Hari-hari berlalu dengan cepat, di kantor, Samuel terlihat dengan kesibukan yang terus menerus membuatnya hampir tak sempat memikirkan sekitarnya. Namun, meskipun dia berusaha fokus pada pekerjaan, bayangan Eva tetap menghantuinya.Dia begitu khawatir melihat kondisi terakhir Eva yang tampak tidak baik-baik saja. Meskipun begitu, dia tetap melanjutkan tugasnya dengan penuh dedikasi, menyelesaikan berbagai urusan bisnis yang tidak pernah ada habisnya.Suatu pagi, saat Samuel tengah menyelesaikan pemeriksaan laporan keuangan dan analisis portofolio di mejanya, pintu ruangannya diketuk dengan pelan. Tanpa menunggu jawaban, Dave masuk dengan langkah cepat. Wajahnya tampak serius, seperti ada sesuatu penting ingin dia sampaikan.Dave menghela napas sejenak, kemudian berkata, “Ada informasi mengenai Nyonya Eva, Tuan.”Samuel tiba-tiba menegakkan posisi duduknya, bersiap menerima laporan dari Dave. Beberapa hari setelah dia dari apartemen Eva, dia meminta Dave untuk mengawasi pergerakan Eva.
Eva duduk di tepi kasur, meraba meja yang ada di sampingnya dengan hati-hati. Di kamar yang sunyi itu hanya terdengar napas dan detak jam dinding yang menghiasi ruangannya. Beberapa hari ini, Eva merasakan tantangan kecil, seperti menemukan dan mengenali barang-barang yang tersebar di sekitar tempat tidur atau mencari pakaian yang tersimpan di dalam lemari. Meski mengalami kesulitan, dia tidak ingin terlihat lemah dan menyerah begitu saja. Sudah berkali-kali kakinya terbentur benda-benda di sekitarnya. Pagi itu, Eva berjalan dengan menuju dapur kecilnya, dengan meraba-raba benda di sekitar. Namun tak sengaja kakinya kembali terbentur kursi yang ada di dekatnya. Dia masih belum hapal tata letak setiap benda di ruangan kecilnya. Hingga membuat kakinya memar. Di tengah-tengah rasa berjuangnya Eva dalam kesulitan, Samuel segera melajukan mobil mewahnya dengan kecepatan penuh. Tangannya tak berhenti membunyikan klarkson di tengah padatnya lalu lintas. Terlihat jelas kedua matanya
Samuel yang menunduk sedih berkesiap saat Rosie kembali keluar dan menutup pintu rapat-rapat. Tak ada seorangpun yang menyadari keberadaannya di sana. Samuel mengusap air matanya dengan cepat, menyembunyikan kelemahannya meski tidak ada seorangpun yang melihat. Dia menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri di tengah gejolak perasaannya yang membuncah. Setelah itu, akhirnya dia melangkah pasti ke arah pintu apartemen Eva. Di depan pintu, Samuel terdiam, dia sedikit ragu untuk mengetuk pintu. Setelah berpikir, tangannya terangkat mengetuk pintu tersebut. Sementara di dalam sana, Eva bertanya-tanya, siapa yang mengetuk pintunya. “Apa itu Nyonya Rosie? Kenapa kembali dengan cepat, ya? Mungkin ada yang tertinggal,” gumamnya pelan, kemudian berjalan perlahan ke arah pintu, khawatir jika itu adalah Rosie. Suara ketukan pintu masih terdengar, tapi tidak ada suara seseorang yang memanggil namanya.“Ah, ya … sebentar. Kenapa Anda tidak membukanya saja, Nyonya,” sahut Eva. Dia sedikit me
