Evelyn langsung menekan nomor ponsel Sean, berharap setidaknya bisa berbicara walau hanya sebentar. Namun, baru saja ia hendak melakukan panggilan, di saat itu juga Dion merebut ponsel tersebut."Apa yang kamu lakukan?" Dion menatap Evelyn dengan lekat."Menelpon temanku, sebentar saja," ucap Evelyn yang berharap jika Dion mau meminjamkan ponselnya lagi."Aku meminjamkan ponsel bukan berarti mengizinkan menelepon temanmu!" tegas Dion yang saat ini wajahnya kembali terlihat datar.Evelyn tercengang, bagaimana mungkin pria itu sikapnya bisa dengan mudah berubah-ubah?"A-aku." Evelyn ragu, tak tahu harus menjawab apa."Jangan pernah berpikir bisa mengelabuiku lagi!" Dion menggenggam tangan Evelyn, lalu beranjak pergi meninggalkan kamar.Setelah Dion keluar dari kamar, Evelyn yang merasa lelah segera berbaring sambil meringkuk di atas kasur. Ia menangis saking tak tahan dengan apa yang sedang dihadapinya."Sean … Kelvin … aku sangat merindukan kalian," ucap Evelyn sambil terisak.Di ruang
Sean memulai perjalanan menuju kota yang sedikit asing baginya tersebut. Ia bahkan nyaris tidak pernah menginjakkan kaki di sana. Namun, demi Evelyn pria itu sampai berusaha untuk mempelajari daerah tersebut dalam waktu singkat."Ayah, pemandangan di sini tidak sebagus di rumah kita," protes Kelvin yang terus memandangi jalan di mana banyak tanah luas yang gersang."Ya, tempat kita itu kota wisata ada pantai dan juga gunung dalam satu tempat, jadi tidak bisa dibandingkan dengan kota ini," jelas Sean sambil mengusap rambut sang anak.Saat sedang berbincang, ponsel Sean mendadak berdering, ada panggilan masuk dari anak buahnya."Ya, bagaimana?" tanya Sean sesaat setelah mengangkat telepon."Kami sudah menemukan jejak beberapa preman dari kota Ganea yang sempat singgah ke sana," jelas anak buah Sean dari balik telepon."Bagus, kirim alamatnya segera!""Baik, Pak."Sean langsung mematikan telepon. Ia tersenyum puas seolah sudah ada titik cerah pencarian Evelyn."Kuharap ini jadi permulaan
Saat itu Sean sedang merasa jauh lebih bersemangat dibanding sebelumnya. Keyakinan untuk bisa membawa Evelyn kembali pulang terus memenuhi pikirannya karena semua sudah menjadi jelas dan akan lebih mudah untuk melakukannya."Kalau begitu, Key bermain dengan Paman Nick dulu, ya. Ayah harus mengerjakan sesuatu dulu," ucap Sean yang langsung membuka laptopnya sambil menunggu kedatangan anak buah yang membawa rekam medis.Sedang di tempat lain, Evelyn yang dengan terpaksa berjalan-jalan ke mall itu sama sekali tak merasa bahagia di tengah kebahagiaan Bella dan Dion."Apa Ibu senang? Sudah lama sekali kita tidak jalan-jalan begini," ucap Bella sambil berjalan mundur, menatap Evelyn yang sedang melaju dengan kursi roda."Ya, ini cukup menyenangkan," jawab Evelyn dengan senyum getir dan dipaksakan.Bella sedikit merasa bersedih melihat ekspresi ibunya, tetapi ia menepis pikiran itu dengan berpikir jika sang ibu tengah sakit dan ingatannya belum kembali sempurna.Melihat ekspresi sang anak, D
