Ryan duduk tenang, menunggu Eva. Ketika pintu terbuka, dia terpaku. Eva muncul dengan riasan yang begitu cantik, wajahnya bersinar dan matanya berkilau.Gaun hitam yang elegan itu memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna, menampilkan keanggunan yang tak terbantahkan. Kulit mulus lengannya terlihat indah, menambah kesan glamor.Ryan terdiam, tidak bisa berkata-kata, terpesona oleh transformasi Eva. Dia tidak hanya terlihat cantik, dia tampak berbeda, seolah mengeluarkan aura baru yang membuatnya tak dapat berpaling.Dalam hati, Ryan merasa bangga, pasti dengan begini, tuannya juga tidak akan bisa berpaling nanti.“Asisten, Ryan, Saya merasa gaun ini terlalu ketat,” keluh Eva sambil menarik sedikit bagian gaun itu agar lebih turun.Gaun hitam yang elegan dan mewah yang dia kenakan itu memperlihatkan lekuk tubuh dan menampilkan punggung mulusnya.Eva merasa sedikit tidak nyaman. Ini adalah pertama kalinya dia mengenakan model seperti ini, dia merasakan ketegangan di setiap gerakannya. Set
Eva berdiri di tengah kamar hotel megah, dikelilingi oleh kemewahan yang seolah tak ada habisnya. Dinding-dinding berwarna lembut, lampu kristal yang berkilauan, dan jendela besar yang menghadap ke pemandangan kota yang sibuk. Namun, semua itu terasa hampa baginya.Dia mengamati setiap detail kamar, mencoba mencari ketenangan di tengah hati yang berdegup tak beraturan. “Apa yang akan terjadi nanti?” pikirnya. Dia berusaha menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam dan merasakan udara dingin dari AC yang menyentuh kulitnya.Pikirannya melayang ke pesta yang akan berlangsung. Keluarga besar Henry—keluarga yang selalu membuatnya merasa seperti orang asing, bahkan di rumah mereka sendiri.Kenangan akan ejekan dan hinaan yang terlontar dari mulut mereka kembali menghantuinya. Tak jarang, saat dia mencoba berbaur, mereka malah menganggapnya lelucon, memandangnya dengan sinis."Apakah kali ini mereka akan bersikap lebih baik?" pertanyaan itu terus berputar di benaknya. Namun, hatinya meragu
Henry merasa dadanya bergetar, campuran cemburu dan ketidakpastian melanda. Dia menatap Eva dengan tajam, hatinya berdebar saat membayangkan Samuel memperhatikan keanggunan istrinya. Dia berusaha terlihat acuh, tetapi jawaban Eva terus bergaung di pikirannya, seolah membenarkan ucapannya. Dalam hati, dia berharap Eva tidak melihat perhatian dari orang lain, terutama Samuel.Henry menahan napas sejenak, berusaha menyembunyikan rasa cemburunya. “Menawan? Mungkin. Tapi gaun saja tidak cukup untuk menarik perhatiannya, lihat saja tubuhmu yang terlihat lurus itu!” jawabnya dengan nada mengejek, meski di dalam hatinya, dia merasa terdesak oleh perasaannya sendiri.Dengan spontan Eva kembali melihat pantulan tubuhnya di cermin. Lurus? Kata siapa?Dia menautkan alisnya, rasanya tidak terima Henry mengatainya. Enak saja! Bentuk tubuh sebagus itu dikatai lurus. Henry mengalihkan pandangannya, berusaha terlihat santai. “Aku hanya bilang, gaun itu tidak ada artinya jika dia tidak bisa melihat
