Di balik meja kayu yang elegan, Henry duduk dengan tenang, mengenakan setelan jas berwarna gelap yang memancarkan aura profesionalisme. Di hadapannya, sebuah komputer dibiarkan menyala, layarnya memancarkan cahaya lembut menerangi wajahnya yang serius. Jendela besar di belakangnya memperlihatkan pemandangan gedung-gedung tinggi yang menjulang, menciptakan kontras antara dunia luar yang sibuk dan keheningan di dalam ruangan.Tubuhnya bersandar di kursi kebesarannya. Henry tampak tenggelam dalam lamunannya, kedua matanya menatap ke arah pemandangan kota di bawah sana. Meskipun kota di bawah sana terlihat sibuk, pikirannya tak pernah teralihkan. Yang ada di pikirannya saat ini adalah Eva. ‘Harus bagaimana lagi agar dia tidak menjaga jarak dan tidak selalu menunjukkan emosinya?’ pikirnya. Dia mendesah pelan, menggaruk pelipisnya. Henry tidak bisa lagi menahan rasa frustasinya. Henry masih termenung, pikirannya terfokus pada Eva. Hingga lamunannya terpecah saat pintu ruangannya terbuk
Henry menatap Ryan dengan tatapan bingung. ”Bagaimana caranya untuk tahu apa yang sederhana itu?” katanya dengan wajah polosnya.Ryan tersenyum kikuk mendengar pertanyaan polos Henry. Dia berdeham sejenak sebelum menjawab, “Hmm … begini. Tuan pernah menjalin dengan ….” Ryan menjeda ucapannya, kemudian kembali melanjutkan dengan suara pelan, nyaris berbisik, “Nona Julia, ‘kan?”Henry mengangkat alisnya sebelah. “Memangnya apa hubungannya dengan Julia?”Ryan hanya bisa menggaruk keningnya yang tidak gatal. Dia menatap bosnya, merasa bingung sekaligus kasihan.Henry yang cerdas dalam bisnis dan pekerjaan, ternyata terlihat sangat bodoh dalam hal-hal yang berkaitan dengan emosi dan hubungan pribadi.Ryan merasa kasihan, tapi juga sedikit terhibur melihat bosnya yang biasanya begitu tajam dalam keputusan-keputusan besar, sekarang terjebak dalam kebingungan sederhana ini.“Begini, Tuan ….” Ryan mencoba memberitahu dengan hati-hati. “Tuan ‘kan pernah menjalin hubungan dengan Nona Julia, nah …
Eva sedikit tertegun mendengar ajakan Samuel. Ajakan itu tidak pernah terlintas di pikirannya. Dia merasa sejak pertemuan mereka, dia sudah terlalu banyak merepotkan pria itu. Eva meremas ujung bajunya, merasa berkecamuk. . “Samuel... aku baik-baik saja. Tidak perlu ke rumah sakit. Aku akan terbiasa dengan kondisi seperti ini.” jawab Eva dengan suara pelan. “Kau sudah banyak membantuku, dan aku merasa tidak enak terus merepotkanmu.”Samuel tersenyum lembut, matanya menatap dengan ketulusan. “Eva, kau tidak merepotkanku sama sekali. Justru, aku khawatir melihatmu seperti ini.”Eva terdiam sejenak, merasakan ketulusan dalam setiap kata yang diucapkan Samuel. "Aku sudah terlalu banyak merepotkanmu," balas Eva, kali ini dengan nada penuh perasaan malu. "Kau sudah membantu begitu banyak. Aku ... aku tidak ingin menjadi bebanmu, Sam.”Samuel menarik napas dalam-dalam. Ingin sekali dia menggenggam tangan mulus Eva, tetapi hati kecilnya menahan agar tidak melakukannya.Dia sadar, itu adalah
