Lukas berusaha menepis prasangkanya, meski nama Leon terus terngiang-ngiang dalam benaknya."Apa mungkin?" Lukas seakan menerka-nerka, jantungnya berdebar kencang karena terus diselimuti rasa penasaran.Akhirnya, Lukas memutuskan untuk menanyakan pada Evelyn perihal Leon saat perempuan itu bangun nanti.Tak terasa matahari telah terbit, Lukas terbangun dari tidurnya. Meski hanya beberapa jam sudah terbilang lumayan untuk menghilangkan rasa kantuk.Lukas buru-buru menyentuh kening Evelyn. "Syukurlah, suhunya sudah kembali normal."Di saat bersamaan, Evelyn terbangun lalu menatap Lukas dengan keheranan."Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" Evelyn buru-buru beranjak."Jangan salah sangka dulu! Semalam kamu demam tinggi, Dokter Andrean memintaku untuk mengompres dan menjagamu semalaman," terang Lukas yang merasa tidak nyaman dengan tatapan penuh curiga yang Evelyn tunjukan.Evelyn yang masih memiliki trauma tak langsung percaya begitu saja. Ia memandangi sekitar kasur, mencari bukti ke
Lukas mengacak-acak rambutnya. Dua pilihan yang berat telah membuat asisten Sean tersebut tak tahu harus berbuat apa-apa.Namun, saat Lukas melirik ke arah Evelyn, rasa kasihan langsung memenuhi hatinya. Meski pingsan karena shock, tetap saja ia khawatir terjadi sesuatu pada perempuan itu."Maaf, Pak aku tidak tega melihatnya seperti ini," gumam Lukas yang langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.Sepanjang perjalanan, Lukas terus menoleh ke samping, memastikan keadaan Evelyn yang masih belum ranjang rumah sakitsadarkan diri."Evelyn, sadarlah! Kuharap kamu tidak terus berlarut dalam kesedihan," ucap Lukas, lirih.Tak terasa, kini mereka telah sampai di rumah sakit. Tanpa membuang banyak waktu, Lukas bergegas menggendong Evelyn menuju ruang IGD.Evelyn kuharap kamu baik-baik saja aku tidak ingin terjadi sesuatu pada bayi yang tidak bersalah di dalam perutmu gumam Lukas sambil berlari kecil seraya menggendong EvelynSetelah sampai di IGD segera Lukas membaringkan Evelyn di r
"Apa? Kamu mau menamparku?" bentak Evelyn yang semakin menantang Sean.Sejak awal Sean memang tak pernah berniat untuk menyakiti Evelyn. Hanya saja tangannya secara reflek terangkat meski pada akhirnya ia bisa menahan untuk tidak menampar perempuan di hadapannya."Sia-sia aku membawamu, ternyata kamu hanya seorang penipu rendahan!" bentak Sean seraya memandang Evelyn dengan tatapan hina."Rendahan? Kamulah yang membuatku seperti ini!" Evelyn semakin meninggikan suaranya."Aku?" Sean terheran, menunjuk dirinya sambil membelalak."Ya, kamu! Bayi ini memang bukan anak Leon tapi dia adalah darah dagingmu!" teriak Evelyn, wajahnya merah padam, napasnya tak beraturan dengan mata melotot seperti mau keluar.Lukas yang sejak tadi hanya menonton dari kejauhan mendadak ikut terkejut mendengar pengakuan Evelyn. Ia tidak tahu harus berkata apa, saat mengetahui fakta yang menurutnya sangatlah rumit. Bagaimana bisa kekasih sang adik dihamili oleh kakaknya sendiri?Lain dengan Lukas yang begitu memp