Julia tiba di aula hotel menggenggam sebuah kotak kecil berbungkus kecil. Dia bisa melihat Elise tengah berbincang dengan beberapa tamu.Dia menyusun senyum terbaiknya dan berjalan mendekat. “Selamat ulang tahun, Aunty,” sapanya hangat.Tanpa ragu, Julia mencondongkan tubuhnya untuk memberikan ciuman ringan di pipi kanan dan kiri Elise, sebagaimana kebisaan para wanita saat bertemu.Elise tersenyum menerima sapaan itu, matanya memperhatikan Julia dengan perasaan senang. “Terima kasih, Julia. Kau datang sendiri?”Julia mengangguk. “Julia sengaja buru-buru datang hanya ingin menyapa dan memberikan ucapan selamat.” Julia memberikan kontak berbungkus pada Elise. “Julia juga menyiapkan hadiah khusus untuk Aunty. Julia harap Aunty menyukainya.”Elise menerima kotak hadiah dari tangan Julia dengan senyum lebar, menandakan perasaan senang. “Oh, astaga Julia… kau sungguh perhatian. Aunty sangat mernghargainya.”Elise kembali menyambutnya dengan pelukan hangat.Julia tidak bisa menyembunyikan se
Eva melangkah lebih jauh berniat memilih kursi yang berada di sudut ruangan. Namun dengan cepat Henry menariknya, mendudukkannya di kursi yang tidak jauh dari jarak mereka. Eva menatap Henry dengan bingung. “Kenapa kau menarikku ke sini?” tanyanya, mengernyitkan dahi. Dia merasa seperti ada yang tidak beres dengan sikap aneh Henry yang tiba-tiba itu. Henry terdiam, mencari kata-kata yang tepat. “Aku tidak mau nanti harus berjalan jauh ke depan sana,” jawabnya, matanya berkilau serius. “Tapi aku suka tempat yang tenang. Di sudut itu, aku bisa lebih fokus.” Eva melirik ke arah kursi yang ada di sudut. Henry ikut menggerakkan tubuhnya, menutupi sudut tempat yang dilihat Eva.Eva menatap Henry dengan ekspresi kesal, alisnya berkerut dan bibirnya mengerucut. Di dalam hatinya, pertanyaan muncul, ‘Dia kenapa, sih?’ Perasaannya campur aduk, kebingungan dan frustrasi saling bersaing dalam benaknya.“Biarkan aku ke sana, kau di sini. Lagi pula kehadiranku tidak penting di acara puncak nant
Para tamu mulai menyanyikan lagu yang dipersembahkan untuk Elise.Lilin mulai dinyalakan satu per satu, Elise yang menjadi bintang di acara itu tersenyum lebar. Dia menatap lilin-lilin di depannya, lalu menarik napas sebelum meniup lilin itu dengan sekali hembusan. Para tamu bersorak riuh, dan ledakan konfeti melayang di udara. Elise tersenyum lebar, merasakan bahagia tak bisa diutarakan. “Sekali lagi selamat, ya….” Para tamu dan kerabat kembali memberikan ucapan selamat padanya. Setelah acara tiup lilin selesai, aula megah itu kembali dipenuhi oleh suara denting gelas kristal dan tawa hangat para tamu.Acara itu dipenuhi dengan tawa dan keriuhan para tamu undangan serta kerabat yang berbaur dalam kebahagiaan. Musik merdu mengalun di udara, bercampur dengan suara gelas-gelas yang bersulang dan percakapan riuh rendah. Di tengah semua kemeriahan itu, Eva duduk terpencil, jauh dari sorotan dan keramaian. Hatinya terasa hampa, seolah tidak mampu merasakan kehangatan yang menyelimuti p
Julia tersenyum ke arah Henry, berusaha menarik perhatiannya. Dengan gerakan natural, dia berusaha ikut bergabung dalam pembicaraan, berharap kehadirannya bisa mengalihkan pikiran Henry dari Eva. Dengan sengaja, Julia memilih posisi strategis, agar bisa menutupi pandangan Henry dari sudut ruangan, di mana tempat Eva berada.Henry dan para kolega bisnisnya memandang ke arah Julia. Bibir Julia tertarik ke atas membentuk senyuman yang menghiasi wajah cantiknya. Senyumnya yang indah membuat para kolega Henry menatapnya kagum. Vincent tersenyum, lalu menyapa, “Owh, halo, Nona Julia. Senang bisa bertemu Anda kembali.” Alex ikut menimpali, “Lama tidak jumpa, hari ini Anda terlihat memukau, Nona Julia.”Mereka tahu siapa Julia, orang yang berperan membantu pekerjaan Henry selama di kantor. Wajah dan namanya sudah tidak asing di kalangan para kolega Henry. Julia tersipu dengan pujian Alex. “Senang juga bertemu dengan kalian, Tuan-Tuan.” Nada suaranya terdengar lembut dan sopan. Orang-or