Di balik meja kayu yang elegan, Henry duduk dengan tenang, mengenakan setelan jas berwarna gelap yang memancarkan aura profesionalisme. Di hadapannya, sebuah komputer dibiarkan menyala, layarnya memancarkan cahaya lembut menerangi wajahnya yang serius. Jendela besar di belakangnya memperlihatkan pemandangan gedung-gedung tinggi yang menjulang, menciptakan kontras antara dunia luar yang sibuk dan keheningan di dalam ruangan.Tubuhnya bersandar di kursi kebesarannya. Henry tampak tenggelam dalam lamunannya, kedua matanya menatap ke arah pemandangan kota di bawah sana. Meskipun kota di bawah sana terlihat sibuk, pikirannya tak pernah teralihkan. Yang ada di pikirannya saat ini adalah Eva. ‘Harus bagaimana lagi agar dia tidak menjaga jarak dan tidak selalu menunjukkan emosinya?’ pikirnya. Dia mendesah pelan, menggaruk pelipisnya. Henry tidak bisa lagi menahan rasa frustasinya. Henry masih termenung, pikirannya terfokus pada Eva. Hingga lamunannya terpecah saat pintu ruangannya terbuk
Henry menatap Ryan dengan tatapan bingung. ”Bagaimana caranya untuk tahu apa yang sederhana itu?” katanya dengan wajah polosnya.Ryan tersenyum kikuk mendengar pertanyaan polos Henry. Dia berdeham sejenak sebelum menjawab, “Hmm … begini. Tuan pernah menjalin dengan ….” Ryan menjeda ucapannya, kemudian kembali melanjutkan dengan suara pelan, nyaris berbisik, “Nona Julia, ‘kan?”Henry mengangkat alisnya sebelah. “Memangnya apa hubungannya dengan Julia?”Ryan hanya bisa menggaruk keningnya yang tidak gatal. Dia menatap bosnya, merasa bingung sekaligus kasihan.Henry yang cerdas dalam bisnis dan pekerjaan, ternyata terlihat sangat bodoh dalam hal-hal yang berkaitan dengan emosi dan hubungan pribadi.Ryan merasa kasihan, tapi juga sedikit terhibur melihat bosnya yang biasanya begitu tajam dalam keputusan-keputusan besar, sekarang terjebak dalam kebingungan sederhana ini.“Begini, Tuan ….” Ryan mencoba memberitahu dengan hati-hati. “Tuan ‘kan pernah menjalin hubungan dengan Nona Julia, nah …
Eva sedikit tertegun mendengar ajakan Samuel. Ajakan itu tidak pernah terlintas di pikirannya. Dia merasa sejak pertemuan mereka, dia sudah terlalu banyak merepotkan pria itu. Eva meremas ujung bajunya, merasa berkecamuk. . “Samuel... aku baik-baik saja. Tidak perlu ke rumah sakit. Aku akan terbiasa dengan kondisi seperti ini.” jawab Eva dengan suara pelan. “Kau sudah banyak membantuku, dan aku merasa tidak enak terus merepotkanmu.”Samuel tersenyum lembut, matanya menatap dengan ketulusan. “Eva, kau tidak merepotkanku sama sekali. Justru, aku khawatir melihatmu seperti ini.”Eva terdiam sejenak, merasakan ketulusan dalam setiap kata yang diucapkan Samuel. "Aku sudah terlalu banyak merepotkanmu," balas Eva, kali ini dengan nada penuh perasaan malu. "Kau sudah membantu begitu banyak. Aku ... aku tidak ingin menjadi bebanmu, Sam.”Samuel menarik napas dalam-dalam. Ingin sekali dia menggenggam tangan mulus Eva, tetapi hati kecilnya menahan agar tidak melakukannya.Dia sadar, itu adalah
“Tidak boleh!” seru Ryan keras, suaranya menggema di ruangan itu.Julia tersentak, tangan yang terulur langsung ditarik kembali. Jangankan Julia, Henry pun terkejut dengan pekikan Ryan secara tiba-tiba. Julia memutar tubuhnya dan menatap Ryan dengan ekspresi terkejut sekaligus bingung. “Apa? Kenapa tidak boleh?” tanyanya, dengan ekspresi yang tidak senang.Ryan berdiri tegap, wajahnya serius memandang Julia. Entah karena marah atau sekadar reaksi spontan. “Pokoknya tidak boleh!” ulangnya dengan nada lebih rendah, tetapi tetap tegas.Julia mengerutkan kening, seolah menantang. “Kenapa tidak boleh? Itu cuma hadiah biasa, ‘kan? Henry juga tidak akan menyimpan itu semua.”Dia beralih menatap Henry. “Iya, ‘kan Henry?”Henry terlihat sedikit bingung menanggapinya. Dia menatap ke arah Ryan, di sana anak buahnya itu menggelengkan kepalanya sebagai tanda untuk tidak menghiraukan Julia kali ini. Henry menghela napas. “Ryan, kau bawa semua ini keluar dari sini.”Ryan mengangguk dengan cepat. “
