"Apa mungkin maksud Anda?" Lukas menatap Sean dengan tajam."Ya," jawab Sean dengan senyum penuh kemenangan."Kita ke sana sekarang, Pak?" Lukas menjadi begitu tidak sabaran."Ya," jawab Sean, tanpa keraguan.Lukas pun segera melajukan mobilnya menuju kediaman Winston. Dengan berbekal alamat yang tertera di berkas milik Evelyn, keduanya pun langsung pergi tanpa ragu.Selama perjalanan, Sean terus memainkan ponselnya, berseluncur di internet demi mencari informasi terakhir dari keluarga Winston.Sean menjadi geram saat mengetahui informasi jika kepemilikan perusahaan milik keluarga Winston malah diambil alih oleh saudara laki-laki dari ibu tiri Evelyn."Menyebalkan!" Sean mengepalkan tangan saking merasa kesal pada kelakuan ibu tiri Evelyn."Pak, bukankah dulu keluarga Winston ingin menjodohkan Anda dengan putrinya? Apa mungkin itu Evelyn?" tanya Lukas tiba-tiba."Aku pikir begitu. Hanya saja, saat itu dia masih terlalu anak-anak untukku."Lukas menghela napas dalam, semakin merasa kas
Daren dan Jennifer membelalak tak percaya dengan apa yang mereka dengar barusan."Apa maumu?" Daren tiba-tiba menarik kerah kemeja Sean."Aku datang mencari Evelyn. Tapi saudarimu ini malah terus menjelekkannya!" timpal Sean, menepis lengan Daren."Sebaiknya, kamu jangan pernah bermimpi mendapatkan Evelyn!" Daren menunjuk dada Sean sambil memelototinya.Sean hanya tersenyum. Ia pikir jika mungkin Daren sedikit waras dibanding yang lainnya, tetapi ternyata mereka sama-sama gila. Jika diteruskan, makan takkan ada berakhir baik, karenanya sang Presdir memilih untuk segera masuk ke mobil dan mengunci pintu."Kita pergi sekarang! Tempat ini membuatku gila," ujar Sean.Daren dan Jennifer tampaknya masih belum selesai, mereka berdua malah berdebat saat Sean pergi.Selama perjalanan, Sean terus membayangkan betapa menderitanya Evelyn memiliki keluarga yang tidak waras seperti orang-orang tadi."Pak, ke mana lagi kita harus mencari Evelyn?" Lukas mulai panik."Ke mana pun, selama napasku masih
"Maaf, aku tidak terlalu pandai memberi nama. Sebaiknya kamu pikirkan baik-baik! Dia anak laki-laki yang begitu menggemaskan jangan sampai salah memberi nama!" ujar Merry yang tak hentinya menatap sang bayi.Saat itu juga, Evelyn tiba-tiba teringat pada mendiang ibunya yang pernah mengatakan jika dulu sekali ia pernah memiliki kakak laki-laki, tetapi meninggal saat masih bayi karena beberapa penyakit bawaan lahir."Kelvin Winston," ucap Evelyn seraya teringat kembali nama yang sering sang ibu ceritakan dulu."Nama yang bagus." Merry tampaknya menyukai nama pemberian Evelyn tersebut.Evelyn tersenyum simpul. Ia menatap Kelvin dengan penuh kasih sayang. Baginya, bayi kecil itu adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki sekarang.Dua hari pasca melahirkan, Evelyn pun akhirnya sudah diperbolehkan untuk pulang. Beberapa tetangga dan pelanggan toko bunga menyambut kedatangan perempuan tersebut dengan penuh suka cita."Evelyn, selamat atas kelahiran bayimu! Aku sengaja membiarkan cake sebag
"Ada perlu apa?" tanya Evelyn, ketus."Kenapa kamu selalu begitu setiap aku datang? Jangan terlalu galak, nanti sudah dapat jodoh!" ujar pria itu."Ada perlu apa?" Evelyn seakan.tak menghiraukan ucapan pria tersebut."Setangkai mawar merah," ucap pria itu dengan tatapan genitnya.Evelyn langsung mengambil setangkai mawar merah yang berada di dekatnya."Ambil saja! Silakan pergi sekarang juga!" ucap Evelyn, merasa tak senang.Bukannya pergi, pria itu malah terus menatap Evelyn dengan sorot mata tajam."Akan kuadukan pada istrimu!" Evelyn mengangkat gagang telepon, berpura-pura menekan tombol."I-iya, aku pergi sekarang," jawab pria itu panik.Evelyn menghela napas panjang sesaat setelah orang tersebut pergi. Ia begitu membenci seorang pria beristri yang sering menggodanya itu."Dasar hidung belang," gerutu Evelyn.Kehidupan Evelyn memang sangat berbanding terbalik dengan hidupnya dulu. Kini, perempuan itu semakin cantik karena Merry terus memintanya untuk melakukan perawatan dengan ala
