“Tidak boleh!” seru Ryan keras, suaranya menggema di ruangan itu.Julia tersentak, tangan yang terulur langsung ditarik kembali. Jangankan Julia, Henry pun terkejut dengan pekikan Ryan secara tiba-tiba. Julia memutar tubuhnya dan menatap Ryan dengan ekspresi terkejut sekaligus bingung. “Apa? Kenapa tidak boleh?” tanyanya, dengan ekspresi yang tidak senang.Ryan berdiri tegap, wajahnya serius memandang Julia. Entah karena marah atau sekadar reaksi spontan. “Pokoknya tidak boleh!” ulangnya dengan nada lebih rendah, tetapi tetap tegas.Julia mengerutkan kening, seolah menantang. “Kenapa tidak boleh? Itu cuma hadiah biasa, ‘kan? Henry juga tidak akan menyimpan itu semua.”Dia beralih menatap Henry. “Iya, ‘kan Henry?”Henry terlihat sedikit bingung menanggapinya. Dia menatap ke arah Ryan, di sana anak buahnya itu menggelengkan kepalanya sebagai tanda untuk tidak menghiraukan Julia kali ini. Henry menghela napas. “Ryan, kau bawa semua ini keluar dari sini.”Ryan mengangguk dengan cepat. “
Tampak mobil mercedes berhenti tepat di depan gedung apartemen tua di kawasan Lower East Side. Henry menghela napas panjang, memandangi seikat buket bunga besar di tangannya dengan tatapan tak percaya. “Apa aku sudah kehilangan akal sehat?” gumamnya, berbisik pada dirinya sendiri. Dia menatap bayangan dirinya di kaca jendela mobil, merasa aneh dengan penampilannya yang tidak biasa ini. Jasnya selalu rapi, dasinya selalu lurus, tetapi kini lengannya membawa barang-barang yang baginya tampak seperti perlengkapan romansa remaja yang ke kanak-kanakan. Bunga, cokelat, bahkan sebuah kartu kecil yang ditulis dengan kata-kata yang membuatnya geli.Selama dia bersama Julia, tidak pernah terpikirkan hal sepeti ini. Cukup bawa Julia berbelanja barang mewah, makan di Restoran mewah, dan membiayai sedikit perawatannya sepeti wanita pada umumnya. Akan tetapi kali ini... berbeda. Dia bahkan rela menjatuhkan harga dirinya di depan Ryan hanya karena mencari barang-barang tersebut.Henry melirik k
Basement Parking. Henry baru saja tiba di basement. Namun dia hanya diam di kursi pengemudi tanpa berniat untuk turun. Tangannya masih memegang setir, sedangkan matanya menatap tumpukan hadiah yang ada di kursi belakang melalui pantulan kaca. Harusnya dia menemui Eva, membawa semua hadiah itu sebagai alat untuk menarik perhatian Eva. Namun keberaniannya itu hilang. Hatinya dipenuhi dengan pergulatan, antara menarik perhatian Eva atau membiarkannya seperti dulu. Pikirannya kacau, dia menyandarkan kepalanya ke setir mobil. Setelah lama tenggelam dalam pikirannya, Henry pun membuka pintu mobil. Namun baru saja dia ingin melangkahkan kaki, sebuah mobil Mercedes berhenti tak jauh dari jangkauannya. Suara ban mobil berdecit keras. Seseorang keluar dari dalam mobil dengan ekspresi marah berjalan ke arahnya. “Apa kau tidak bisa menjawab telepon di saat-saat mendesak, hah?” Nada suaranya terdengar tinggi. Henry mengernyitkan keningnya, kenapa orang itu datang-datang memara
“Kalau kau merasa bisa membantunya, kenapa tidak kau yang menyembuhkannya dengan uang milikmu itu?” Ekspresi wajahnya tetap sama, mencerminkan sikap yang sama sekali tidak peduli.“Bukankah kau yang paling peduli dengannya?” jawabnya dingin, nada suaranya tak menunjukkan sedikit pun empati. “Dia tidak terlalu penting sampai-sampai harus menghabiskan waktu dan uangku.”Samuel menggertakkan gigi-giginya. Dengan gerakan kasar dia menarik kerah baju Henry dan berteriak, “Sebenarnya apa maumu, Hen? Dia menjadi seperti ini karena keegoisanmu, tapi kau tidak merasa bersalah sama sekali! Di mana letak hatimu, hah?” Suaranya terdengar gemetar, antara marah dan kecewa.Samuel melepaskan cengkeramannya dengan kasar, sikap Henry lama-lama membuatnya muak. Dia mundur selangkah, menatap pria di depannya dengan mata yang penuh kebencian. Samuel menunjuk ke arah Henry, nadanya semakin meninggi. “Kau itu benar-benar munafik! Apa kau pikir aku tidak tahu bagaimana dirimu sebenarnya jika mengenai Eva!