“Tidak boleh!” seru Ryan keras, suaranya menggema di ruangan itu.Julia tersentak, tangan yang terulur langsung ditarik kembali. Jangankan Julia, Henry pun terkejut dengan pekikan Ryan secara tiba-tiba. Julia memutar tubuhnya dan menatap Ryan dengan ekspresi terkejut sekaligus bingung. “Apa? Kenapa tidak boleh?” tanyanya, dengan ekspresi yang tidak senang.Ryan berdiri tegap, wajahnya serius memandang Julia. Entah karena marah atau sekadar reaksi spontan. “Pokoknya tidak boleh!” ulangnya dengan nada lebih rendah, tetapi tetap tegas.Julia mengerutkan kening, seolah menantang. “Kenapa tidak boleh? Itu cuma hadiah biasa, ‘kan? Henry juga tidak akan menyimpan itu semua.”Dia beralih menatap Henry. “Iya, ‘kan Henry?”Henry terlihat sedikit bingung menanggapinya. Dia menatap ke arah Ryan, di sana anak buahnya itu menggelengkan kepalanya sebagai tanda untuk tidak menghiraukan Julia kali ini. Henry menghela napas. “Ryan, kau bawa semua ini keluar dari sini.”Ryan mengangguk dengan cepat. “
Tampak mobil mercedes berhenti tepat di depan gedung apartemen tua di kawasan Lower East Side. Henry menghela napas panjang, memandangi seikat buket bunga besar di tangannya dengan tatapan tak percaya. “Apa aku sudah kehilangan akal sehat?” gumamnya, berbisik pada dirinya sendiri. Dia menatap bayangan dirinya di kaca jendela mobil, merasa aneh dengan penampilannya yang tidak biasa ini. Jasnya selalu rapi, dasinya selalu lurus, tetapi kini lengannya membawa barang-barang yang baginya tampak seperti perlengkapan romansa remaja yang ke kanak-kanakan. Bunga, cokelat, bahkan sebuah kartu kecil yang ditulis dengan kata-kata yang membuatnya geli.Selama dia bersama Julia, tidak pernah terpikirkan hal sepeti ini. Cukup bawa Julia berbelanja barang mewah, makan di Restoran mewah, dan membiayai sedikit perawatannya sepeti wanita pada umumnya. Akan tetapi kali ini... berbeda. Dia bahkan rela menjatuhkan harga dirinya di depan Ryan hanya karena mencari barang-barang tersebut.Henry melirik k
Basement Parking. Henry baru saja tiba di basement. Namun dia hanya diam di kursi pengemudi tanpa berniat untuk turun. Tangannya masih memegang setir, sedangkan matanya menatap tumpukan hadiah yang ada di kursi belakang melalui pantulan kaca. Harusnya dia menemui Eva, membawa semua hadiah itu sebagai alat untuk menarik perhatian Eva. Namun keberaniannya itu hilang. Hatinya dipenuhi dengan pergulatan, antara menarik perhatian Eva atau membiarkannya seperti dulu. Pikirannya kacau, dia menyandarkan kepalanya ke setir mobil. Setelah lama tenggelam dalam pikirannya, Henry pun membuka pintu mobil. Namun baru saja dia ingin melangkahkan kaki, sebuah mobil Mercedes berhenti tak jauh dari jangkauannya. Suara ban mobil berdecit keras. Seseorang keluar dari dalam mobil dengan ekspresi marah berjalan ke arahnya. “Apa kau tidak bisa menjawab telepon di saat-saat mendesak, hah?” Nada suaranya terdengar tinggi. Henry mengernyitkan keningnya, kenapa orang itu datang-datang memara
“Kalau kau merasa bisa membantunya, kenapa tidak kau yang menyembuhkannya dengan uang milikmu itu?” Ekspresi wajahnya tetap sama, mencerminkan sikap yang sama sekali tidak peduli.“Bukankah kau yang paling peduli dengannya?” jawabnya dingin, nada suaranya tak menunjukkan sedikit pun empati. “Dia tidak terlalu penting sampai-sampai harus menghabiskan waktu dan uangku.”Samuel menggertakkan gigi-giginya. Dengan gerakan kasar dia menarik kerah baju Henry dan berteriak, “Sebenarnya apa maumu, Hen? Dia menjadi seperti ini karena keegoisanmu, tapi kau tidak merasa bersalah sama sekali! Di mana letak hatimu, hah?” Suaranya terdengar gemetar, antara marah dan kecewa.Samuel melepaskan cengkeramannya dengan kasar, sikap Henry lama-lama membuatnya muak. Dia mundur selangkah, menatap pria di depannya dengan mata yang penuh kebencian. Samuel menunjuk ke arah Henry, nadanya semakin meninggi. “Kau itu benar-benar munafik! Apa kau pikir aku tidak tahu bagaimana dirimu sebenarnya jika mengenai Eva!