Sean melajukan mobil dengan sangat kencang, pikirannya kini tengah kacau. Rasanya ingin segera sampai tempat tujuan demi memuaskan rasa keingintahuannya itu."Leon, aku akan membalaskan dendammu!" ucap Sean yang mengepalkan tangan semakin kencang.Meski melaju dengan kencang, bagi Sean perjalanan tersebut sangatlah lama. Terlebih ia mengendarai mobil sambil tidak fokus karena terus membayangkan Evelyn yang menurutnya telah menghancurkan hidup sang adik.Sean pun akhirnya sampai di sebuah rumah minimalis yang dekat dengan universitas tempat Leon kuliah dulu.Segera Sean melangkah masuk menuju rumah tersebut. Ia mengambil kunci yang sengaja disimpan di bawah salah satu pot bunga plastik dekat pintu."Syukurlah." Sean menghela napas dalam sambil memandangi kunci kecil dengan gantungan nama tersebut.Sean langsung membuka pintu dan menuju ke kamar yang biasa Leon tempati. Matanya memandangi sekeliling mencari barang peninggalan Leon yang mungkin berguna. Sampai sekilas ia melirik komputer
Evelyn menoleh seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya."Kenapa kamu ada di sini?" Mata Evelyn berkaca-kaca.Namun, bukannya menjawab, orang itu malah tersenyum lebar, lalu membayarkan tiket bus Evelyn agar si petugas tak terus menyudutkan perempuan hamil tersebut."Kenapa tidak dari tadi saja kamu bayar tiketnya, aku jadi tidak perlu berdebat dengan perempuan menyebalkan ini," protes petugas terminal itu."Maaf, saya sedikit terlambat datang.""Ya sudah, suruh perempuan itu cari tempat duduk. Aku sudah malas berbicara dengannya!" Petugas terminal itu mengayunkan tangan, meminta Evelyn untuk segera duduk."Ngomong-ngomong, berapa lama lagi bus akan berangkat?""Masih sekitar setengah jam," jawab petugas tersebut."Baguslah."Orang yang membayarkan tiket bus itu pun menuntun Evelyn menuju bangku yang berada di tengah."Kakak tunggu dulu. Aku belikan makanan sebentar!""Tapi, apa kamu punya uang?" tanya Evelyn ragu."Tenang saja, Kak," ucap orang tersebut sambil berlari keluar bus,
"Apa maksudmu? Aku datang kemari untuk menginap, bukan menipu!" ujar Evelyn merasa tak terima dirinya dituduh yang tidak-tidak."Nyonya, mana mungkin pemilik kartu tidak mengetahui sandi sendiri! Anda sudah salah memasukan kata sandi!" seru resepsionis tersebut."Aku ingin mencobanya lagi!" Evelyn merasa yakin telah memasukkan kata sandi yang benar.Bukannya memberi kesempatan, resepsionis itu malah melemparkan kartu debit ke wajah Evelyn."Sudahlah! Lebih baik kamu kembali ke rumah dan jangan bermimpi untuk menginap di hotel mewah seperti ini!" Seru resepsionis tersebut.Evelyn yang malas berdebat langsung memungut kartu debit pemberian Diana itu. Ia pun keluar dari hotel dengan perasaan kecewa sambil menahan sakit pinggang yang semakin menjadi."Aku tidak tahu tempat ini, kemana aku harus pergi?" gumam Evelyn, menghela napas dalam.Dengan sakit pinggang yang terus menjalar, Evelyn memaksakan diri untuk terus berjalan menuju keramaian. Sampai saat tengah berada di depan sebuah toko,
Sean langsung memainkan ponselnya, mencari sesuatu yang menurutnya akan sangat berguna."Ayolah!" gumam Sean yang berharap jika ia masih menyimpannya.Sean yang saat itu sembarang memberi menyimpan nomor telepon, di buat bingung sendiri saat harus mencari satu persatu nama di daftar kontaknya.Sudah hampir sepuluh menit Sean gunakan hanya untuk mencari nama kontak di ponselnya, di menit ke dua belas barulah ia menemukan sebuah nama yang terasa sedikit asing.Sean pun langsung melakukan panggilan telepon."Halo, siapa ini?" jawab seseorang di balik telepon."Saya rekannya Lukas," jawab Sean, bingung harus mengatakan apa lagi."Oh, Lukas. Kenapa kamu menghubungiku? Tidak langsung meneleponnya saja?""Tidak bisa dihubungi."Seseorang dibalik telepon itu terdengar menghela napas panjang. "Anak itu selalu saja begitu. Dia akan mengganti nomor setiap kali memiliki masalah. Kalau begitu, akan aku kirimkan alamat rumahnya.""Terima kasih," jawab Sean yang secara mendadak sesak di dadanya sedi