Midtown Manhattan. Samuel memijat pelipisnya, menatap layar komputernya yang sudah tidak lagi menampilkan email pekerjaannya. Semua email masuk selesai dicek, semua tanggung jawab sudah dituntaskan, tapi hatinya masih terasa sesak. Dia bersandar pada kursi yang sepertinya sudah menjadi bagian dari dirinya. Pemandangan kota yang luas terbentang di luar jendela, tapi dia merasa terjebak dalam kesunyian yang begitu dalam. Samuel memandang ke luar jendela cukup lama. Pikirannya kembali melayang pada Eva. Wajahnya, senyum lembutnya, dan tatapan matanya yang penuh harapan. Dia tahu perasaannya terhadap Eva lebih dari sekadar simpati. Ada sesuatu yang lebih dalam, yang dia rasakan. Namun, seperti halnya dengan banyak hal dalam hidupnya, Samuel tahu bahwa ada saat-saat di mana perasaan itu harus dipendam. Dalam keheningan apartemennya ini, Samuel hanya bisa berharap. Dia berharap agar operasi itu berjalan lancar, agar Eva bisa merasakan kebahagiaan yang layak dia dapatkan. N
"Aku akan menanggung kesembuhan Eva, tapi ada syaratnya..." Henry mengucapkannya dengan nada santai, tatapannya mengarah ke Samuel.Samuel, yang awalnya duduk santai, seketika mengerutkan kening. Kebingungan terlihat jelas di wajahnya. Dia mencondongkan tubuh ke depan, menatap Henry dengan sorot mata penuh tanda tanya."Syarat?" tanyanya, mencoba memahami maksud Henry. "Apa syaratnya?"Henry menyeringai lebar, melipat tangannya di depan dada. Sorot matanya tidak berubah. "Aku akan menanggung semuanya tapi kau harus menjauhinya."Samuel membeku di tempat. Kata-kata Henry menghantamnya seperti pukulan keras mengenai kepalanya.Matanya melebar menatap Henry dengan tatapan tidak percaya. Menjauhinya? Kata-kata Henry terngiang-ngiang di kepalanya. “A-apa maksudmu?” Samuel menahan suaranya yang gemetar. Henry tetap di posisi yang sama, menyeringai tanpa ragu sedikitpun di wajahnya. “Kau pasti mendengar apa yang aku katakan, Sam. Aku akan menanggung semua biaya kesembuhan Eva, tapi kau ha
“Wah, coba lihat. Menantu cacat dari keluarga Harrison ikut bergabung di sini.” Baru saja Eva terduduk. Ia sudah mendapatkan sambutan sinis dari kerabat suaminya. Hari ini, Eva ikut menghadiri pesta pernikahan kerabat jauh dari Henry, suaminya. Namun, kehadirannya tidak disambut dengan baik. Salah satu dari mereka, Bibi Maria, mulai menyahuti. “Henry, kenapa kau harus membawa perhiasan tidak layak sepertinya? Tampaknya dia lebih cocok berada di etalase daripada di keluarga kita.”Anggota kerabat lainnya menatap Eva dengan tatapan mengejek. “Wanita yang berasal dari latar belakang biasa dan juga memiliki penyakit mata, ya. Aku tidak yakin dia bisa melakukan tugas-tugas sebagai istri dengan benar.”“Kami bisa mengenalkanmu pada wanita yang layak denganmu. Kenapa kau harus memilih wanita rendahan sepertinya, Henry?” Eva menundukkan, menyembunyikan wajahnya. Ia berusaha bersikap tenang, tetapi rasa sakit hati mulai membanjiri hatinya. Dia tahu, bahwa setiap acara seperti ini, ia hany
Eva merogoh tasnya, mencari obat tetes mata yang biasa ia gunakan. Namun sayangnya, dia tidak membawa obat tersebut.Eva menepuk keningnya pelan. “Aah … aku lupa membawanya karena terburu-buru.”Rasa perih di matanya itu kini menjalar ke kepala. Eva memukul kepalanya berulang kali, berniat menormalkan pandangannya. Namun pandangan matanya semakin gelap.Eva mulai melangkahkan kakinya menjauh dari sana. Perjalannya ternyata tidak mulus. Dia tersungkur karena pandangan matanya gelap.“Awsh.” Eva merintih kesakitan. Lututnya terasa perih.Eva kembali bangkit melupakan rasa perih di lututnya. Ia terus berjalan sampai di tepi jalan besar dengan langkah kaki tersandung. Tangannya melambai menghentikan taksi yang sedang melaju. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam lamanya, Eva tiba di Central Park Tower Penthouse. Penthouse mewah yang ia tempati bersama Henry. Di mana suasana di dalamnya sangat sunyi dan dingin. Tak ada kehangatan atau warna di dalamnya.Eva berjalan dengan lesu,
