Dengan ekspresi terkejut, Evelyn langsung mengambil kertas tersebut dan berusaha mengamatinya dengan detail."Bagaimana mungkin. Dari mana kamu mendapatkan ini?" Evelyn menatap Sean, lekat."Masih tidak mau mengaku?" Wajah Sean merah padam, terlihat jelas jika emosinya tengah meledak-ledak, tetapi tertahan mengingat ada Kelvin di sana.Evelyn masih berusaha mengamati lagi surat itu berulang kali. Namun tetap saja, tulisan di dalamnya begitu persis dengan tulisan tangan Evelyn."Aku tidak pernah membalas surat yang bahkan pengirimnya saja aku tidak tahu!""Lalu apa ini? Maksudmu, aku mengarang cerita?" Sean Masih berusaha menekan emosinya, terlebih saat Kelvin mulai memperhatikan mereka.Evelyn menjadi tersulut emosi, tak merasa melakukan sesuatu yang dituduhkan oleh Sean. Terlebih, pria itu seakan menuntut untuk mengakui hal yang tak diperbuat oleh Evelyn."Key tunggu di sini dulu, Ibu dan Ayah ingin berbicara sebentar." Evelyn memegang bahu Kelvin seraya menatapnya lekat, berharap ji
Kelvin memandangi kedua orang tuanya satu persatu. Ia hanya bisa melirik tanpa mengatakan apapun. Tatapan matanya begitu memancarkan kebingungan, lagi pula seorang anak kecil pasti menginginkan kedua orang tuanya, dibanding harus memilih salah satu."Kamu sudah keterlaluan! Jangan buat Kelvin terbebani dengan pilihan seperti itu!" Sean menatap Evelyn lekat.Evelyn tahu jika apa yang dilakukannya akan membuat Kelvin tertekan. Namun bagaimanapun ia tidak ingin jika sampai harus kehilangan Kelvin kalau saja suatu saat pernikahannya kandas hanya karena sebuah kepercayaan. Dan juga perempuan itu yakin jika sang anak akan lebih memilih dirinya dibanding ayah kandung yang belum lama masuk ke dalam kehidupan mereka."Key tidak mau satu. Key mau Ayah dan Ibu," ujar Kelvin dengan mata berkaca-kaca. Meski ia sangat ingin bersama ibunya, tetapi bocah itu juga tidak ingin berpisah dengan sang ayah setelah sekian lama penantian.Dada Evelyn terasa sesak, hati kecilnya masih sangat menginginkan sebu
Evelyn terpaku, tak mengatakan apa pun. Ia juga terlihat begitu terkejut, entah apa yang baru saja didengarnya.Merasa kesal dengan si penelepon, Sean pun langsung merebut ponsel Evelyn."Halo, siapa ini?" tanya Sean dengan nada meninggi."Ini aku! memangnya kenapa?"Sean langsung tahu jika orang yang menelepon tersebut adalah sang ayah, Adam Peterson."Apa yang Ayah lakukan? Kenapa menelepon Evelyn segala?" Sean semakin merasa tidak nyaman dengan sikap sang ayah."Karena kamu tidak mengangkat teleponku.""Dari mana Ayah tahu nomor ini?" Sean mengepalkan tangannya, kesal dengan perbuatan sang ayah yang sampai mengusik kehidupan Evelyn."Aku bisa melakukan apa pun yang kumau. Jadi tetaplah menurut sebelum kamu menyesal!" ancam Adam dengan nada penuh intimidasi.Kepalan tangan Sean semakin kuat, jika Adam bukan ayahnya, sudah sejak lama ia akan menghajar pria itu dengan sekuat tenaga."Apa yang Ayah inginkan?""Cepat pulang! Besok akan diadakan pertemuan dengan keluarga besar William."