Evelyn merasa ngeri saat melihat Andi berbisik pada Merry. Perasaan nyaman yang semula dirasakan kini berubah menjadi kengerian. Bagaimanapun meski terlihat baik, Evelyn tetap harus bersikap waspada mengingat dia masih baru dan tidak mengenal daerah itu."Evelyn, kalau begitu kita makan ke cafe dekat toko bungaku saja," ajak Merry, dengan wajah tenang."I-iya," jawab Evelyn.Pada akhirnya Evelyn memilih pasrah karena tidak tahu harus bersikap bagaimana, mengingat meski harus waspada, orang-orang itu terlihat sangat baik.Andi pun melajukan mobilnya untuk kembali pulang.Sepanjang perjalanan, Evelyn hanya diam saja. Perasaannya sedang tidak karuan."Evelyn, dari mana asalmu?" Andi bertanya dengan begitu bersemangat."Dari kota sebelah," jawab Evelyn asal.Andi tahu jika Evelyn menjawab dengan asal. Mana mungkin seseorang yang berasal dari kota sebelah begitu tidak tahu apa-apa seperti Evelyn.Dari situ, Andi pun merasa jika Evelyn tidak ingin memberitahu identitasnya.Sepanjang perjala
Terima kasih buat semua reader yang sudah mengikuti cerita sampai sejauh ini. Othor bukan apa-apa tanpa kakak² reader.Oh, iya othor mau sedikit menceritakan beberapa kisah tokoh yang nggak muncul di akhir.Ada yang cariin Daren nggak ya? kakak tiri Evelyn yang sempet punya rasa itu akhirnya bisa melupakan istri dari sang atasannya itu, dia memilih untuk melamar kekasih sesama rekan kerja di perusahaan Sean.Lukas, si asisten gila kerja itu lebih milih untuk fokus ngurus perusahaan yang Sean titipin loh. Beberapa kali Sean berusaha ngejodohin sama perempuan malah berakhir di tolak, ya itu semua karena dia gila kerja.Jennifer, kakak tiri Evelyn yang udah insyaf ini milih menjauh dari kehidupan dulu. Dia pergi ke luar negri dan diam-diam menikah dengan warga lokal.Yang lebih mengejutkan, nggak berselang lama setelah Evelyn melahirkan, Nicki melamar Diana di depan orang ramai. Ya, cinta tumbuh karena biasa, kebersamaan bikin benih-benih cinta itu tumbu. Tapi, tenang aja, meski udah bern
Sean tampak kebingungan, tak tahu sang istri hendak mengajaknya ke mana. Sampai saat mereka berdiri di depan sebuah rumah barulah mengerti alasan Evelyn membawanya ke sana.“Kuharap ibu tidak ada sangkut pautnya dengan masalah korupsi dan perdagangan manusia.” Evelyn tampak terus menghela napas berat, terlebih di setiap kali teringat ibunya.Sean tak mau berspekulasi lebih dan hanya berniat untuk menyaksikan apa yang akan terjadi nantinya.“Ibu ….” teriak Evelyn sambil berjalan cepat ke arah pintu.Namun, ketika masuk ke rumah, Evelyn sama sekali tak mendapati keberadaan sang ibu. Ia mencari ke kamar, dapur bahkan ke gudang, tetapi Rose sama sekali tak ada.“Sepertinya ibumu telah pergi, Evelyn.” Sean merangkul sang istri yang tampak sedang kecewa.“Aku tidak menyangka ibu jadi seperti ini.” Mata Evelyn berkaca-kaca.“Sudahlah, mau bagaimana kalau itu semua sudah menjadi pilihan ibu. Lebih baik kita pulang sekarang, Kelvin sudah menunggumu.”Evelyn mengangguk, rasanya ingin menangis t