Tampak mobil mercedes berhenti tepat di depan gedung apartemen tua di kawasan Lower East Side. Henry menghela napas panjang, memandangi seikat buket bunga besar di tangannya dengan tatapan tak percaya. “Apa aku sudah kehilangan akal sehat?” gumamnya, berbisik pada dirinya sendiri. Dia menatap bayangan dirinya di kaca jendela mobil, merasa aneh dengan penampilannya yang tidak biasa ini. Jasnya selalu rapi, dasinya selalu lurus, tetapi kini lengannya membawa barang-barang yang baginya tampak seperti perlengkapan romansa remaja yang ke kanak-kanakan. Bunga, cokelat, bahkan sebuah kartu kecil yang ditulis dengan kata-kata yang membuatnya geli.Selama dia bersama Julia, tidak pernah terpikirkan hal sepeti ini. Cukup bawa Julia berbelanja barang mewah, makan di Restoran mewah, dan membiayai sedikit perawatannya sepeti wanita pada umumnya. Akan tetapi kali ini... berbeda. Dia bahkan rela menjatuhkan harga dirinya di depan Ryan hanya karena mencari barang-barang tersebut.Henry melirik k
—-------- Chapter 131 —-------Eva menatap Henry dengan serius, sorot matanya menunjukkan keteguhan. Suasana hening sejenak, dia menunggu jawaban Henry, memastikan perubahan sikap suaminya.Henry membalas tatapan Eva, memikirkan kata-kata yang tepat. Dia merasa kesal pada dirinya sendiri, tetapi juga gengsi untuk mengakui kesalahan secara langsung. Dengan ekspresi serius dan dengan nada ragu dia menjawab, "Semua orang pasti pernah melakukan kesalahan. Aku … akan berusaha untuk melakukan yang terbaik kedepannya." Henry menatap Eva dengan sedikit gugup, berharap Eva bisa melihat bahwa dia benar-benar berniat berubah, meskipun sedikit malu mengakui kesalahannya.Eva terdiam sejenak setelah mendengar jawaban Henry, mencerna kata-kata itu dengan benar. Ada gurat keraguan di wajahnya, tetapi dia mencoba untuk tenang. Matanya menatap ke dalam mata Henry, memastikan jawaban itu benar adanya. “Baiklah, aku harap itu bukan hanya sekedar kata-kata, karena aku tidak bisa terus-terusan begini. A
Meski hatinya berat melihat Samuel kesepian, dia tahu bahwa cinta tidak bisa dipaksakan, dan terkadang, cinta tak harus memiliki. Dia hanya bisa tetap ada di sampingnya, memberikan dukungan dengan cara yang sederhana, karena, terkadang hal yang paling dibutuhkan adalah kehadiran dan doa yang tulus dari orang terdekatt.Samuel menghela napas panjang, menyadari dirinya terlalu larut dalam pikirannya. Dia mengalihkan pandangannya pada Dave sebelum akhirnya bertanya dengan suara tenang namun tegas, "Bagaimana kondisi di kantor selama aku tidak ada?"Dave segera menjawab, "Semuanya berjalan seperti biasa, Tuan. Beberapa klien menanyakan Anda, tapi sudah ditangani. Tidak ada masalah besar."Samuel mengangguk pelan. "Baik. Aku akan segera kembali. Kau urus semuanya."Dave hanya mengangguk samar. Tak lama kemudian memberikan tablet pada Samuel. "Tuan, ada pembaruan dari klien utama kita. Blackwood Capital ingin laporan performa terbaru sebelum akhir pekan. Mereka menekan soal proyek investa