Eva yang berada di dalam kamar mandi itu segera mengeringkan tangannya menggunakan tisu dengan cepat. Dia merasakan ketidaknyamanan yang menggelayuti hatinya, tetapi dia harus tetap kembali ke pesta.Suasana riuh di dalam aula seolah memanggilnya untuk segera kembali. Dengan satu tarikan napas, ia berusaha menyingkirkan keraguan dan melangkah ke arah pintu.Tangannya terangkat menarik gagang pintu, tetapi pintu kamar mandi itu tidak bisa dibuka. Dia mencoba berkali-kali, tapi pintu itu tak kunjung terbuka.“Terkunci?” ucapnya terkejut.Eva menggedor pintu itu dari dalam kamar mandi, berharap ada seseorang di luar sana yang membukakan pintu untuknya. “Apa ada orang di luar?”“Halo! Apa ada orang di luar?” Dia melakukannya lagi. “Tolong bukakan pintu untukku. Siapapun itu.”Upaya yang dia lakukan tidak membuahkan hasil. Tak ada satu orangpun yang menyahutinya.Eva kembali menggedor pintu. Kali ini, dia melakukannya sedikit lebih keras. “Siapapun di luar, tolong bukakan pintu!” teriaknya
“Hah ….?” Tanpa pikir panjang, Henry mengikis jarak di antara antara mereka dengan menarik lengan Eva. Dengan gerakan cepat bibir itu menempel di atas bibir Eva, tanpa membiarkan wanita itu mundur sedikitpun. Eva tidak bergerak. Henry semakin memperdalam ciumannya dengan kedua matanya terpejam. Tangannya turun ke pinggang, menarik Eva agar lebih dekat lagi. Dia tidak peduli dengan tatapan para pengunjung yang berada di atas kapal. Yang terpenting adalah momen mereka berdua. Kapal terus bergerak mengitari danau ke sisi lain, tapi Eva tetap di tempatnya. Dia tidak membalas ciuman Henry. Otaknya masih bekerja penuh mencerna semua yang terjadi secara tiba-tiba. Setiap detik terasa begitu lambat, hingga pada akhirnya, Henry mundur perlahan, melepaskan ciumannya. Napasnya masih sedikit memburu ketika matanya bertemu dengan bibir Eva. Dia menelan ludah, mencoba menahan gejolak dalam hatinya. Jari-jarinya masih berada di pipi Eva, tapi perlahan dia mulai melepaskan sentuhannya dan kemb
Tuan Lawson tergelak melihat ketidak sabaran istrinya. Wanita memang memiliki kesabaran seperti kapas yang terendam didalam air. “Ada legenda lokal yang mengatakan jika pasangan berciuman di atas kapal yang mengelilingi danau, mereka akan diberkati keberuntungan dan kelanggengan hubungan.” Tuan Lawson mulai menjelaskan, sedangkan Sophia mendengarkan dengan penasaran. “Dan aku rasa … Tuan Henry ingin memastikannya setelah mendengar percakapan pengunjung.” Perkataan itu diakhiri dengan kekehan renyah darinya.Selama di dermaga, mereka selalu berjalan beriringan mengawasi para istri yang berjalan lebih dulu. Percakapan itu juga bisa didengar olehnya. Dia tidak percaya jika seorang Henry, yang terkenal dengan keangkuhannya bisa begitu mudah percaya dengan mitos yang baru saja didengarnya. Henry yang selama ini selalu rasional pada hal-hal yang tidak masuk akal itu tiba-tiba saja tertarik. Dia mendengarkan dengan serius selama di dermaga, cerita itu seperti kebenaran yang tak terbantah