Namun, pria yang menariknya itu malah seakan tak memperdulikan Evelyn dan terus menarik entah hendak membawanya ke mana.“Lepaskan! Atau aku akan melakukan sesuatu yang membuatmu menyesal!” ancam Evelyn sambil terus berusaha melepas tangan pria itu.Mendadak pria itu menghentikan langkahnya, menatap Evelyn dengan tatapan datar.“Bu Evelyn, saya tidak bermaksud jahat. Maaf karena saya telah lancang membawa Anda dengan kasar, tapi kalau tidak begini saya khawatir Anda akan kabur dan melewatkan apa yang sedang Pak Sean lakukan,” jelas pria itu.“Pak Sean? Siapa kamu? Bukankah kamu warga asli desa ini?” Perasaan Evelyn menjadi tak karuan saat mendengar ucapan pria itu.“Saya anak buah Pak Sean yang bertugas untuk mengawasi Anda karena secara kebetulan juga merupakan warga desa,” terang anak buah Sean itu.Evelyn belum percaya sepenuhnya, tatapan penuh kecurigaan terus ia perlihatkan. Wajar jika perempuan itu tidak langsung percaya karena bagaimanapun dirinya sedang berada di posisi yang me
Noah terus memperhatikan sekeliling, mengawasi Joseph dan Viona, berharap jika kedua orang itu tidak sedang memperhatikannya. Dan benar saja, mereka sedang asyik dengan orang-orang yang sedang berusaha menjilat.“Aku harap ini akan berhasil,” gumam Noah yang segera beranjak, lalu menyelinap keluar dari pesta.Beruntung saat itu tidak ada yang memperhatikannya, sehingga Noah bisa leluasa berjalan ke sana kemari tanpa ada yang mengetahui.Namun, saat ia sampai di rumah, dari kejauhan terlihat ada beberapa orang yang menjaga area sekitar rumah Joseph tersebut, karenanya Noah berusaha untuk terlihat tenang dan menyembunyikan niat buruknya.“Tuan muda, kenapa Anda sudah kembali? Bukankah pesta masih sedang berlangsung?” tanya salah seorang pria yang sedang menjaga rumah Joseph tersebut.“Ayah menyuruhku untuk membawa perempuan itu ke pesta,” ucap Noah yang terlihat begitu gugup.Awalnya para penjaga sedikit tidak yakin dengan ucapan Noah tersebut. Namun, mereka berpikir kembali, untuk apa
Kelvin tidak mengerti dengan maksud ayahnya, tetapi ia tetap mengizinkan selama bisa membawa sang Ibu kembali.“Hati-hati di jalan, Ayah! Jangan lama-lama,” pinta Kelvin sambil melambai.Mata Kelvin berkaca-kaca. Namun, ia berusaha untuk tetap tegar karena itu semua demi kebaikan sang ibu. Beruntung ada Nicki dan Diana yang selalu menemani, setidaknya bocah itu tidak terlalu berlarut dalam kesedihan.“Paman Nick apakah ayah akan pergi lama?” tanya Kelvin yang wajahnya jelas terlihat sedang menahan tangis.“Paman tidak bisa memastikannya, tapi ayah pasti tidak mau berlama-lama jauh dari Key.”Kelvin tersenyum, berusaha untuk kuat. Bocah itu seakan didewasakan oleh keadaan, yang mana di usianya dia sudah mengalami banyak masalah.Di tengah kegelisahan Kelvin, Sean saat itu malah sedang merasa bahagia karena pada akhirnya semua bukti dan saksi sudah terkumpul, hanya tinggal menjalankan rencana yang sudah matang itu.Sean melaju, menuju salah satu gudang terbengkalai yang berada ujung kot
Evelyn begitu mengenali wanita yang kini berada di hadapannya. Bagaimana tidak? ingatan akan kenangan pahit masih terus terngiang, tidak mungkin terlupakan.“Siapa sangka ternyata kita bisa bertemu lagi,” ucap wanita itu.Evelyn benar-benar benci menatap wajah wanita yang terlihat menjijikan itu, melihatnya membuat teringat pada Sean.“Aku kan tidak menyangka akan bertemu dengan wanita menjijikan sepertimu,” ucap Evelyn dengan tatapan sinis.Ucapan Evelyn berhasil memancing emosi wanita itu. Senyum yang semula tampak penuh penghinaan berubah dengan rasa sakit hati yang jelas terlihat.“Jaga ucapanmu itu jika tidak mau ku buat hidupmu lebih menderita!”Melihat wanita itu kesal, Evelyn merasa sedikit puas, setidaknya perempuan itu merasa sakit hati walaupun hanya sedikit.Namun, rasa senang Evelyn hanya bersifat sementara karena saat itu ia malah ditarik secara paksa menuju ke tempat Joseph berada.“Hentikan! Aku tidak ingin pergi dengan manusia jahat seperti kalian!” timpal Evelyn samb