Dengan rasa penasaran Evelyn bergegas menuju keluar, menemui orang yang menurut pelayan sedang menunggunya.Tanpa merasa curiga atau pun berpikiran buruk, Evelyn langsung membuka pintu sesaat setelah sampai di depan.Di luar sudah berdiri seorang perempuan yang mengenakan kacamata dengan rambut kuncir satu. Ia tampak seperti seorang karyawan kantoran dengan kemeja putih dan rok pendek hitam melengkapi penampilannya."Maaf apa Anda mencari saya?" tanya Evelyn seraya memandangi perempuan itu lekat, berusaha mengingat jika mungkin ia pernah mengenalnya.Perempuan itu langsung mengeluarkan sebuah kartu, lalu menyerahkannya pada Evelyn tanpa ekspresi apapun."Ada uang satu miliar di dalam kartu debit ini. Tuan Adam meminta saya untuk menyampaikan pada Anda agar bisa segera menjauhi Tuan Muda," terang perempuan itu seraya menatap Evelyn tajam.Evelyn diam terpaku. Merasa heran mendengar ucapan perempuan yang baru saja ditemui itu. Bagaimana mungkin dia mengatakan hal tersebut dengan begitu
Evelyn mulai sedikit mengiris pergelangannya. Meski rasa putus asa itu begitu besar, tetap saja masih ada keraguan di hatinya. Saat itu tiba-tiba terbayang wajah Kelvin yang sedang tersenyum.Di tengah kebimbangannya tersebut, pintu kamar Evelyn terbuka begitu keras. Sambil berjalan tertatih Merry langsung menuju ke arah perempuan yang tengah berusaha mengakhiri penderitaannya itu.Dengan sigap, Merry menepis lengan Evelyn, membuat pisau yang berada dalam genggaman langsung terjatuh seketika."Apa yang kamu lakukan, Evelyn?" Merry meraih tisu dan menutup luka kecil yang dihasilkan oleh pisau barusan."Aku sudah lelah dengan semua ini. Kenapa aku tidak boleh bahagia?" Evelyn menatap Merry nanar, sorot matanya begitu menunjukkan rasa putus asa.Seketika air mata Merry menetes, menyusuri kulit keriputnya."Apa kamu tega meninggalkanku? Hanya kamu dan Kelvin lah yang aku miliki saat ini." Merry memeluk Evelyn dengan begitu erat sambil mengusap rambut dengan penuh kasih sayang."Tapi, Kel
Evelyn terus memandu Andi hingga mereka sampai di sebuah salon yang kini bangunannya menjadi lebih luas dan megah. Mendadak Evelyn merasa cemas, khawatir jika orang yang dicarinya sudah tidak bekerja lagi di tempat itu."Apa Kakak yakin ini tempatnya?" Andi mengerutkan alis saat melihat wajah Evelyn yang terlihat cemas."Aku sangat yakin, hanya saja saat itu tempatnya tidak sebesar ini," terang Evelyn sambil menatap salon tersebut dengan lekat "Bagaimana kalau kita langsung masuk saja! Biar bisa langsung mencari orang yang Kakak maksud," usul Andi, khawatir jika orang yang Evelyn cari ternyata tidak ada.Evelyn seketika menoleh ke arah Andi, lalu mengangguk, mengiyakan usulan dari pria tersebut.Keduanya langsung keluar dari mobil dan menuju ke salon dengan berpura-pura sebagai pelanggan.Karena saat itu sedang ramai pengunjung, Evelyn mengajak Andi untuk duduk di kursi tunggu sambil mengedarkan pandangan mencari seseorang yang sangat penting baginya.Namun Evelyn masih tidak bisa me
Evelyn langsung menatap ponsel Diana. Ia tidak mengerti mengapa perempuan itu bisa memiliki foto tersebut."Dari mana kamu mendapatkannya, Diana?" tanya Evelyn sedikit terkejut."Dari pemilik toko tempat pamanku menjual cincin milik Kak Evelyn," jelas Diana, "jadi, apa Kakak mengenalnya?"Evelyn sedikit kebingungan saat memandangi salah satu foto, sedangkan foto lainnya ia tahu betul siapa orang tersebut."Foto pertama aku tidak tahu siapa dia, sedangkan yang kedua itu adalah saudara tiriku. Memangnya ada apa dengan mereka?" Evelyn menjadi sangat penasaran."Dua orang itu menanyakan tentang cincin milik Kakak. Mereka berusaha mengorek informasi dan mencari keberadaan Kak Evelyn," jelas Diana.Evelyn berusaha mengingat orang di foto pertama tersebut, tetapi berusaha sekuat apa pun ia tetap tidak mengenal pria di dalam foto itu."Lupakan saja jika memang Kakak tidak mengingatnya. Nanti kita cari tahu pelan-pelan saja," usul Diana yang menjadi tidak enak karena membuat Evelyn kebingungan
Evelyn dan Diana saling pandang, tak mengerti mengapa security itu melarang mereka masuk."Saya ingin melamar kerja, Pak." Diana berusaha meyakinkan security tersebut."Tidak ada lowongan! Lebih baik kalian pulang saja!" seru security tersebut dengan nada tinggi.Melihat tatapan security tersebut, Evelyn langsung mengerti bahwa urusan itu harus diselesaikan dengan uang. Ia langsung mengeluarkan uang pecahan seratus ribu sebanyak sepuluh lembar."Tolong biarkan kami masuk!" ucap Evelyn seraya menatap sinis karena tidak senang dengan cara security tersebut.Security mata duitan itu langsung menyambar uang dari tangan Evelyn, lalu sambil tersenyum senang ia membiarkan Evelyn dan Diana masuk tanpa menoleh sedikit pun karena asik menghitung uang tersebut."Apa-apaan dengan tempat ini? Kenapa mereka sangat mata duitan?" bisik Evelyn pada Diana."Orang biasa sepertiku berlomba-lomba untuk bisa masuk karena gaji yang ditawarkan sangatlah besar. Malah ada yang sampai rela menjual hewan ternak