang Mulia, saya sudah memikirkan semua ini. Saya ingin berpisah." Danu menyilangkan tangannya, menatap Nandia tanpa ekspresi. "Saya tidak setuju dengan perceraian ini." Hakim mengangkat alisnya. "Tuan Danu, apa alasan Anda menolak perceraian?" Danu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. "Saya ingin men
Di taman "Hampir setengah, kenapa Niel belum kembali juga ya?" Gumam Nandia saat melihat jam yang melingkar di tangannya. Wanita itu mendadak gelisah. Ia mengangkat wajah dari bukunya dan tidak melihat Niel di tempat biasa. Matanya mulai mencari-cari, tetapi hanya ada anak-anak lain yang bermain. “Niel!” panggil Nandia, bangkit dari bangku dan berjalan mengitari taman. Mencari di setiap sudut, tempat Niel bermain tadi, tetapi tidak menemukan putranya. Jantungnya berdetak kencang, panik mulai merayap di dadanya. Nandia menghampiri security yang tadi memanggil putranya. "Maaf, Pak, apa tadi melihat anak saya? Yang Bapak panggil tadi, dia pakai kaos biru?" Security itu terdiam sejenak. "Tadi, dia mengantri es krim disini, Nyonya. Saya tidak tahu lagi karena saya memeriksa di bagian sana karena ada anak yang menangis mencari ibunya, Maaf.” Nandia pun kembali mencari, bahkan bertanya pada penjaga taman, tetapi tidak ada yang tahu. Segala kejadian buruk mulai memenuhi pikirannya. Hat
"Pergi, Danu dan jangan pernah kembali lagi."Danu pun keluar dari rumah Kakek Anggar dengan langkah gontai. Sebelum masuk ke dalam mobil, dia pandangi rumah Kakek Anggara. Dia merasa frustasi, karena gagal meyakinkan Kakek Anggara. Lalu, bagaimana cara dia bisa mendapatkan Nandia kembali?Danu pun duduk di dalam mobilnya. Lelaki itu merogoh sakunya, mengambil ponsel untuk menghubungi Galih, sang asisten. "Galih, aku butuh bantuanmu," kata Danu dengan nada serius. “Ada apa, Tuan?” suara Galih terdengar tegas di seberang telepon. “Aku ingin kau melacak keberadaan Nandia dan Niel. Mereka mungkin ada di suatu tempat yang dilindungi oleh Kakek Anggara. Temukan mereka secepatnya. Aku tidak peduli bagaimanapun caranya, yang jelas, kamu harus bisa menemukan mereka." “Baik, Tuan. Tapi ini mungkin butuh waktu agak lama. Kakek Anggara punya jaringan yang luas dan orang-orangnya pasti menjaga mereka dengan ketat.” “Tidak masalah, Galih. Yang penting kamu bisa menemukan mereka. Aku memiliki
"Galih untuk sementara, kamu handel urusan kantor. Aku harus bisa menyelesaikan masalahku dengan Nandia." Pesan untuk Galih saat lelaki itu akan berangkat ke rumah kakek Anggara. Dia harus bisa meyakinkan lelaki tua itu. Jika ingin rumah tangganya bersama Nandia terus bersama.Hujan yang mengguyur bumi tak menyurutkan niat Danu untuk pergi ke rumah kakek mertuanya. Sesampainya di depan gerbang rumah kakek Anggara, security masih tidak mau membukakan pagar rumah itu, meskipun Danu telah membunyikan klakson berkali-kali. Karena bising dengan suara klakson, akhirnya security itu pun keluar."Maaf, Tuan. Bukankah sudah saya bilang kemarin, Anda tidak boleh masuk," ujar satpam itu dengan nada tegas."Tolong, beri saya kesempatan. Saya harus bicara dengan Kakek Anggara," pinta Danu, suaranya melemah karena kelelahan dan frustasi.Satpam itu hanya menatapnya dingin, tetap bergeming di tempatnya. Danu menghela napas panjang, lalu menatap pria itu. "Pak, tolonglah, bukakan pintunya. Saya haru