Para rombongan turis baru saja menuruni kapal yang mengangkut mereka mengelilingi danau. Suasana sedikit ramai, namun menyegarkan saat udara sejuk membawa aroma segar pegunungan. Di dermaga tampak sibuk, beberapa turis dan lainnya berjalan dengan arah berlawanan. Eva dengan wajah cerianya tengah berbincang dengan Sophia. Tak ada yang mengganggu percakapan mereka.Sementara Henry dan Tuan Lawson jarang beriringan di belakang mereka, membiarkan para wanita itu berbincang lebih banyak. Namun, di tengah keramaian itu, Henry mendengar sesuatu yang menarik perhatiannya. Salah satu seorang turis tengah berbincang dengan rombongan mereka, berbisik di dermaga tentang sebuah mitos yang terkait dengan danau tersebut. “Aku mendengar mitos menganai danau ini, katanya, kalau pasangan yang berkeliling di danau dan berciuman di atas kapal, hubungan mereka akan mendapatkan keberuntungan dan bertahan selamanya,” ujar turis itu dengan penuh semangat. “Aku ingin sekali mencobanya.”“Kau mau mencoba
Pagi itu, Henry dan rombongannya memulai perjalanan mereka mengelilingi pemandangan alam yang memukau. Di tengah hamparan pegunungan Alpen yang menjulang tinggi, terdapat danau yang tenang seperti hamparan cermin. Pemandangan itu begitu memukau membuat senyum Eva tak pernah pudar dari wajahnya. Biasanya, dia hanya bisa melihat semua itu dari gambar. Sekarang, kakinya benar-benar berpijak di sana. Henry yang berada di sampingnya, bisa melihat kebahagiaannya yang menyatu dengan pemandangan di sekitar mereka. Saat dia melihat Eva, rasanya dia ingin menghentikan waktu, bahkan dalam pikirannya, dia ingin membawa wanita itu ke sisi lain dunia di mana hanya ada mereka berdua. Dia hanya tidak ingin senyum di wajah istrinya dilihat orang lain. Di dunia itu dia ingin membuat kebahagiaan yang tak pernah terukur untuk Eva. Henry menggenggam tangan Eva semakin erat, tak ingin melepaskan momen ini sedetikpun. Hatinya dipenuhi dengan perasaan yang tak terungkap. Di matanya, senyum Eva adalah i
Setelah telepon berakhir, Henry kembali ke kamar. Matanya menatap ke arah Eva yang sudah tertidur. Dalam tidurnya itu wajahnya tampak tenang. Pikirannya kembali teringat beberapa menit berlalu, bagaimana wajah Eva yang menyimpan keraguan padanya. Henry menghela napas sambil mendongak ke atas. Bagaimana aku menebus semua dosa-dosaku?****4 tahun yang lalu.Apabila banyak orang berpikir, menikah dengan seorang Henry adalah surga dunia, tetapi tidak seperti yang mereka bayangkan. Pernikahan mereka begitu dingin, seperti tidak ada nyawa dalam kehidupan mereka. Dunia mereka seperti saling bertabrakan.Eva adalah sosok yang hangat dan perhatian, selalu mengutamakan orang lain. Sementara Henry adalah orang yang dingin, acuh tak acuk, dan selalu berkata tajam. Tak pernah memberikan kesempatan untuknya masuk ke dalam kehidupannya lebih dalam. Eva selalu merasa terasingkan. Bahkan dia selalu disembunyikan dari publik, tak seorang pun Henry biarkan mengetahui Eva. Dia begitu malu. Betap
Eva membaringkan tubuhnya di tepian kasur dengan posisi membelakangi Henry, dan segera memejamkan kedua matanya.Kasur ini memiliki ukuran besar, tapi tetap saja rasanya terlalu kecil saat Henry ada di sini. Dia berusaha terpejam dan menghilangkan gejolak di hatinya. Baru saja matanya terpejam, suara Henry terdengar dari belakang.“Eh!”Suara Henry cukup membuat dirinya reflek terjingkat dan membuka matanya.“Sangat tidak sopan kalau membelakangi suamimu sendiri.” Henry melanjutkan. Detik itu juga, Eva mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang. Matanya menatap ke langit-langit kamar. Campuran perasaan tergambar jelas di wajahnya, dia sangat pasrah dan sedikit jengkel. Huh? Tidak sopan?Henry mengubah posisinya menyamping dengan satu tangannya dia gunakan untuk menyanggah kepalanya. “Kau tidur di tepi sana, apa memang kau berniat akan tidur di lantai?” Henry berkata lebih dramatis.“Kau tidur berniat memunggungiku, dan tidur di pinggiran kasur. Jujur saja … apa kau benar-benar i