Melihat Evelyn menjadi semakin tertekan membuat Dion merasa puas dan senang. Ia langsung masuk ke kamar begitu saja dengan tatapan yang membuat Evelyn bergidik."Inilah akibatnya jika kamu berani melawanku!" hardik Dion dengan tatapan tajam."Apa kamu itu manusia? Kenapa begitu tidak memiliki perasaan?" Arabella pun akhirnya tak bisa membendung air mata lagi dan berakhir menangis di depan Dion."Jika kamu menurut semua ini tidak akan terjadi!" timpal Dion seraya menatap Evelyn lekat."Aku akan menurut. Tapi tolong lepaskan Diana! Dia tidak salah apa-apa," mohon Evelyn sambil duduk bersimpuh di atas kasur.Melihat Evelyn sudah memohon seperti itu membuat Dion melepaskan Diana, hingga gadis itu terkulai lemah di lantai.Evelyn yang tak kuasa melihat penderitaan Diana lantas beranjak, berniat untuk menghampiri gadis itu. Namun, baru saja sampai di ujung kasur, Dion malah berusaha mencegahnya."Tetaplah disitu!" hardik Dion.Evelyn pun terdiam, jika tak menurut tentu Diana yang akan menja
Untuk pertama kalinya Evelyn melihat Dion yang wajahnya seperti sedang cemas. Ia langsung menoleh ke arah orang yang baru saja datang. Siapa mereka? Kenapa bisa membuat seorang pria menyeramkan seperti Dion menjadi begitu panik?"Dion, hentikan semua ini! Jangan bohongi dirimu sendiri!""Lupakan Clara, istrimu sudah meninggal, Dion!"Mendengar pernyataan tersebut, seisi ruangan menjadi riuh. Mereka seakan tak percaya dengan apa yang sedang terjadi saat itu."Ada apa ini? Bukankah itu Tuan dan Nyonya Thompson? Kenapa mereka malah berkata seperti itu?""Apa dua orang tua itu sudah menjadi pikun? Kenapa mereka mengatakan anak sendiri sudah tiada padahal sudah jelas ada di depan mata?" "Aku sempat mendengar kabar kecelakaan Clara Thompson, tapi setahuku dia sudah pulih sekarang.""Sudah! Kita lihat drama ini saja! Kenapa kalian terus berisi?"Para tamu seakan berlomba-lomba untuk bergosip, mengeluarkan seluruh informasi yang mereka tahu. Bahkan tak sedikit yang berspekulasi sendiri dengan
“Kenapa tidak bilang saja ke mana tujuan kita?” Evelyn tak bisa menahan rasa penasarannya itu.“Sebuah tempat yang indah.” Sean lagi-lagi tersenyum menatap Evelyn.“Di mana itu? Kenapa terus bermain teka-teki?” Evelyn memanyunkan bibirnya.“Nanti juga, kamu akan tahu sendiri.” Sean merangkul sang istri, lalu mengecup keningnya dengan penuh rasa cinta.Evelyn menghela napas panjang, jika Sean mengatakan seperti itu, maka tidak akan memberitahu dalam waktu dekat.Perjalanan itu cukup panjang, mereka bahkan beberapa kali singgah di tempat wisata untuk sejenak beristirahat dan memanjakan mata. Hingga akhirnya Evelyn tak tahan lagi dan mendiamkan Sean yang menurutnya sangat menyebalkan.“Apa kamu marah?” Sean berusaha meraih tangan Evelyn.Namun, Evelyn yang sedang kesal itu langsung menepis tangan Sean dan segera memalingkan wajahnya.“Aku takut kamu terkejut jika tahu yang sebenarnya.” Sean terus menggoda Evelyn.“Katakan saja! Kamu begitu menyebalkan, mengajak bepergian, tapi tidak memb
“Siapa kalian?” Sean berusaha waspada pada ke lima orang pria itu. Ia juga melirik penjaga toko karena mulai mencurigainya.“Jangan membantah dan ikuti kami!” hardik pria itu lagi, seakan tak memperdulikan jika ada seorang anak kecil dalam rombongan Sean.“Apa kamu bisa bersikap lebih lembut lagi? Setidaknya jangan membuat seorang anak kecil ketakutan!” Sean berusaha menahan emosinya.Pria itu malah menatap Sean dengan sorot mata tajam, seperti ada sesuatu yang sedang melintas dipikirannya.“Ada urusan apa mencari Nyonya Rose?” tanya Pria itu tiba-tiba.“Apa harus ada urusan jika seorang anak ingin menemui ibunya?” Evelyn yang sejak tadi hanya memperhatikan tampak kesal dan menjawab dengan ketus.Mendengar ucapan Evelyn, lima orang pria bertubuh tegap itu seketika langsung berubah ekspresi wajahnya. Mereka yang semula terlihat garang secara mendadak jadi tersenyum dan terlihat ramah.“Apakah Anda Evelyn Winston?” tanya salah seorang pria sambil tersenyum lebar.“Ya,” jawab Evelyn, ket