Bukan hanya Evelyn saja yang terperanjat, dua orang pria yang tengah berdiri di panggung pun tak kalah terkejut darinya."E-velyn?" Air mata Evelyn terus menetes, membanjiri pipinya. Sejenak ia diam terpaku, kakinya terasa berat untuk melangkah, pikirannya kacau tak karuan. Sampai tiba-tiba terbesit bayang wajah Kelvin yang sedang menunggunya di mobil."Aku harus segera pergi," gumam Evelyn, bergegas pergi dari tempat itu.Namun, baru beberapa langkah keluar pintu, dari belakang seseorang malah menarik lengannya."Evelyn, jangan pergi!"Evelyn berusaha menahan rasa sakit yang begitu menyesakkan dada dengan menghela napas panjang lalu mengeluarkan perlahan."Maaf, Anda salah orang!" jawab Evelyn seraya berusaha menarik lengan meskipun semua usahanya sia-sia."Tidak, tolong dengarkan aku!" Melihat ada pria yang berusaha mengusik Evelyn, Andi dan Kelvin pun buru-buru menghampiri sambil berlari."Lepaskan tanganmu!" ucap Andi seraya menatap tajam."Pak, lebih baik kita bicara baik-baik,
Evelyn sedikit ragu untuk kembali ke toko. Namun, jika ia tak kembali, malah Merry yang akan dibuat susah nantinya."Kak, mungkinkah mereka tahu toko bunga Nyonya Merry?" tanya Andi yang ternyata berpikiran sama dengan Evelyn."Kalau memang begitu, mau tak mau aku harus menghadapinya. Aku tidak ingin Nyonya Merry berada dalam kesulitan," terang Evelyn, menghela napas dalam, berusaha menguatkan dirinya yang hampir saja rapuh."Kak, mau aku temani?" Andi memegangi tangan Evelyn."Tidak apa-apa, aku tidak ingin melibatkanmu juga, Andi. Lalu, tolong jaga Kelvin sebentar, ajak dia bermain." Evelyn tersenyum dengan tatapan penuh luka."Tapi, Kak?" Andi merasa tak tega melihat tatapan mata Evelyn yang persis seperti saat mereka pertama bertemu dulu. Perasaan khawatir terus menyelimuti hatinya."Tidak apa-apa," ucap Evelyn seraya tersenyum."Ibu, Key mau ikut." Kelvin memanyunkan bibirnya sambil menarik-narik ujung baju Evelyn."Katanya Key mau jadi anak pintar. Kira-kira anak pintar mau men
Merry pun menghampiri Evelyn yang tengah fokus memandangi layar komputer dengan wajah terlihat panik."Apa yang terjadi, Evelyn? Kenapa kamu terlihat begitu panik?" Merry tidak begitu paham mengenai komputer. Ia bahkan tidak pernah menyentuh benda tersebut selama memilikinya."Nyonya, kemarilah! Lihat ini!" Evelyn menunjuk layar komputer dengan tajam."Sebentar, aku ambil kacamata dulu." Merry membuka laci meja, lalu meraih kacamata yang biasa digunakan untuk membaca.Merry langsung menyipitkan matanya saat memandangi layar komputer. Ia tidak melihat sesuatu yang aneh, hanya sederet kalimat yang terdapat satu bintang di atasnya."Memangnya, apa ini?" Merry masih belum begitu paham dengan apa yang Evelyn maksud."Ada yang menyerang toko kita dengan memberikan rating dan komentar buruk," terang Evelyn.Merry mengerutkan kening, ia masih bingung dengan maksud Evelyn. Terlebih, memang apa gunanya rating dan komentar?"Aku pikir ada apa," jawab Merry yang kembali melanjutkan menata bunga.
"Ada apa, Andi?" tanya Evelyn, mengerutkan alis."Ini, orang-orang ini, mereka adalah karyawan bawah Peterson Group," terang Andi, menggaruk kepala yang tak gatal."Peterson?" Evelyn merasa tidak asing dengan nama itu. Ia berusaha mengingat sampai tiba-tiba wajah Sean terngiang dalam benaknya."Iya, perusahaan yang pria kemarin pimpin," terang Andi."Maksudmu, Sean?" Evelyn menjadi semakin kebingungan."Iya, pria yang kemarin mengejar Kakak. Dia kan Presdirnya, memang Kakak tidak tahu?" Andi semakin bingung dengan situasi di mana dia terlihat lebih tahu di banding Evelyn."Aku tidak tahu dia seorang Presdir. Lalu, bagaimana kamu bisa tahu?" Evelyn menoleh ke arah Andi.Andi hanya tersenyum seraya menggaruk kepala yang tak gatal. Ia merasa bodoh karena telah sembarangan berbicara tentang Sean."Itu tidak penting, Kak. Sekarang yang terpenting adalah apa yang akan Kakak lakukan dengan semua komentar jelek ini? Ingin menghapusnya?"Evelyn terdiam sejenak, berusaha memikirkan bagaimana