“Apa maksudnya dengan semua ini? Kami datang bersama-sama tapi kenapa malah melarangku untuk keluar dari Desa ini?” Evelyn menatap tajam kedua penjaga gerbang Desa tersebut.“Maaf, ini semua atas perintah Tuan Joseph. Kami tidak mungkin membantahnya,” jawab salah seorang penjaga.“Kenapa dia terus mengusik hidupku?” Evelyn berusaha mengatur nafas yang sesak akibat emosi yang sudah terlalu bergejolak di dada.Evelyn tidak tahu harus berbuat apa, sampai sekilas terbesit sebuah ide yang sepertinya cukup menarik untuk dilakukan. Ia mendekat perlahan ke arah Diana, lalu berbisik, “kalian pergilah duluan! Aku akan menyusul setelahnya.”Diana tidak setuju dengan ide Evelyn tersebut, tetapi berulang kali menolak pun percuma karena atasannya itu terus memaksa dan mengatakan semua akan baik-baik saja “Percayalah padaku!” ungkap Evelyn dengan senyum yang ia tunjukkan demi berusaha menutupi kegelisahannya.“Tapi, Kak …..” Diana masih ragu untuk meninggalkan Evelyn seorang diri.“Sudahlah, yang t
Di saat Sean rengah mengumpulkan banyak bukti untuk menghancurkan Joseph, di sisi lain Evelyn sedang dalam keadaan hancur, terlebih karena Kelvin terus menanyakan tentang keberadaan ayahnya.“Ibu, kapan ayah pulang? Katanya cuma sebentar!” Kelvin terus mengatakan hal tersebut berulang-ulang.“Ibu tidak tahu, mungkin akan lebih lama karena ini masalah pekerjaan,” ucap Evelyn yang matanya berkaca-kaca.“Ayah jahat! Tega sekali meninggalkan Key,” rengek Kelvin yang bertingkah seperti bocah tantrum.Evelyn tak tahu lagi harus mengatakan apa pada Kelvin. Sang anak seakan tak terima dengan kepergian ayahnya, ia bahkan tak bisa membayangkan bagaimana kedepannya, mengingat dirinya sendiri tidak tahu kapan bisa bertemu lagi dengan Sean setelah setelah kejadian sebelumnya.Beruntung Diana dan Nicki seringkali bertindak cepat. Mereka langsung mengajak Kelvin bermain, berusaha mengalihkan perhatian bocah itu.“Apa kamu tahu apa yang sedang terjadi dengan Pak Sean?” tanya Diana sambil berbisik, ta
Sean seketika bingung, merasa tidak kenal dengan perempuan itu.“Siapa kamu?” tanya Sean sambil mengerutkan alis.“Menyebalkan, ternyata kamu sudah melupakanku!” protes wanita itu.Meski berusaha mengingat, tetap saja Sean lupa jika pernah bertemu dengan wanita itu.“Cepat katakan saja siapa kamu!” seru Sean yang tidak suka bertele-tele.Perempuan itu malah tertawa dengan begitu kencangnya. Wajahnya menunjukkan jika ia memiliki maksud yang tidak baik.“Apa kamu ingat kopi tumpah dan penguntit?” Perempuan itu tersenyum licik.Hanya dengan beberapa kata Sean langsung teringat kejadian di mana seorang wanita pernah menumpahkan kopi pada pakaiannya dan mengaku jika dirinya sedang diikuti oleh seorang penguntit.“Apa maumu?” Sean menatap wanita itu dengan wajah datar.Perempuan itu malah tertawa lagi, lalu tatapannya seakan menatap Sean penuh kebencian.“Salahmu sudah mengabaikanku waktu itu, padahal awalnya aku tidak berniat menuruti permintaan Ayah untuk menjebakmu. Tapi sikapmu yang som