Evelyn menatap sekeliling, rasanya seperti bukan toko bunga tempat ia biasa bekerja. Karena keanehan tersebut, perempuan itu semakin berusaha mencari Merry yang sudah tidak ada di kamarnya."Ada apa dengan semua ini?" Evelyn tampak terus kebingungan.Setelah mencari ke dapur, kamar mandi, bahkan ke tempat-tempat yang jarang Merry lewati, akhirnya Evelyn memilih untuk pergi ke tempat Laura."Apa hari ini Nyonya Merry datang kemari?" tanya Evelyn dengan napas tak beraturan karena kelelahan setelah berlari."Tidak ada. Untuk apa Nyonya Merry kemari?" Laura tampak berpikir sejenak.Evelyn merasa jika Merry memang tidak ada di tempat itu. Kemudian berniat untuk mencari di tempat lain."Kalau begitu aku pamit dulu.""Hey, tunggu!" Laura berusaha menghentikan Evelyn yang hampir keluar."Ada apa Laura?" tanya Evelyn sambil menoleh ke belakang."Aku ingin mengucapkan terima kasih. Berkatmu Andi bisa memiliki pekerjaan yang begitu mustahil bisa ia dapatkan," terang Laura dengan mata berkaca-kac
"Apa kamu tidak merasa aneh dengan kedatangannya yang tiba-tiba?" Lukas menunjukan ekspresi serius.Evelyn merenungkan ucapan Lukas yang tak pernah terpikirkan olehnya. Ia menjadi semakin tertarik dengan perbincangan tersebut, terlebih kedatangan Jennifer telah membuatnya merasa tidak nyaman dan gelisah."Memang apa yang sebenarnya terjadi?" Evelyn tiba-tiba merasa sedikit cemas."Salah satu anak buah Pak Sean telah menyelidiki masalah Jennifer. Dia bilang kalau saudari tirimu itu kemungkinan ada sangkut pautnya dengan Stella." Jantung Evelyn semakin berdegup kencang, khawatir jika dua perempuan itu memiliki niat buruk padanya lagi."Apa bukti yang membuat orang itu yakin jika Jennifer dan Stella saling berhubungan?""Jennifer saat ini menempati kamar bekas Stella, sepertinya saudari tirimu tidak memiliki banyak uang untuk membayar sebuah suite room di hotel semewah itu. Dan juga, sangat aneh ketika dia tahu alamatmu dengan begitu mudahnya," terang Lukas dengan suara pelan.Di saat b
Evelyn mengerutkan alis sambil menatap Sean lekat. Ia tak mengerti dengan maksud pria di sampingnya itu."Ada apa dengan namaku?" tanya Evelyn yang masih kebingungan."Aku ingin mengenalkanmu sebagai anak perempuan dari keluarga Winston." Jantung Evelyn seakan berhenti berdetak. Ia sangat terkejut dengan apa yang baru saja Sean katakan, terlebih dirinya saja seakan sudah mengubur dalam-dalam identitas tersebut."Aku tidak mau," jawab Evelyn dengan tegasnya. "Kalau kamu tidak mau menikah dengan identitas rendahan ini. Maka cari saja perempuan lain.""Ini bukan tentang diriku! Tapi tentangmu! Pernikahan kita akan mengangkat nama keluargamu dari keterpurukan."Evelyn benar-benar sudah tak ingin terlibat dengan keluarganya lagi. Seandainya bisa memilih ia ingin pergi dari rumah itu sejak ibunya meninggal dulu."Tidak semudah yang kamu bayangkan! Mereka akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan semua yang mereka inginkan," terang Evelyn yang tanpa sadar air matanya sudah membasahi p
Dada Evelyn mendadak sesak saat berjalan menghampiri sosok perempuan yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri. Ia merasa terpukul atas apa yang tengah menimpanya saat itu, terlebih masalah tersebut datang secara bersamaan."Apa yang terjadi?" tanya Evelyn dengan mata berkaca-kaca."Seperti biasa, tergelincir di tangga," jawab perempuan paruh baya yang ternyata adalah Laura.Evelyn menghela napas panjang, merasa bersedih atas apa yang tengah menimpa Merry. Ia tidak tega melihat perempuan tua itu terbaring lemah di kasur."Apa aku bisa meminta tolong untuk menjaga Nyonya Merry sementara waktu? Kebetulan kaki Kelvin sedang terkilir," ucap Evelyn yang merasa sedikit bersalah."Tidak masalah kebetulan Joan baru saja di PHK. Aku juga sudah bosan terus berada di toko," jawab Laura sambil terkekeh."Terima kasih atas bantuannya, Nyonya Laura." Evelyn sedikit membungkukkan badan."Hey, sudahlah. Kalian sudah seperti keluargaku sendiri, sudah sewajarnya aku memberi sedikit bantuan."Evelyn h
