Evelyn mengambil isi dalam kotak tersebut, meski kecil tapi benar-benar mengandung makna."Dari mana kamu tahu kalau aku sangat suka coklat merk ini?" tanya Evelyn, lirih."Pak Sean yang memberitahukannya padaku," jawab Lukas yang sedikit keheranan melihat tingkah Evelyn."Dulu kekasihku sering memberikan coklat ini, sepertinya hanya dia yang tahu merk coklat langka yang sangat aku suka ini." Evelyn mengusap bulir air yang membasahi pipinya."Memang siapa nama kekasihmu? Aku merasa ada sesuatu yang aneh." Lukas menjadi sedikit tertarik dengan perbincangan tersebut."Namanya–" "Jangan ikut campur urusan pribadi orang lain," potong Sean dari kejauhan.Lukas dan Evelyn tersentak. Mereka terkejut dengan kedatangan Sean yang begitu tiba-tiba."Maaf Pak, saya hanya sedikit penasaran saja," sanggah Lukas seraya tertunduk, merasa tidak nyaman dengan situasi tersebut."Pergilah! Biar aku yang menemani perempuan ini," titah Sean seraya menatap tajam."Baik Pak." Lukas pun beranjak dari dudukny
Lukas berusaha menepis prasangkanya, meski nama Leon terus terngiang-ngiang dalam benaknya."Apa mungkin?" Lukas seakan menerka-nerka, jantungnya berdebar kencang karena terus diselimuti rasa penasaran.Akhirnya, Lukas memutuskan untuk menanyakan pada Evelyn perihal Leon saat perempuan itu bangun nanti.Tak terasa matahari telah terbit, Lukas terbangun dari tidurnya. Meski hanya beberapa jam sudah terbilang lumayan untuk menghilangkan rasa kantuk.Lukas buru-buru menyentuh kening Evelyn. "Syukurlah, suhunya sudah kembali normal."Di saat bersamaan, Evelyn terbangun lalu menatap Lukas dengan keheranan."Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" Evelyn buru-buru beranjak."Jangan salah sangka dulu! Semalam kamu demam tinggi, Dokter Andrean memintaku untuk mengompres dan menjagamu semalaman," terang Lukas yang merasa tidak nyaman dengan tatapan penuh curiga yang Evelyn tunjukan.Evelyn yang masih memiliki trauma tak langsung percaya begitu saja. Ia memandangi sekitar kasur, mencari bukti ke
Lukas mengacak-acak rambutnya. Dua pilihan yang berat telah membuat asisten Sean tersebut tak tahu harus berbuat apa-apa.Namun, saat Lukas melirik ke arah Evelyn, rasa kasihan langsung memenuhi hatinya. Meski pingsan karena shock, tetap saja ia khawatir terjadi sesuatu pada perempuan itu."Maaf, Pak aku tidak tega melihatnya seperti ini," gumam Lukas yang langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.Sepanjang perjalanan, Lukas terus menoleh ke samping, memastikan keadaan Evelyn yang masih belum ranjang rumah sakitsadarkan diri."Evelyn, sadarlah! Kuharap kamu tidak terus berlarut dalam kesedihan," ucap Lukas, lirih.Tak terasa, kini mereka telah sampai di rumah sakit. Tanpa membuang banyak waktu, Lukas bergegas menggendong Evelyn menuju ruang IGD.Evelyn kuharap kamu baik-baik saja aku tidak ingin terjadi sesuatu pada bayi yang tidak bersalah di dalam perutmu gumam Lukas sambil berlari kecil seraya menggendong EvelynSetelah sampai di IGD segera Lukas membaringkan Evelyn di r
"Apa? Kamu mau menamparku?" bentak Evelyn yang semakin menantang Sean.Sejak awal Sean memang tak pernah berniat untuk menyakiti Evelyn. Hanya saja tangannya secara reflek terangkat meski pada akhirnya ia bisa menahan untuk tidak menampar perempuan di hadapannya."Sia-sia aku membawamu, ternyata kamu hanya seorang penipu rendahan!" bentak Sean seraya memandang Evelyn dengan tatapan hina."Rendahan? Kamulah yang membuatku seperti ini!" Evelyn semakin meninggikan suaranya."Aku?" Sean terheran, menunjuk dirinya sambil membelalak."Ya, kamu! Bayi ini memang bukan anak Leon tapi dia adalah darah dagingmu!" teriak Evelyn, wajahnya merah padam, napasnya tak beraturan dengan mata melotot seperti mau keluar.Lukas yang sejak tadi hanya menonton dari kejauhan mendadak ikut terkejut mendengar pengakuan Evelyn. Ia tidak tahu harus berkata apa, saat mengetahui fakta yang menurutnya sangatlah rumit. Bagaimana bisa kekasih sang adik dihamili oleh kakaknya sendiri?Lain dengan Lukas yang begitu memp
