"Apa? Kamu mau menamparku?" bentak Evelyn yang semakin menantang Sean.Sejak awal Sean memang tak pernah berniat untuk menyakiti Evelyn. Hanya saja tangannya secara reflek terangkat meski pada akhirnya ia bisa menahan untuk tidak menampar perempuan di hadapannya."Sia-sia aku membawamu, ternyata kamu hanya seorang penipu rendahan!" bentak Sean seraya memandang Evelyn dengan tatapan hina."Rendahan? Kamulah yang membuatku seperti ini!" Evelyn semakin meninggikan suaranya."Aku?" Sean terheran, menunjuk dirinya sambil membelalak."Ya, kamu! Bayi ini memang bukan anak Leon tapi dia adalah darah dagingmu!" teriak Evelyn, wajahnya merah padam, napasnya tak beraturan dengan mata melotot seperti mau keluar.Lukas yang sejak tadi hanya menonton dari kejauhan mendadak ikut terkejut mendengar pengakuan Evelyn. Ia tidak tahu harus berkata apa, saat mengetahui fakta yang menurutnya sangatlah rumit. Bagaimana bisa kekasih sang adik dihamili oleh kakaknya sendiri?Lain dengan Lukas yang begitu memp
Sean melajukan mobil dengan sangat kencang, pikirannya kini tengah kacau. Rasanya ingin segera sampai tempat tujuan demi memuaskan rasa keingintahuannya itu."Leon, aku akan membalaskan dendammu!" ucap Sean yang mengepalkan tangan semakin kencang.Meski melaju dengan kencang, bagi Sean perjalanan tersebut sangatlah lama. Terlebih ia mengendarai mobil sambil tidak fokus karena terus membayangkan Evelyn yang menurutnya telah menghancurkan hidup sang adik.Sean pun akhirnya sampai di sebuah rumah minimalis yang dekat dengan universitas tempat Leon kuliah dulu.Segera Sean melangkah masuk menuju rumah tersebut. Ia mengambil kunci yang sengaja disimpan di bawah salah satu pot bunga plastik dekat pintu."Syukurlah." Sean menghela napas dalam sambil memandangi kunci kecil dengan gantungan nama tersebut.Sean langsung membuka pintu dan menuju ke kamar yang biasa Leon tempati. Matanya memandangi sekeliling mencari barang peninggalan Leon yang mungkin berguna. Sampai sekilas ia melirik komputer
Evelyn menoleh seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya."Kenapa kamu ada di sini?" Mata Evelyn berkaca-kaca.Namun, bukannya menjawab, orang itu malah tersenyum lebar, lalu membayarkan tiket bus Evelyn agar si petugas tak terus menyudutkan perempuan hamil tersebut."Kenapa tidak dari tadi saja kamu bayar tiketnya, aku jadi tidak perlu berdebat dengan perempuan menyebalkan ini," protes petugas terminal itu."Maaf, saya sedikit terlambat datang.""Ya sudah, suruh perempuan itu cari tempat duduk. Aku sudah malas berbicara dengannya!" Petugas terminal itu mengayunkan tangan, meminta Evelyn untuk segera duduk."Ngomong-ngomong, berapa lama lagi bus akan berangkat?""Masih sekitar setengah jam," jawab petugas tersebut."Baguslah."Orang yang membayarkan tiket bus itu pun menuntun Evelyn menuju bangku yang berada di tengah."Kakak tunggu dulu. Aku belikan makanan sebentar!""Tapi, apa kamu punya uang?" tanya Evelyn ragu."Tenang saja, Kak," ucap orang tersebut sambil berlari keluar bus,
"Apa maksudmu? Aku datang kemari untuk menginap, bukan menipu!" ujar Evelyn merasa tak terima dirinya dituduh yang tidak-tidak."Nyonya, mana mungkin pemilik kartu tidak mengetahui sandi sendiri! Anda sudah salah memasukan kata sandi!" seru resepsionis tersebut."Aku ingin mencobanya lagi!" Evelyn merasa yakin telah memasukkan kata sandi yang benar.Bukannya memberi kesempatan, resepsionis itu malah melemparkan kartu debit ke wajah Evelyn."Sudahlah! Lebih baik kamu kembali ke rumah dan jangan bermimpi untuk menginap di hotel mewah seperti ini!" Seru resepsionis tersebut.Evelyn yang malas berdebat langsung memungut kartu debit pemberian Diana itu. Ia pun keluar dari hotel dengan perasaan kecewa sambil menahan sakit pinggang yang semakin menjadi."Aku tidak tahu tempat ini, kemana aku harus pergi?" gumam Evelyn, menghela napas dalam.Dengan sakit pinggang yang terus menjalar, Evelyn memaksakan diri untuk terus berjalan menuju keramaian. Sampai saat tengah berada di depan sebuah toko,