"Aku akan menanggung kesembuhan Eva, tapi ada syaratnya..." Henry mengucapkannya dengan nada santai, tatapannya mengarah ke Samuel.Samuel, yang awalnya duduk santai, seketika mengerutkan kening. Kebingungan terlihat jelas di wajahnya. Dia mencondongkan tubuh ke depan, menatap Henry dengan sorot mata penuh tanda tanya."Syarat?" tanyanya, mencoba memahami maksud Henry. "Apa syaratnya?"Henry menyeringai lebar, melipat tangannya di depan dada. Sorot matanya tidak berubah. "Aku akan menanggung semuanya tapi kau harus menjauhinya."Samuel membeku di tempat. Kata-kata Henry menghantamnya seperti pukulan keras mengenai kepalanya.Matanya melebar menatap Henry dengan tatapan tidak percaya. Menjauhinya? Kata-kata Henry terngiang-ngiang di kepalanya. “A-apa maksudmu?” Samuel menahan suaranya yang gemetar. Henry tetap di posisi yang sama, menyeringai tanpa ragu sedikitpun di wajahnya. “Kau pasti mendengar apa yang aku katakan, Sam. Aku akan menanggung semua biaya kesembuhan Eva, tapi kau ha
Midtown Manhattan. Samuel memijat pelipisnya, menatap layar komputernya yang sudah tidak lagi menampilkan email pekerjaannya. Semua email masuk selesai dicek, semua tanggung jawab sudah dituntaskan, tapi hatinya masih terasa sesak. Dia bersandar pada kursi yang sepertinya sudah menjadi bagian dari dirinya. Pemandangan kota yang luas terbentang di luar jendela, tapi dia merasa terjebak dalam kesunyian yang begitu dalam. Samuel memandang ke luar jendela cukup lama. Pikirannya kembali melayang pada Eva. Wajahnya, senyum lembutnya, dan tatapan matanya yang penuh harapan. Dia tahu perasaannya terhadap Eva lebih dari sekadar simpati. Ada sesuatu yang lebih dalam, yang dia rasakan. Namun, seperti halnya dengan banyak hal dalam hidupnya, Samuel tahu bahwa ada saat-saat di mana perasaan itu harus dipendam. Dalam keheningan apartemennya ini, Samuel hanya bisa berharap. Dia berharap agar operasi itu berjalan lancar, agar Eva bisa merasakan kebahagiaan yang layak dia dapatkan. N
“Kalau kau merasa bisa membantunya, kenapa tidak kau yang menyembuhkannya dengan uang milikmu itu?” Ekspresi wajahnya tetap sama, mencerminkan sikap yang sama sekali tidak peduli.“Bukankah kau yang paling peduli dengannya?” jawabnya dingin, nada suaranya tak menunjukkan sedikit pun empati. “Dia tidak terlalu penting sampai-sampai harus menghabiskan waktu dan uangku.”Samuel menggertakkan gigi-giginya. Dengan gerakan kasar dia menarik kerah baju Henry dan berteriak, “Sebenarnya apa maumu, Hen? Dia menjadi seperti ini karena keegoisanmu, tapi kau tidak merasa bersalah sama sekali! Di mana letak hatimu, hah?” Suaranya terdengar gemetar, antara marah dan kecewa.Samuel melepaskan cengkeramannya dengan kasar, sikap Henry lama-lama membuatnya muak. Dia mundur selangkah, menatap pria di depannya dengan mata yang penuh kebencian. Samuel menunjuk ke arah Henry, nadanya semakin meninggi. “Kau itu benar-benar munafik! Apa kau pikir aku tidak tahu bagaimana dirimu sebenarnya jika mengenai Eva!