Evelyn dan Sean saling pandang, mereka cukup terkejut mendengar teriakan Rose yang sekilas tampak seperti marah itu membuat keduanya langsung bergegas menghampiri.“Apa yang terjadi?” Evelyn menatap Kelvin yang saat itu sedang menunduk memandangi pecahan piring.“Tanyakan sendiri padanya!” ucap Rose yang seakan enggan menatap Kelvin.Kelvin terlihat sedang menahan tangis, bocah itu ketakutan tak berani mengangkat wajahnya.“Kenapa ibu memarahi, Kelvin? Dia pasti tidak sengaja menjatuhkan piring itu!” Evelyn sedikit kesal pada ibunya.“Setidaknya jangan berlarian di dalam rumah? Piring itu cukup besar, tidak mungkin jika tidak melihatnya!” hardik Rose.Kelvin yang semula biasa kuat menahan kesedihannya, seketika berteriak menangis saat sang ibu dibentak oleh neneknya.“Tolong jangan marahi ibu! Ini semua salah Key,” ujar Kelvin di tengah tangisnya.Sean langsung menggendong Kelvin dan keluar dari rumah untuk sekedar melepaskan rasa kesalnya. Sedangkan Evelyn sendiri kini dalam keadaan
Terima kasih buat semua reader yang sudah mengikuti cerita sampai sejauh ini. Othor bukan apa-apa tanpa kakak² reader.Oh, iya othor mau sedikit menceritakan beberapa kisah tokoh yang nggak muncul di akhir.Ada yang cariin Daren nggak ya? kakak tiri Evelyn yang sempet punya rasa itu akhirnya bisa melupakan istri dari sang atasannya itu, dia memilih untuk melamar kekasih sesama rekan kerja di perusahaan Sean.Lukas, si asisten gila kerja itu lebih milih untuk fokus ngurus perusahaan yang Sean titipin loh. Beberapa kali Sean berusaha ngejodohin sama perempuan malah berakhir di tolak, ya itu semua karena dia gila kerja.Jennifer, kakak tiri Evelyn yang udah insyaf ini milih menjauh dari kehidupan dulu. Dia pergi ke luar negri dan diam-diam menikah dengan warga lokal.Yang lebih mengejutkan, nggak berselang lama setelah Evelyn melahirkan, Nicki melamar Diana di depan orang ramai. Ya, cinta tumbuh karena biasa, kebersamaan bikin benih-benih cinta itu tumbu. Tapi, tenang aja, meski udah bern
Sean tampak kebingungan, tak tahu sang istri hendak mengajaknya ke mana. Sampai saat mereka berdiri di depan sebuah rumah barulah mengerti alasan Evelyn membawanya ke sana.“Kuharap ibu tidak ada sangkut pautnya dengan masalah korupsi dan perdagangan manusia.” Evelyn tampak terus menghela napas berat, terlebih di setiap kali teringat ibunya.Sean tak mau berspekulasi lebih dan hanya berniat untuk menyaksikan apa yang akan terjadi nantinya.“Ibu ….” teriak Evelyn sambil berjalan cepat ke arah pintu.Namun, ketika masuk ke rumah, Evelyn sama sekali tak mendapati keberadaan sang ibu. Ia mencari ke kamar, dapur bahkan ke gudang, tetapi Rose sama sekali tak ada.“Sepertinya ibumu telah pergi, Evelyn.” Sean merangkul sang istri yang tampak sedang kecewa.“Aku tidak menyangka ibu jadi seperti ini.” Mata Evelyn berkaca-kaca.“Sudahlah, mau bagaimana kalau itu semua sudah menjadi pilihan ibu. Lebih baik kita pulang sekarang, Kelvin sudah menunggumu.”Evelyn mengangguk, rasanya ingin menangis t
