"Kapan kamu menyiapkan ini?" Evelyn masih tak menyangka dengan apa yang telah Sean lakukan."Belum lama ini," jawab Sean dengan santainya.Evelyn hanya bisa menggelengkan kepala, berbanding dengan Kelvin yang terus diam menatap kejutan dari Sean."Apa Key suka?" Sean mengelus lembut rambut sang anak.Kelvin masih terus menatap ke arah balon-balon yang disusun membentuk kata 'Selamat Datang Kelvin'. Entah berapa banyak orang yang terlibat hanya untuk memegangi balon warna-warni tersebut agar bisa berbentuk sedemikian rupa. "Ayah, terima kasih. Key sayang Ayah," ucap Kelvin seraya memeluk Sean dengan begitu erat."Ayah juga sayang, Key," sahut Sean yang dari sorot matanya menunjukan ketulusan.Evelyn sangat bahagia melihat pemandangan tersebut. Ternyata memiliki keluarga yang utuh terasa begitu indah."Terima kasih untuk semua ini, Sean." Evelyn berkata sambil malu-malu.Sean membalasnya dengan senyuman. Ia juga mengusap lembut pipi Evelyn, membuat wajah perempuan itu menjadi semakin m
Sosok pria yang mengenakan setelan jas itu langsung menoleh ke arah Evelyn."Hey, kenapa kamu menjadi begitu menyebalkan, Evelyn?""Untuk apa kamu datang kemari? Aku tidak ingin berhubungan lagi denganmu!" hardik Evelyn sambil mengepalkan tangan."Tenanglah sedikit! Aku datang kemari bukan karena ingin bertemu denganmu! Tapi ada sesuatu yang ingin kusampaikan."Evelyn terus mengepalkan tangan, emosinya seakan membakar dada."Cepat pergi dari sini!" hardik Evelyn sambil menunjuk jalan."Sudah kubilang aku ingin menyampaikan sesuatu! Kenapa sekarang kamu begitu keras kepala? Atau, karena merasa memiliki seorang pelindung yang berkuasa?" Perempuan itu melirik Sean sambil tersenyum genit."Cepat pergi dari sini, Jennifer!" hardik Evelyn.Namun, bukannya pergi, Jennifer malah terus diam sambil menatap Sean, seakan ucapan Evelyn hanyalah angin lalu."Hey, memang kamu tidak ingin tahu keadaan ayahmu?" timpal Jennifer seraya mendelik Evelyn.Evelyn hanya diam saat mendengar tentang ayahnya. K
Evelyn menatap sekeliling, rasanya seperti bukan toko bunga tempat ia biasa bekerja. Karena keanehan tersebut, perempuan itu semakin berusaha mencari Merry yang sudah tidak ada di kamarnya."Ada apa dengan semua ini?" Evelyn tampak terus kebingungan.Setelah mencari ke dapur, kamar mandi, bahkan ke tempat-tempat yang jarang Merry lewati, akhirnya Evelyn memilih untuk pergi ke tempat Laura."Apa hari ini Nyonya Merry datang kemari?" tanya Evelyn dengan napas tak beraturan karena kelelahan setelah berlari."Tidak ada. Untuk apa Nyonya Merry kemari?" Laura tampak berpikir sejenak.Evelyn merasa jika Merry memang tidak ada di tempat itu. Kemudian berniat untuk mencari di tempat lain."Kalau begitu aku pamit dulu.""Hey, tunggu!" Laura berusaha menghentikan Evelyn yang hampir keluar."Ada apa Laura?" tanya Evelyn sambil menoleh ke belakang."Aku ingin mengucapkan terima kasih. Berkatmu Andi bisa memiliki pekerjaan yang begitu mustahil bisa ia dapatkan," terang Laura dengan mata berkaca-kac
"Apa kamu tidak merasa aneh dengan kedatangannya yang tiba-tiba?" Lukas menunjukan ekspresi serius.Evelyn merenungkan ucapan Lukas yang tak pernah terpikirkan olehnya. Ia menjadi semakin tertarik dengan perbincangan tersebut, terlebih kedatangan Jennifer telah membuatnya merasa tidak nyaman dan gelisah."Memang apa yang sebenarnya terjadi?" Evelyn tiba-tiba merasa sedikit cemas."Salah satu anak buah Pak Sean telah menyelidiki masalah Jennifer. Dia bilang kalau saudari tirimu itu kemungkinan ada sangkut pautnya dengan Stella." Jantung Evelyn semakin berdegup kencang, khawatir jika dua perempuan itu memiliki niat buruk padanya lagi."Apa bukti yang membuat orang itu yakin jika Jennifer dan Stella saling berhubungan?""Jennifer saat ini menempati kamar bekas Stella, sepertinya saudari tirimu tidak memiliki banyak uang untuk membayar sebuah suite room di hotel semewah itu. Dan juga, sangat aneh ketika dia tahu alamatmu dengan begitu mudahnya," terang Lukas dengan suara pelan.Di saat b