"Kalau kamu memang masih mencintainya, kenapa kamu ingin kita kembali, Danu?" Pagi itu, setelah menyaksikan pemandangan di bandara yang menyesakkan dadanya, Nandia akhirnya membuat keputusan besar. Dia mengambil barang-barang yang penting untuk dia dan juga Niel. Dia tak butuh lagi penjelasan dari Danu. Apa yang dia lihat di bandara tadi baginya sudah membuat dirinya mengerti bahwa Danu memang tidak bisa meninggalkan Diana. Setelah memastikan semua keperluan Niel sudah siap, Nandia menatap layar ponselnya. Foto Danu bersama Diana yang dia ambil di bandara tadi sudah siap dia kirimkan. Tangannya gemetar saat mengetik pesan. "Jadi, kamu meninggalkanku sendirian di hutan karena ini? Keterlaluan kamu, Danu! Apa arti semua ini kalau kamu masih saja tidak bisa lepas dari Diana. Kamu tunggu saja surat cerai dariku!" Nandia pun segera mengirimkan pesan. Dia tahu Danu belum sempat melihatnya. Suaminya mungkin masih sibuk bersama Diana. Dengan napas berat, Nandia memandangi rumah yang
Setelah mendapat telepon dari sang istri tadi, Danu memutuskan untuk tidak lagi memarahi Galih. Lagipula, hasilnya cukup memuaskan. Lelaki itu kemudian menghubungi sang asisten. "Galih," panggil Danu. "Iya, Tuan," jawab Galih hati-hati. Danu menghela napas panjang. "Sebenarnya, aku marah karena kamu menggunakan uang perusahaan tanpa seizinku. Namun, aku tahu kamu melakukan ini juga karena permintaanku. Jadi, kamu kumaafkan. Tapi lain kali, aku akan menghukum mu." Galih langsung merasa lega. "Terima kasih, Tuan. Saya hanya ingin membantu." "Tapi lain kali, konsultasikan dulu denganku sebelum membuat keputusan seperti itu, mengerti?" tambah Danu tegas. "Baik, Tuan. Saya tidak akan mengulanginya lagi," jawab Galih dengan penuh penyesalan. "Sekarang, fokuslah pada pekerjaan awalmu," kata Danu sebelum menutup panggilannya --- Hampir satu minggu Danu berada di negara N. Dia sudah sangat merindukan Niel dan Nandia, istrinya. Ingin rasanya dia menyuruh Galih menggantikannya
"Galih! Kaamuu!!!" Seandainya saat ini Galih ada di depannya, sudah dia geplak kepala lelaki itu. Berani-beraninya dia memakai uang perusahaan. Meskipun, itu adalah untuk menyenangkan hati istrinya, tindakan Galih tidak bisa dibenarkan. Namun sayangnya, mereka berada di negara yang berbeda. Danu tidak mungkin bisa memberinya hukuman. Akan tetapi, tak bisa Danu pungkiri, bahwa berita Nandia telah mau memaafkannya dan menerima hadiahnya sangat menyenangkan hatinya. Setidaknya, satu masalah sudah selesai, tinggal menyelesaikan masalah Diana. Telepon Danu berdering. Nama Nandia muncul di layar, membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Dia segera mengangkatnya, mencoba berbicara dengan nada santai meskipun masih kesal dengan Galih. "Halo, sayang," sapanya, suaranya terdengar hangat. "Terima kasih untuk mobilnya," jawab Nandia tanpa basa-basi, meskipun nada suaranya terdengar lebih lembut dari sebelumnya. "Aku tahu kamu berusaha keras membuatku memaafkanmu." Danu tersenyum tipis, m
Di kantor Danu, suasana terlihat seperti biasa, dengan para karyawan sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Namun, Galih, tangan kanan Danu, justru tampak gelisah. Dia mondar-mandir di ruangan pribadinya, menggigit kuku sambil berpikir keras. "Galih, kamu kenapa?" tanya seorang rekan kerja, Bram, yang kebetulan masuk ke ruangannya. Galih mendesah panjang. "Danu nyuruh aku cari cara biar istrinya nggak marah lagi. Aku udah coba macem-macem, tapi Nyonya Nandia tetap aja dingin kayak es." Bram terkekeh. "Ya ampun, bos besar nyuruh kamu yang ngurusin masalah rumah tangganya? Berat juga tugasmu." "Berat banget!" Galih menjawab frustasi. "Makanya, aku mau tanya. Kamu pernah nggak bikin istri kamu marah? Trus, gimana cara kamu membujuknya?" Bram berpikir sejenak sebelum menjawab, "Kalau istri gue sih gampang, cukup kasih bunga sama cokelat. Tapi kan setiap wanita beda-beda." "Ya itu dia masalahnya!" Galih hampir berteriak. "Nyonya Nandia tuh nggak gampang luluh. Udah aku kasih bunga, ma