Namun, pria yang menariknya itu malah seakan tak memperdulikan Evelyn dan terus menarik entah hendak membawanya ke mana.“Lepaskan! Atau aku akan melakukan sesuatu yang membuatmu menyesal!” ancam Evelyn sambil terus berusaha melepas tangan pria itu.Mendadak pria itu menghentikan langkahnya, menatap Evelyn dengan tatapan datar.“Bu Evelyn, saya tidak bermaksud jahat. Maaf karena saya telah lancang membawa Anda dengan kasar, tapi kalau tidak begini saya khawatir Anda akan kabur dan melewatkan apa yang sedang Pak Sean lakukan,” jelas pria itu.“Pak Sean? Siapa kamu? Bukankah kamu warga asli desa ini?” Perasaan Evelyn menjadi tak karuan saat mendengar ucapan pria itu.“Saya anak buah Pak Sean yang bertugas untuk mengawasi Anda karena secara kebetulan juga merupakan warga desa,” terang anak buah Sean itu.Evelyn belum percaya sepenuhnya, tatapan penuh kecurigaan terus ia perlihatkan. Wajar jika perempuan itu tidak langsung percaya karena bagaimanapun dirinya sedang berada di posisi yang me
Noah terus memperhatikan sekeliling, mengawasi Joseph dan Viona, berharap jika kedua orang itu tidak sedang memperhatikannya. Dan benar saja, mereka sedang asyik dengan orang-orang yang sedang berusaha menjilat.“Aku harap ini akan berhasil,” gumam Noah yang segera beranjak, lalu menyelinap keluar dari pesta.Beruntung saat itu tidak ada yang memperhatikannya, sehingga Noah bisa leluasa berjalan ke sana kemari tanpa ada yang mengetahui.Namun, saat ia sampai di rumah, dari kejauhan terlihat ada beberapa orang yang menjaga area sekitar rumah Joseph tersebut, karenanya Noah berusaha untuk terlihat tenang dan menyembunyikan niat buruknya.“Tuan muda, kenapa Anda sudah kembali? Bukankah pesta masih sedang berlangsung?” tanya salah seorang pria yang sedang menjaga rumah Joseph tersebut.“Ayah menyuruhku untuk membawa perempuan itu ke pesta,” ucap Noah yang terlihat begitu gugup.Awalnya para penjaga sedikit tidak yakin dengan ucapan Noah tersebut. Namun, mereka berpikir kembali, untuk apa
Kelvin tidak mengerti dengan maksud ayahnya, tetapi ia tetap mengizinkan selama bisa membawa sang Ibu kembali.“Hati-hati di jalan, Ayah! Jangan lama-lama,” pinta Kelvin sambil melambai.Mata Kelvin berkaca-kaca. Namun, ia berusaha untuk tetap tegar karena itu semua demi kebaikan sang ibu. Beruntung ada Nicki dan Diana yang selalu menemani, setidaknya bocah itu tidak terlalu berlarut dalam kesedihan.“Paman Nick apakah ayah akan pergi lama?” tanya Kelvin yang wajahnya jelas terlihat sedang menahan tangis.“Paman tidak bisa memastikannya, tapi ayah pasti tidak mau berlama-lama jauh dari Key.”Kelvin tersenyum, berusaha untuk kuat. Bocah itu seakan didewasakan oleh keadaan, yang mana di usianya dia sudah mengalami banyak masalah.Di tengah kegelisahan Kelvin, Sean saat itu malah sedang merasa bahagia karena pada akhirnya semua bukti dan saksi sudah terkumpul, hanya tinggal menjalankan rencana yang sudah matang itu.Sean melaju, menuju salah satu gudang terbengkalai yang berada ujung kot
Evelyn begitu mengenali wanita yang kini berada di hadapannya. Bagaimana tidak? ingatan akan kenangan pahit masih terus terngiang, tidak mungkin terlupakan.“Siapa sangka ternyata kita bisa bertemu lagi,” ucap wanita itu.Evelyn benar-benar benci menatap wajah wanita yang terlihat menjijikan itu, melihatnya membuat teringat pada Sean.“Aku kan tidak menyangka akan bertemu dengan wanita menjijikan sepertimu,” ucap Evelyn dengan tatapan sinis.Ucapan Evelyn berhasil memancing emosi wanita itu. Senyum yang semula tampak penuh penghinaan berubah dengan rasa sakit hati yang jelas terlihat.“Jaga ucapanmu itu jika tidak mau ku buat hidupmu lebih menderita!”Melihat wanita itu kesal, Evelyn merasa sedikit puas, setidaknya perempuan itu merasa sakit hati walaupun hanya sedikit.Namun, rasa senang Evelyn hanya bersifat sementara karena saat itu ia malah ditarik secara paksa menuju ke tempat Joseph berada.“Hentikan! Aku tidak ingin pergi dengan manusia jahat seperti kalian!” timpal Evelyn samb