Midtown Manhattan. Samuel memijat pelipisnya, menatap layar komputernya yang sudah tidak lagi menampilkan email pekerjaannya. Semua email masuk selesai dicek, semua tanggung jawab sudah dituntaskan, tapi hatinya masih terasa sesak. Dia bersandar pada kursi yang sepertinya sudah menjadi bagian dari dirinya. Pemandangan kota yang luas terbentang di luar jendela, tapi dia merasa terjebak dalam kesunyian yang begitu dalam. Samuel memandang ke luar jendela cukup lama. Pikirannya kembali melayang pada Eva. Wajahnya, senyum lembutnya, dan tatapan matanya yang penuh harapan. Dia tahu perasaannya terhadap Eva lebih dari sekadar simpati. Ada sesuatu yang lebih dalam, yang dia rasakan. Namun, seperti halnya dengan banyak hal dalam hidupnya, Samuel tahu bahwa ada saat-saat di mana perasaan itu harus dipendam. Dalam keheningan apartemennya ini, Samuel hanya bisa berharap. Dia berharap agar operasi itu berjalan lancar, agar Eva bisa merasakan kebahagiaan yang layak dia dapatkan. N
Dua hari kemudian.Lawson menutup teleponnya, lalu mengambil mantel panjangnya dengan tergesa-gesa. Sophia mendekat, memasang wajah penasaran. “Papa mau ke mana? Ada kabar apa?”Gerakannya saat memakai mantel tampak terburu-buru. “Papa mau ke Dermaga. Kepala Koki menjadi tersangka dari insiden kemarin.”“Kepala Koki?” Mata Sophia terbelalak lebar. “Papa pergi dulu, ya.”“Mama ikut!” Sophia menyambar tas, kemudian berlari mengejar langkah suaminya. ****Dermaga. Di tengah suasana tegang, kepala koki itu terlihat berlutut, dengan suara gemetar. Dia menahan tangis, dan memohon ampunan di depan orang-orang yang berjejer penuh kekuasaan, memandang ke atas dengan tatapan penuh harap. “Saya berani bersumpah, saya tidak pernah melakukannya.” Salah satu tim keamanan itu menjawab dengan penuh otoriter, “Simpan semua jawabanmu itu, kita tunggu Tuan Lawson datang.” Kepala koki memegang ujung bajunya dengan tangan gemetar, dia terus memohon, tetapi tak ada seorang pun yang bergeming, maupun
“Itu ….” Dengan sekuat tenaga, Henry mengangkat kepala, mendekat, lalu menempelkan bibirnya di atas bibir Eva, memberikan ciuman yang lembut tanpa terburu-buru atau memaksa. Dia memberikan jeda satu detik. Namun, detik berikutnya dia sedikit menekan kepala Eva.Ciuman yang semula lembut itu perlahan semakin dalam. Eva yang mencoba mengimbangi irama Henry itu kini dibuat kuwalahan. Tangannya bergerak, mencengkeram baju yang dikenakan oleh Henry. Suasana di antara mereka semakin memanas, bukan sekedar hasrat, tetapi seperti pengakuan diam-diam tentang rindu yang tertahan, luka yang perlahan sembuh dalam pelukan. Ruangan itu hanya berisi helaan napas yang mulai tak beraturan, dan ciuman itu masih terus berlanjut, menghapus batas logika di antara keduanya. Henry melupakan kondisinya. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah, menciptakan momen bersama istrinya. Dia menginginkan lebih. Ciuman itu bergerak perlahan ke leher Eva. Namun, tidak lama ciumannya terhenti karena Eva menarik