Tuk!Tuk! Suara pantofel miliknya memenuhi ruangan. Perlahan dia mendekati Eva. “Eva….” Suaranya pelan, nyaris berbisik. Dia berdiri tepat di hadapan istrinya. Pandangannya menunduk, mengarah pada istrinya di bawah sana. Eva tidak mundur ataupun menghindari tatapannya. Dia justru mendongak, memerhatikan wajah serius Henry. Saat ini, dia mengamati tatapan dalam Henry bagai lautan yang tak bisa dia jelajahi kedalamannya. Tatapan itu bisa menenggelamkannya dalam sesaat. Setelah beberapa detik berlalu, Henry melanjutkan ucapannya, “Kau dan aku adalah dua orang dewasa dan sudah menikah bertahun-tahun. Aku rasa … kau pasti bisa memahami apa yang aku katakan tadi.”Henry mengarahkan wajahnya lebih dekat dengan wajah Eva. “Apa aku perlu memberikan contoh secara langsung padamu?” Tiba-tiba saja suaranya terdengar serak, seperti menahan sesuatu yang bergejolak dalam dirinya. Eva menelan ludahnya dan mengalihkan pandangannya ke samping kanan, menghindari tatapan Henry. Tampaknya, dia pa
“Sudah kukatakan sebelumnya, pakai baju tebalmu. Kenapa kau tidak mendengarku?” Henry menatapnya dengan serius. Sikap lembutnya berubah menjadi keposesifan yang sulit disembunyikan. “Di sini bukan seperti di rumah. Kau harus memakai baju tebal setiap keluar!”Eva menyipitkan matanya, memerhatikan setiap perhatian Henry. Akhirnya, dia pun membuka suara, “Kenapa kau tiba-tiba sangat posesif?” Dia ingin mendengar jawaban pria itu.Namun, Henry tidak menjawab, dia hanya memastikan mantel itu terpasang dengan sempurna, lalu menggenggamnya dengan erat dan menariknya turun. Eva tidak menolak. Dia membiarkan Henry menuntunnya turun, meski dia sedikit kecewa karena Henry tidak menjawab pertanyaannya. Tak mau kalah, Tuan Lawson pun menunjukkan kepeduliannya pada istrinya. Dia memakaikan istrinya dengan pakaian tebal, memastikan istrinya tetap dalam kondisi hangat. Sophia yang awalnya menerima perhatian itu dengan senang, lama-lama merasa tidak nyaman. Pakaian tebal itu terlalu banyak, me
“Apa aku harus membantumu untuk sembuh, Nona Julia?” Samuel mengakhiri ucapannya dengan raut wajah yang terkesan meremehkan Julia. Darah Julia semakin mendidih. Tangannya yang mengepal di bawah meja itu semakin menguat, tetapi dia berusaha keras menahannya agar tidak kehilangan kendali. Dengan suara gemetar, Julia berkata, “Kau tidak tahu apa yang aku alami, Samuel! Kau tidak berhak mengatakan itu semua!” Matanya dipenuhi dengan kilatan kemarahan, ia melanjutkan, “Jangan kira kau berbicara sembarangan, itu berarti kau benar! Kau sendiri juga korban yang dicampakkan oleh Eva!”Dada Julia naik turun saat mengatakannya.Namun kemarahannya itu hanya membuat Samuel tertawa karena lucu. Rasanya, dia ingin tertawa lebih keras. “Apa kau benar-benar tidak sadar posisimu, Nona Julia? Atau kau memang tidak bisa memahami bahasa manusia yang aku katakan?” Mata Julia semakin menggelap, karena emosi mulai menguasai dirinya. Samuel kembali membeberkan semua isi kepalanya dengan santai. “Yang h