Evelyn mengerutkan alis, heran karena merasa tidak kenal dengan pria yang menyebutkan nama lengkapnya itu. Ia selalu ingat jika pernah berkenalan meski hanya sekejap, tetapi pria ini benar-benar tak pernah dilihatnya sama sekali."Maaf, apa kita pernah saling mengenal?" tanya Evelyn seraya mengerutkan alis. ia benar-benar bingung."Oh, maaf sebelumnya. Kita tidak saling mengenal, hanya saja saya ingin meminta izin untuk mewawancarai sebentar," ucap pria itu lagi.Evelyn lagi-lagi merasa tidak nyaman dengan situasi tersebut. Ia merasa bukan siapa-siapa, tidak perlu sampai diwawancara segala. "Maaf, tapi aku sedang buru-buru. Seseorang sudah menungguku di rumah sakit," jawab Evelyn."Oh, baiklah. Bagaimana kalau lain waktu?" tanya pria itu lagi."Akan aku pikirkan lagi. Sekali lagi aku minta maaf.""Tidak masalah, saya mengerti."Sean yang tidak senang berbasa-basi langsung melaju dengan kencang. Terlebih, ia juga tidak suka melihat Evelyn terlalu lama berbicara dengan laki-laki lain.
Kelvin buru-buru memasukan ponsel Sean ke dalam pakaiannya, saking takut dimarahi Evelyn."Apa urusanmu sudah selesai?" tanya Sean berusaha mengalihkan perhatian Evelyn."Oh, iya. Kita sudah bisa pulang sekarang. Nyonya Merry sedang menunggu di lobi," ucap Evelyn yang benar-benar teralihkan perhatiannya."Kita ke sana sekarang," ajak Sean sambil memegangi tubuh Kelvin, hendak menggendongnya."Baiklah," jawab Evelyn yang berjalan lebih dulu.Saat Evelyn tengah lengah, Sean langsung mengambil ponselnya dari balik baju Kelvin. Keduanya pun seketika menghela napas lega."Ah, iya. Apa yang kamu sembunyikan di pakaian tadi, Key?" tanya Evelyn yang kembali lagi karena teringat masalah tadi.Kelvin dan Sean seketika tersentak."Tidak ada apa-apa, Bu," jawab Kelvin dengan wajah yang begitu terlihat gugup.Evelyn merasa yakin jika anaknya itu sedang menyembunyikan sesuatu karena wajah Kelvin seringkali begitu menjelaskan kebohongannya."Kenapa Key berbohong?" tanya Evelyn seraya menatap tajam.
Beberapa wartawan lain juga langsung menatap ponsel dengan mata membelalak."Bagaimana mungkin mereka bisa semirip ini?" celetuk salah seorang wartawan."Ini bukan hasil editan, kan?" "Sepertinya ini asli. Aku baru saja mencari tentang ini di internet."Pada akhirnya para wartawan itu berhenti mencecar Evelyn. Mereka mulai percaya jika Kelvin adalah anak Sean saat melihat secara langsung foto masa kecil sang Presdir. Keduanya bukan hanya mirip, tapi benar-benar bagai pinang dibelah dua."Jadi, kalian memiliki anak diluar pernikahan?"Evelyn yang semula bisa bernapas lega kini malah dibuat kesal kembali dengan para wartawan yang menurutnya sangat tidak sopan."Ya, memang kenapa?" Sean menatap wartawan yang bertanya tadi dengan tajam, membuat perasaan orang tersebut menjadi tidak nyaman."T-tidak ada.""Kalau begitu, jangan halangi jalanku!" seru Sean dengan raut wajah yang membuat para wartawan itu bergidik ngeri.Para wartawan itu pun langsung memberi jalan, mereka menjadi sedikit ta
"Memang ada apa dengan pernikahan kita?" Evelyn merasa bingung dengan sepenggal jawaban dari Sean."Ayah ingin bertemu denganku," jawab Sean sambil meraih lengan Evelyn, "aku akan segera kembali."Kelvin yang mendengar jika Sean akan pergi, langsung menangis sejadi-jadinya. Bocah itu tidak ingin jauh dari sang ayah, terlebih saat ini Kelvin berpikir jika dirinya sedang sakit dan butuh perhatian lebih dari Sean."Ayah, jangan pergi!" Kelvin menarik-narik ujung pakaian Sean."Ini hanya sebentar. Ayah akan segera kembali," Sean sebenarnya tidak tega melihat sorot mata Kelvin. Namun begitu, ia tetap harus pulang demi menemui sang ayah yang terlihat tidak senang mendengar kabar tentang rencana pernikahannya."Tapi Key ingin selalu bersama Ayah." Kelvin begitu tidak ingin berpisah dengan Sean meski hanya sebentar."Ayah akan selalu menelepon Key. Lagi pula Ayah pergi hanya sekitar dua hari." Sean merasa sedikit berat untuk mengatakan hal tersebut karena faktanya ia sendiri tidak tahu berapa