Samuel duduk di tempat tidurnya, kedua kakinya berselanjaran santai di atas kasur yang empuk. Laptop terbuka di pangkuannya, cahaya layar memantul di wajahnya yang terlihat serius, sementara suasana kamar yang tenang menciptakan kesan hening di sekelilingnya.Liliana menggelengkan kepala perlahan, matanya memandang putranya heran. Putranya itu tampak tenggelam dalam kesibukannya sendiri. Dia duduk diam, fokus pada dunianya sendiri. “Mama benar-benar heran sama kamu,” katanya kesal sambil berkacak pinggang. “Baru juga pulang dari rumah sakit tapi masih saja kerja. Kamu tuh masih butuh banyak istirahat! Kondisi kamu masih belum pulih sepenuhnya.” Wajahnya tampak tegas, menunjukkan kekhawatiran dan keheranan yang tidak bisa dijelaskan. Samuel menatap mamanya sekilas dengan senyum tipis di wajahnya. “Samuel sudah jauh lebih baik, Ma,” jawabnya dengan santai. Matanya kembali fokus pada layar laptop di depannya. Langkah Liliana semakin dekat, wajahnya menunjukkan sedikit kekesalan. “Kamu
2 hari kemudian. Mobil berjenis marcedes itu telah terparkir rapi di basement, berjejer dengan mobil mewah lainnya. Suasana di sana cukup hening, hanya terdengar suara pelan mesin ventilasi yang berputar. Eva menoleh ke arah kursi pengemudi, di sana terdapat Henry yang baru saja mematikan mesin mobilnya. Wajahnya menunjukkan ketidaksetujuan. “Aku ingin pulang, kenapa kau membawaku ke sini?” Keningnya berkerut, hingga alianya itu hampir menyatu. Henry melepas sabuk pengaman, menatap ke arah Eva sekilas. “Bukankah ini rumahmu?” jawabnya dengan santai.Henry tahu, bahwa Eva pasti akan menolak kembali ke penthouse, tempat tinggal mereka berdua sebelumnya. Dia memang sengaja membawa Eva kembali ke penthouse untuk memulai kehidupan mereka setelah drama perceraian. Eva menegang di tempat duduknya, jari-jarinya mengepal di atas pangkuan. "Aku sudah bilang, aku tidak akan kembali ke sini," ucapnya dengan suara rendah, nyaris bergetar.Henry tersenyum kecil, bukan senyum yang hangat, mela
Henry tertawa ringan, tapi ada nada ejekan di dalamnya. “Heh, Samuel?” gumamnya, menatap Eva yang masih duduk di brankar.Ada perasaan aneh saat Eva menyebutkan nama Samuel di depannya. Rasa seperti tak dihargai. Tapi dia tak bisa menyalahkan Eva, karena dia juga yang menutupinya. Eva mengerutkan kening, bingung dengan ekspresi di wajah suaminya. “Kenapa tertawa?” tanyanya. Henry melipat tangannya, menyandarkannya di atas brankar milik Eva, posturnya tegak, tapi tetap santai. Kedua matanya menatap Eva, seperti menyimpan sesuatu yang sulit dibaca. “Jadi, kau pikir operasi ini semua karena inisiatif Samuel?” katanya, suaranya terdengar datar namun tajam.Eva menatapnya, perlahan mulai memahami arah pembicaraan ini. “Bukankah begitu?”Henry mendengus kecil, lalu tersenyum miring. “Sebenarnya, semuanya terjadi atas perintahku.”Eva terdiam, menatap Henry lekat-lekat, mencoba memastikan apakah dia serius. “Maksudmu…?”Henry mengangkat bahu, seolah itu bukan hal besar. “Aku yang mengur
Bukan hanya Eva, rasa lega terpancar dari wajah para dokter itu. Operasi ini berhasil, dan dengan itu, karir mereka tetap utuh. Tak henti-hentinya mereka mengucapkan rasa syukur. Eva tersenyum penuh haru, air matanya mulai menggenang. Pandangannya mengedar ke seluruh ruangan, memerhatikan satu per satu dari mereka. Matanya berhenti pada sosok Henry yang berdiri tak jauh dari jangkauan para dokter. Wajahnya tampak tegas, tapi menunjukkan kelegaan dalam hatinya. Namun tiba-tiba saja senyum di wajah Eva perlahan luntur. Hatinya merasa sesak ketika orang yang selalu ada untuknya tak berada di sana. Pada momen bahagia ini, seharusnya Samuel berada di sana, turut merayakan kebahagiaan yang ada. Namun, di sisi lain, ia teringat bahwa Samuel memang membutuhkan waktu untuk beristirahat, agar kesehatannya kembali pulih. Meskipun hati ingin sekali bersama, kesadaran akan pentingnya istirahat membuatnya merelakan ketidakhadiran Samuel di momen tersebut."Senang sekali mendengar Anda bisa me