Sean langsung memainkan ponselnya, mencari sesuatu yang menurutnya akan sangat berguna."Ayolah!" gumam Sean yang berharap jika ia masih menyimpannya.Sean yang saat itu sembarang memberi menyimpan nomor telepon, di buat bingung sendiri saat harus mencari satu persatu nama di daftar kontaknya.Sudah hampir sepuluh menit Sean gunakan hanya untuk mencari nama kontak di ponselnya, di menit ke dua belas barulah ia menemukan sebuah nama yang terasa sedikit asing.Sean pun langsung melakukan panggilan telepon."Halo, siapa ini?" jawab seseorang di balik telepon."Saya rekannya Lukas," jawab Sean, bingung harus mengatakan apa lagi."Oh, Lukas. Kenapa kamu menghubungiku? Tidak langsung meneleponnya saja?""Tidak bisa dihubungi."Seseorang dibalik telepon itu terdengar menghela napas panjang. "Anak itu selalu saja begitu. Dia akan mengganti nomor setiap kali memiliki masalah. Kalau begitu, akan aku kirimkan alamat rumahnya.""Terima kasih," jawab Sean yang secara mendadak sesak di dadanya sedi
Evelyn merasa ngeri saat melihat Andi berbisik pada Merry. Perasaan nyaman yang semula dirasakan kini berubah menjadi kengerian. Bagaimanapun meski terlihat baik, Evelyn tetap harus bersikap waspada mengingat dia masih baru dan tidak mengenal daerah itu."Evelyn, kalau begitu kita makan ke cafe dekat toko bungaku saja," ajak Merry, dengan wajah tenang."I-iya," jawab Evelyn.Pada akhirnya Evelyn memilih pasrah karena tidak tahu harus bersikap bagaimana, mengingat meski harus waspada, orang-orang itu terlihat sangat baik.Andi pun melajukan mobilnya untuk kembali pulang.Sepanjang perjalanan, Evelyn hanya diam saja. Perasaannya sedang tidak karuan."Evelyn, dari mana asalmu?" Andi bertanya dengan begitu bersemangat."Dari kota sebelah," jawab Evelyn asal.Andi tahu jika Evelyn menjawab dengan asal. Mana mungkin seseorang yang berasal dari kota sebelah begitu tidak tahu apa-apa seperti Evelyn.Dari situ, Andi pun merasa jika Evelyn tidak ingin memberitahu identitasnya.Sepanjang perjala
"Apa mungkin maksud Anda?" Lukas menatap Sean dengan tajam."Ya," jawab Sean dengan senyum penuh kemenangan."Kita ke sana sekarang, Pak?" Lukas menjadi begitu tidak sabaran."Ya," jawab Sean, tanpa keraguan.Lukas pun segera melajukan mobilnya menuju kediaman Winston. Dengan berbekal alamat yang tertera di berkas milik Evelyn, keduanya pun langsung pergi tanpa ragu.Selama perjalanan, Sean terus memainkan ponselnya, berseluncur di internet demi mencari informasi terakhir dari keluarga Winston.Sean menjadi geram saat mengetahui informasi jika kepemilikan perusahaan milik keluarga Winston malah diambil alih oleh saudara laki-laki dari ibu tiri Evelyn."Menyebalkan!" Sean mengepalkan tangan saking merasa kesal pada kelakuan ibu tiri Evelyn."Pak, bukankah dulu keluarga Winston ingin menjodohkan Anda dengan putrinya? Apa mungkin itu Evelyn?" tanya Lukas tiba-tiba."Aku pikir begitu. Hanya saja, saat itu dia masih terlalu anak-anak untukku."Lukas menghela napas dalam, semakin merasa kas
Daren dan Jennifer membelalak tak percaya dengan apa yang mereka dengar barusan."Apa maumu?" Daren tiba-tiba menarik kerah kemeja Sean."Aku datang mencari Evelyn. Tapi saudarimu ini malah terus menjelekkannya!" timpal Sean, menepis lengan Daren."Sebaiknya, kamu jangan pernah bermimpi mendapatkan Evelyn!" Daren menunjuk dada Sean sambil memelototinya.Sean hanya tersenyum. Ia pikir jika mungkin Daren sedikit waras dibanding yang lainnya, tetapi ternyata mereka sama-sama gila. Jika diteruskan, makan takkan ada berakhir baik, karenanya sang Presdir memilih untuk segera masuk ke mobil dan mengunci pintu."Kita pergi sekarang! Tempat ini membuatku gila," ujar Sean.Daren dan Jennifer tampaknya masih belum selesai, mereka berdua malah berdebat saat Sean pergi.Selama perjalanan, Sean terus membayangkan betapa menderitanya Evelyn memiliki keluarga yang tidak waras seperti orang-orang tadi."Pak, ke mana lagi kita harus mencari Evelyn?" Lukas mulai panik."Ke mana pun, selama napasku masih