Sean memulai perjalanan menuju kota yang sedikit asing baginya tersebut. Ia bahkan nyaris tidak pernah menginjakkan kaki di sana. Namun, demi Evelyn pria itu sampai berusaha untuk mempelajari daerah tersebut dalam waktu singkat."Ayah, pemandangan di sini tidak sebagus di rumah kita," protes Kelvin yang terus memandangi jalan di mana banyak tanah luas yang gersang."Ya, tempat kita itu kota wisata ada pantai dan juga gunung dalam satu tempat, jadi tidak bisa dibandingkan dengan kota ini," jelas Sean sambil mengusap rambut sang anak.Saat sedang berbincang, ponsel Sean mendadak berdering, ada panggilan masuk dari anak buahnya."Ya, bagaimana?" tanya Sean sesaat setelah mengangkat telepon."Kami sudah menemukan jejak beberapa preman dari kota Ganea yang sempat singgah ke sana," jelas anak buah Sean dari balik telepon."Bagus, kirim alamatnya segera!""Baik, Pak."Sean langsung mematikan telepon. Ia tersenyum puas seolah sudah ada titik cerah pencarian Evelyn."Kuharap ini jadi permulaan
Saat itu Sean sedang merasa jauh lebih bersemangat dibanding sebelumnya. Keyakinan untuk bisa membawa Evelyn kembali pulang terus memenuhi pikirannya karena semua sudah menjadi jelas dan akan lebih mudah untuk melakukannya."Kalau begitu, Key bermain dengan Paman Nick dulu, ya. Ayah harus mengerjakan sesuatu dulu," ucap Sean yang langsung membuka laptopnya sambil menunggu kedatangan anak buah yang membawa rekam medis.Sedang di tempat lain, Evelyn yang dengan terpaksa berjalan-jalan ke mall itu sama sekali tak merasa bahagia di tengah kebahagiaan Bella dan Dion."Apa Ibu senang? Sudah lama sekali kita tidak jalan-jalan begini," ucap Bella sambil berjalan mundur, menatap Evelyn yang sedang melaju dengan kursi roda."Ya, ini cukup menyenangkan," jawab Evelyn dengan senyum getir dan dipaksakan.Bella sedikit merasa bersedih melihat ekspresi ibunya, tetapi ia menepis pikiran itu dengan berpikir jika sang ibu tengah sakit dan ingatannya belum kembali sempurna.Melihat ekspresi sang anak, D
Melihat Evelyn menjadi semakin tertekan membuat Dion merasa puas dan senang. Ia langsung masuk ke kamar begitu saja dengan tatapan yang membuat Evelyn bergidik."Inilah akibatnya jika kamu berani melawanku!" hardik Dion dengan tatapan tajam."Apa kamu itu manusia? Kenapa begitu tidak memiliki perasaan?" Arabella pun akhirnya tak bisa membendung air mata lagi dan berakhir menangis di depan Dion."Jika kamu menurut semua ini tidak akan terjadi!" timpal Dion seraya menatap Evelyn lekat."Aku akan menurut. Tapi tolong lepaskan Diana! Dia tidak salah apa-apa," mohon Evelyn sambil duduk bersimpuh di atas kasur.Melihat Evelyn sudah memohon seperti itu membuat Dion melepaskan Diana, hingga gadis itu terkulai lemah di lantai.Evelyn yang tak kuasa melihat penderitaan Diana lantas beranjak, berniat untuk menghampiri gadis itu. Namun, baru saja sampai di ujung kasur, Dion malah berusaha mencegahnya."Tetaplah disitu!" hardik Dion.Evelyn pun terdiam, jika tak menurut tentu Diana yang akan menja
Untuk pertama kalinya Evelyn melihat Dion yang wajahnya seperti sedang cemas. Ia langsung menoleh ke arah orang yang baru saja datang. Siapa mereka? Kenapa bisa membuat seorang pria menyeramkan seperti Dion menjadi begitu panik?"Dion, hentikan semua ini! Jangan bohongi dirimu sendiri!""Lupakan Clara, istrimu sudah meninggal, Dion!"Mendengar pernyataan tersebut, seisi ruangan menjadi riuh. Mereka seakan tak percaya dengan apa yang sedang terjadi saat itu."Ada apa ini? Bukankah itu Tuan dan Nyonya Thompson? Kenapa mereka malah berkata seperti itu?""Apa dua orang tua itu sudah menjadi pikun? Kenapa mereka mengatakan anak sendiri sudah tiada padahal sudah jelas ada di depan mata?" "Aku sempat mendengar kabar kecelakaan Clara Thompson, tapi setahuku dia sudah pulih sekarang.""Sudah! Kita lihat drama ini saja! Kenapa kalian terus berisi?"Para tamu seakan berlomba-lomba untuk bergosip, mengeluarkan seluruh informasi yang mereka tahu. Bahkan tak sedikit yang berspekulasi sendiri dengan