Basement Parking. Henry baru saja tiba di basement. Namun dia hanya diam di kursi pengemudi tanpa berniat untuk turun. Tangannya masih memegang setir, sedangkan matanya menatap tumpukan hadiah yang ada di kursi belakang melalui pantulan kaca. Harusnya dia menemui Eva, membawa semua hadiah itu sebagai alat untuk menarik perhatian Eva. Namun keberaniannya itu hilang. Hatinya dipenuhi dengan pergulatan, antara menarik perhatian Eva atau membiarkannya seperti dulu. Pikirannya kacau, dia menyandarkan kepalanya ke setir mobil. Setelah lama tenggelam dalam pikirannya, Henry pun membuka pintu mobil. Namun baru saja dia ingin melangkahkan kaki, sebuah mobil Mercedes berhenti tak jauh dari jangkauannya. Suara ban mobil berdecit keras. Seseorang keluar dari dalam mobil dengan ekspresi marah berjalan ke arahnya. “Apa kau tidak bisa menjawab telepon di saat-saat mendesak, hah?” Nada suaranya terdengar tinggi. Henry mengernyitkan keningnya, kenapa orang itu datang-datang memara
Tampak mobil mercedes berhenti tepat di depan gedung apartemen tua di kawasan Lower East Side. Henry menghela napas panjang, memandangi seikat buket bunga besar di tangannya dengan tatapan tak percaya. “Apa aku sudah kehilangan akal sehat?” gumamnya, berbisik pada dirinya sendiri. Dia menatap bayangan dirinya di kaca jendela mobil, merasa aneh dengan penampilannya yang tidak biasa ini. Jasnya selalu rapi, dasinya selalu lurus, tetapi kini lengannya membawa barang-barang yang baginya tampak seperti perlengkapan romansa remaja yang ke kanak-kanakan. Bunga, cokelat, bahkan sebuah kartu kecil yang ditulis dengan kata-kata yang membuatnya geli.Selama dia bersama Julia, tidak pernah terpikirkan hal sepeti ini. Cukup bawa Julia berbelanja barang mewah, makan di Restoran mewah, dan membiayai sedikit perawatannya sepeti wanita pada umumnya. Akan tetapi kali ini... berbeda. Dia bahkan rela menjatuhkan harga dirinya di depan Ryan hanya karena mencari barang-barang tersebut.Henry melirik k
“Tidak boleh!” seru Ryan keras, suaranya menggema di ruangan itu.Julia tersentak, tangan yang terulur langsung ditarik kembali. Jangankan Julia, Henry pun terkejut dengan pekikan Ryan secara tiba-tiba. Julia memutar tubuhnya dan menatap Ryan dengan ekspresi terkejut sekaligus bingung. “Apa? Kenapa tidak boleh?” tanyanya, dengan ekspresi yang tidak senang.Ryan berdiri tegap, wajahnya serius memandang Julia. Entah karena marah atau sekadar reaksi spontan. “Pokoknya tidak boleh!” ulangnya dengan nada lebih rendah, tetapi tetap tegas.Julia mengerutkan kening, seolah menantang. “Kenapa tidak boleh? Itu cuma hadiah biasa, ‘kan? Henry juga tidak akan menyimpan itu semua.”Dia beralih menatap Henry. “Iya, ‘kan Henry?”Henry terlihat sedikit bingung menanggapinya. Dia menatap ke arah Ryan, di sana anak buahnya itu menggelengkan kepalanya sebagai tanda untuk tidak menghiraukan Julia kali ini. Henry menghela napas. “Ryan, kau bawa semua ini keluar dari sini.”Ryan mengangguk dengan cepat. “