“Kenapa kau menempatkan Istrimu seperti seorang Penjahat yang tidak memiliki hati?” Eva melayangkan protesnya cepat. Henry terkekeh pelan, sedikit terhibur. Entah kenapa hati istrinya begitu sensitif sekarang. “Memeluk Istriku sendiri membuatku harus memohon. Aku heran, dunia apa yang sebenarnya kita jalani saat ini?” Henry menjawab dengan sindiran khasnya. “Kau benar-benar membiarkan Suamimu memohon?” Dia tak mau menghentikannya.Eva masih berpikir. Saat ini mereka di rumah sakit, bagaimana jika seseorang melihatnya? Pasti sangat memalukan. Henry memandang wajahnya dengan tatapan sayu. Dia tahu apa yang ada di pikiran istrinya. Dia mendengus. Sementara Eva menggigit bibir bawahnya, apakah dia harus menuruti permintaan Henry? Bagaimana jika ada yang tiba-tiba masuk? Henry masih menatapnya dengan raut sedikit cemberut, menunggu bagaimana reaksi Eva. “Sudahlah. Sebaiknya aku kembali tidur,” katanya dengan sedikit tidak suka dan pasrah. Henry mengembalikan posisi kepalanya menja
Sophia juga merasakan kelegaan, karena akhirnya ada perkembangan keadaan Henry. Dia ikut menyimak setiap penjelasan yang dokter katakan. Dan ketika dokter keluar dari ruangan, dia berpesan pada Eva. “Sekarang sebaiknya kau istirahat dulu, kau sudah berjaga sampai hampir pagi.” Yang Eva rasakan saat ini adalah mengantuk, tetapi dia menggelengkan kepala. “Aku takut jika nanti Henry membutuhkan sesuatu. Sebaiknya kau lanjut istirahat.” Sophia mendengus. Ternyata Eva memiliki sikap sedikit keras. Dia hanya tidak ingin wanita itu juga tumbang. Dia kembali mengingatkan dengan nada sabarnya, “Perhatikan juga kondisimu, Eva. Bagaimana kalau nanti Henry terbangun tapi justru kau yang jatuh sakit?”Eva terdiam, merenungi perkataan Sophia. Yang dikatakan wanita itu memang benar. Matanya beralih ke arah Henry. Dia pun tersenyum ke arah Sophia, lalu mengangguk. “Baiklah. Aku akan tidur sebentar saja.” Sophia mengangguk tidak mempermasalahkan. “Tidurlah sekarang. Aku keluar sebentar memberit
Suara pintu terbuka. Eva dan lainnya menoleh ke arah dokter yang baru saja keluar dari ruangan. “Bagaimana kondisi Suami saya sekarang, Dok?” Eva berharap akan ada kabar baik. Dengan suara tenang, Dokter itu menjelaskan, “Kami masih harus menunggu hasil laboratorium, Nyonya. Tapi, saya rasa, kondisinya sudah mulai membaik setelah mendapatkan penanganan pertama.” Akhirnya, Eva bisa bernapas sedikit lega sekarang. Setidaknya ada perkembangan dari kondisi Henry saat ini. Tuan Lawson menyahut, “Bisakah kalian mengeluarkan hasil itu dalam waktu singkat?”Dokter itu mengangguk pelan. “Akan kami usahakan, Tuan.”“Bisakah saya masuk ke dalam sekarang?” Rasa tidak sabar menggebu di dalam hatinya.“Silakan, Nyonya,” Setelah mendapat persetujuan, Eva masuk ke dalam ruangan. Dia bisa melihat pria yang biasanya sombong dan arogan itu masih terbaring lemah di sana. Wajah yang sebelumnya pucat, kini terlihat mulai kembali normal. Sementara Tuan Lawson dan Sophia masih berada di luar bersama de
Ketika malam tiba, kapal-kapal berukuran kecil berhenti tepat di sebelah kapal pesiar yang mengangkut Henry dan rombongan lainnya. Sebab, rute mereka sudah tidak bisa berubah, dan tidak ada rute yang bisa dilewati kapal pesiar menuju ke pelabuhan terdekat. Tuan Lawson beserta istrinya dan Eva harus pindah ke kapal kecil itu untuk membawa Henry ke pelabuhan terdekat dan membawanya ke rumah sakit. Meski dia sudah mendapatkan penanganan medis, tak ada tanda-tanda sadar darinya. Tuan Lawson dan tim lainnya bergerak cepat dan memilih jalan lain. Kapal-kapal kecil itu mulai meluncur di atas permukaan air menuju pelabuhan sungai Basel, yang terletak di barat laut Swiss di tepi sungai Rhein, tepat di perbatasan Jerman dan Prancis. Eva masih setia di samping Henry dan menggenggam tangan itu. Dalam hatinya, dia tak henti mengucapkan doa untuk kesehatan suaminya. Matanya terpejam. Setiap detiknya dia berdoa.Tuhan … jika Engkau mendengarku, aku mohon bangunkan Suamiku dari kondisi kritisny