“Kenapa tidak bilang saja ke mana tujuan kita?” Evelyn tak bisa menahan rasa penasarannya itu.“Sebuah tempat yang indah.” Sean lagi-lagi tersenyum menatap Evelyn.“Di mana itu? Kenapa terus bermain teka-teki?” Evelyn memanyunkan bibirnya.“Nanti juga, kamu akan tahu sendiri.” Sean merangkul sang istri, lalu mengecup keningnya dengan penuh rasa cinta.Evelyn menghela napas panjang, jika Sean mengatakan seperti itu, maka tidak akan memberitahu dalam waktu dekat.Perjalanan itu cukup panjang, mereka bahkan beberapa kali singgah di tempat wisata untuk sejenak beristirahat dan memanjakan mata. Hingga akhirnya Evelyn tak tahan lagi dan mendiamkan Sean yang menurutnya sangat menyebalkan.“Apa kamu marah?” Sean berusaha meraih tangan Evelyn.Namun, Evelyn yang sedang kesal itu langsung menepis tangan Sean dan segera memalingkan wajahnya.“Aku takut kamu terkejut jika tahu yang sebenarnya.” Sean terus menggoda Evelyn.“Katakan saja! Kamu begitu menyebalkan, mengajak bepergian, tapi tidak memb
“Siapa kalian?” Sean berusaha waspada pada ke lima orang pria itu. Ia juga melirik penjaga toko karena mulai mencurigainya.“Jangan membantah dan ikuti kami!” hardik pria itu lagi, seakan tak memperdulikan jika ada seorang anak kecil dalam rombongan Sean.“Apa kamu bisa bersikap lebih lembut lagi? Setidaknya jangan membuat seorang anak kecil ketakutan!” Sean berusaha menahan emosinya.Pria itu malah menatap Sean dengan sorot mata tajam, seperti ada sesuatu yang sedang melintas dipikirannya.“Ada urusan apa mencari Nyonya Rose?” tanya Pria itu tiba-tiba.“Apa harus ada urusan jika seorang anak ingin menemui ibunya?” Evelyn yang sejak tadi hanya memperhatikan tampak kesal dan menjawab dengan ketus.Mendengar ucapan Evelyn, lima orang pria bertubuh tegap itu seketika langsung berubah ekspresi wajahnya. Mereka yang semula terlihat garang secara mendadak jadi tersenyum dan terlihat ramah.“Apakah Anda Evelyn Winston?” tanya salah seorang pria sambil tersenyum lebar.“Ya,” jawab Evelyn, ket
Evelyn dan Sean saling pandang, mereka cukup terkejut mendengar teriakan Rose yang sekilas tampak seperti marah itu membuat keduanya langsung bergegas menghampiri.“Apa yang terjadi?” Evelyn menatap Kelvin yang saat itu sedang menunduk memandangi pecahan piring.“Tanyakan sendiri padanya!” ucap Rose yang seakan enggan menatap Kelvin.Kelvin terlihat sedang menahan tangis, bocah itu ketakutan tak berani mengangkat wajahnya.“Kenapa ibu memarahi, Kelvin? Dia pasti tidak sengaja menjatuhkan piring itu!” Evelyn sedikit kesal pada ibunya.“Setidaknya jangan berlarian di dalam rumah? Piring itu cukup besar, tidak mungkin jika tidak melihatnya!” hardik Rose.Kelvin yang semula biasa kuat menahan kesedihannya, seketika berteriak menangis saat sang ibu dibentak oleh neneknya.“Tolong jangan marahi ibu! Ini semua salah Key,” ujar Kelvin di tengah tangisnya.Sean langsung menggendong Kelvin dan keluar dari rumah untuk sekedar melepaskan rasa kesalnya. Sedangkan Evelyn sendiri kini dalam keadaan
Di saat emosi Sean bergejolak, Evelyn yang menyadari hal tersebut langsung memegang tangan sang suami, berusaha untuk menahannya agar tidak bertindak gegabah.“Tetap tenang, aku tidak ingin terjadi pertikaian di sini,” pinta Evelyn sambil berbisik.Pada akhirnya Sean memilih untuk menahan emosinya demi Evelyn. Jika tidak memandang sang istri dan mertua, mungkin saat itu juga ia sudah menghajar pria mesum itu.“Lalu, siapa mereka?” sambung pria itu lagi.“Sudahlah, kamu mengganggu makan siang kami! Kita bicarakan hal itu nanti sore saja,” pinta Rose sambil menatap pria itu dengan tatapan sedikit kesal.“Kamu sangat pelit, Rose. Kalau begitu aku pergi dulu, sampai jumpa nanti,” ucap pria itu sambil mengedipkan sebelah mata pada Rose.Rose terlihat tidak nyaman dengan situasi tersebut, karenanya ia mendorong kedua pria itu agar segera pergi. Namun, salah seorang pria yang lebih muda sekilas terlihat melirik Evelyn, lalu tersenyum penuh simpul.“Lihatlah! Mereka benar-benar kurang ajar!”