“Apa maksudnya dengan semua ini? Kami datang bersama-sama tapi kenapa malah melarangku untuk keluar dari Desa ini?” Evelyn menatap tajam kedua penjaga gerbang Desa tersebut.“Maaf, ini semua atas perintah Tuan Joseph. Kami tidak mungkin membantahnya,” jawab salah seorang penjaga.“Kenapa dia terus mengusik hidupku?” Evelyn berusaha mengatur nafas yang sesak akibat emosi yang sudah terlalu bergejolak di dada.Evelyn tidak tahu harus berbuat apa, sampai sekilas terbesit sebuah ide yang sepertinya cukup menarik untuk dilakukan. Ia mendekat perlahan ke arah Diana, lalu berbisik, “kalian pergilah duluan! Aku akan menyusul setelahnya.”Diana tidak setuju dengan ide Evelyn tersebut, tetapi berulang kali menolak pun percuma karena atasannya itu terus memaksa dan mengatakan semua akan baik-baik saja “Percayalah padaku!” ungkap Evelyn dengan senyum yang ia tunjukkan demi berusaha menutupi kegelisahannya.“Tapi, Kak …..” Diana masih ragu untuk meninggalkan Evelyn seorang diri.“Sudahlah, yang t
Di saat Sean rengah mengumpulkan banyak bukti untuk menghancurkan Joseph, di sisi lain Evelyn sedang dalam keadaan hancur, terlebih karena Kelvin terus menanyakan tentang keberadaan ayahnya.“Ibu, kapan ayah pulang? Katanya cuma sebentar!” Kelvin terus mengatakan hal tersebut berulang-ulang.“Ibu tidak tahu, mungkin akan lebih lama karena ini masalah pekerjaan,” ucap Evelyn yang matanya berkaca-kaca.“Ayah jahat! Tega sekali meninggalkan Key,” rengek Kelvin yang bertingkah seperti bocah tantrum.Evelyn tak tahu lagi harus mengatakan apa pada Kelvin. Sang anak seakan tak terima dengan kepergian ayahnya, ia bahkan tak bisa membayangkan bagaimana kedepannya, mengingat dirinya sendiri tidak tahu kapan bisa bertemu lagi dengan Sean setelah setelah kejadian sebelumnya.Beruntung Diana dan Nicki seringkali bertindak cepat. Mereka langsung mengajak Kelvin bermain, berusaha mengalihkan perhatian bocah itu.“Apa kamu tahu apa yang sedang terjadi dengan Pak Sean?” tanya Diana sambil berbisik, ta
Sean seketika bingung, merasa tidak kenal dengan perempuan itu.“Siapa kamu?” tanya Sean sambil mengerutkan alis.“Menyebalkan, ternyata kamu sudah melupakanku!” protes wanita itu.Meski berusaha mengingat, tetap saja Sean lupa jika pernah bertemu dengan wanita itu.“Cepat katakan saja siapa kamu!” seru Sean yang tidak suka bertele-tele.Perempuan itu malah tertawa dengan begitu kencangnya. Wajahnya menunjukkan jika ia memiliki maksud yang tidak baik.“Apa kamu ingat kopi tumpah dan penguntit?” Perempuan itu tersenyum licik.Hanya dengan beberapa kata Sean langsung teringat kejadian di mana seorang wanita pernah menumpahkan kopi pada pakaiannya dan mengaku jika dirinya sedang diikuti oleh seorang penguntit.“Apa maumu?” Sean menatap wanita itu dengan wajah datar.Perempuan itu malah tertawa lagi, lalu tatapannya seakan menatap Sean penuh kebencian.“Salahmu sudah mengabaikanku waktu itu, padahal awalnya aku tidak berniat menuruti permintaan Ayah untuk menjebakmu. Tapi sikapmu yang som