Evelyn mengerutkan alis sambil menatap Sean lekat. Ia tak mengerti dengan maksud pria di sampingnya itu."Ada apa dengan namaku?" tanya Evelyn yang masih kebingungan."Aku ingin mengenalkanmu sebagai anak perempuan dari keluarga Winston." Jantung Evelyn seakan berhenti berdetak. Ia sangat terkejut dengan apa yang baru saja Sean katakan, terlebih dirinya saja seakan sudah mengubur dalam-dalam identitas tersebut."Aku tidak mau," jawab Evelyn dengan tegasnya. "Kalau kamu tidak mau menikah dengan identitas rendahan ini. Maka cari saja perempuan lain.""Ini bukan tentang diriku! Tapi tentangmu! Pernikahan kita akan mengangkat nama keluargamu dari keterpurukan."Evelyn benar-benar sudah tak ingin terlibat dengan keluarganya lagi. Seandainya bisa memilih ia ingin pergi dari rumah itu sejak ibunya meninggal dulu."Tidak semudah yang kamu bayangkan! Mereka akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan semua yang mereka inginkan," terang Evelyn yang tanpa sadar air matanya sudah membasahi p
Dada Evelyn mendadak sesak saat berjalan menghampiri sosok perempuan yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri. Ia merasa terpukul atas apa yang tengah menimpanya saat itu, terlebih masalah tersebut datang secara bersamaan."Apa yang terjadi?" tanya Evelyn dengan mata berkaca-kaca."Seperti biasa, tergelincir di tangga," jawab perempuan paruh baya yang ternyata adalah Laura.Evelyn menghela napas panjang, merasa bersedih atas apa yang tengah menimpa Merry. Ia tidak tega melihat perempuan tua itu terbaring lemah di kasur."Apa aku bisa meminta tolong untuk menjaga Nyonya Merry sementara waktu? Kebetulan kaki Kelvin sedang terkilir," ucap Evelyn yang merasa sedikit bersalah."Tidak masalah kebetulan Joan baru saja di PHK. Aku juga sudah bosan terus berada di toko," jawab Laura sambil terkekeh."Terima kasih atas bantuannya, Nyonya Laura." Evelyn sedikit membungkukkan badan."Hey, sudahlah. Kalian sudah seperti keluargaku sendiri, sudah sewajarnya aku memberi sedikit bantuan."Evelyn h
Namun, bukannya menjawab Sean malah menatap Evelyn dengan begitu lekat."Sean!" Evelyn menaikan nada suaranya.Sean yang terlihat seperti sedang melamun itu pun tersentak."Evelyn, aku ingin kita menikah secepatnya!" ucap Sean yang napasnya berhembus di wajah Evelyn."Kenapa kamu tiba-tiba begini?" Jantung Evelyn berdebar kencang, wajah memerah karena jarak di antar keduanya begitu dekat."Aku sulit menahan keinginan ini," jawab Sean yang napasnya terasa semakin memburu.Evelyn mulai sadar, jika pikiran Sean sedang tidak baik-baik saja. Ia buru-buru mendorong pria itu agar hal tersebut tidak semakin berlanjut.Setelah Sean sedikit menjauh, Evelyn menarik lengan pria itu, menuntunnya kembali ke balkon. Setelahnya ia langsung menuju ke dapur untuk membuatkan pria itu segelas es lemon."Minumlah!" titah Evelyn seraya menyodorkan secangkir es lemon."Apa ini?" Sean menatap sambil mengerutkan alis."Minum saja. Aku tidak mungkin meracunimu," terang Evelyn.Tanpa banyak basa-basi lagi, Sean
Evelyn mengerutkan alis, heran karena merasa tidak kenal dengan pria yang menyebutkan nama lengkapnya itu. Ia selalu ingat jika pernah berkenalan meski hanya sekejap, tetapi pria ini benar-benar tak pernah dilihatnya sama sekali."Maaf, apa kita pernah saling mengenal?" tanya Evelyn seraya mengerutkan alis. ia benar-benar bingung."Oh, maaf sebelumnya. Kita tidak saling mengenal, hanya saja saya ingin meminta izin untuk mewawancarai sebentar," ucap pria itu lagi.Evelyn lagi-lagi merasa tidak nyaman dengan situasi tersebut. Ia merasa bukan siapa-siapa, tidak perlu sampai diwawancara segala. "Maaf, tapi aku sedang buru-buru. Seseorang sudah menungguku di rumah sakit," jawab Evelyn."Oh, baiklah. Bagaimana kalau lain waktu?" tanya pria itu lagi."Akan aku pikirkan lagi. Sekali lagi aku minta maaf.""Tidak masalah, saya mengerti."Sean yang tidak senang berbasa-basi langsung melaju dengan kencang. Terlebih, ia juga tidak suka melihat Evelyn terlalu lama berbicara dengan laki-laki lain.
