Pria muda itu tersenyum, merasa menang karena pada Akhirnya Evelyn mau menurut. Baginya hal kecil seperti itu sudah menjadi suatu kebahagiaan tak terhingga.Evelyn yang kini duduk di kursi belakang terus dipenuhi rasa curiga. Ia tidak bisa terlalu percaya pada orang asing, tetapi keadaannya sekarang membuat dirinya tak bisa berpikir panjang dan dengan enteng menurut untuk ikut."Apa kita pernah saling kenal? Kenapa kamu seperti mengenalku?" Evelyn menatap sinis."Oh, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Dion, aku sangat menyukai bunga," ujar pria yang bernama Dion itu.Mendengar ucapan Dion, Evelyn mendadak melonggarkan kewaspadaannya. Ia berpikir jika mungkin pria di depannya adalah salah satu pelanggan di toko bunganya dulu."Dan aku begitu menyukai rangkaian bunga buatanmu," sambung Dion.Evelyn secara tak sadar mengehela napas panjang, sepertinya kali ini ia sudah benar-benar menghilang kecurigaan dan berpikir jika Dion adalah salah satu pelanggan yang masih mengingatnya."Klinik
"Foto apa yang Sean kirimkan?" Evelyn langsung membuka isi pesan tersebut.Diana hanya menatap dari depan, ia terus mengawasi Evelyn karena sejak ponselnya berbunyi mendadak wajahnya jadi berubah.Saat sedang membuka pesan dari Sean, Evelyn seketika mengerutkan alis. Siapa sangka jika suaminya ternyata malah mengirimkan beberapa foto yang cukup membuatnya marah."Apa-apaan ini?" Evelyn menjadi tersulut emosi."Ada apa, Kak?" Diana sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi.Evelyn menoleh ke arah Diana sekilas, ia memperlihatkan layar ponselnya pada perempuan itu.Mendadak Diana membelalak terlebih apa yang dilihatnya sangatlah menyebalkan."Bagaimana mungkin para preman itu bisa memukul seorang perempuan tua dan anak kecil?""Ini tidak bisa dibiarkan. Aku benar-benar benci sikap arogan mereka. Kita harus segera menyebarkan ini di media sosial," gumam Evelyn yang saat itu segera menelepon Sean untuk merundingkan masalah preman yang meresahkan."Ya, apa yang akan kamu lakukan sela
"Jadi, apa yang ingin Key katakan?" sambung Sean yang cukup penasaran dengan isi kepala sang anak.Kelvin terlihat ragu, tampaknya ia masih merasa canggung pada Sean yang baru saja melarangnya untuk berlatih bela diri."Itu …" Kelvin terdiam kembali, lalu menatap Sean sekilas."Kenapa? Takut Ayah marah?" Sean tersenyum tipis."Bukan begitu, Ayah." Kelvin menghela napas sejenak. "Kalau tidak boleh berlatih, apa Key boleh menonton orang berlatih bela diri?"Kelvin tak berani menatap sang ayah, ia khawatir mendapat penolakan lagi."Baiklah, kalau hanya menonton sih tidak masalah," sahut Sean sambil.mengusap lembur kepala Kelvin."Yeay, Key bisa melihat orang berlatih, Yeay," teriak Kelvin sambil melompat pelan di dekat ayahnya.Sean lagi-lagi hanya bisa tersenyum melihat tingkah Kelvin. Ia tahu betul jika anaknya itu benar-benar memiliki tekad untuk melindungi ibunya, tetapi mau bagaimana lagi dirinya pun tak ingin jika Kelvin sampai mengalami cedera mengingat ia masih terlalu kecil dan
Kelvin yang semakin diliputi rasa cemas itu lantas berlari kecil, lalu menghadang Sean berjalan masuk."Ayah tidak boleh masuk?" teriak Kelvin sambil merentangkan tangannya.Mendengar teriakan Kelvin, Evelyn yang berniat untuk tidur pun tersentak dan langsung menoleh ke arah sumber suara."Apa yang Key lakukan? Kenapa menghalangi Ayah begitu?" Evelyn beranjak, duduk di kasur.Kelvin menoleh sebentar dengan wajah terlihat begitu panik. Saat sedang lengah, Sean malah menggendongnya."Lepaskan! Ayah tidak boleh masuk ke kamar!" teriak Kelvin sambil meronta-ronta.Saat itu juga, Sean langsung menaruh tubuh kecil Kelvin di tengah kasur, dekat dengan Evelyn."Ada apa? Kalian hanya pergi sebentar dan saat kembali malah terus bertengkar," protes Evelyn sambil tersenyum karena gemas melihat tingkah ayah dan anak itu.Saat itu juga Kelvin yang sudah tidak berdaya memilih untuk berbaring, lalu menutup telinganya saking cemas jika pertengkaran di antara kedua orang tuanya."Ada hal yang ingin kut