Sean melajukan mobil dengan sangat kencang, pikirannya kini tengah kacau. Rasanya ingin segera sampai tempat tujuan demi memuaskan rasa keingintahuannya itu."Leon, aku akan membalaskan dendammu!" ucap Sean yang mengepalkan tangan semakin kencang.Meski melaju dengan kencang, bagi Sean perjalanan tersebut sangatlah lama. Terlebih ia mengendarai mobil sambil tidak fokus karena terus membayangkan Evelyn yang menurutnya telah menghancurkan hidup sang adik.Sean pun akhirnya sampai di sebuah rumah minimalis yang dekat dengan universitas tempat Leon kuliah dulu.Segera Sean melangkah masuk menuju rumah tersebut. Ia mengambil kunci yang sengaja disimpan di bawah salah satu pot bunga plastik dekat pintu."Syukurlah." Sean menghela napas dalam sambil memandangi kunci kecil dengan gantungan nama tersebut.Sean langsung membuka pintu dan menuju ke kamar yang biasa Leon tempati. Matanya memandangi sekeliling mencari barang peninggalan Leon yang mungkin berguna. Sampai sekilas ia melirik komputer
Evelyn menoleh seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya."Kenapa kamu ada di sini?" Mata Evelyn berkaca-kaca.Namun, bukannya menjawab, orang itu malah tersenyum lebar, lalu membayarkan tiket bus Evelyn agar si petugas tak terus menyudutkan perempuan hamil tersebut."Kenapa tidak dari tadi saja kamu bayar tiketnya, aku jadi tidak perlu berdebat dengan perempuan menyebalkan ini," protes petugas terminal itu."Maaf, saya sedikit terlambat datang.""Ya sudah, suruh perempuan itu cari tempat duduk. Aku sudah malas berbicara dengannya!" Petugas terminal itu mengayunkan tangan, meminta Evelyn untuk segera duduk."Ngomong-ngomong, berapa lama lagi bus akan berangkat?""Masih sekitar setengah jam," jawab petugas tersebut."Baguslah."Orang yang membayarkan tiket bus itu pun menuntun Evelyn menuju bangku yang berada di tengah."Kakak tunggu dulu. Aku belikan makanan sebentar!""Tapi, apa kamu punya uang?" tanya Evelyn ragu."Tenang saja, Kak," ucap orang tersebut sambil berlari keluar bus,
"Apa maksudmu? Aku datang kemari untuk menginap, bukan menipu!" ujar Evelyn merasa tak terima dirinya dituduh yang tidak-tidak."Nyonya, mana mungkin pemilik kartu tidak mengetahui sandi sendiri! Anda sudah salah memasukan kata sandi!" seru resepsionis tersebut."Aku ingin mencobanya lagi!" Evelyn merasa yakin telah memasukkan kata sandi yang benar.Bukannya memberi kesempatan, resepsionis itu malah melemparkan kartu debit ke wajah Evelyn."Sudahlah! Lebih baik kamu kembali ke rumah dan jangan bermimpi untuk menginap di hotel mewah seperti ini!" Seru resepsionis tersebut.Evelyn yang malas berdebat langsung memungut kartu debit pemberian Diana itu. Ia pun keluar dari hotel dengan perasaan kecewa sambil menahan sakit pinggang yang semakin menjadi."Aku tidak tahu tempat ini, kemana aku harus pergi?" gumam Evelyn, menghela napas dalam.Dengan sakit pinggang yang terus menjalar, Evelyn memaksakan diri untuk terus berjalan menuju keramaian. Sampai saat tengah berada di depan sebuah toko,
Sean langsung memainkan ponselnya, mencari sesuatu yang menurutnya akan sangat berguna."Ayolah!" gumam Sean yang berharap jika ia masih menyimpannya.Sean yang saat itu sembarang memberi menyimpan nomor telepon, di buat bingung sendiri saat harus mencari satu persatu nama di daftar kontaknya.Sudah hampir sepuluh menit Sean gunakan hanya untuk mencari nama kontak di ponselnya, di menit ke dua belas barulah ia menemukan sebuah nama yang terasa sedikit asing.Sean pun langsung melakukan panggilan telepon."Halo, siapa ini?" jawab seseorang di balik telepon."Saya rekannya Lukas," jawab Sean, bingung harus mengatakan apa lagi."Oh, Lukas. Kenapa kamu menghubungiku? Tidak langsung meneleponnya saja?""Tidak bisa dihubungi."Seseorang dibalik telepon itu terdengar menghela napas panjang. "Anak itu selalu saja begitu. Dia akan mengganti nomor setiap kali memiliki masalah. Kalau begitu, akan aku kirimkan alamat rumahnya.""Terima kasih," jawab Sean yang secara mendadak sesak di dadanya sedi