Namun, bukannya menjawab Sean malah menatap Evelyn dengan begitu lekat."Sean!" Evelyn menaikan nada suaranya.Sean yang terlihat seperti sedang melamun itu pun tersentak."Evelyn, aku ingin kita menikah secepatnya!" ucap Sean yang napasnya berhembus di wajah Evelyn."Kenapa kamu tiba-tiba begini?" Jantung Evelyn berdebar kencang, wajah memerah karena jarak di antar keduanya begitu dekat."Aku sulit menahan keinginan ini," jawab Sean yang napasnya terasa semakin memburu.Evelyn mulai sadar, jika pikiran Sean sedang tidak baik-baik saja. Ia buru-buru mendorong pria itu agar hal tersebut tidak semakin berlanjut.Setelah Sean sedikit menjauh, Evelyn menarik lengan pria itu, menuntunnya kembali ke balkon. Setelahnya ia langsung menuju ke dapur untuk membuatkan pria itu segelas es lemon."Minumlah!" titah Evelyn seraya menyodorkan secangkir es lemon."Apa ini?" Sean menatap sambil mengerutkan alis."Minum saja. Aku tidak mungkin meracunimu," terang Evelyn.Tanpa banyak basa-basi lagi, Sean
Evelyn mengerutkan alis, heran karena merasa tidak kenal dengan pria yang menyebutkan nama lengkapnya itu. Ia selalu ingat jika pernah berkenalan meski hanya sekejap, tetapi pria ini benar-benar tak pernah dilihatnya sama sekali."Maaf, apa kita pernah saling mengenal?" tanya Evelyn seraya mengerutkan alis. ia benar-benar bingung."Oh, maaf sebelumnya. Kita tidak saling mengenal, hanya saja saya ingin meminta izin untuk mewawancarai sebentar," ucap pria itu lagi.Evelyn lagi-lagi merasa tidak nyaman dengan situasi tersebut. Ia merasa bukan siapa-siapa, tidak perlu sampai diwawancara segala. "Maaf, tapi aku sedang buru-buru. Seseorang sudah menungguku di rumah sakit," jawab Evelyn."Oh, baiklah. Bagaimana kalau lain waktu?" tanya pria itu lagi."Akan aku pikirkan lagi. Sekali lagi aku minta maaf.""Tidak masalah, saya mengerti."Sean yang tidak senang berbasa-basi langsung melaju dengan kencang. Terlebih, ia juga tidak suka melihat Evelyn terlalu lama berbicara dengan laki-laki lain.
Kelvin buru-buru memasukan ponsel Sean ke dalam pakaiannya, saking takut dimarahi Evelyn."Apa urusanmu sudah selesai?" tanya Sean berusaha mengalihkan perhatian Evelyn."Oh, iya. Kita sudah bisa pulang sekarang. Nyonya Merry sedang menunggu di lobi," ucap Evelyn yang benar-benar teralihkan perhatiannya."Kita ke sana sekarang," ajak Sean sambil memegangi tubuh Kelvin, hendak menggendongnya."Baiklah," jawab Evelyn yang berjalan lebih dulu.Saat Evelyn tengah lengah, Sean langsung mengambil ponselnya dari balik baju Kelvin. Keduanya pun seketika menghela napas lega."Ah, iya. Apa yang kamu sembunyikan di pakaian tadi, Key?" tanya Evelyn yang kembali lagi karena teringat masalah tadi.Kelvin dan Sean seketika tersentak."Tidak ada apa-apa, Bu," jawab Kelvin dengan wajah yang begitu terlihat gugup.Evelyn merasa yakin jika anaknya itu sedang menyembunyikan sesuatu karena wajah Kelvin seringkali begitu menjelaskan kebohongannya."Kenapa Key berbohong?" tanya Evelyn seraya menatap tajam.
Beberapa wartawan lain juga langsung menatap ponsel dengan mata membelalak."Bagaimana mungkin mereka bisa semirip ini?" celetuk salah seorang wartawan."Ini bukan hasil editan, kan?" "Sepertinya ini asli. Aku baru saja mencari tentang ini di internet."Pada akhirnya para wartawan itu berhenti mencecar Evelyn. Mereka mulai percaya jika Kelvin adalah anak Sean saat melihat secara langsung foto masa kecil sang Presdir. Keduanya bukan hanya mirip, tapi benar-benar bagai pinang dibelah dua."Jadi, kalian memiliki anak diluar pernikahan?"Evelyn yang semula bisa bernapas lega kini malah dibuat kesal kembali dengan para wartawan yang menurutnya sangat tidak sopan."Ya, memang kenapa?" Sean menatap wartawan yang bertanya tadi dengan tajam, membuat perasaan orang tersebut menjadi tidak nyaman."T-tidak ada.""Kalau begitu, jangan halangi jalanku!" seru Sean dengan raut wajah yang membuat para wartawan itu bergidik ngeri.Para wartawan itu pun langsung memberi jalan, mereka menjadi sedikit ta