Eva masih berada di samping Henry yang masih belum menunjukkan tanda-tanda sadar. Suasana di luar tampak sedikit riuh dan tegang setelah insiden. Kapal itu bukanlah milik pribadi, jadi, beberapa tamu mulai berbisik dan merasa was-was. Penjagaan ketat dilakukan di luar ruangan. Tim keamanan kapal menyisir setiap sudut dapur dan memeriksa semua bahan makanan yang digunakan. Para karyawan tidak diperbolehkan bergerak atau berpindah tempat sebelum pemeriksaan selesai. Sementara di sisi lain kapal, di koridor sepi yang jarang dijamah, seorang pria memakai jas silver berjalan perlahan dengan tenang. Pria itu menatap sekeliling, memastikan tidak ada yang mengikutinya. Di rasa aman, dia mengeluarkan ponsel dari saku jasnya, dan menekan nomor seseorang.“Halo, Nona.” Dia berbicara pelan.“....”“Racun bekerja sesuai yang diperkirakan. Tapi ….” Ucapannya terjeda sejenak. “Justru yang memakan bukanlah si wanita itu, Nona.”Dia terdiam sejenak, mendengarkan suara di balik telepon yang tidak t
Semuanya panik. Eva segera mendekat mengguncang tubuh Henry, berharap pria itu bangun dan baik-baik saja. “Henry! Apa kau mendengarku?” Suasana menjadi tegang. Tuan Lawson berteriak dengan keras, “Panggil Dokter, cepat!”Para pelayan kapal berhamburan memanggil petugas medis yang ada di sana. Beberapa detik kemudian, petugas medis datang dengan perlengkapan darurat mereka. Salah satu dari mereka memeriksa denyut nadi Henry. Mereka memberikan pertolongan pertama, tapi Henry tetap tak sadarkn diri. Air mata Eva mulai mengalir deras membasahi pipi. Hatinya dikuasai dengan perasaan khawatir. Sementara Sophia berada di sampingnya, mencoba menenangkannya. Setelah pemeriksaan singkat, salah satu petugas medis itu mengungkapkan, “Kami mengidentifikasi ada zat berbahaya dalam makanan yang dikonsumsi, Tuan.” Dahi Lawson mengernyit. “Bagaimana bisa?”Semuanya terkejut, terutama Eva. Sementara Tuan Lawson bertanya-tanya dan merasa bersalah dengan kejadian ini. “Berikan penanganan untukny
“Naik kapal?” Eva tampak mencerna ucapan Henry. “Bukankah kita sudah pernah melakukannya?”“Emm.” Henry memberi deheman kecil sambil mengangguk. “Tapi bukan kapal waktu kita di danau kemarin.”“Lalu?” Eva menatapnya dengan penuh penasaran.Henry mengangkat bahunya. “Yang aku dengar, kapal ini akan membawa kita ke beberapa negara,” jawabnya sambil sedikit berbisik.“Wah! Benarkah?” Eva terkagum. Henry mengangguk singkat. Sementara Eva, seperti biasa pikirannya akan dipenuhi oleh berbagai macam isi. Perjalanan seperti apa yang akan dia nikmati nanti? Dan seberapa banyak uang yang digelontorkan Tuan Lawson untuk liburan ini? Liburan itu terasa sangat mewah untuknya. Dan mengenai perkataan Henry, ini seperti bukan hanya sekedar liburan baginya. Ini terlalu mewah. Eva menatap sekeliling. Pandangannya terarah pada koper yang akan mereka bawa. Pantas saja koper-koper itu dikemas juga.Henry sedikit menggeser tubuhnya, sedikit menundukkan wajah dan kembali berkata pelan, nyaris berbisi