Kelvin buru-buru memasukan ponsel Sean ke dalam pakaiannya, saking takut dimarahi Evelyn."Apa urusanmu sudah selesai?" tanya Sean berusaha mengalihkan perhatian Evelyn."Oh, iya. Kita sudah bisa pulang sekarang. Nyonya Merry sedang menunggu di lobi," ucap Evelyn yang benar-benar teralihkan perhatiannya."Kita ke sana sekarang," ajak Sean sambil memegangi tubuh Kelvin, hendak menggendongnya."Baiklah," jawab Evelyn yang berjalan lebih dulu.Saat Evelyn tengah lengah, Sean langsung mengambil ponselnya dari balik baju Kelvin. Keduanya pun seketika menghela napas lega."Ah, iya. Apa yang kamu sembunyikan di pakaian tadi, Key?" tanya Evelyn yang kembali lagi karena teringat masalah tadi.Kelvin dan Sean seketika tersentak."Tidak ada apa-apa, Bu," jawab Kelvin dengan wajah yang begitu terlihat gugup.Evelyn merasa yakin jika anaknya itu sedang menyembunyikan sesuatu karena wajah Kelvin seringkali begitu menjelaskan kebohongannya."Kenapa Key berbohong?" tanya Evelyn seraya menatap tajam.
Beberapa wartawan lain juga langsung menatap ponsel dengan mata membelalak."Bagaimana mungkin mereka bisa semirip ini?" celetuk salah seorang wartawan."Ini bukan hasil editan, kan?" "Sepertinya ini asli. Aku baru saja mencari tentang ini di internet."Pada akhirnya para wartawan itu berhenti mencecar Evelyn. Mereka mulai percaya jika Kelvin adalah anak Sean saat melihat secara langsung foto masa kecil sang Presdir. Keduanya bukan hanya mirip, tapi benar-benar bagai pinang dibelah dua."Jadi, kalian memiliki anak diluar pernikahan?"Evelyn yang semula bisa bernapas lega kini malah dibuat kesal kembali dengan para wartawan yang menurutnya sangat tidak sopan."Ya, memang kenapa?" Sean menatap wartawan yang bertanya tadi dengan tajam, membuat perasaan orang tersebut menjadi tidak nyaman."T-tidak ada.""Kalau begitu, jangan halangi jalanku!" seru Sean dengan raut wajah yang membuat para wartawan itu bergidik ngeri.Para wartawan itu pun langsung memberi jalan, mereka menjadi sedikit ta
"Memang ada apa dengan pernikahan kita?" Evelyn merasa bingung dengan sepenggal jawaban dari Sean."Ayah ingin bertemu denganku," jawab Sean sambil meraih lengan Evelyn, "aku akan segera kembali."Kelvin yang mendengar jika Sean akan pergi, langsung menangis sejadi-jadinya. Bocah itu tidak ingin jauh dari sang ayah, terlebih saat ini Kelvin berpikir jika dirinya sedang sakit dan butuh perhatian lebih dari Sean."Ayah, jangan pergi!" Kelvin menarik-narik ujung pakaian Sean."Ini hanya sebentar. Ayah akan segera kembali," Sean sebenarnya tidak tega melihat sorot mata Kelvin. Namun begitu, ia tetap harus pulang demi menemui sang ayah yang terlihat tidak senang mendengar kabar tentang rencana pernikahannya."Tapi Key ingin selalu bersama Ayah." Kelvin begitu tidak ingin berpisah dengan Sean meski hanya sebentar."Ayah akan selalu menelepon Key. Lagi pula Ayah pergi hanya sekitar dua hari." Sean merasa sedikit berat untuk mengatakan hal tersebut karena faktanya ia sendiri tidak tahu berapa
Sean langsung melaju menuju hotel, menghampiri Lukas yang sudah menunggunya.Dari kejauhan terlihat jika Lukas sudah berdiri di pinggir jalan."Kenapa buru-buru sekali? Apa Anda sudah berpamitan dengan Kelvin dan Evelyn?" tanya Lukas seraya masuk ke dalam mobil, menggantikan Sean untuk menyetir."Ayah sudah tahu tentang rencana pernikahanku dengan Evelyn," jawab Sean dengan sorot mata penuh emosi."Apa Tuan tidak senang mendengar kabar itu?""Kurasa seperti itu," jawab Sean seraya mengepalkan tangan.Rasa emosi terus menyelimuti Sean. Ia merasa jika sang ayah terlalu mengatur hidupnya. Sejak kecil terus dituntut untuk menjadi seperti apa yang ayahnya inginkan. Sampai dewasa pun ia masih belum memiliki kebebasan untuk memutuskan keinginannya sendiri.Di tempat lain, Evelyn yang sedang gelisah tak henti memandangi ponselnya. Ia berharap jika Sean segera memberi kabar."Kenapa dia masih belum menghubungiku? Padahal sekarang sudah empat puluh menit sejak dia pergi," gerutu Evelyn yang ses