Eva sedikit tertegun mendengar ajakan Samuel. Ajakan itu tidak pernah terlintas di pikirannya. Dia merasa sejak pertemuan mereka, dia sudah terlalu banyak merepotkan pria itu. Eva meremas ujung bajunya, merasa berkecamuk. . “Samuel... aku baik-baik saja. Tidak perlu ke rumah sakit. Aku akan terbiasa dengan kondisi seperti ini.” jawab Eva dengan suara pelan. “Kau sudah banyak membantuku, dan aku merasa tidak enak terus merepotkanmu.”Samuel tersenyum lembut, matanya menatap dengan ketulusan. “Eva, kau tidak merepotkanku sama sekali. Justru, aku khawatir melihatmu seperti ini.”Eva terdiam sejenak, merasakan ketulusan dalam setiap kata yang diucapkan Samuel. "Aku sudah terlalu banyak merepotkanmu," balas Eva, kali ini dengan nada penuh perasaan malu. "Kau sudah membantu begitu banyak. Aku ... aku tidak ingin menjadi bebanmu, Sam.”Samuel menarik napas dalam-dalam. Ingin sekali dia menggenggam tangan mulus Eva, tetapi hati kecilnya menahan agar tidak melakukannya.Dia sadar, itu adalah
Henry menatap Ryan dengan tatapan bingung. ”Bagaimana caranya untuk tahu apa yang sederhana itu?” katanya dengan wajah polosnya.Ryan tersenyum kikuk mendengar pertanyaan polos Henry. Dia berdeham sejenak sebelum menjawab, “Hmm … begini. Tuan pernah menjalin dengan ….” Ryan menjeda ucapannya, kemudian kembali melanjutkan dengan suara pelan, nyaris berbisik, “Nona Julia, ‘kan?”Henry mengangkat alisnya sebelah. “Memangnya apa hubungannya dengan Julia?”Ryan hanya bisa menggaruk keningnya yang tidak gatal. Dia menatap bosnya, merasa bingung sekaligus kasihan.Henry yang cerdas dalam bisnis dan pekerjaan, ternyata terlihat sangat bodoh dalam hal-hal yang berkaitan dengan emosi dan hubungan pribadi.Ryan merasa kasihan, tapi juga sedikit terhibur melihat bosnya yang biasanya begitu tajam dalam keputusan-keputusan besar, sekarang terjebak dalam kebingungan sederhana ini.“Begini, Tuan ….” Ryan mencoba memberitahu dengan hati-hati. “Tuan ‘kan pernah menjalin hubungan dengan Nona Julia, nah …
Di balik meja kayu yang elegan, Henry duduk dengan tenang, mengenakan setelan jas berwarna gelap yang memancarkan aura profesionalisme. Di hadapannya, sebuah komputer dibiarkan menyala, layarnya memancarkan cahaya lembut menerangi wajahnya yang serius. Jendela besar di belakangnya memperlihatkan pemandangan gedung-gedung tinggi yang menjulang, menciptakan kontras antara dunia luar yang sibuk dan keheningan di dalam ruangan.Tubuhnya bersandar di kursi kebesarannya. Henry tampak tenggelam dalam lamunannya, kedua matanya menatap ke arah pemandangan kota di bawah sana. Meskipun kota di bawah sana terlihat sibuk, pikirannya tak pernah teralihkan. Yang ada di pikirannya saat ini adalah Eva. ‘Harus bagaimana lagi agar dia tidak menjaga jarak dan tidak selalu menunjukkan emosinya?’ pikirnya. Dia mendesah pelan, menggaruk pelipisnya. Henry tidak bisa lagi menahan rasa frustasinya. Henry masih termenung, pikirannya terfokus pada Eva. Hingga lamunannya terpecah saat pintu ruangannya terbuk