"Sudah kuduga, tampaknya mereka tidak sesederhana yang kita lihat," ujar Sean yang mendadak dadanya terasa bergemuruh akibat kesal."Lalu bagaimana? Apa yang harus kita lakukan selanjutnya?" Evelyn mendadak cemas. Ia tidak ingin usahanya berakhir sia-sia."Kita lanjutkan memberi sanksi sosial untuk orang-orang itu, meski pada akhirnya pemerintah daerah tetap akan melindungi mereka," jelas Sean.Evelyn menghela napas panjang. Komentar di unggahan tersebut membuatnya merasa tak habis pikir, bagaimana mungkin sekelompok preman sudah lama berkeliaran dan dibiarkan membuat onar begitu saja karena mendapat perlindungan pemerintah setempat? "Aku benar-benar benci preman-preman itu," ungkap Evelyn."Sudah sore, mau kubantu untuk mandi?" tanya Sean dengan wajah datar."Tidak perlu, kamu pasti akan mengambil kesempatan dariku." Evelyn tersenyum malu."Memang kenapa? Tidak ada larangan untuk sepasang suami istri.""Tapi, aku takut perbanku basah.""Tinggal dibuka. Itu bukan luka, aku akan meman
Sean berjalan dengan penuh keberanian, tidak ada rasa takut apalagi cemas di hatinya. Ia malah merasa tertantang dengan kedatangan dua preman itu."Tuan, mereka terus memaksa ingin bertemu padahal saya sudah berusaha untuk menyuruh mereka pergi," lapor salah seorang security yang berjaga di depan."Biarkan saja, mungkin ada yang mereka ingin sampaikan padaku," sahut Sean sambil tersenyum tipis.Langkah Sean terhenti saat berada tepat di depan gerbang. Ia menatap kedua preman yang saat itu terus membuat kerusuhan di depan rumahnya."Apa yang kalian inginkan?" Wajah Sean menunjukan aura dingin yang menusuk, membuat kedua preman itu sempat merasa bergidik."Bos ingin memastikan. Kau kan yang menyebar video tentang kami di media sosial?" ucap salah seorang preman dengan mata membelalak, seolah ingin membuat nyali Sena ciut."Yakin jika itu aku? Bosmu pikir hanya aku yang membenci kalian di muka bumi ini?" Sean tersenyum miring dengan tatapan sedingin es."I-itu … tapi tetap saja, kau yang
"Berhati-hatilah! Kakimu masih sakit, jangan terburu-buru, takutnya malah jatuh!" ucap Dion sambil memegangi tangan Evelyn.Saat itu Sean langsung menghajar Dion tepat di wajah. Tampaknya kesabaran pria itu benar-benar sudah habis. Ia tak bisa lagi menahan gejolak di dada yang sejak awal terus bergemuruh."Lepaskan tanganmu dari istriku!" bentak Sean.Saat itu semua orang yang berada di sana seketika berkumpul mendekati Sean, hendak melerai pertikaian di antara kedua pria itu."Jangan bertengkar di sini! Kami baru saja menata tempat ini," ucap salah seorang anak buah Dion yang bertugas menata area dekat situ."Persetan dengan dekorasi ini!" bentak Sean yang segera menggendong Evelyn menuju ke dalam rumah."Ayo, Key! Kita masuk ke dalam saja!" ajak Sean yang sekilas melirik ke anaknya, lalu mendelik lagi ke arah Dion.Dion lagi-lagi terlihat tenang. Ia tidak berhenti tersenyum seolah tak terjadi apa-apa, meski dari pinggir bibirnya mengeluarkan darah.Merry yang berada di situ menjadi
Nicki melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi karena cemas dengan keadaan Sean. Ia khawatir atasannya itu pergi ke tempat yang tidak baik demi melampiaskan amarahnya."Semoga pikiranku salah," gumam Nicki yang terus fokus menyetir.Tak berselang lama Nicki sampai di depan sebuah bar ternama di kota itu. Selain besar, tempat itu juga terkenal karena sering dikunjungi para wisatawan dan beberapa orang penting dari ibu kota yang sedang jalan-jalan ke kota tersebut.Nicki menoleh ke sana kemari, mencari kendaraan Sean yang mungkin saja terparkir di sana.Mata pria itu seketika tertuju pada sebuah mobil sport hitam yang terparkir tak jauh dari gerbang utama. Nicki lantas menghela napas panjang karenanya."Kuharap Pak Sean tidak melakukan sesuatu yang bodoh." Nicki bergegas memasuki bar.Saat berada di dalam bar, matanya terus menatap sekeliling, berusaha mencari keberadaan Sean. Hingga sosok sang atasan yang sedang mabuk terlihat sedang duduk bersandar dengan beberapa perempuan tampak me