Sean langsung melaju menuju hotel, menghampiri Lukas yang sudah menunggunya.Dari kejauhan terlihat jika Lukas sudah berdiri di pinggir jalan."Kenapa buru-buru sekali? Apa Anda sudah berpamitan dengan Kelvin dan Evelyn?" tanya Lukas seraya masuk ke dalam mobil, menggantikan Sean untuk menyetir."Ayah sudah tahu tentang rencana pernikahanku dengan Evelyn," jawab Sean dengan sorot mata penuh emosi."Apa Tuan tidak senang mendengar kabar itu?""Kurasa seperti itu," jawab Sean seraya mengepalkan tangan.Rasa emosi terus menyelimuti Sean. Ia merasa jika sang ayah terlalu mengatur hidupnya. Sejak kecil terus dituntut untuk menjadi seperti apa yang ayahnya inginkan. Sampai dewasa pun ia masih belum memiliki kebebasan untuk memutuskan keinginannya sendiri.Di tempat lain, Evelyn yang sedang gelisah tak henti memandangi ponselnya. Ia berharap jika Sean segera memberi kabar."Kenapa dia masih belum menghubungiku? Padahal sekarang sudah empat puluh menit sejak dia pergi," gerutu Evelyn yang ses
Evelyn langsung mengambil isi kotak tersebut yang mana di dalamnya terdapat sebuah kotak kecil lain, kartu kredit, dan sepucuk surat terselip di tengahnya.~Maaf, kemarin aku terburu-buru sampai melupakan hal penting. Ini adalah kartu kredit unlimited, beli apa saja yang kamu dan Kelvin mau, tidak perlu banyak berpikir. Lalu, ini adalah cincin sebagai tanda jika aku sudah melamarmu.~Evelyn tersenyum simpul. Lalu membuka kotak kecil tersebut dengan perasaan berdebar."Ibu, kenapa Ayah hanya memberi cincin?" tanya Kelvin sesaat setelah melihat Evelyn mengenakan cincin tersebut. "Key, tidak diberi hadiah juga?"Evelyn langsung menatap Kelvin dengan wajah panik."Ini hadiah Key." Evelyn langsung mengacungkan kartu kredit pemberian Sean."Kartu? Bagaimana cara Key memainkannya, Ibu?" Kelvin mengerutkan alis seperti sedang kebingungan.Evelyn tertawa geli mendengar pertanyaan sang anak. Padahal dia tidak mengatakan jika itu adalah mainan."Dengan ini, Key bisa membeli apa yang Key ingink
"Saya sekretaris Pak Sean. Sebelumnya saya minta maaf karena telah lancang, tapi jika tidak saya angkat khawatirnya …."Sekretaris Sean itu seakan ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Namun Evelyn langsung mengerti, mengingat jika baru saja diumumkan tentang pernikahan Sean dengan perempuan lain."Ke mana dia pergi? kenapa sampai melupakan ponselnya?" tanya Evelyn yang sedikit cemas."Saya tidak tahu, hanya saja tadi Pak Sean sedang terburu-buru, beliau terlihat begitu emosi," jawab sekretaris Sean tersebut.Evelyn hanya diam saja, tak tahu harus mengatakan apa lagi. Terlebih ia sama sekali tak mengenal sekretaris Sean tersebut."Sebelumnya saya minta maaf karena sudah lancang dan ikut campur. Mengenai kabar pernikahan tadi, Saya yakin jika itu semua bukanlah keinginan Pak Sean. Yang saya tahu, Bapak begitu mencintai Bu Evelyn bahkan beliau sudah mengambil cuti untuk pernikahan kalian nanti," terang sekretaris Sean tersebut.Dada Evelyn yang semula sesak, kini sedikit menjadi lebih lega
Evelyn mengernyit, merasa tidak kenal dengan seseorang di balik telepon tersebut. Namun, dengan seenaknya orang itu malah menyuruhnya untuk menjauh Sean."Maaf, dengan siapa saya berbicara?" tangan Evelyn mengepal kencang saking emosinya."Aku adalah calon istrinya," jawab perempuan itu dengan nada angkuh.Jantung Evelyn berdebar kencang. Ia tak menyangka jika akan berbicara langsung dengan perempuan yang fotonya terpampang di televisi tadi."Apa kamu yakin jika Sean menginginkan hal itu?" Evelyn memberanikan diri agar tak terlihat lemah."Kurang ajar! Dasar perempuan murahan!" hardik perempuan di balik telepon, saking emosinya."Aku pikir seperti apa perempuan yang mengaku sebagai calon istri Sean. Ternyata hanya seorang bermulut sampah sepertimu!" seru Evelyn dengan dada yang terasa bergemuruh."Berani sekali perempuan hina sepertimu mengataiku! Lihat saja, aku tidak akan tinggal diam!" perempuan itu langsung menutup telepon begitu saja.Evelyn menghela napas panjang. Ia merasa puas