Eva terdiam, merasa setiap kata yang hendak keluar dari mulutnya seperti terjebak di tenggorokannya. Dia ingin menjawab setiap ucapan Henry, tetapi tak tahu harus berkata apa.Ada perasaan bingung yang menghimpit, seolah semua pikiran bercampur aduk. Dia ingin menjelaskan bahwa dia tidak merasa terganggu dengan kehadiran Henry, tapi kata-kata itu terasa begitu sulit untuk diungkapkan.Di satu sisi, Eva tahu bahwa Samuel masih membutuhkan perhatian, dan Henry hanya melakukan apa yang menurutnya benar. Harusnya dia memang menyadarinya, Samuel sudah berkorban banyak hingga membuatnya selalu dalam masalah. Namun, di sisi lain, ada rasa kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa dia hanya dianggap sebagai tanggung jawab, bukan seorang istri yang benar-benar dibutuhkan dan dianggap.Tapi semenjak dia berada di rumah sakit, dia bisa merasakan perubahan drastis dari sikap Henry. Eva masih terdiam, perasaan bingung dan tak percaya menguasainya. Apakah perubahan sikap Henry ini benar-benar da
Kring!Di dalam ruangan yang hening itu, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Pandangan mata Henry mengikuti bunyi ponselnya. Tak perlu waktu lama, dia pun bangkit dan segera mengambil ponsel miliknya. Takut jika suara itu mengganggu waktu tidur Eva. Sebelum menekan tombol hijau, Henry melihat nama kontak yang tertera di layar. Dia memandang Eva sejenak, setelah itu melangkah menjauh dan menekan tombol hijau itu sekali tekan. “Halo.” Suaranya terdengar semakin menjauh. Langkah kakinya semakin dekat dengan pintu keluar. Tanpa dia ketahui, di belakang sana, kening Eva berkerut. Itu adalah tanda bahwa dia baru saja terbangun dari tidurnya, meski kedua matanya tetap terpejam rapat, seolah berusaha menahan rasa kantuk yang masih melingkupi dirinya.Akan tetapi samar-samar telinganya mendengar suara yang begitu dia kenali. Sayangnya suara itu akhirnya hilang di balik pintu yang kembali tertutup. Apa dia ada di sini?Uhuk!Pikirannya itu teralihkan dengan rasa haus yang dia derita kali
Matahari mulai menampakkan diri, langit perlahan berubah warna, menunjukkan gradasi lembut dari biru gelap menuju keemasan yang membentang di cakrawala. Setelah hujan, udara terasa segar dan menenangkan. Udara yang masih basah itu terasa sejuk dan menyegarkan, seolah bumi bernapas lega setelah hujan mengguyurnya. Genangan air di jalanan menjadi cermin, memantulkan bayang-bayang kota dan langit biru yang mulai cerah. Tetesan air yang berjatuhan dari dedaunan dan atap rumah seperti irama yang menenangkan hati. Sama halnya seperti dua insan manusia yang saat ini masih tertidur pulas di dalam satu ruangan yang sama. Keduanya tampak pulas, tanpa terusik sedikitpun. Perlahan pintu terbuka, ujung dari sepatu pantofel itu terlihat di celah-celah pintu. Pintu pun terbuka sepenuhnya, ternyata dia adalah Ryan. Namun pergerakannya terhenti saat di ambang pintu. Kedua matanya tertuju pada dua insan yang tengah tertidur pulas di dalam sana.Eva yang masih berbaring di atas brankar, masih dalam