Evelyn mengerutkan alis sambil menatap Sean lekat. Ia tak mengerti dengan maksud pria di sampingnya itu."Ada apa dengan namaku?" tanya Evelyn yang masih kebingungan."Aku ingin mengenalkanmu sebagai anak perempuan dari keluarga Winston." Jantung Evelyn seakan berhenti berdetak. Ia sangat terkejut dengan apa yang baru saja Sean katakan, terlebih dirinya saja seakan sudah mengubur dalam-dalam identitas tersebut."Aku tidak mau," jawab Evelyn dengan tegasnya. "Kalau kamu tidak mau menikah dengan identitas rendahan ini. Maka cari saja perempuan lain.""Ini bukan tentang diriku! Tapi tentangmu! Pernikahan kita akan mengangkat nama keluargamu dari keterpurukan."Evelyn benar-benar sudah tak ingin terlibat dengan keluarganya lagi. Seandainya bisa memilih ia ingin pergi dari rumah itu sejak ibunya meninggal dulu."Tidak semudah yang kamu bayangkan! Mereka akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan semua yang mereka inginkan," terang Evelyn yang tanpa sadar air matanya sudah membasahi p
Dada Evelyn mendadak sesak saat berjalan menghampiri sosok perempuan yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri. Ia merasa terpukul atas apa yang tengah menimpanya saat itu, terlebih masalah tersebut datang secara bersamaan."Apa yang terjadi?" tanya Evelyn dengan mata berkaca-kaca."Seperti biasa, tergelincir di tangga," jawab perempuan paruh baya yang ternyata adalah Laura.Evelyn menghela napas panjang, merasa bersedih atas apa yang tengah menimpa Merry. Ia tidak tega melihat perempuan tua itu terbaring lemah di kasur."Apa aku bisa meminta tolong untuk menjaga Nyonya Merry sementara waktu? Kebetulan kaki Kelvin sedang terkilir," ucap Evelyn yang merasa sedikit bersalah."Tidak masalah kebetulan Joan baru saja di PHK. Aku juga sudah bosan terus berada di toko," jawab Laura sambil terkekeh."Terima kasih atas bantuannya, Nyonya Laura." Evelyn sedikit membungkukkan badan."Hey, sudahlah. Kalian sudah seperti keluargaku sendiri, sudah sewajarnya aku memberi sedikit bantuan."Evelyn h
Namun, bukannya menjawab Sean malah menatap Evelyn dengan begitu lekat."Sean!" Evelyn menaikan nada suaranya.Sean yang terlihat seperti sedang melamun itu pun tersentak."Evelyn, aku ingin kita menikah secepatnya!" ucap Sean yang napasnya berhembus di wajah Evelyn."Kenapa kamu tiba-tiba begini?" Jantung Evelyn berdebar kencang, wajah memerah karena jarak di antar keduanya begitu dekat."Aku sulit menahan keinginan ini," jawab Sean yang napasnya terasa semakin memburu.Evelyn mulai sadar, jika pikiran Sean sedang tidak baik-baik saja. Ia buru-buru mendorong pria itu agar hal tersebut tidak semakin berlanjut.Setelah Sean sedikit menjauh, Evelyn menarik lengan pria itu, menuntunnya kembali ke balkon. Setelahnya ia langsung menuju ke dapur untuk membuatkan pria itu segelas es lemon."Minumlah!" titah Evelyn seraya menyodorkan secangkir es lemon."Apa ini?" Sean menatap sambil mengerutkan alis."Minum saja. Aku tidak mungkin meracunimu," terang Evelyn.Tanpa banyak basa-basi lagi, Sean
Evelyn mengerutkan alis, heran karena merasa tidak kenal dengan pria yang menyebutkan nama lengkapnya itu. Ia selalu ingat jika pernah berkenalan meski hanya sekejap, tetapi pria ini benar-benar tak pernah dilihatnya sama sekali."Maaf, apa kita pernah saling mengenal?" tanya Evelyn seraya mengerutkan alis. ia benar-benar bingung."Oh, maaf sebelumnya. Kita tidak saling mengenal, hanya saja saya ingin meminta izin untuk mewawancarai sebentar," ucap pria itu lagi.Evelyn lagi-lagi merasa tidak nyaman dengan situasi tersebut. Ia merasa bukan siapa-siapa, tidak perlu sampai diwawancara segala. "Maaf, tapi aku sedang buru-buru. Seseorang sudah menungguku di rumah sakit," jawab Evelyn."Oh, baiklah. Bagaimana kalau lain waktu?" tanya pria itu lagi."Akan aku pikirkan lagi. Sekali lagi aku minta maaf.""Tidak masalah, saya mengerti."Sean yang tidak senang berbasa-basi langsung melaju dengan kencang. Terlebih, ia juga tidak suka melihat Evelyn terlalu lama berbicara dengan laki-laki lain.